Perpustakaan Komunitas Iqra

Perpustakaan Komunitas Iqra Sebuah Lembaga Komunitas Nirlaba yang mencoba membangun kedasaran masyarakat untuk membaca

BELAJAR SENI MEMBACAOleh Badaruddin Amir “Reading is not an innocent activity”, demikian diungkapkan oleh kritikus dan a...
24/09/2024

BELAJAR SENI MEMBACA
Oleh Badaruddin Amir

“Reading is not an innocent activity”, demikian diungkapkan oleh kritikus dan ahli sastra Indonesia berkebangsaan Belanda, A. Teeuw dalam salah satu tulisannya berjudul “Sastra dalam Ketegangan Antara Tradisi dengan Pembaruan”. Ia mengatakan bahwamembaca adalah kegiatan yang bukan tak ada risikonya. Setiap pembaca bisa keliru meskipun mereka adalah ahli dalam bidang teori sastra atau filologi atau dalam kritik sastra. Tak ada jaminan bahwa interpretasi mereka (terhadap bacaan sastra) mutlak benar dan baik. “Membaca karya sastra menuntut pembaharuan diri yang terus-menerus, penyesuaian diri dengan sistem konvensi yang tidak pernah stabil, menghendaki keluwesan budi yang setiap kali bersedia membukakan diri bagi kejutan dan penyimpangan yang membingunkan.” (Teeuw, 1983:34).

Pandangan itu diungkapkan Teeuw dalam kaitannya dengan perkembangan karya sastra modern yang menurutnya tidak “stabil” dan selalu mendobrak kemapanan konvensi sastra yang telah ditetapkan oleh para teoritikus. Dahulu di era sastra lama (sastra tradisional) karya sastra seperti pantun, syair, gurindam, dongeng, kisah, sampai kepada bentuk-bentuk prosa yang lebih bebas seperti roman menganut konvensi penulisan sastra lama yang antara lain ditandai dengan kestatisan bentuk, ketidak berubahan pola-pola penulisan. Jika pantun misalnya memiliki rumusan bersajak ab-ab dan dua baris pertama adalah sampiran sedang dua baris berikutnya adalah isi maka pantun yang baik haruslah berpola seperti itu. Demikian juga dengan syair yang bersajak aa-aa, dongeng yang memiliki ciri-ciri khusus seperti alurnya sederhana, ceritanya singkat dan bergerak cepat, karakter tokoh tak diuraikan secara rinci, pesan dan tema diungkapkan secara tersurat, dan pada konflik antar tokoh maka tokoh protagonis selalu digambarkan sebagai tokoh baik yang mengalahkan tokoh antagonis sebagai lawannya. Tema umum sastra lama selalu mengusung adagiun : yang baik harus mengalahkan yang jahat. Demikianlah kita bisa membaca hal tersebut dalam cerita-cerita mite, legenda, fabel, dan hikayat sebagai karya-karya sastra lama. Tema umum itu tidak bergeser dalam penulisan prosa yang dipandang lebih baru, yaitu roman-roman awal yang ditulis pada era sastra lama.

Pandangan pembaca sastra pada era tersebut pun ikut dibentuk oleh bacaan-bacaan sastra yang merajai khasanan kesusastraan Indonesia saat itu. Pembaca sastra tidak mengenal pembaruan-pembaruan pandangan dalam membaca sastra. Resepsi sastra yang bertitik tolak pada reaksi pembaca sastra adalah resepsi yang tanpa tanggapan. Stabil, tidak berubah. Reaksi atas pembacaan sastra baru muncul setelah adanya pembaruan-pembaruan baik di bidang bentuk maupun isi seperti yang dilakukan oleh kelompok angkatan pujangga baru (sebagai antitesis angkatan pujangga lama) dengan tokoh utama seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane. Meskipun para tokoh angkataan pujangga baru ini memiliki pandangan yang berbeda tentang pemajuan dan kemajuan kebudayaan secara umum, tetapi tidak merobah pandangan mereka dalam berkarya. Dalam berkarya mereka telah meletakkan kakilangit yang baru dan tidak lagi terikat pada konvensi-konvensi sastra lama sehingga resepsi pembacaan terhadap karya-karya sastra mereka pun mengalami pergeseran. Baik puisi, cerpen maupun roman yang diterbitkan oleh angkatan pujangga baru sudah merupakan pembaruan dari angkatan sebelumnya yang masih dikenal sebagai angkatan pujangga lama yang berkakilangit pada sastra lama atau sastra tradisional dengan konvensi-konvensi sastra yang statis, cendrung stereotip dan bahkan formulatif — memakai rumusan-rumusan tertentu dalam narasinya.

