Kesenian Indonesia

Kesenian Indonesia trima kasih sudah hadir,bantu suport like,coment,ikuti .salam budaya KESENIAN INDONESIA
sebagi wadah bagi pencinta kesenian seluruh indonesia .salam rahayu

Ragunan jaksel 23 feb 2024
18/02/2025

Ragunan jaksel 23 feb 2024

PANTANGAN BANGSA JAWA & TEWASNYA TRUNOJOYOOleh Raja-Raja Jawa kala itu, tokoh ini tidak ubahnya seperti Ranggalawe dan A...
18/02/2025

PANTANGAN BANGSA JAWA & TEWASNYA TRUNOJOYO

Oleh Raja-Raja Jawa kala itu, tokoh ini tidak ubahnya seperti Ranggalawe dan Aria wiraraja, sama-sama Tokoh Asal Madura yang membahayakan kelangsungan dan kedudukan Raja-Raja Jawa kala itu. Bagi orang Jawa betatapun mempunyai sifat dewanya seseorang, jika dia bukan berdarah Jawa kemudian menduduki tahta dan memerintah Jawa hal tersebut merupakan aib bangsa Jawa. Oleh karena itu, bagamanapun caranya demi harga diri bangsa Jawa, Trunojoyo harus dimatikan.

Sama seperti pendahlunya Ranggalawe dan Aria Wiraraja, Trunojoyo adalah sosok orang Madura yang melakukan pemberontakan, bahkan Pemberontakannya cukup merepotkan sebab berhasil menduduki Keraton dan memaksa Raja Mataram kala itu (Amangkurat I) melarikan diri dan akhirnya wafat dalam pelarian (Wafat di Tegal).

Sebagai Putra Mahkota, Amangkurat II, kemudian berusaha membangkitkan harkat martabat orang Jawa yang kala itu sedang dicengkeram oleh kekuatan asing yang ingin menghancurkan, yaitu gabungan para pemberontak yang dikomandoi dan didanai oleh orang-orang Madura, Makkasar dan Sunda (Cirebon & Banten).

Cara Amangkurat II dalam menghadapi aliansi bangsa asing yang ingin menduduki tahta Jawa itu adalah dengan cara bersekutu dengan VOC. Persekutuan ini hasilnya memuaskan, sebab walaupun Mataram pada akhirnya menyerahkan imbalan beberapa daerah kepada VOC namun pada akhirnya yang menjadi Raja atas tanah Jawa adalah orang Jawa itu sendiri, bukan orang Madura, Makkasar ataupun Sunda.

Menurut ahli, bahwa andai saja Trunojoyo memenangkan pertempuran hingga akhir, maka ia kemungkinan besar akan menjadi Raja di Jawa. Namun karena ia berhasil dikalahkan dan kemudian ditangkap, maka rencana tersebut gagal.

Dalam catatan kolonial, setelah ditangkap oleh VOC, sebetulnya Trunojoyo akan diamnfaatkan oleh VOC, karenanya selepas ditangkap ia diperlakukan tidak ubahnya seperti Raja oleh VOC, meskipun begitu, hal ini rupanya dapat dibaca oleh Amangkurat II, sehingga ia kemudian buru-buru membunuh Trunojoyo dengan tangannya sendiri. Trunojoyo wafat saat melakukan kunjungan seremonial ke kediaman bangsawan di sebuah desa bernama Payak, Jawa Timur, pada 2 Januari 1680. Ia ditusuk oleh Amangkurat II dengan tangan dan kerisnya sendiri.

Oleh : Sejarah Cirebon

Hati ini gaes gasken yuk
18/02/2025

Hati ini gaes gasken yuk

18/02/2025
tangal 20 bolo lampung selatan
17/02/2025

tangal 20 bolo lampung selatan

Legenda 'DEWI SRI' dalam Kepercayaan Masyarakat IndonesiaDi berbagai wilayah Indonesia, legenda Dewi Sri selalu dikaitka...
17/02/2025

