24/09/2024
BELAJAR SENI MEMBACA
Oleh Badaruddin Amir
“Reading is not an innocent activity”, demikian diungkapkan oleh kritikus dan ahli sastra Indonesia berkebangsaan Belanda, A. Teeuw dalam salah satu tulisannya berjudul “Sastra dalam Ketegangan Antara Tradisi dengan Pembaruan”. Ia mengatakan bahwamembaca adalah kegiatan yang bukan tak ada risikonya. Setiap pembaca bisa keliru meskipun mereka adalah ahli dalam bidang teori sastra atau filologi atau dalam kritik sastra. Tak ada jaminan bahwa interpretasi mereka (terhadap bacaan sastra) mutlak benar dan baik. “Membaca karya sastra menuntut pembaharuan diri yang terus-menerus, penyesuaian diri dengan sistem konvensi yang tidak pernah stabil, menghendaki keluwesan budi yang setiap kali bersedia membukakan diri bagi kejutan dan penyimpangan yang membingunkan.” (Teeuw, 1983:34).
Pandangan itu diungkapkan Teeuw dalam kaitannya dengan perkembangan karya sastra modern yang menurutnya tidak “stabil” dan selalu mendobrak kemapanan konvensi sastra yang telah ditetapkan oleh para teoritikus. Dahulu di era sastra lama (sastra tradisional) karya sastra seperti pantun, syair, gurindam, dongeng, kisah, sampai kepada bentuk-bentuk prosa yang lebih bebas seperti roman menganut konvensi penulisan sastra lama yang antara lain ditandai dengan kestatisan bentuk, ketidak berubahan pola-pola penulisan. Jika pantun misalnya memiliki rumusan bersajak ab-ab dan dua baris pertama adalah sampiran sedang dua baris berikutnya adalah isi maka pantun yang baik haruslah berpola seperti itu. Demikian juga dengan syair yang bersajak aa-aa, dongeng yang memiliki ciri-ciri khusus seperti alurnya sederhana, ceritanya singkat dan bergerak cepat, karakter tokoh tak diuraikan secara rinci, pesan dan tema diungkapkan secara tersurat, dan pada konflik antar tokoh maka tokoh protagonis selalu digambarkan sebagai tokoh baik yang mengalahkan tokoh antagonis sebagai lawannya. Tema umum sastra lama selalu mengusung adagiun : yang baik harus mengalahkan yang jahat. Demikianlah kita bisa membaca hal tersebut dalam cerita-cerita mite, legenda, fabel, dan hikayat sebagai karya-karya sastra lama. Tema umum itu tidak bergeser dalam penulisan prosa yang dipandang lebih baru, yaitu roman-roman awal yang ditulis pada era sastra lama.
Pandangan pembaca sastra pada era tersebut pun ikut dibentuk oleh bacaan-bacaan sastra yang merajai khasanan kesusastraan Indonesia saat itu. Pembaca sastra tidak mengenal pembaruan-pembaruan pandangan dalam membaca sastra. Resepsi sastra yang bertitik tolak pada reaksi pembaca sastra adalah resepsi yang tanpa tanggapan. Stabil, tidak berubah. Reaksi atas pembacaan sastra baru muncul setelah adanya pembaruan-pembaruan baik di bidang bentuk maupun isi seperti yang dilakukan oleh kelompok angkatan pujangga baru (sebagai antitesis angkatan pujangga lama) dengan tokoh utama seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane. Meskipun para tokoh angkataan pujangga baru ini memiliki pandangan yang berbeda tentang pemajuan dan kemajuan kebudayaan secara umum, tetapi tidak merobah pandangan mereka dalam berkarya. Dalam berkarya mereka telah meletakkan kakilangit yang baru dan tidak lagi terikat pada konvensi-konvensi sastra lama sehingga resepsi pembacaan terhadap karya-karya sastra mereka pun mengalami pergeseran. Baik puisi, cerpen maupun roman yang diterbitkan oleh angkatan pujangga baru sudah merupakan pembaruan dari angkatan sebelumnya yang masih dikenal sebagai angkatan pujangga lama yang berkakilangit pada sastra lama atau sastra tradisional dengan konvensi-konvensi sastra yang statis, cendrung stereotip dan bahkan formulatif — memakai rumusan-rumusan tertentu dalam narasinya.
