Cerita Dongeng Indonesia

Cerita Dongeng Indonesia Cerita Dongeng Indonesia adalah Wahana Edukasi dan Hiburan Kumpulan Dongeng, Fabel, Hikayat, Pendidikan Karakter PAUD Taman Kanak-Kanak dan Budaya.
(61)

Cerita Dongeng Indonesia adalah wahana Edukasi, Kumpulan Dongeng, Fabel, Hikayat Indonesia Lengkap, Pendikan karakter PAUD dan Taman Kanak-kanak. Dan semua yang berkaitan dengan : Pendongeng, Pendongeng Indonesia, Pendongeng Jenaka, Pendongeng Ekspresif, Pendongeng Enerjik, Pendongeng Musikal, Pendongeng Nasional, Pendongeng Kondang, Pendongeng di Jakarta, MC untuk acara anak, konsep mendongeng, teknik mendongeng, teknik bercerita,

Dua Katak dan Juru Masak  Di sebuah rawa yang tenang, di bawah sinar matahari pagi yang mulai menghangatkan permukaan ai...
17/12/2024

Dua Katak dan Juru Masak

Di sebuah rawa yang tenang, di bawah sinar matahari pagi yang mulai menghangatkan permukaan air, hiduplah dua ekor katak. Rawa itu adalah surga kecil bagi mereka—tempat berlompatan, berenang, dan bermain sepanjang hari. Mereka merasa hidup mereka begitu sempurna, jauh dari bahaya dan masalah. Namun, suatu hari, ketenangan itu berubah menjadi petaka yang tak terduga. Sebuah tangan besar tiba-tiba menyambar tubuh mungil mereka, dan dalam sekejap, dunia mereka yang luas berubah menjadi kegelapan yang pekat. Siapa sangka, dua katak itu akan segera belajar pelajaran hidup yang berharga tentang perubahan, kenyamanan, dan keberanian untuk bertindak.

Kedua katak itu ditempatkan di dalam keranjang besar di dapur seorang juru masak. Mereka saling memandang dengan ketakutan. Katak pertama melirik ke arah katak kedua.

“Apa yang terjadi? Di mana kita ini?” tanya katak pertama, tubuhnya masih gemetar.

“Aku tidak tahu,” jawab katak kedua dengan nada cemas. “Tapi aku yakin ini bukan rawa kita lagi.”

Tak lama kemudian, juru masak datang sambil membawa sebuah panci besar berisi air mendidih. Uap panas menyembur ke udara, membuat katak pertama semakin panik.

“Apa itu?” seru katak pertama sambil mencoba melompat-lompat di dalam keranjang.

“Tenang, mungkin dia hanya ingin memandikan kita,” jawab katak kedua, berusaha menenangkan diri meskipun hatinya ikut berdebar.

Namun, juru masak tidak peduli dengan percakapan dua katak itu. Ia mengambil katak pertama dan langsung memasukkannya ke dalam air mendidih. Seketika, katak pertama merasakan panas yang membakar tubuhnya.

“Aaaaaaah! Panas! Panas sekali!” teriak katak pertama sambil melompat keluar dari panci dengan cepat. Ia mendarat di lantai dapur dan segera melarikan diri melalui celah pintu.

Juru masak memandang panci kosong itu dengan wajah kecewa. “Hmm, lincah sekali kau, katak,” gumamnya. “Tapi aku tidak akan kalah.”

Melihat katak pertama melarikan diri, katak kedua mulai merasa sedikit lega. “Sepertinya aku beruntung,” bisiknya pelan.

Namun, juru masak tidak menyerah. Dengan tatapan licik, ia membuang air mendidih dari panci dan menggantinya dengan air dingin. “Kali ini kau takkan bisa lari,” katanya sambil mengambil katak kedua.

Katak kedua diletakkan perlahan ke dalam panci yang berisi air dingin. “Hah, air ini nyaman sekali,” katanya sambil berenang ke sana kemari. “Mungkin ini adalah mandi yang dijanjikan temanku tadi.”

Juru masak tersenyum puas. Ia menaruh panci itu di atas kompor, menyalakan api kecil, lalu pergi meninggalkan panci tersebut.

Awalnya, katak kedua menikmati air di dalam panci. “Ah, betapa nyamannya. Aku bisa tinggal di sini selamanya,” katanya sambil memejamkan mata. Namun, perlahan-lahan, suhu air mulai meningkat.

Katak itu membuka matanya. “Hmm, kenapa air ini jadi agak hangat?” gumamnya. Tapi ia segera mengabaikan perasaan itu. “Ah, sedikit hangat tidak apa-apa. Ini malah lebih nyaman daripada tadi.”

Beberapa menit berlalu, dan suhu air semakin naik. Katak mulai merasa tidak nyaman, tapi ia terus menenangkan dirinya sendiri. “Aku sudah terbiasa di sini. Sedikit panas ini pasti akan berlalu. Aku hanya perlu menyesuaikan diri.”