Legenda 'DEWI SRI' dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia
Di berbagai wilayah Indonesia, legenda Dewi Sri selalu dikaitkan dengan mitologi tentang asal-usul padi. Oleh karenanya, tokoh ini sering disebut sebagai Dewi Padi, meskipun di setiap daerah memiliki beragam versi cerita.
Di Indonesia, legenda tentang Dewi Sri muncul di masyarakat Jawa, Bali, Kalimantan, Sumatera Utara, dan Ende.
Di Jawa Barat, Dewi Sri disebut sebagai Dewi Pohaci. Legenda yang berkaitan dengannya antara lain Wawacan Pohaci, Cariyos Sawargaloka, Wawacan Sanghyang Sri, Wawacan Puhaci Dandayang, Wawacan Dewi Sri, dan Wawacan Sulanjana.
Adapun di Jawa Tengah, salah satu legenda terkait Dewi Sri adalah Sri Sedana. Sedangkan di Madura, tokoh ini dikenal dengan nama Ratna Dumilah.
Di Bali, Dewi Sri disebut sebagai Sri Sadhana, Rambut Sadhana, Dewi Danu, atau Dewa Ayu Manik Galih. Di Sumatera Utara, sosok dan mitologi Dewi Sri muncul dalam cerita Daru Dayang. Adapun di Ende, Dewi Sri disebut juga sebagai Ine Pare atau Ine Mbu dan kisahnya hadir dalam kisah Bobi dan Nombi.
Dalam kultur Jawa, khususnya dalam mitologi Hindu-Jawa, Dewi Sri dipandang sebagai tokoh yang memancarkan sumber kehidupan. Bagi masyarakat Jawa dan Bali, tokoh ini identik dengan Dewi Bercocok Tanam atau dewi yang mengontrol bahan makanan di bumi sekaligus kematian. Itulah yang membuat Dewi Sri sering disebut sebagai Ibu Kehidupan. Dewi Sri juga dipandang sebagai Dewi Kesuburan, yang mempunyai sifat seperti Dewi Ibu.
Legenda Dewi Sri Dalam mitologi Jawa Timur
Salah satu versi cerita menggambarkan Dewi Sri sebagai seorang putri dari Kerajaan Purwacarita, yang memiliki saudara laki-laki bernama Sadana. Pada suatu hari, dua anak raja ini disihir oleh ibu tiri mereka. Sadana berubah menjadi seekor burung layang-layang, sementara Sri diubah menjadi ular sawah dan sering dihubungkan dengan tanaman padi. Ada p**a daerah lain yang memiliki versi berbeda, di mana Dewi Sri diceritakan sebagai istri Dewa Wisnu.
Menurut cerita ini, padi dan tanaman-tanaman lain seperti pohon aren, pohon kelapa, buah-buahan, serta ubi, berasal dari jasad Dewi Sri.
Dewi Sri meninggal karena dirongrong oleh raksasa bernama Kala Gumarang yang berwatak keras hati. Setelah meninggal, Kala Gumarang menjelma menjadi rumput liar yang selalu mengganggu tanaman padi (jelmaan Dewi Sri).
Dewi Sri Dalam mitologi Sunda
Dari salah satu versi cerita di Jawa Barat, sosok Dewi Sri disebut sebagai dewi kesuburan yang lahir dari kesedihan. Dewi Sri lahir dari telur yang asalnya dari air mata Dewa Anta, dewa berwujud naga yang merasa kodratnya hina hingga menitikkan air mata. Air mata itu yang kemudian menjadi sejumlah telur, yang salah satunya pecah dan lahir bayi perempuan yang dinamai Dewi Sri Pohaci.
Dewi Sri Pohaci dibesarkan oleh Dewi Uma, permaisuri Batara Guru, yang menguasai kemegahan langit. Ketika dewasa, kecantikan Dewi Sri Pohaci menarik perhatian Batara Guru hingga ingin menyetubuhinya.
Pada awalnya, Dewi Sri Pohaci menolak untuk disetubuhi ayah angkatnya sendiri. Namun, karena terus-menerus dipaksa, ia mau asal diberi buah-buahan yang diidam-idamkan. Sejak mengidamkan buah-buahan itu, Dewi Sri Pohaci tidak lagi punya selera makan hingga badannya menjadi semakin lemah.
Ketika Batara Guru tidak berhasil mendapatkan buah idaman itu, Dewi Sri Pohaci akhirnya mati. Namun, kematiannya memberikan kehidupan dan kesuburan bagi para petani. Pasalnya, dari kepalanya tumbuh pohon kelapa, pusarnya tumbuh tanaman padi, vaginanya tumbuh pohon aren, dan dari dadanya tumbuh pohon pepaya. Sedangkan dari rambutnya muncul rerumputan, tangannya tumbuh mangga dan dari kakinya tumbuh buah-buahan pendam seperti ubi dan ketela.
Referensi :
Nastiti, T**i Surti. (2020). Dewi Sri dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia. Tumotowa, 3 (1), 1-12.