Konvensi-konvensi sastra seperti itu sudah tidak ditemukan lagi pada sastra baru di mana gagasan dan ide penulis menjadi bagian penting unuk dituangkan dalam cerita. Roman “Layar Terkembang” dan “Grotta Azzura” dari Sutan Takdir Alisjahbana, cerpen “Kisah Antara Manusia” dari Armijn Pane, atau kump**an puisi “Madah Kelana” dari Sanusi Pane atau sandiwara-sandiwaranya seperti “Sandhyakala Ning Majapahir, “Manusia Baru”, telah mencerminkan kebaruan bentuk dan isi. Resepsi sastra menjadi meningkat. Pandangan pembaca tidak lagi statis, tapi mulai bereaksi, berpikir. Apa yang telah ditetapkan oleh konvensi-konvensi sastra lama mulai mendapat perlawanan atau bahkan pertentangan. Dan teori-teori sastra mengenai hal itu pun mulai bergeser seiring dengan bergesernya pandangan pembaca terhadap sastra. Jika dulu sastra masih dikenal sebagai “penglipur lara” maka sastra di era sastra baru ini sudah mulai mengenal tendensi-tendensi tertentu sebagai muatan atau tema-tema yang beragam.
Perkembangan sastra tentu saja tidak berhenti sampai di situ. Dan pandangan pembaca terhadap karya sastra juga terus mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan karya-karya sastra itu sendiri sebagai bacaan agung. Sastra yang cerdas selalu menyodorkan ide-ide baru, gagasan baru bagi lahirnya karya-karya baru yang sering disebut sastra terdepan atau avant garde. Di tengah-tengah konvensi sastra baru maka muncullah sastra-sastra baru yang lain yang dapat membuka percakapan sastra yang berbeda. Para pembaca sastra mungkin awalnya memang tercengang karena konvensi sastra yang mungkin sudah mapan akan “digugat” lagi setelah hadirnya karya-karya lain yang berbeda. Sutardji Calzoun Bachri dalam karya puisi, misalnya telah menggoyangkan sendiri sendi sastra baru dengan kump**an puisinya “O, Kapak, Amuk”. Demikian p**a dalam karya prosa, Iwan Simatupang yang kemudian disusul oleh pembaru-pembaru lain seperti Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Arifin C. Noer (Dalam Drama) menjadikan resepsi sastra berubah warna. Menu lama angkatan baru telah tergantikan oleh lahirnya karya-karya sastra modern tersebut.
Dalam penilaian sastra tentu saja tak ada yang harus bertahan dengan teori-teori lama lagi. Setiap perkembangan sastra maka teori sastra pun akan berubah atau mengubah diri menyesuaikan dengan kreativitas sastra yang sedang lahir dan berkembang dengan atau tanpa diiringi kredo sebagai bentuk proklamasi. Dengan demikian tak ada teori sastra yang benar-benar kekal dan benar-benar bersifat universal untuk segala jaman. Teori klasik yang dikembangkan oleh Wellek dan Warren mungkin akan mampu menjelaskan bagaimana menginterpretasi karya-karya sastra lama hingga karya-karya sastra baru yang terbit di era sastra angkatan pujangga baru. Tapi untuk karya-karya sastra modern sudah menjadi teori yang ketinggalan jaman. Persoalan bentuk dan isi, misalnya tidak lagi menjadi bagian penting dalam pembahasan sastra modern.
Meskipun teori-teori yang digunakan oleh kritikus A. Teeuw masih tergolong sebagai teori-teori lama dalam melakukan penilaian terhadap sebuah karya sastra, namun A.Teuw menyadari bahwa tak ada kritik sastra yang benar-benar ‘adekuat’. Prinsip paham dan salah paham bisa saja terjadi. Dalam menilai sastra interpretasi pembaca memang bisa berbeda-beda karena karya sastra memang interpretable, tapi satu hal yang perlu dipahami bahwa kreativitas sastra terus berkembang dan perkembangan karya sastra dapat merombak konvensi-konvensi sastra yang sudah ada bahkan yang sudah mapan sekalipun. Hal ini harus disadari oleh pembaca karya sastra, terutama oleh para para kritikus sastra yang bertugas sebagai pembuat jembatan komunikasi antara pembaca dan karya sastra.
Karena demikianlah membaca karya sastra bukan tidak memiliki risiko, dan risiko yang paling fatal dari pembaca sastra adalah salah tafsir dari karya sastra yang dibacanya. Karena itu setiap pembaca sastra harus belajar “seni membaca”, harus memahami konvensi-konvensi membaca karya sastra, harus memahami perkembangan perkembangan genre sastra yang dibacanya. Meskipun ini susah namun imbalannya tidak sedikit p**a. Teeuw mengatakan bahwa, melalui seni membaca kita diberi kemungkinan untuk berkonfrontasi dengan manusia dari segala masa dan dari segala tempat; untuk menginsafi kenisbian nilai diri sendiri dan untuk belajar kenal dengan nilai kemanusiaan yang benar-benar bersifat mutlak dan umum dan universal. Teeuw menegaskan : Manusia pembaca adalah homo significans: pemberi makna, melalui dunia rekaan, kepada kehidupannya; penyingkap kebenaran eksistensinya dalam dunia nyata yang dihadapinya.*