Konvensi-konvensi sastra seperti itu sudah tidak ditemukan lagi pada sastra baru di mana gagasan dan ide penulis menjadi bagian penting unuk dituangkan dalam cerita. Roman “Layar Terkembang” dan “Grotta Azzura” dari Sutan Takdir Alisjahbana, cerpen “Kisah Antara Manusia” dari Armijn Pane, atau kump**an puisi “Madah Kelana” dari Sanusi Pane atau sandiwara-sandiwaranya seperti “Sandhyakala Ning Majapahir, “Manusia Baru”, telah mencerminkan kebaruan bentuk dan isi. Resepsi sastra menjadi meningkat. Pandangan pembaca tidak lagi statis, tapi mulai bereaksi, berpikir. Apa yang telah ditetapkan oleh konvensi-konvensi sastra lama mulai mendapat perlawanan atau bahkan pertentangan. Dan teori-teori sastra mengenai hal itu pun mulai bergeser seiring dengan bergesernya pandangan pembaca terhadap sastra. Jika dulu sastra masih dikenal sebagai “penglipur lara” maka sastra di era sastra baru ini sudah mulai mengenal tendensi-tendensi tertentu sebagai muatan atau tema-tema yang beragam.

Perkembangan sastra tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Dan pandangan pembaca terhadap karya sastra juga terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan karya-karya sastra itu sendiri sebagai bacaan agung. Sastra yang cerdas selalu menyodorkan ide-ide baru, gagasan baru bagi lahirnya karya-karya baru yang sering disebut sastra terdepan atau avant garde. Di tengah-tengah konvensi sastra baru maka muncullah sastra-sastra baru yang lain yang dapat membuka percakapan sastra yang berbeda. Para pembaca sastra mungkin awalnya memang tercengang karena konvensi sastra yang mungkin sudah mapan akan “digugat” lagi setelah hadirnya karya-karya lain yang berbeda. Sutardji Calzoun Bachri dalam karya puisi, misalnya telah menggoyangkan sendiri sendi sastra baru dengan kump**an puisinya “O, Kapak, Amuk”. Demikian p**a dalam karya prosa, Iwan Simatupang yang kemudian disusul oleh pembaru-pembaru lain seperti Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Arifin C. Noer (Dalam Drama) menjadikan resepsi sastra berubah warna. Menu lama angkatan baru telah tergantikan oleh lahirnya karya-karya sastra modern tersebut.

Dalam penilaian sastra tentu saja tak ada yang harus bertahan dengan teori-teori lama lagi. Setiap perkembangan sastra maka teori sastra pun akan berubah atau mengubah diri menyesuaikan dengan kreativitas sastra yang sedang lahir dan berkembang dengan atau tanpa diiringi kredo sebagai bentuk proklamasi. Dengan demikian tak ada teori sastra yang benar-benar kekal dan benar-benar bersifat universal untuk segala jaman. Teori klasik yang dikembangkan oleh Wellek dan Warren mungkin akan mampu menjelaskan bagaimana menginterpretasi karya-karya sastra lama hingga karya-karya sastra baru yang terbit di era sastra angkatan pujangga baru. Tapi untuk karya-karya sastra modern sudah menjadi teori yang ketinggalan jaman. Persoalan bentuk dan isi, misalnya tidak lagi menjadi bagian penting dalam pembahasan sastra modern.

Meskipun teori-teori yang digunakan oleh kritikus A. Teeuw masih tergolong sebagai teori-teori lama dalam melakukan penilaian terhadap sebuah karya sastra, namun A.Teuw menyadari bahwa tak ada kritik sastra yang benar-benar ‘adekuat’. Prinsip paham dan salah paham bisa saja terjadi. Dalam menilai sastra interpretasi pembaca memang bisa berbeda-beda karena karya sastra memang interpretable, tapi satu hal yang perlu dipahami bahwa kreativitas sastra terus berkembang dan perkembangan karya sastra dapat merombak konvensi-konvensi sastra yang sudah ada bahkan yang sudah mapan sekalipun. Hal ini harus disadari oleh pembaca karya sastra, terutama oleh para para kritikus sastra yang bertugas sebagai pembuat jembatan komunikasi antara pembaca dan karya sastra.