GALUH PURBA: Kerajaan Purba dari Lereng Gunung Slamet yang Menjadi Induk Raja-Raja di Tanah JawaDi balik kemegahan sejar...
17/02/2025

GALUH PURBA: Kerajaan Purba dari Lereng Gunung Slamet yang Menjadi Induk Raja-Raja di Tanah Jawa
Di balik kemegahan sejarah kerajaan-kerajaan besar di Nusantara, terdapat sebuah kerajaan purba yang sering terlupakan namun memiliki peran signifikan dalam pembentukan peradaban di Pulau Jawa. Kerajaan ini adalah Galuh Purba, yang diperkirakan berdiri pada abad ke-1 Masehi di lereng Gunung Slamet.
Berdasarkan catatan sejarawan Belanda, W.J. van der Meulen, dalam bukunya “Indonesia di Ambang Sejarah” (1988), kerajaan ini dianggap sebagai induk dari banyak kerajaan di Tanah Jawa.
Asal Usul Kerajaan Galuh Purba
Galuh Purba didirikan oleh sekelompok pendatang dari Kutai, Kalimantan Timur, pada zaman pra-Hindu, sebelum terbentuknya Kerajaan Kutai Kertanegara. Para pendatang ini tiba di Pulau Jawa melalui Cirebon, lalu berpencar ke berbagai wilayah pedalaman seperti Gunung Cermai, Gunung Slamet, dan Lembah Sungai Serayu. Di sekitar Gunung Slamet, mereka berinteraksi dengan penduduk lokal dan mendirikan Kerajaan Galuh Purba.
Kerajaan Galuh Purba berkembang menjadi kerajaan besar yang disegani di Pulau Jawa. Menurut Van der Meulen, hingga abad ke-6 Masehi, wilayah kekuasaannya meliputi daerah yang luas, seperti Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Bumiayu, Banyumas, Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen, Kedu, Kulonprogo, dan Purwodadi. Wilayah yang sangat luas ini menjadi saksi kejayaan Kerajaan Galuh Purba sebelum akhirnya mengalami kemunduran.
Kemunduran Kerajaan Galuh Purba
Pamor Kerajaan Galuh Purba mulai meredup seiring dengan kebangkitan Dinasti Syailendra di Pulau Jawa. Prasasti Bogor mencatat bahwa pada masa itu, eksistensi Kerajaan Galuh Purba mulai tergeser oleh munculnya kerajaan-kerajaan baru di berbagai pelosok Jawa. Meskipun mengalami kemunduran, banyak kerajaan dan kadipaten di Jawa yang masih mengidentifikasi diri dengan nama "Galuh", menunjukkan pengaruh mendalam dari kerajaan ini.
Beberapa kerajaan yang menggunakan nama Galuh antara lain Kerajaan Galuh Rahyang di Brebes, Galuh Kalangon di Brebes, Galuh Lalean di Cilacap, Galuh Tanduran di Pananjung, dan Galuh Kumara di Tegal. Kerajaan-kerajaan ini memiliki wilayah kekuasaan dan ibu kota yang berbeda, namun semuanya mengacu pada akar sejarah yang sama, yakni Kerajaan Galuh Purba. Ada p**a Galuh Pataka di Nanggalacah, Galuh Nagara Tengah di Cineam, Galuh Imbanagara di Barunay, dan Galuh Kalingga di Bojong.
Transformasi Menjadi Galuh Kawali
Pada abad ke-6, Kerajaan Galuh Purba memindahkan pusat pemerintahannya ke Kawali, dekat Garut, dan mengganti namanya menjadi Galuh Kawali. Pada masa yang sama, muncul kerajaan-kerajaan besar lainnya di Jawa, seperti Kerajaan Kalingga di timur dan Kerajaan Tarumanegara di barat. Persaingan antara kerajaan-kerajaan ini semakin memperlemah posisi Galuh Purba.
Namun, saat Purnawarman, Raja Tarumanegara, turun tahta dan digantikan oleh Raja Candrawarman, Kerajaan Galuh Kawali mengalami kebangkitan kembali. Pada masa pemerintahan Raja Tarusbawa Wretikandayun, Raja Galuh Kawali menyatakan kemerdekaannya dari Tarumanegara, dan dengan dukungan dari Kerajaan Kalingga, kerajaan ini kembali mengubah namanya menjadi Kerajaan Galuh dengan pusat pemerintahan di Banjar Pataruman. Kerajaan Galuh inilah yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan Pajajaran, yang terkenal dalam sejarah Sunda.
