12/08/2021
Strategi Kekuatan Besar Baru Amerika Serikat
Selama Perang Dingin (Cold War), strategi besar Amerika Serikat (AS) difokuskan untuk menahan kekuatan Uni Soviet. Namun kebangkitan China dewasa ini mengharuskan Amerika Serikat dan sekutunya mengembangkan strategi yang tidak mencari kemenangan total atas ancaman eksistensial, melainkan kompetisi terkelola yang memungkinkan kerja sama dan persaingan dalam sistem berbasis aturan.
Selama empat dekade Perang Dingin, Amerika Serikat (AS) memiliki strategi besar yang difokuskan untuk menahan kekuatan Uni Soviet. Namun pada 1990-an, setelah runtuhnya Uni Soviet, Amerika Serikat telah kehilangan bintang kutub (pole star) itu.
Setelah serangan teroris 11 September 2001, pemerintahan Presiden AS George W. Bush mencoba mengisi kekosongan dengan strategi yang disebutnya perang global melawan teror. Tetapi pendekatan itu memberikan panduan yang samar-samar dan menyebabkan perang panjang seperti di Afghanistan dan Irak. Baru pada 2017, AS kembali ke “great-power competition”(persaingan kekuatan besar) kali ini dengan China.
Dalam persaingan kekuatan besar ini, strategi besar AS memiliki keuntungan dengan berfokus pada ancaman terhadap keamanan, ekonomi, dan nilai-nilai AS. Sementara terorisme adalah masalah berkelanjutan yang harus ditangani dengan oleh AS meski ancamannya lebih kecil daripada kekuatan besar.
Terorisme seperti jujitsu, di mana musuh yang lemah mengubah kekuatan pemain yang lebih besar melawan dirinya sendiri. Sementara serangan 9/11 menewaskan lebih dari 2.600 orang di AS, “perang tanpa akhir” yang dilancarkan AS sebagai tanggapan atas serangan itu menelan lebih banyak nyawa, serta triliunan dolar. Sementara pemerintahan Presiden Barack Obama mencoba berporos ke Asia, kawasan ekonomi dunia yang tumbuh paling cepat keluar dari warisan perang global melawan teror yang membuat AS terperosok di Timur Tengah.
Strategi persaingan kekuatan besar dapat membantu Amerika Serikat kembali fokus; tetapi memiliki dua masalah. Pertama, ia menyatukan jenis-jenis keadaan yang sangat berbeda. Rusia adalah kekuatan yang menurun dan China adalah kekuatan yang sedang bangkit. AS harus menghadapi ancaman unik yang ditimbulkan oleh Rusia. Seperti dalam kasus menjelang Perang Dunia Pertama (WWI) pada tahun 1914, di mana kekuatan Austria-Hongaria yang sedang menurun justeru menjadi pihak yang paling siap untuk konflik
Demikian p**a dengan Rusia daat ini yang sedang menurun baik penurunan demografis maupun ekonomi, namun tetap mempertahankan sumber daya yang sangat besar yang dapat digunakan sebagai spoiler dalam segala hal mulai dari kontrol senjata nuklir, konflik dunia maya hingga Timur Tengah. Oleh karena itu, AS perlu sebuah strategi agar Rusia tidak bersekutu dengan China.
Masalah kedua adalah konsep persaingan kekuatan besar memberikan peringatan yang tidak memadai terhadap jenis ancaman baru dihadapi. Keamanan nasional dan agenda politik global telah berubah sejak tahun 1914 dan 1945 namun strategi AS saat ini kurang mencermati ancaman baru dari globalisasi ekologis. Perubahan iklim global akan menelan biaya triliunan dolar dan dapat menyebabkan kerusakan dalam skala perang; pandemi Covid-19 telah membunuh lebih banyak orang Amerika Serikat daripada semua perang di negara itu bila digabungkan sejak 1945.