Api semakin besar, suhu air terus meningkat. Katak mulai kelelahan, napasnya tersengal-sengal. “Kenapa rasanya semakin berat?” bisiknya lemah. “Tapi aku bisa bertahan. Aku kuat. Tidak perlu melompat keluar.”

Namun, ketika suhu air mencapai titik didih, semuanya sudah terlambat. Katak itu merasa tubuhnya lemas, dan tak ada tenaga lagi untuk melompat keluar. Dengan napas terakhirnya, ia menyadari satu hal. “Aku… terlalu nyaman… dan terlalu lambat untuk bertindak.”

Beberapa saat kemudian, juru masak datang dan menemukan katak sudah tak bergerak. “Akhirnya, berhasil,” katanya sambil tertawa kecil.

Pesan Moral :

Apa yang membunuh katak kedua bukanlah air mendidih, melainkan ketidakmampuannya untuk memutuskan kapan harus bertindak dan keluar dari situasi yang berbahaya.

Dalam hidup, perubahan sering terjadi secara perlahan dan tak terlihat. Jangan terjebak dalam zona nyaman hingga lupa membaca tanda-tanda bahaya di sekeliling kita. Beranilah keluar dari situasi yang buruk, jangan menunda keputusan penting, dan teruslah belajar serta beradaptasi. Ingat, yang bertahan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling mampu merespons perubahan dengan cepat dan bijak.

17/12/2024

Putri Cantik dan Ibu Tiri Pendengki

Menggunakan roti sihir dengan dalih hadiah, seorang ibu tiri yang jahat berusaha memisahkan sang putri dengan sang pangeran.

Alue Naga Cerita Rakyat Dari AcehDahulu di tanah Aceh, hidup seorang sultan yang bernama Meurah. Sultan tersebut terkena...
16/12/2024

Alue Naga
Cerita Rakyat Dari Aceh

Dahulu di tanah Aceh, hidup seorang sultan yang bernama Meurah. Sultan tersebut terkenal baik dan bijak. Ia juga seringkali berkeliling berkunjung ke pedesaan untuk mendengar keluh kesah rakyat yang jauh dari jangkauannya.

Kali ini, ketika kunjungan dilakukan, rakyat di suatu desa di Aceh mengeluh tentang hewan ternaknya yang tiba–tiba saja hilang.

Salah satu warga berkata, “Sultan, sapi saya hilang tadi dini hari. Kemarin juga 2 kambing tetangga saya hilang entah kemana”.

Selain keluhan tersebut, warga lain yang juga ada di kerumunan mengaku sering merasakan gempa. Menurutnya, gempa yang dirasakan berasal dari sebuah bukit. Sultan pun akhirnya memerintahkan sahabatnya yaitu Renggali untuk mencari tahu keluhan masyarakat tersebut.

Renggali sendiri adalah anak Sultan Alam. Mendengar dirinya mendapat perintah, Renggali segera bergegas menuju puncak bukit. Sesampainya di sana, ia melihat ada genangan air yang sangat luas.

Kemudian suara menggelegar yang meminta maaf terdengar memekakkan telinga.

“Ku mohon, maafkan aku!”

Bersamaan dengan suara itu, gempa terjadi. Renggali tentu mencari sumber suara itu. Ternyata, ia melihat seekor naga besar yang tertutup Semak belukar. Renggali sangat terkejut.

“Siapa kamu?” tanya Renggali.

“Aku adalah naga yang dahulu merupakan sahabat dari ayahmu” ungkap sang naga.

Naga tersebut juga meminta kepada Renggali agar Sultan Alam dipanggilnya. Namun ayah dari Renggali tersebut sudah tiada.

Mendengar permintaan sang naga, Renggali pulang dan menceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Akhirnya, Sultan Meurah mencoba mencari tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Sultan Meurah menemui sang naga dan bertanya. “Apa yang sebenarnya membuatmu lumpuh?”

Ya, naga tersebut lumpuh dan tidak bisa berjalan. Sang naga pun mengatakan apa yang sebenarnya terjadi.

“Dulu, hamba diperintah oleh Sultan Alam untuk mengantar pedang ke sahabatnya. Sahabatnya tersebut adalah Tuan Tapa dan Raja Linge. Sebagai ganti atas kerja hamba, Tuan Tapa memberi 6 ekor kerbau. Sementara Raja Linge, ia ingin menemui Sultan Alam. Raja Linge yang memiliki keinginan tersebut pun pergi bersama hamba menemui Sultan Alam dengan 2 anak buahnya.”