Karena demikianlah membaca karya sastra bukan tidak memiliki risiko, dan risiko yang paling fatal dari pembaca sastra adalah salah tafsir dari karya sastra yang dibacanya. Karena itu setiap pembaca sastra harus belajar “seni membaca”, harus memahami konvensi-konvensi membaca karya sastra, harus memahami perkembangan perkembangan genre sastra yang dibacanya. Meskipun ini susah namun imbalannya tidak sedikit p**a. Teeuw mengatakan bahwa, melalui seni membaca kita diberi kemungkinan untuk berkonfrontasi dengan manusia dari segala masa dan dari segala tempat; untuk menginsafi kenisbian nilai diri sendiri dan untuk belajar kenal dengan nilai kemanusiaan yang benar-benar bersifat mutlak dan umum dan universal. Teeuw menegaskan : Manusia pembaca adalah homo significans: pemberi makna, melalui dunia rekaan, kepada kehidupannya; penyingkap kebenaran eksistensinya dalam dunia nyata yang dihadapinya.*

Dengan Jual Buku Sastra-JBS – Saya baru saja diakui sebagai salah satu penggemarnya yang sedang naik daun! 🎉
21/09/2024

Dengan Jual Buku Sastra-JBS – Saya baru saja diakui sebagai salah satu penggemarnya yang sedang naik daun! 🎉

07/09/2024

Puisi Badaruddin Amir

ONOMATOPE

teng-teng-teng
anak-anak memukuli kaleng tengah malam
membangunkan imajinasi orang dewasa
yang terlelap dalam mimpi sepi

ada yang berpikir itu suara lonceng
rumah mereka tak jauh dari klenteng
ada yang mengira maling di atap seng
kemarin bengkelnya kehilangan obeng

dan kau, apa yang kau pikir tentang suara teng?
jika engkau seorang pejabat
tapi lebih memuliakan dinasti dari rakyat
atau kau seorang koruptor yang kotor
dan sembunyi di balik kursi kantor

jika teng ditingkah seng lalu tong
melodi malam yang tak berujung
seperti galau suara demonstran
di halaman dpr dan di bundaran
membakar ban merintangi jalan

dalam mimpimu akan tersuling
suara-suara onomatope yang eling
kadang menjelma menjadi nyata
seperti ledakan mengagetkan jiwa
hingga degup jantungmu tertahan
seolah waktu berhenti selamanya

teng-teng-teng... brak!
irama malam yang membangunkan
imajinasi liar tak terbendung
antara khayalan dan kenyataan
yang berdentang dalam kegelapan

Barru, 2024

04/09/2024

“RAKYAT PERAH” PUISI KRITIK SOSIAL ASLAN ABIDIN YANG TAJAM

Oleh Badaruddin Amir

Tahun 2022 Aslan Abidin pernah menyerahkan pada saya sebuah manuskrip puisinya berjudul “Memoranda Perkabungan”. Manuskrip ini berbentuk copy-an berisi 47 buah puisi yang kesumuanya kemudian masuk pada buku kump**an puisi pertamanya berjudul “Bahaya Laten Malam Pengantin” (Ininnawa, 2008). Kump**an puisi pertama Aslan Abidin ini memuat 76 puisi. Artinya, ada tambahan sebanyak 29 puisi yang diambil dari antologi puisi bersama berjudul “Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian” (Logum Pustaka-Akar Indonesia, 2004) yang menghimpun 4 penyair Sulsel, yaitu Aslam Abidin, Hendragunawan S. Tayf, Muhari Wahyu Nurba, dan Tri Astoto Kodarie, ditambah dengan puisi-puisi baru Aslan Abidin lainnya. Sementara pada buku kump**an puisinya yang kedua berjudul “Orkestra Pemakaman” (KPG-Kepustakaan Populer Gramedia, 2018) Aslan Abidin menghimpun sebanyak 115 puisi, sebagian besar atau seluruhnya berasal dari manusrip “Memoranda Perkabungan” dan “Bahaya Laten Malam Pengantin” ditambah dengan puisi-puisi baru Aslan yang ditulis pada periode berikutnya dan sudah dipublikasi di berbagai media cetak dan media online.