Dinasti Sanjaya dan Pengaruh Kerajaan Galuh Purba
Salah satu dampak penting dari Kerajaan Galuh Purba adalah munculnya Dinasti Sanjaya, hasil dari perkawinan antara bangsawan dari Kerajaan Galuh, Kalingga, dan Tarumanegara. Dinasti ini kelak melahirkan raja-raja besar di Tanah Jawa, memperkuat argumen bahwa Galuh Purba adalah induk dari banyak kerajaan di Nusantara.
E.M. Uhlenbeck dalam bukunya “A Critical Survey of Studies on the Languages of Java and Madura” (1964) juga menguatkan teori ini dengan kajian linguistiknya. Uhlenbeck menyebutkan bahwa bahasa Banyumasan, yang dituturkan di wilayah sekitar Gunung Slamet, memiliki usia lebih tua dibandingkan sub-bahasa Jawa lainnya. Bahasa ini diyakini sebagai bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kerajaan Galuh Purba, menandakan bahwa peradaban Galuh Purba sudah mapan sebelum kerajaan-kerajaan besar lainnya muncul di Jawa.
Galuh Purba dalam Sejarah dan Legenda
Jejak kejayaan Kerajaan Galuh Purba masih dapat ditemukan di berbagai wilayah di sekitar Gunung Slamet, terutama melalui toponimi dan situs-situs sejarah yang berkaitan dengan kerajaan tersebut. Misalnya, Sungai Ideng yang berarti “hitam” dalam Bahasa Sunda, Sungai Kahuripan yang berarti “hidup”, serta legenda-legenda tentang tokoh-tokoh dari Kerajaan Pajajaran yang menyepi ke wilayah Panginyongan di sekitar Gunung Slamet.
Salah satu tokoh terkenal adalah Syekh Jambu Karang, pendiri Perdikan Cahyana dan leluhur Wong Purbalingga, yang dikenal sebagai Pangeran Raden Mundingwangi dari Kerajaan Pajajaran. Petilasannya di Gunung Ardi Lawet, Desa Panusupan, Kecamatan Rembang, hingga kini masih dianggap sebagai tempat keramat.
Selain itu, kompleks Goa Lawa di Purbalingga (Golaga), Desa Siwarak, Kecamatan Karangreja, juga dianggap memiliki hubungan dengan Kerajaan Pajajaran. Di sini terdapat tumpukan batu yang dipercaya sebagai tempat pertapaan Prabu Siliwangi dan Gua Ratu Ayu, yang dihuni oleh dua putri Prabu Siliwangi, Endang Murdiningsih dan Endang Murdaningrum, yang ditemani oleh tiga ekor harimau berwarna hitam, putih, dan kuning.
Warisan Abadi Kerajaan Galuh Purba
Peninggalan sejarah dan legenda yang mengaitkan wilayah Gunung Slamet dengan tokoh-tokoh Pajajaran menunjukkan adanya hubungan erat antara wilayah ini dengan kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Mereka datang ke wilayah Bumi Panginyongan bukan tanpa alasan, melainkan sebagai bentuk “p**ang kampung” ke tanah leluhur mereka. Analisis Van der Meulen mungkin benar bahwa Kerajaan Galuh Purba di Lereng Gunung Slamet adalah induk dari kerajaan-kerajaan besar yang ada di Tanah Jawa.
Dengan demikian, Kerajaan Galuh Purba bukan hanya sebuah kerajaan tua yang terlupakan, tetapi juga memiliki peran penting dalam membentuk sejarah dan peradaban di Nusantara. Warisannya masih terasa hingga kini, terutama melalui bahasa, legenda, dan toponimi yang menunjukkan akar sejarah yang mendalam di tanah Jawa. Gunung Slamet dan sekitarnya bukan sekadar lanskap alam, tetapi juga simbol dari peradaban purba yang menjadi fondasi bagi kemunculan kerajaan-kerajaan besar di Nusantara.