Namun, strategi AS saat ini menghasilkan anggaran Pentagon yang lebih dari 100 kali lipat dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, dan 25 kali lipat dari National Institutes of Health. Mantan Menteri Keuangan AS Lawrence H. Summers dan ekonom lainnya baru-baru ini menyerukan pembentukan Dana Ancaman Kesehatan Global tahunan senilai US$10 miliar, yang “sangat kecil dibandingkan dengan US$10 triliun yang telah dikeluarkan pemerintah dalam krisis Covid-19.”
Sementara itu, pembuat kebijakan AS sedang memperdebatkan bagaimana menghadapi China. Beberapa politisi dan analis menyebut situasi saat ini sebagai New Cold War (Perang Dingin baru) dengan memasukkan China ke dalam kerangka ideologis ini - yang dianggap gambaran yang salah sebagai tantangan strategis nyata yang dihadapi Amerika Serikat.
AS dan Uni Soviet memiliki sedikit perdagangan bilateral atau kontak sosial, sedangkan Amerika Serikat dan sekutunya banyak berdagang dengan China dan menerima beberapa ratus ribu mahasiswa China ke universitas mereka. Presiden China Xi Jinping bukanlah Stalin, dan sistem China bukanlah Marxis-Leninis tetapi “Leninis pasar” suatu bentuk kapitalisme negara yang didasarkan pada gabungan perusahaan publik dan swasta yang tunduk pada elit partai.
Selain itu, China sekarang menjadi mitra dagang terbesar bagi lebih banyak negara daripada AS. Amerika Serikat dapat memisahkan risiko keamanan seperti Huawei dari jaringan telekomunikasi 5G-nya, tetapi mencoba membatasi semua perdagangan dengan China akan terlalu mahal. Dan bahkan jika saling ketergantungan ekonomi dapat dipisahkan, kita tidak dapat memisahkan ketergantungan ekologis yang mematuhi hukum biologi dan fisika, bukan politik.
Karena AS tidak dapat mengatasi perubahan iklim atau pandemi sendirian, ia harus menyadari bahwa beberapa bentuk kekuatan harus dijalankan dengan yang lain. Mengatasi masalah global ini akan membutuhkan AS untuk bekerja dengan China pada saat yang sama bersaing dengan angkatan lautnya untuk mempertahankan kebebasan navigasi di Laut China Selatan. Jika China mengaitkan masalah dan menolak untuk bekerja sama, itu akan merugikan dirinya sendiri.
Strategi persaingan kekuatan besar yang baik membutuhkan penilaian bersih yang cermat. Meremehkan melahirkan kepuasan, sementara melebih-lebihkan menciptakan ketakutan. Keduanya dapat menyebabkan salah perhitungan.
China adalah ekonomi terbesar kedua di dunia, dan PDB-nya (dengan nilai tukar pasar) dapat melampaui AS pada tahun 2030-an. Tetapi meskipun demikian, pendapatan per kapita China tetap kurang dari seperempat pendapatan per kapita AS, dan negara itu menghadapi sejumlah masalah ekonomi, demografi, dan politik. Tingkat pertumbuhan ekonominya melambat, jumlah angkatan kerjanya mencapai puncaknya pada tahun 2011, dan memiliki sedikit sekutu politik. Jika AS, Jepang, dan Eropa mengoordinasikan kebijakan mereka, mereka masih akan mewakili bagian terbesar dari ekonomi global dan akan memiliki kapasitas untuk mengatur tatanan internasional berbasis aturan yang mampu membentuk perilaku China. Aliansi itu adalah inti dari strategi untuk mengelola kebangkitan China.
Seperti yang dikatakan mantan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, tujuan persaingan kekuatan besar dengan China bukanlah kemenangan total atas ancaman eksistensial, melainkan “persaingan strategis yang dikelola.” Itu akan membutuhkan AS dan sekutunya untuk menghindari menjelekkan China. Mereka malah harus melihat hubungan sebagai “persaingan kooperatif” yang membutuhkan perhatian yang sama untuk kedua sisi deskripsi pada waktu yang sama. Dalam hal itu, kita dapat mengatasinya dengan sukses, tetapi hanya jika kita menyadari bahwa ini bukan persaingan kekuatan besar abad 20. (Joseph s. Nye, Jr)
Sumber : nusantaranews.co