Saya tidak tahu apa isi kump**an puisi ke tiga Aslan Abidin berjudul “Kekasih Di Puncak Mabuk” yang diterbitkan oleh penerbit Basa-Basi, tahun 2023 setebal 82 halaman tersebut karena saya belum memiliki bukunya. Walau demikian penerbit Basa-Basi dalam ulasannya menjelaskan:

“Puisi-puisi dalam buku ini—sebagaimana kebanyakan tumpuan artikulasi puisi Aslan Abidin—menggarap arena puitik yang menarik: tubuh manusia. Idiom-idiom bagian tubuh luar, sebab berefek estetik-erotik, menjadi lebih betenaga dimuati gagasan. Selain itu, tampak p**a pergeseran ke penggunaan idiom bagian tubuh dalam.

Peralihan dari tubuh luar ke tubuh dalam dibuat untuk menghasilkan tekanan pengungkapan psikedelik. Perubahan kesadaran itu justru merupakan upaya menampakkan pikiran dalam berbagai garapan tema: romantik, eksistensial, sampai kritik sosial. Isi tersebut dikemas sebagai puisi-puisi naratif dengan bentuk persajakan dan simetri-tipografis telaten demi mendesakkan rasa estetik dan perubahan persepsi ke pembaca.”

Pembahasan ini mengindikasikan sosok kepenyairan Aslan Abidin yang tidak bergeser dari tahun 1994 semasih ia menjadi mahasiswa, membuat kubangan di Tamalanrea bersama teman-temannya bernama "Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST)" yang berdiri pada 15 Juni 1994, dan menulis dalam beberapa antologi puisi seperti “Mimbar penyair Abad21” (1996), Pembacaan Sajak Penyair 8 Kota (1998), “Cakrawala Sastra Indonesia: tak ada yang mencintaimu setulus kematian” (2004), Indonesia International Poetry Festival (2006), Mastra (2002), Ubud Writers and Readers Festival (2004), Festival Kesenian Yogyakarta (2007), hingga ke Festival Puisi Internasional Indonesia (2012), Pertemuan Sastrawan Nusantara XVII (2013) dan Borobudur Writers and Cultural Festival (2013) sampai saat ia menjadi dosen di UNM.

Aslan Abidin kelahiran Soppeng, Sulawesi Selatan pada 31 Mei 1972. Ia menulis puisi, esai sastra, dan artikel sejak mahasiswa di berbagai media cetak. Puisi-puisi dan tulisannya antara lain dimuat di harian Pedoman Rakyat, Harian Fajar, Tribun Timur Majalah SastraHorison, Majalah Basis, Jurnal Puisi, Republika, Kompas, Media Indonesia, dan berbagai majalah lainnya. Ia pernah diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) membacakan sajak-sajaknya di Taman Ismail Marzuki dalam acara “Mimbar Penyair Abad 21” (1996), “Pembacaan Penyair Delan Kota (1998), “Cakrawala Sastra Indonesia” (2004), dan “Indonesia International Poetry Festival” (2006). Mengikuti penulisan Majelis SastraAsia Tenggara (Mastera) Puisi (2002)dan Ubud Writers andReaderFestival (2004), serta memenangkan beberapa lomba cipta puisi tingkat nasional. Sejak tahun 1987 ia menyelesaikan kulian pada jurusan Kesusastraan Indonesia Universitas Hasanuddin dan pada tahun 2011 menyelesaikan kulian pada Pascasasrjana Universitas Gajah Mada. Pernah bekerja sebagai redaktur di harian Parepos, Tribun Timur, dan Pedeoman Rakyat. Dan sekarang menjadi dosen di Universitas Negeri Makassar(UNM) dan pendiri Institut Sastra Makassar (ISM).

Puisi Aslan Abidin berjudul “Rakyat Perah” sangat istimewa, bukan hanya karena berkaitan dengan persoalan “politik praktis” yang sering menjadi bagian penting dalam pesta demokrasi sekali dalam lima tahun, tapi juga karena kritik sosialnya yang tajam. Puisi ini termuat pada antologi berjudul “Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian” (2004) halaman 33, “Bahaya Laten Malam Pengantin” (2008), halaman 81, dan “Orkestra Pemakanan” (2018), halaman 81, serta sudah termuan dalam media cetak dan online.

Meski demikian tidak semua orang pernah membacanya. Maka untuk itulah sebelum membahas puisi Aslan Abidin berjudul “Rakyat Perah” ini ada baiknya kita membaca secara lengkap puisi tersebut agar bisa memperoleh apresiasi yang utuh. Saya salin versi dari “Orkestra Pemakaman”:

RAKYAT PERAH

tiba lagi saatnya para komplotan
pemerah dan penunggang itu datang.
mereka berpawai menguasai jalanan
dan bergerombol memenuhi lapangan.

mereka datang bergemuruh sekali lima
tahun, seperti wabah berkala. mereka
membujuk kami agar kami pilih jadi penguasa.
mereka beri banyak janji, dan selalu saja
kami percaya.