“Di perjalanan, hamba tergiur untuk memakan 2 ekor kerbau. Hamba pun memfitnah satu anak buah dari Raja Linge. Raja Linge pun membunuh anak buahnya itu. Lalu hamba memakan dua ekor kerbau lagi dan memfitnah satu anak buah Raja Linge yang tersisa dan Raja Linge lagi – lagi membunuhnya. Sebenarnya hamba merasa bersalah.” Cerita naga sambil terisak.

Naga melanjutkan, “Hamba masih makan dua ekor lagi dan Raja Linge tersadar bahwa hamba yang memakannya. Raja Linge yang tahu pun menusukkan pedangnya kepada hamba sampai membuat hamba lumpuh seperti sekarang. Untuk bertahan hidup, aku sering memakan hewan warga yang melintas di sekitar tempatku berada. Tapi sungguh, atas kesalahan hamba, hamba sangat menyesal”.

Mendengar pengakuan tersebut, Sultan Meurah dan Renggali mencabut pedang yang selama ini membuat naga lumpuh. Setelah pedang tersebut lepas, sang naga diminta untuk kembali ke tempatnya berasal yaitu di laut.

Sambil menangis, naga itu pun menggeser tubuhnya mengikuti perintah dan secara perlahan bergerak menuju laut.

Dari sana terbentuk sebuah sungai kecil karena pergerakan naga tersebut dan pada akhirnya sungai kecil tersebut dinamakan sebagai Sungai Alue Naga.

Pesan Moral :

Bersikap jujur dan ksatria atas kesalahan adalah hal yang perlu dilakukan manusia, jangan mengkambing hitamkan orang lain atas kesalahan kita karena sikap tersebut hanya menimbulkan petaka untuk diri kita sendiri.

16/12/2024

Pembuat Sepatu dan Kurcaci
Tiga kurcaci baik hati berkelana untuk misi mulia. Mereka membuat tukang sepatu tua bingung karena ulahnya.

Nelayan Tua dan Orang KotaLangit sore di pantai begitu indah, memancarkan semburat jingga keemasan yang menari di atas o...
16/12/2024

Nelayan Tua dan Orang Kota

Langit sore di pantai begitu indah, memancarkan semburat jingga keemasan yang menari di atas ombak. Seorang manajer muda dari kota, berpakaian rapi dengan jam tangan mahal di pergelangan tangannya, berjalan santai menyusuri pantai, menikmati liburannya. Di kejauhan, ia melihat seorang nelayan tua dengan keranjang penuh ikan segar. Pemandangan itu membuatnya penasaran, bagaimana mungkin seseorang hidup sederhana di tengah kemewahan potensi yang ia lihat? Dengan rasa ingin tahu yang besar, ia menghampiri nelayan tersebut.

“Selamat sore pak, jika boleh tahu untuk menangkap hasil ikan sebanyak ini bapak butuh waktu berapa lama?” Tanya si manager kepada nelayan yang di temuinya.

“Setiap hari saya melaut sekitar 5 jam.” jawab nelayan itu dengan ramah.

“Apakah penghasilan dari bapak melaut, cukup untuk menghidupi kehidupan dan kebutuhan bapak sekeluarga? Dan jika boleh tahu sudah berapa lama Bapak menjadi nelayan?” Kembali si Manajer bertanya.

“Sangat cukup untuk menghidupi kebutuhan saya dan biaya sekolah anak-anak saya. Saya sudah menjadi nelayan sudah lama, ya sejak saya masih remaja.” jawab si nelayan.

Si Manajer mengangguk-anguk. Lalu dia berkata perlahan. ”Pak, apakah bapak bersedia jika saya beri saran?”

“Oh boleh tentu saja.” Jawab si Nelayan.

“Agar Bapak bisa hidup enak dimasa depan, saya sarankan Bapak meningkatkan waktu melaut Bapak menjadi 10 jam setiap hari, dengan demikian Bapak memiliki penghasilan dua kali lipat dari saat ini. Namun jangan gunakan pengasilan tambahan Bapak untuk hidup sehari-hari, tabung dan investasikan uang tersebut untuk membeli perahu baru. Dalam waktu 5 tahun, seharusnya Bapak sudah akan memliki perahu baru yang bisa Bapak sewakan. Pengasilan Bapakpun akan bertambah lebih besar. Selanjutnya penghasilan yang lebih besar ini Bapak tabung kembali sehingga 5 tahun kemudian Bapak akan memiliki 4 perahu. Dengan hasil tangkapan ikan dari 4 perahu, Bapak bisa menjual langsung ke pasar ikan, tanpa harus menjual ke tengkulak, maka penghasilan Bapak akan lebih besar. Dalam waktu 10 tahun Bapak akan memiliki minimal 10 perahu dan bisa mendirikan koperasi sendiri untuk hasil tangkapan ikan dari perahu-perahu yang Bapak miliki.”

Si nelayan mendengar dengan seksama penjelasan dari si manager.

”Jadi setiap hari saya harus bekerja 10 jam yah?”