PENDIRI KERAJAAN NGAYOGYAKARTA HADININGRATBeliau dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubumi, Beliau adalah Pendiri Keraj...
16/02/2025

PENDIRI KERAJAAN NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Beliau dikenal dengan sebutan Pangeran Mangkubumi, Beliau adalah Pendiri Kerajaan Yogyakarta. Nama kecil Beliau adalah Bendara Raden Mas Sujana. Beliau adalah Sri Sultan Hamengku Buwana I yang merupakan putra dari Sunan Amangkurat IV dari istri selirnya yang bernama Mas Ayu Tejawati. Beliau dikenal sebagai sosok peletak dasar budaya Mataram yang memberi warna dan corak serta ruh bagi lingkungan kraton dan masyarakat Yogyakarta pada umumnya.

Bendara Raden Mas Sujana dikenal sangat capat dalam olah keprajuritan, Beliau mahir berkuda serta memainkan senjata, Beliau juga dikenal sangat taat beribadah dan menjunjung tinggi nilai-nilai Budaya Jawa. Tahun 1746 Pangeran Mangkubumi mengangkat senjata melawan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Pangeran Mangkubumi memiliki pengikut sebanyak 3000 prajurit, dan jumlah tersebut terus meningkat di tahun 1747 hingga 13000 prajurit, dari jumlah tersebut terdapat 2500 prajurit-prajurit adalah prajurit berkuda.

Tahun 1740 merupakan masa yang berat di bumi Mataram karena pada masa tersebut pemberontakan merajalela, mulai dari Geger Pacina yang dipimpin oleh Sunan Kuning dibantu oleh Pangeran Sambernyawa hingga gerakan-gerakan sporadic yang dipimpin oleh Pangeran Sambernyawa sendiri pada hari-hari berikutnya sehingga menyebabkan Keraton harus berpindah dari Kartasura tanggal 17 Februari 1745.

Dalam upaya memadamkan pemberontakan Pangeran Sambernyawa, Raja Mataram saat itu yaitu Susuhunan Paku Buwana II mengadakan sayembara yang disambut dan dimenangkan oleh Pangeran Mangkubumi. Upaya Pangeran Mangkubumi untuk mengurangi pengaruh VOC di bumi Mataram melakukan pengendalian masyarakat khususnya di daerah pesisir utara Jawa, namun upaya tersebut gagal karena adanya penghianatan dan kecurangan yang dilakukan oleh Patih Pringgalaya yang didukung VOC, sehingga upaya yang dilaksanakan oleh Pangeran Mangkubumi tersebut menemui jalan buntu.

Berdasarkan pengalaman tersebut, Pangeran Mangkubumi kemudian memutuskan keluar dari istana dan mulai melakukan serangan terbuka kepada VOC. Keputusan tersebut mendapat dukungan dari Pangeran Sambernyawa, akhirnya Pangeran Mangkubumi bersama Pangeran Sambernyawa berhasil membebaskan beberapa daerah dari cengkraman VOC.

Gagalnya VOC menghadapi perjuangan Pangeran Mangkubumi berakibat mundurnya Gubernur Jawa Utara Baron Van Hohendroff dari jabatannya, di lain daerah Gubernur Jenderal Baron Van Imhoff yang berkedudukan di Batavia juga terkena dampaknya merasakan tekanan atas kekalahan tersebut, Baron Van Imhoff kemudian jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia. Sepeninggal Gubernur Jawa Utara yang berkedudukan di Semarang akhirnya digantikan oleh gubernur baru yaitu Nicholas Hartingh.

Tanggal 23 September 1754 diadakan pertemuan antara Nicholas Hartingh dengan Pangeran Mangkubumi. Pada pertemuan tersbut diperoleh kesepakatan yang menjadi bagian dari rancangan awal terjadinya peristiwa yang disebut Palihan Nagari. Hasil kesepakatan tersebut akhirnya diserahkan kepada Sultan Paku Buwana III dan disepakati oleh Sultan Paku Buwana III pada tanggal 4 November 1754. Butir-butir kesepakatan tersebut akhirnya dituangkan dalam Naskah Perjanjian Giyanti. Pada tanggal 13 Februari 1755 akhirnya resmi ditandatangani oleh pihak-pihak terkait.

Setelah resmi ditandatangani Naskah Perjanjian Giyanti tersebut akhirnya hal itu menjadi babak awal berdirinya Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat. Tanggal 13 Maret 1755 atau bertepatan dengan tanggal 29 Jumadilawal 1680 Pangeran Mangkubumi dinobatkan sebagai Raja Pertama Ngayogyakarta Hadiningrat dengan gelar Sri Sultan Hamengku Buwana I.

Magelang, 11 Februari 2025

Bigar Rahasia Siswa
Dosen & Sekretaris Umum Yayasan Patrap Senopati Kotagede

Ramaikan tertib
16/02/2025

Ramaikan tertib

BUBARNYA KERAJAAN MELAYU DHARMASRAYASetelah Sriwijaya dikalahkan Bangsa Tamil dari Chola. Kemudian munculah Kerajaan Dha...
15/02/2025

BUBARNYA KERAJAAN MELAYU DHARMASRAYA

Setelah Sriwijaya dikalahkan Bangsa Tamil dari Chola. Kemudian munculah Kerajaan Dharmasraya sebagai pelanjut. Kerajaan ini menurut sejarawan namanya Malayapura, sementara Dharmasraya sendiri adalah nama ibu kotanya. Dahulu Nama Negara kadang juga dinamai dengan nama Ibu Kotanya.