"pilihlah kami, pilihlah kami!" kata
mereka sambil mengacungkan tanda
gambar ke wajah kami dan menyihir kami
jadi pengikut. kami pun berubah jadi sapi
atau kuda.

kami kini adalah perahan
dan tunggangan. tapi tak akan
mereka dengar lenguh keluh kami, tak
akan mereka dengar ringkik
rintih kami.

kamilah bangsa sapi dan kuda
yang paling setia di dunia.

"keadilan dan kesejahteraan ada di
tangan kami!" kata mereka ramah:
wajahnya bersih matanya jernih,
tanduknya gagah taringnya putih.

kami pun memilih mereka:
para pemimpin yang agung, junjungan
kami yang selalu jujur dan benar.

kami tahu semua janjinya
tulus dan ikhlas: murni keluar dari lubuk
duburnya yang paling dalam.

2003

Puisi "RAKYAT PERAH" karya Aslan Abidin di atas merupakan sebuah kritik sosial yang tajam terhadap sistem politik, khususnya dalam konteks pemilihan umum dan dinamika kekuasaan di Indonesia. Melalui karya ini, Aslan Abidin mengajak pembaca untuk merefleksikan hubungan antara rakyat dan para pemimpin politik, serta mengkritisi praktik-praktik manip**atif yang kerap terjadi dalam proses demokrasi.

Tema utama puisi ini adalah eksploitasi rakyat oleh elit politik. Aslan Abidin menggambarkan rakyat sebagai objek yang dimanfaatkan, diperas, dan ditunggangi oleh para politisi yang haus kekuasaan. Metafora yang kuat digunakan sepanjang puisi, di mana rakyat disamakan dengan "sapi" dan "kuda" - hewan ternak yang dimanfaatkan untuk kepentingan pemiliknya. Penggunaan metafora ini sangat efektif dalam menggambarkan ketidakberdayaan rakyat dan sifat eksploitatif dari hubungan penguasa-rakyat.

Gaya bahasa yang digunakan Aslan Abidin sarat dengan ironi dan sarkasme. Frasa seperti "pemimpin yang agung" dan "junjungan kami yang selalu jujur dan benar" menunjukkan kontras yang tajam antara janji manis para politisi dengan realitas yang dihadapi rakyat. Sarkasme mencapai puncaknya pada bait terakhir, di mana penyair menyindir bahwa janji-janji politik yang tulus sebenarnya "murni keluar dari lubuk duburnya yang paling dalam" - sebuah metafora vulgar namun efektif untuk menggambarkan kebohongan dan manip**asi.

Struktur puisi yang terdiri dari tujuh bait dengan jumlah baris yang bervariasi menciptakan alur yang mengalir, mencerminkan siklus politik yang berulang namun tak pernah benar-benar berubah. Diksi yang dipilih Aslan Abidin sangat kuat dan gamblang, dengan penggunaan kata-kata seperti "komplotan", "pemerah", dan "penunggang" untuk menggambarkan para politisi, menekankan sifat predatoris mereka terhadap rakyat.

Simbolisme dalam puisi ini juga kaya dan bermakna. "Sapi" dan "kuda" jelas mewakili rakyat yang dimanfaatkan, sementara "wabah berkala" menggambarkan pemilu yang terjadi secara rutin namun seolah-olah menjadi momok bagi rakyat. "Tanduk" dan "taring" yang digambarkan "gagah" dan "putih" melambangkan kekuasaan yang tampak baik di permukaan namun menyimpan ancaman tersembunyi.
Nada puisi ini sarkastis dan kritis, mencerminkan kekecewaan dan frustrasi mendalam terhadap sistem politik yang ada. Pesan yang ingin disampaikan Aslan Abidin jelas: sistem demokrasi yang seharusnya menjadi sarana aspirasi rakyat telah berubah menjadi ajang eksploitasi oleh para elit politik. Penyair berusaha menyadarkan pembaca akan manip**asi yang terjadi dalam proses politik dan mengajak mereka untuk lebih kritis.