“Itu untuk 5 tahu pertama, jika sudah memiliki perahu tambahan dan menjual ikan langsung ke pasar, mungkin waktu bekerja Bapak setiap hari bisa 11 sampai 14 jam.” ucap si Manager yang senang karena pendapatnya mendapat tanggapan dari si nelayan.

“Jika sudah memiliki banyak perahu dan koperasi, lalu apalagi keuntungannya.” Kembali si nelayan bertanya.

“Inilah tujuan akhirnya, setelah itu ya kurang lebih 20 tahun dari sekarang, Bapak dapat menunjuk professional seperti saya untuk menjalankan bisnis Bapak. Jadi Bapak tidak perlu bekerja penuh setiap hari, cukup meluangkan waktu kurang dari 5 jam sehari untuk memeriksa bisnis Bapak. Sisa waktunya bisa Bapak nikmati untuk keluarga, untuk beribadah, untuk menikmati hobby dan juga berolahraga untuk kesehatan Bapak.” Ucap sang Manajer.

Si Nelayan tersenyum. ”Jika tujuan akhirnya adalah itu, maka saat ini saya sudah dapatkan, saat ini saya memiliki waktu untuk mengantar anak saya sekolah, menemani mereka, menemani istri saya mengurus rumah, saya juga punya waktu untuk hobi, juga untuk beribadah dan berolahraga untuk menjaga kesehatan saya.”

Setelah berbicara demikian si nelayan merapikan ikan hasil tangkapannya dan pergi meninggalkan si manager yang terdiam seorang diri.

Pesan Moral:
Penulis Eva Nurhayati
Editor Edi Warsono

Kebahagiaan tidak selalu berasal dari kesuksesan yang diukur dengan materi. Kadang, kebahagiaan ada dalam hal-hal kecil seperti waktu bersama keluarga, kesehatan, dan rasa syukur. Jangan memaksakan ukuran kebahagiaan kita kepada orang lain, karena setiap orang memiliki cara mereka sendiri untuk merasa cukup dan bahagia. Luangkan waktu untuk menikmati apa yang penting dalam hidup, karena itulah kebahagiaan sejati.

16/12/2024

Putri dan Biji Kejahatan Peri Hitam
Petualangan sang putri untuk mematahkan sumber kekuatan peri jahat.

Petani dan Tetangga Serakah Di sebuah desa yang indah di bawah kaki bukit, hidup seorang petani yang jujur dan pekerja k...
16/12/2024

Petani dan Tetangga Serakah

Di sebuah desa yang indah di bawah kaki bukit, hidup seorang petani yang jujur dan pekerja keras. Setiap hari, ia merawat ladangnya dengan penuh kasih, berharap hasil panennya akan mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun, kemarau panjang melanda desa itu, membuat tanahnya mengering. Dengan tekad yang kuat, petani itu memutuskan untuk mencari sumber air agar tanaman di ladangnya tetap hidup. Perjalanan inilah yang membawa petani pada sebuah sumur yang dimiliki oleh tetangganya yang terkenal licik.

Suatu pagi, petani itu mendatangi rumah tetangganya. “Tetangga, aku mendengar kau memiliki sebuah sumur yang tak terpakai. Aku ingin membelinya untuk mengairi ladangku,” katanya dengan penuh harap.

Tetangganya tersenyum licik, “Tentu, aku akan menjual sumur itu padamu. Tetapi, pastikan kau membayar dengan harga yang pantas.”

Setelah mereka sepakat, petani menyerahkan uangnya, dan sumur itu menjadi miliknya. Keesokan harinya, dengan hati gembira, petani itu membawa ember untuk mengambil air dari sumur yang baru saja dibelinya. Namun, saat hendak menimba air, tetangganya muncul dan menghalanginya.

“Hentikan! Kau tidak boleh mengambil air dari sumur itu!” seru tetangga dengan nada tajam.

Petani terkejut. “Apa maksudmu? Aku sudah membeli sumur ini darimu!”

Tetangga itu menyeringai, “Kau memang membeli sumurnya, tapi aku tidak menjual airnya. Air itu masih milikku.”

Merasa dipermainkan, petani itu tidak ingin bertengkar. Dengan hati berat, ia pergi ke istana untuk mengadukan masalahnya kepada Kaisar. Setelah mendengar cerita petani, Kaisar tersenyum tipis dan berkata, “Aku tahu siapa yang bisa menyelesaikan masalah ini. Panggil Birbal!”

Tak lama kemudian, Birbal, penasihat yang terkenal bijak dan cerdik, datang menghadap. “Yang Mulia, apa yang bisa saya bantu?” tanyanya.

Kaisar menjelaskan masalah petani dan meminta Birbal untuk memberikan keputusan yang adil. Birbal mengangguk dan berkata, “Bawa tetangga petani itu ke sini.”

Ketika tetangga itu tiba, Birbal langsung bertanya, “Benarkah kau menjual sumur ini kepada petani?”