Pada tahun 1275, Jawa melalui Kerajaan Singasari melakukan invasi (Ekspedisi Pa Malayu/Ekspedisi Penjajahan Melayu) ke Dharmasraya. Misi ini beraakhir dengan keberhasilan sehingga 2 Putri Raja Melayu dari Dharmasraya dijadikan wanita persembahan kepada Raja Singasari, namun Raja Singasari menolak mengawininya dan diberikan kepada menantu dan Panglima Perangya. Kedua perempuan itu adalah Dara Petak dan Dara Jingga.

Ketika Singsari Runtuh, Dharmasraya memerdekakan diri dari Jawa, akan tetapi Majapahit melakukan invasi ke daerah itu, invasi dipimpin oleh Adityawarman. Kelak Adityawarman menyandang sebagai Raja Seluruh Sumatra wakil Jawa Majapahit.

Pada tahun 1347 masehi atau 1267 saka, Adityawarman memproklamirkan dirinya sebagai Maharajadiraja dengan gelar Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Mauli Warmadewa dan menamakan kerajaannya dengan nama Malayapura. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Melayu sebelumnya, dan memindahkan ibu kotanya dari Dharmasraya ke daerah pedalaman (Pagaruyung atau Suruaso). Tahun ini oleh sejarawan dianggap sebagai tahun tamatnya Kerajaan Melayu Dharmasraya. Kerajaan Malayapura kedua ini kelak lebih dikenal dengan nama Pagaruyung, karena Ibukotanya bernama Pagaruyung.

CC: Sejarah Cirebon

Point tgl 17 feb 2025 magelang
15/02/2025

Point tgl 17 feb 2025 magelang

Besok bolo wonosbo gemplag
15/02/2025

Besok bolo wonosbo gemplag

MENGAPA INDONESIA, KENAPA BUKAN JAWANESIA SAJA ?Menengok negara tetangga kita, nama negaranya biasanya diambil dari Suku...
15/02/2025

MENGAPA INDONESIA, KENAPA BUKAN JAWANESIA SAJA ?

Menengok negara tetangga kita, nama negaranya biasanya diambil dari Suku Bangsa dominan yang menguasi Negara, Thaliand dinamakan demikian karena Negara itu dikuasi dan diperintah oleh orang Thai, Malaysia, karena negara tersbeut diperintah oleh orang-orang Malaya (Semananjung), begitupun dengan Vietnam, Burma, Kamboja, Laos dan banyak lagi negara lainnya, dinamai sesuai oleh siapa yang mayoritas.

Lalu mengapa orang Jawa yang sebagai mayoritas malah memilih nama Indonesia, bukan Jawanesia ?

Sebetulnya bukan hanya mengalah soal nama Negara, orang Jawa yang mayoritas juga mengalah soal bahasa Nasional. Dan masih banyak hal-hal lain yang dikorbankan orang Jawa demi tegaknya Negara Indonesia.

Selama berabad-abad, mulai dari Mataram Kuno- Hingga Kesultanan Mataram, orang Jawa telah terbiasa memerintah suku bangsa tetangganya.

Ide-ide persatuan orang Jawa telah tertanam sejak dulu, maka tidak usah heran orang Jawa lebih mementingkan persatuan ketimbang nafsu kesukuan. Sebab dengan ide kesatuan itu pada hakekatnya orang Jawa akan dapat mencaplok wilayah yang lebih luas ketimbang ngotot mempertahankan ide kesukuan.

Bahwa terkadang ; untuk mendapatkan yang lebih banyak orang Jawa harus mengorbankan yang sepele.

Mungkin bagi suku bangsa yang kebanyakan omong kosong dan gaya, hal yang sepele itu dianggap harga diri dan kehebatan, tapi bagi orang Jawa itu hanya sekdear lelucon saja.

Jatilan kreasi minggu besok
15/02/2025

Jatilan kreasi minggu besok

16 besok gaes
15/02/2025

16 besok gaes

Ralat jd tgl 15 gaess
14/02/2025

Ralat jd tgl 15 gaess

Address

Banyumas

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Kesenian Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share