Konteks historis puisi ini penting untuk dipahami. Ditulis pada tahun 2003, puisi ini lahir dalam masa transisi politik Indonesia pasca-Reformasi. Saat itu, harapan akan perubahan dan perbaikan sistem politik bertemu dengan realitas yang masih jauh dari ideal. Aslan Abidin menangkap kekecewaan publik terhadap janji-janji politik yang tak kunjung terwujud dan mengekspresikannya dengan sangat tajam dalam puisi ini.

Meskipun ditulis hampir dua dekade lalu, tema dan kritik yang diangkat dalam "RAKYAT PERAH" masih sangat relevan dengan kondisi politik di negara kita yang konon demokrasi-- saat ini. Fenomena politisi yang mengeksploitasi rakyat demi kekuasaan, serta kekecewaan publik terhadap sistem politik, masih menjadi isu global yang tak kunjung terselesaikan hingga hari ini.

Secara keseluruhan, "RAKYAT PERAH" adalah sebuah karya yang kuat dan provokatif. Melalui bahasa yang tajam dan gambar yang jelas, Aslan Abidin berhasil menyuarakan kritik yang menggugah terhadap sistem politik. Puisi ini mengajak pembaca untuk merefleksikan peran mereka dalam sistem demokrasi dan mengevaluasi kembali hubungan antara rakyat dengan para pemimpin politik. Dengan demikian, "RAKYAT PERAH" tidak hanya bernilai sebagai karya sastra, tetapi juga sebagai kritik sosial yang tajan dan relevan dan penting hingga kapan pun, sepanjang demokrasi dijadikan demo-kreasi oleh para politikus brensek. Puisi ini akan terus relevan dan dibutuhkan sebagai katarsis bagi bagi para pemilih maupun yang dipilih di semua jenjang: calon bupati, calon gubernur, calon anggita DPRD/DPR dan calon Presiden/wakil presiden. Atau dalam bahasa satir ala Aslan Abidin “para pemimpin yang agung/junjungan kami yang selalu jujur dan benar.” Karena “kami tahu semua janjinya/tulus dan ikhlas: murni keluar dari lubuk/duburnya yang paling dalam”.

Barru, 2024

Yang pernah singgah membagi ilmu di TAKANITRA: Bachtiar Adnan Kusuma.
22/04/2024

Yang pernah singgah membagi ilmu di TAKANITRA: Bachtiar Adnan Kusuma.

Update sementara antologi puisi MERDEKA BELAJAR, naskah masih ditunggu sampai akhir Februari 2023. Para guru dan dosen j...
24/02/2023

Update sementara antologi puisi MERDEKA BELAJAR, naskah masih ditunggu sampai akhir Februari 2023. Para guru dan dosen jangan ketinggalan. Kirim naskah puisinya ke [email protected]

1. AGUSTA (Banyuangi, Jawa Timur)
2. AHMAD MALIKI MASHAR (Indragiri Hilir, Propinsi Riau)
3. ANDI JAMALUDDI N, AR. AK (Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan)
4. ASPIDA (Barru, Sulawesi Selatan)
5. BADARUDDIN AMIR (Barru, Sulawesi Selatan)
6. BADARUDDIN,S.Pd. (Maros, Sulawesi Selatan)
7. BAMBANG WIDIATMOKO (Bekasi, Jawa barat)
8. DODY YAN MASFA (Gresik, Jawa Timur)
9. DONO SETIAWAN (Karimun, Propinsi Kep**auan Riau)
10. EDY PRIYATNA (Depok, Jawa Barat)
11. ELVIRAWATI PASILA (Tana Toraja, Sulawesi Selatan)
12. H. TAJUDDIN IDRIS (Depok, Jawa Barat)
13. HERAWATY RIDWAN PARAGAI (Maros, Sulawesi Selatan)
14. IKA MERDEKA SARI (Parepare, Sulawesi Selatan)
15. INDRA ANWAR (Maros, Sulawesi Selatan)
16. JAMAL PASSALOWONGI (Barru, Sulawesi Selatan)
17. JUHRI AL BANJARY (Barru, Sulawesi Selatan)
18. MOHAMMADSARONI (Mojokerto, Jawa Timur)
19. MUHAMMAD A RIFAI (Watansoppeng, Sulawesi Selatan)
20. MUHAMMAD BASIR RUSLY AM (Barru, Sulawesi Selatan)
21. MUHAMMAD HELMI (Makassar, Sulawesi Selatan)
22. MUHAMMAD LUTFI (Pati, Jawa Tengah)
23. NURLAELAH (Makassar, Sulawesi Selatan)
24. SITTI DAHLIA AZIS (Pinrang, Sulawesi Selatan)
25. PUTRI BUNGSU (Karanganyar, Jawa Tengah)
26. RUSTAM EFENDY RASYID (Sidrap, Sulawesi Selatan)
27. RIKI UTOMI (Pekan Baru, Riau)
28. SITTI DAHLIA AZIS (Pinrang, Sulawesi Selatan)
29. SLAMET SURYADI (Indramayu, Jawa Barat)
30. SYARIFUDDIN MUNIER (Gowa, Sulawesi Selatan)
31. TERATAI MALAM (Barru, Sulawesi Selatan)
32. TRI ASTOTO KODARIE (Parepare, Sulawesi Selatan)
33. VERONICA SUCI FRIDANI (Kramatjati, Jakarta Timur)