Tetangga itu mengangguk. “Benar, saya menjual sumurnya, tetapi bukan air di dalamnya. Air itu tetap milik saya.”

Birbal tersenyum tipis. “Baiklah, jika air di dalam sumur itu milikmu, maka kau tidak punya hak untuk menyimpannya di sumur petani. Kau harus membayar sewa kepada petani untuk setiap hari airmu berada di sumurnya, atau segera angkat semua air itu keluar dari sumur.”

Tetangga itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Ia menyadari bahwa ia telah terjebak oleh kata-katanya sendiri. Namun, ia terlalu angkuh untuk mengakui kekeliruannya. Untuk menutup rasa malunya, dengan nada tinggi ia berkata, “Baik, sekarang juga aku akan memindahkan air itu!.”

Birbal tersenyum. “Silahkan, nanti akan saya lihat pekerjaanmu, sebaiknya kau selesaikan masalah airmu itu. Upayakan dalam satu hari sudah kau pindahkan semua, atau kau kami jerat dengan tuduhan pelanggaran hukum kerajaan” katanya sambil menatap Kaisar yang mengangguk setuju.

Akhirnya, tetangga itu kembali ke sumur dan mulai mengambil airnya. Ia membawa ember demi ember, bertekad memindahkan seluruh air dari sumur itu.

Namun, semakin ia mengambil air, semakin deras air keluar dari dalam sumur. Ia mulai lelah, tangannya gemetar, tapi air di sumur tidak kunjung habis.

“Bagaimana ini bisa terjadi?” gumam tetangga itu sambil mengelap keringatnya. “Aku sudah mengangkat begitu banyak air, tapi sumur ini seperti tak pernah kering!”

Petani yang menyaksikan dari kejauhan hanya menggelengkan kepala. “Air itu adalah anugerah alam. Tak mungkin kau bisa menguasainya,” katanya dengan nada lembut.

Tetangga itu akhirnya menyerah. Ia menjatuhkan embernya ke tanah dan duduk terengah-engah di tepi sumur. Dengan wajah penuh rasa malu, ia mendatangi petani. “Aku menyerah. Aku tidak bisa memindahkan air ini. Maafkan aku atas keserakahanku,” katanya penuh penyesalan.

Birbal yang datang kemudian menatapnya dengan tajam. “Kau telah belajar bahwa keserakahan hanya akan membawa penderitaan. Mulai sekarang, bersikaplah jujur dan adil.”

Tetangga itu mengangguk dengan kepala tertunduk. Ia pun menyerahkan sumur beserta airnya kepada petani tanpa syarat.

Pesan Moral :
Penulis Eva Nurhayati

Keserakahan dan egoisme hanya akan membawa kerugian. Alam tidak bisa dimiliki sepenuhnya, dan kejujuran adalah jalan terbaik untuk hidup dalam harmoni.

Kebijaksanaan dan keadilan akan selalu mengalahkan keserakahan. Jangan pernah mencoba menipu orang lain, karena kebenaran akan selalu menemukan jalannya.

Si Bodoh Membeli SepatuPada suatu pagi yang cerah di Kerajaan Entah Lahya, pasar mulai dipenuhi oleh orang-orang yang be...
16/12/2024

Si Bodoh Membeli Sepatu

Pada suatu pagi yang cerah di Kerajaan Entah Lahya, pasar mulai dipenuhi oleh orang-orang yang bersemangat mencari kebutuhan mereka. Penjual berteriak menawarkan barang dagangan, sementara pembeli sibuk tawar-menawar. Di tengah keramaian, seorang lelaki muda yang terkenal bodoh di kampungnya sedang bersiap pergi ke pasar untuk membeli sepasang sepatu baru.

“Bu, aku ingin membeli sepatu baru hari ini,” kata anak itu sambil merapikan pakaian lusuhnya.

Sang ibu, yang sedang menenun di sudut rumah, menatap anaknya dengan penuh kasih tetapi juga sedikit ragu. “Baiklah, Nak. Tapi pastikan sepatu itu pas dengan kakimu. Jangan sampai salah ukuran,” katanya.

“Tenang, Bu! Aku sudah punya cara untuk memastikan ukurannya benar!” seru anak itu dengan percaya diri.

Ia lalu mengambil penggaris dan kertas. Dengan serius, ia mengukur panjang kakinya, mencatat angka-angka di atas kertas kecil itu, dan menyimpannya ke dalam sakunya.

“Sekarang aku siap,” katanya dengan penuh semangat.

Sesampainya di pasar, anak itu langsung menuju sebuah toko sepatu yang terkenal ramai. Penjual sepatu menyambutnya dengan ramah.

“Selamat pagi! Apa yang kau cari, Nak?” tanya si penjual.