Judul Buku : WASIAT BOTINGLANGI' (Antologi Puisi Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan) Kurator : Badaruddin Amir, Tri Ast...
31/05/2022

Judul Buku : WASIAT BOTINGLANGI' (Antologi Puisi Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan) Kurator : Badaruddin Amir, Tri Astoto Kodarie, Bambang Widiatmoko Penerbit : TAKANITRA Publishing Tebal Buku : 323 Halaman

Judul Buku : WASIAT BOTINGLANGI’ (Antologi Puisi Nilai-Nilai Budaya Sulawesi Selatan) Kurator : Badaruddin Amir, Tri Astoto Kodarie, Bambang Widiatmoko Penerbit : TAKANITRA Publishing Tebal B…

KITA, SENI dan SASTRA (Buku 1) KITA, LITERASI dan Pendidikan (Buku 2) KITA, LITERASI dan BUDAYA (Buku 3) KITA, BUKU SAST...
21/05/2022

KITA, SENI dan SASTRA (Buku 1) KITA, LITERASI dan Pendidikan (Buku 2) KITA, LITERASI dan BUDAYA (Buku 3) KITA, BUKU SASTRA dan LOKALITAS (Buku 4) "Sebuah esai pada hakikatnya adalah suatu pengakuan. Namun sudah tentu ia bukan sesuatu yang merekam hal-hal yang bersifat otobiografis". Demikian Goenawan Mohamad pernah berpendapat. Kump**an esai ini pun memiliki "tempramen" yang sama. Hanya saja kondisi penciptaan yang berbeda, ikut mempengaruhi berbagai aspek yang diungkapkan pada sejumlah esai dalam buku ini....

KITA, SENI dan SASTRA (Buku 1) KITA, LITERASI dan Pendidikan (Buku 2) KITA, LITERASI dan BUDAYA (Buku 3) KITA, BUKU SASTRA dan LOKALITAS (Buku 4) “Sebuah esai pada hakikatnya adalah suatu pen…

Cerpen Badaruddin Amir Jangan pernah membayangkan bahwa tikus yang diceritakan dalam cerpen ini adalah binatang pengerat...
21/05/2022

Cerpen Badaruddin Amir Jangan pernah membayangkan bahwa tikus yang diceritakan dalam cerpen ini adalah binatang pengerat yang sering menyantroni dapur malam-malam dan membongkar lemari makan mencari sisa-sisa makanan saat perutnya mendesak minta diisi. Juga jangan berasosiasi pada makna lain dari tikus, makna yang telah menjadi simbol peyoratif bagi koruptor : tikus berdasi itu ! Tikus ini terperangkap malam-malam saat jebakan yang kupasang tersentak....

Cerpen Badaruddin Amir Jangan pernah membayangkan bahwa tikus yang diceritakan dalam cerpen ini adalah binatang pengerat yang sering menyantroni dapur malam-malam dan membongkar lemari makan mencar…

Cerpen Badaruddin Amir Sekawanan rayap raksasa muncul dan balik cakrawala. Beriringan memanjat dinding langit, mendekati...
15/05/2022

Cerpen Badaruddin Amir Sekawanan rayap raksasa muncul dan balik cakrawala. Beriringan memanjat dinding langit, mendekati matahari dengan gigi-gigi terbuka seperti tang yang menganga. Alangkah dahsyat. Fantastis. Sekawanan rayap-rayap raksasa itu mengelilingi matahari yang kurang dari tiga puluh derajat lagi akan jatuh ke laut. Rayap-rayap raksasa itu sedang melakukan ritualisasi. Mereka mengelilingi matahari seperti orang-orang Indian mengelilingi musuh yang tak berdaya dengan tarian, sebelum menombaknya ramal-ramai....