“Aku ingin membeli sepasang sepatu. Tunggu sebentar, aku akan melihat catatan ukurannya,” kata anak itu sambil merogoh sakunya.

Namun, wajahnya tiba-tiba berubah pucat. “Oh tidak! Kertas ukuranku tertinggal di rumah!” serunya panik.

Karena tidak ketemu, akhirnya ia memutuskan untuk mengambilnya di rumah.

"Aku harus kembali ke rumah untuk mengambil catatan ukurannya. Tolong jangan tutup tokonya sampai aku kembali!” katanya sambil berlari keluar dari toko.

Penjual hanya bisa menghela napas sambil mengangkat bahu. “Aneh sekali anak itu,” gumamnya.

Setibanya di rumah, anak itu langsung mencari kertas catatan ukurannya di atas meja. “Aha! Ketemu!” katanya dengan lega. Ia langsung berlari kembali ke pasar secepat mungkin.

Namun, saat tiba di toko sepatu, ia mendapati toko itu telah tutup. Ia terpaku di depan pintu yang terkunci, matanya membelalak penuh penyesalan.

“Tidak mungkin! Aku sudah berlari secepat mungkin,” keluhnya sambil memukul-mukul kepalanya.

Saat ia termenung di depan toko, seorang pedagang buah yang kebetulan lewat menatapnya dengan heran. “Hei, ada apa? Kau terlihat sangat kesal,” tanya pedagang itu.

“Aku ingin membeli sepatu, tapi kertas ukuranku tertinggal di rumah. Saat aku kembali ke sini, toko sudah tutup,” jawab anak itu dengan suara lesu.

Pedagang itu tertawa kecil. “Tunggu, kau ingin membeli sepatu untuk siapa?”

“Untuk diriku sendiri, tentu saja!” jawab anak itu dengan nada bingung.

Pedagang itu semakin geli. “Kalau begitu, mengapa kau tidak mencoba sepatu itu langsung di sini? Bukankah kau membawa kakimu ke mana pun kau pergi?”

Anak itu terdiam, matanya melebar seolah baru saja menyadari sesuatu. Ia menepuk dahinya keras-keras. “Oh, benar juga! Mengapa aku tidak memikirkan itu sebelumnya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Pedagang buah hanya menggeleng sambil tersenyum. “Kadang kita terlalu rumit berpikir hingga melupakan hal yang sederhana. Lain kali, gunakan akalmu, Nak.”

Anak itu kembali pulang dengan tangan kosong dan pelajaran besar yang terpatri di hatinya.

Pesan Moral :
Penulis Eva Nurhayati

Kecerdikan sering kali terletak pada solusi yang sederhana. Jangan membuat sesuatu menjadi lebih sulit dari yang sebenarnya. Kadang-kadang, jawaban terbaik sudah ada di depan mata kita.

Ular dan Petani TuaPagi itu, mentari baru saja mengintip di balik pepohonan hutan. Suara burung-burung bernyanyi mencipt...
16/12/2024

Ular dan Petani Tua

Pagi itu, mentari baru saja mengintip di balik pepohonan hutan. Suara burung-burung bernyanyi menciptakan harmoni indah, namun di tengah suasana damai itu, terdengar suara rintihan pelan dari balik semak-semak. Seorang Petani Tua yang sedang berjalan santai sambil memunguti ranting kering menghentikan langkahnya. Ia penasaran dengan suara tersebut.

“Ada apa di sana?” gumamnya sambil mendekati semak itu dengan hati-hati.

Di balik semak, ia melihat seekor ular besar dengan tubuh panjang berwarna hijau keemasan. Namun, tubuh ular itu terjepit di bawah batu besar. Ular tampak kesakitan, lidahnya menjulur-julur dengan nafas yang berat.

“Tolooong… tolong aku…” suara ular terdengar lirih.

Laki-laki itu tertegun. Ia ragu sejenak, karena tahu ular adalah hewan berbahaya. Namun, hatinya tak tega melihat makhluk itu kesakitan.

“Bagaimana kau bisa seperti ini?” tanyanya.

“Aku tergelincir saat melintas di sini dan batu ini jatuh menimpa tubuhku. Aku tidak bisa bergerak,” jelas ular dengan nada memelas. “Kumohon, tolong aku. Jika tidak, aku akan mati di sini.”

Laki-laki itu menghela napas. “Baiklah. Aku akan membantumu, tapi jangan sakiti aku setelah aku menolongmu.”

“Tidak akan, aku berjanji,” kata ular meyakinkan.

Dengan susah payah, laki-laki itu mengangkat batu besar yang menjepit tubuh ular. Setelah beberapa menit berjuang, akhirnya batu itu berhasil dipindahkan.

“Akhirnya! Kau bebas sekarang,” kata laki-laki itu sambil tersenyum lega.

Namun, yang terjadi berikutnya membuatnya terkejut. Ular itu dengan cepat melilit tubuh laki-laki itu erat-erat, matanya menatap tajam penuh nafsu.