Cerpen Badaruddin Amir Sekawanan rayap raksasa muncul dan balik cakrawala. Beriringan memanjat dinding langit, mendekati matahari dengan gigi-gigi terbuka seperti tang yang menganga. Alangkah dahsy…

Cerpen Badaruddin Amir La Cundekke namaku. Tentu saja nama ini bukan nama asli tapi nama ejekan. Nama yang diberikan ole...
15/05/2022

Cerpen Badaruddin Amir La Cundekke namaku. Tentu saja nama ini bukan nama asli tapi nama ejekan. Nama yang diberikan oleh entah siapa yang kemudian menjadi nama panggilan. Aku tentu saja tak kuasa menghindarinya, meski awalnya aku marah-marah dan bahkan bila yang memanggilku anak sebaya, aku langsung meninjunya dan terjadilah perkelahian yang seru. Biasanya bila habis berkelahi gara-gara namaku ini aku p**ang ke rumah....

Cerpen Badaruddin Amir La Cundekke namaku. Tentu saja nama ini bukan nama asli tapi nama ejekan. Nama yang diberikan oleh entah siapa yang kemudian menjadi nama panggilan. Aku tentu saja tak kuasa …

Cerpen Badaruddin Amir Karena merasa sudah subuh saya bangun. Suasana di sekitar memang masih gelap. Dan suara masjid ya...
15/05/2022

Cerpen Badaruddin Amir Karena merasa sudah subuh saya bangun. Suasana di sekitar memang masih gelap. Dan suara masjid yang biasanya sudah berkumandang melantunkan ayat-ayat suci al-quran sejak jam tiga sebelum memasuki waktu subuh memang belum terdengar. Tapi saya yakin itu hanyalah sebuah kesalahan. Mungkin speaker masjid rusak atau apalah. Saya meraba-raba mencari tiang tengah rumah. Menelusurinya ke atas untuk berdiri mencari tombol lampu....

Cerpen Badaruddin Amir Karena merasa sudah subuh saya bangun. Suasana di sekitar memang masih gelap. Dan suara masjid yang biasanya sudah berkumandang melantunkan ayat-ayat suci al-quran sejak jam …

Cerpen Badaruddin Amir Dia memukul kepalaku satu kali. Darah mengucur. Tapi aku tetap bergeming. Dia menatapku tajam. La...
13/05/2022

Cerpen Badaruddin Amir Dia memukul kepalaku satu kali. Darah mengucur. Tapi aku tetap bergeming. Dia menatapku tajam. Lalu memeriksa bekas pukulannya pada bagian belakang kepalaku. Potongan p**a leding 1,5 inci sepanjang satu meter itu masih dipegangnya. “Mengapa hanya satu kali?” tantangku. “Apa? Kau bilang mengapa hanya satu kali? Sombong. Kau pikir siapa dirimu, heh. Nih rasakan!” Lalu dia menghantam lagi kepalaku membabi buta....

Cerpen Badaruddin Amir Dia memukul kepalaku satu kali. Darah mengucur. Tapi aku tetap bergeming. Dia menatapku tajam. Lalu memeriksa bekas pukulannya pada bagian belakang kepalaku. Potongan p**a le…

Kematian bukan sesuatu yang asing, tapi ia selalu datang sebagai kabar yang mengejutkan. Sudah itu kita kita kembali sad...
12/05/2022

Kematian bukan sesuatu yang asing, tapi ia selalu datang sebagai kabar yang mengejutkan. Sudah itu kita kita kembali sadar bahwa kematian sesungguhnya selalu menguntit langkah kita hingga pada suatu saat, pada suatu tempat ia akan menyergap kita tanpa perlawanan. Karena itu kepasrahan –demikian kata bijak—atas kepergianmu, kepergiannya atau kepergianku hanya dapat diiringin dengan sebuah kata: innalillahi wa’innailaihi rojiun.Demikianlah dia, kawan kita telah disergap kematian entah karena sakit, entah karena tak ada sebab kasat mata....

Kematian bukan sesuatu yang asing, tapi ia selalu datang sebagai kabar yang mengejutkan. Sudah itu kita kita kembali sadar bahwa kematian sesungguhnya selalu menguntit langkah kita hingga pada suat…

Address

Jalan Pramuka 108
Barru
90711

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Perpustakaan Komunitas Iqra posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share