“Sekarang aku lapar. Kau adalah makananku,” desis ular.

“Tunggu! Apa yang kau lakukan? Bukankah aku yang menyelamatkanmu?” seru laki-laki itu sambil berusaha melepaskan lilitan ular.

“Aku tidak peduli. Aku hanya mengikuti naluriku. Kau adalah santapan yang pas untukku,” jawab ular tanpa rasa bersalah.

Laki-laki itu berpikir cepat. “Kalau begitu, biarkan aku bertanya dulu kepada makhluk lain. Apakah pantas kau memakan seseorang yang telah menolongmu?”

Ular terdiam sejenak. “Baiklah, tapi jangan coba-coba melarikan diri,” ancamnya.

Mereka berjalan bersama hingga bertemu seekor hyena yang sedang mencari makan di hutan. Laki-laki itu segera menjelaskan situasinya.

“Hyena, menurutmu, apakah pantas ular ini memangsaku setelah aku menyelamatkannya dari impitan batu?” tanyanya dengan nada penuh harap.

Hyena berpikir sejenak. Ia juga sedang lapar dan berharap bisa berbagi mangsa dengan si ular.

“Hmm, ular memang harus makan untuk bertahan hidup. Aku rasa tidak ada salahnya dia memangsamu,” katanya sambil menyeringai.

Mendengar itu, ular semakin mengeratkan lilitannya. “Dengar itu! Bahkan hyena setuju denganku.”

“Tunggu dulu!” seru laki-laki dengan putus asa. “Kita tanyakan lagi pada makhluk lain. Mungkin ada yang lebih bijaksana darinya.”

Ular mendengus, tetapi setuju. Mereka berjalan lagi hingga bertemu seekor serigala yang sedang duduk di atas batu.

“Serigala,” kata laki-laki, “aku memerlukan pendapatmu. Apakah pantas seekor ular memakan seseorang yang baru saja menolongnya?”

Serigala memiringkan kepalanya. “Aku sulit percaya ular bisa terjepit batu. Ceritamu aneh. Bisa kau tunjukkan bagaimana itu terjadi?”

“Benar! Aku bisa menunjukkan,” kata laki-laki dengan cepat.

Mereka bertiga berjalan kembali ke tempat semula. Serigala melihat batu besar dan berkata, “Ular, tunjukkan pada kami bagaimana posisi tubuhmu saat terjepit tadi.”

Ular yang percaya diri segera merayap kembali ke bawah batu. “Begini,” katanya sambil melingkarkan tubuhnya di tempat semula.

Laki-laki segera mendorong batu kembali ke posisi semula, menjepit tubuh ular seperti sebelumnya. Ular melolong keras, tak berdaya lagi.

“Lepaskan aku! Kalian sudah melihat bagaimana aku terjepit!” jerit ular.

Petani tua beranjak hendak mengangkat batu itu. Serigala menggeleng sambil tersenyum. “Jangan lepaskan dia,” katanya kepada laki-laki.

“Tapi, dia kesakitan,” balas laki-laki, merasa bimbang.

“Jika kau melepaskannya lagi, dia hanya akan memangsamu. Ular yang tidak tahu berterima kasih seperti dia pantas mendapat balasannya,” kata serigala tegas.

Laki-laki akhirnya mengangguk. Mereka meninggalkan ular di bawah batu itu, kembali terjepit seperti sebelumnya.

Dari kejauhan, serigala berbisik, “Ingatlah, manusia. Tidak semua makhluk pantas kau tolong, terutama mereka yang tidak tahu berterima kasih.”

Pesan Moral :
Penulis Eva Nurhayati

Selalu berhati-hati dalam memberikan pertolongan. Jangan lupa untuk belajar mengenali siapa yang tulus dan siapa yang hanya memanfaatkan kebaikanmu. Berbuat baiklah, tetapi jangan lupa menjaga diri sendiri.

Singa dan SerigalaDi sebuah pagi yang cerah, hutan tengah bersenandung dengan suara burung-burung dan gemerisik dedaunan...
16/12/2024

Singa dan Serigala

Di sebuah pagi yang cerah, hutan tengah bersenandung dengan suara burung-burung dan gemerisik dedaunan. Di tengah ketenangan itu, dua sosok penghuni hutan berjalan berdampingan: seekor singa gagah dengan surai yang berkilau keemasan dan seekor serigala abu-abu yang tampak cerdik.

“Singa, raja hutan,” pikir sang singa sambil menegakkan kepalanya. Namun, ada sesuatu yang mengusik pikirannya. Ia berhenti berjalan dan menoleh pada serigala.

“Serigala,” tanya singa dengan suara beratnya, “menurutmu, pantaskah aku menyandang gelar raja hutan? Aku adalah yang paling kuat, kan?”

Serigala tersenyum tipis, lalu menjawab dengan nada hati-hati, “Tuan Singa, kau memang kuat, sangat kuat. Tapi…”

“Tapi apa?!” potong singa, menggeram kecil karena tidak s**a ragu-ragu.

“Maaf, Tuan. Meski kau kuat, ada makhluk yang lebih kuat darimu,” kata serigala dengan sopan.

Singa terkejut. “Siapa? Harimau? Gajah? Atau beruang?” tanyanya sambil menatap serigala tajam.

“Bukan mereka, Tuan. Makhluk itu adalah manusia,” jawab serigala.

Singa tertawa terbahak-bahak. “Manusia? Kau bercanda, Serigala! Mereka bahkan tidak punya cakar atau gigi tajam. Bagaimana bisa mereka lebih kuat dariku?”

“Manusia memang tidak sekuat tubuhmu, tapi mereka memiliki otak yang luar biasa. Kekuatan mereka berasal dari kecerdasan, bukan hanya otot,” jelas serigala.

“Buktikan itu padaku!” tantang singa.

“Baiklah, Tuan. Ikuti aku,” kata serigala sambil mengajak singa berjalan menuju tebing di tepi jalan yang sering dilewati manusia.

Keduanya bersembunyi di balik semak-semak di atas tebing. Mereka menunggu dalam diam, memperhatikan jalan setapak di bawah mereka.

Tak lama kemudian, seorang anak kecil lewat sambil membawa keranjang kecil penuh buah-buahan.

“Apakah itu manusia yang kuat yang kau maksud?” tanya singa dengan nada mengejek.

Serigala menggeleng. “Bukan, Tuan. Dia masih kecil, masih harus belajar banyak hal. Kekuatan sejatinya belum muncul.”

Beberapa saat kemudian, seorang kakek tua berjalan perlahan dengan tongkat kayu.

“Lalu, apakah itu manusia yang kuat?” tanya singa lagi, mulai kehilangan kesabaran.

“Bukan juga, Tuan. Dia sudah melewati masa kejayaannya. Usianya terlalu tua untuk menjadi ancaman bagimu,” jawab serigala tenang.

Singa mulai ragu. “Kau bermain-main denganku, Serigala?”

“Tidak, Tuan. Bersabarlah,” jawab serigala sambil mengintip lebih jauh ke jalan.

Akhirnya, seorang pemuda berbadan tegap muncul, membawa busur dan panah. Sepuluh ekor anjing pemburu berjalan di sisinya, mengikuti dengan setia.

“Itu dia, Tuan. Lihatlah manusia sejati dengan kekuatannya,” kata serigala.

Singa memperhatikan pemuda itu dengan seksama. “Dia tidak terlihat menakutkan. Aku akan membuktikan bahwa aku masih raja hutan!”

Singa melompat turun dari tebing dengan auman yang menggema. Anjing-anjing pemburu langsung menyerang singa dari berbagai arah. Singa melawan dengan gagah berani. Satu per satu anjing berhasil dilumpuhkan.

Namun, pemuda itu dengan sigap mengambil busurnya. Sebuah anak panah melesat dan mengenai kaki singa. Singa meraung kesakitan, tetapi ia tetap berdiri. Pemuda itu kemudian mengeluarkan obor kecil dari kantungnya, mengayunkannya ke arah singa.

“Api!” teriak singa dalam hati. Ia mundur ketakutan, namun pemuda itu tidak berhenti. Dengan pisau tajam di tangannya, ia menyerang singa, membuat beberapa luka di tubuhnya.

Singa akhirnya melarikan diri dengan tubuh terluka parah. Ia naik kembali ke tebing, di mana serigala menunggunya.

“Nah, Tuan. Bagaimana pendapatmu sekarang?” tanya serigala dengan suara lembut.

Singa terdiam, napasnya tersengal-sengal. “Aku tidak menyangka. Dia memang lebih kuat dariku. Manusia tidak hanya punya kekuatan, tetapi juga kecerdikan dan alat-alat yang membuat mereka tak terkalahkan.”

“Betul, Tuan. Itulah manusia. Mereka mungkin terlihat lemah, tetapi kecerdasan mereka membuat mereka menjadi raja sejati,” kata serigala bijak.

Singa mengangguk pelan. “Biarlah manusia menjadi raja hutan. Aku tidak ingin lagi meremehkan kekuatan mereka.”

Pesan Moral :

Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling kuat karena kecerdasannya. Namun, kekuatan itu sebaiknya digunakan untuk menjaga keseimbangan alam, bukan untuk merusaknya. Jangan pernah meremehkan orang lain, karena setiap makhluk memiliki kelebihan masing-masing.

Address

Jalan R. Hamara Efendi No. 24
Banjar
46322

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Dongeng Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Cerita Dongeng Indonesia:

Videos

Share


Other Digital creator in Banjar

Show All