05/12/2024
“Selamat Tinggal, Sahabatku”
Di sebuah desa kecil, hidup seekor kucing jingga bernama Jibot. Ia adalah kucing ceria yang selalu terlihat berlarian di sekitar ladang dan bermain dengan hembusan angin. Namun, Jibot tak pernah sendiri. Selalu ada seekor kucing kecil berbulu cokelat belang dengan mata hijau memukau yang menemaninya. Ia adalah sahabat Jibot, yang dipanggil Si Hijau.
Si Hijau adalah kucing yang pemalu dan rapuh. Ia ditemukan oleh Jibot saat sedang menggigil di tengah hujan deras, sendirian tanpa induk dan saudara. Sejak saat itu, Jibot merawatnya seperti adik sendiri. Jibot selalu mengajaknya bermain, berbagi makanan, dan menghangatkannya di malam-malam dingin. Mereka tak terpisahkan, seperti bayangan dan cahaya.
Namun, di balik keceriaan itu, Si Hijau menyimpan rahasia. Tubuhnya sering lemah, dan napasnya kadang terdengar berat. Jibot, dengan naluri keibuannya, selalu mengawasi Si Hijau dengan cermat. Jika Si Hijau tak mampu melompat setinggi biasanya, Jibot akan menghiburnya dengan mengendus-endus wajahnya, seolah berkata, “Tidak apa-apa, aku di sini.”
Suatu sore yang tenang, Jibot dan Si Hijau bersembunyi di balik rerumputan hijau. Si Hijau tampak lebih lemah dari biasanya, matanya yang hijau tampak redup. Ia hanya memandangi Jibot tanpa berkata apa-apa, seolah ingin mengucapkan sesuatu. Jibot mengeong pelan, mencoba mengajaknya bermain, tetapi Si Hijau tak bergerak. Ia hanya menundukkan kepala di atas rumput, matanya berkaca-kaca.
Malam itu, Si Hijau tak bisa bangun. Ia hanya berbaring di atas tumpukan kain yang dijadikan tempat tidur oleh pemilik mereka. Jibot mendekapnya sepanjang malam, menjilati bulu cokelatnya dengan lembut, berusaha memberinya kekuatan. Si Hijau menatap Jibot dengan tatapan penuh kasih, tetapi juga penuh kepasrahan.
Ketika fajar menyingsing, Jibot merasakan tubuh Si Hijau tak lagi bergerak. Udara pagi yang dingin menusuk kulitnya, namun Jibot tetap di sana, mendekap sahabatnya yang kini telah pergi. Mata hijau yang biasa memancarkan kehidupan kini tertutup untuk selamanya.
Hari-hari berikutnya, Jibot sering terlihat duduk sendirian di tempat favorit mereka, di balik rerumputan hijau. Ia menatap kosong ke arah ladang, seolah menunggu Si Hijau untuk kembali. Kadang-kadang, ia mengeong pelan, namun hanya kesunyian yang menjawab.
Meskipun Si Hijau telah pergi, cinta dan kenangan mereka tetap hidup di hati Jibot. Setiap langkah Jibot di ladang, setiap hembusan angin yang menyentuh wajahnya, selalu mengingatkannya pada sahabat kecilnya yang kini sudah di surga.
Dan di tengah rerumputan hijau tempat mereka biasa bermain, Jibot selalu mengingat pesan terakhir dari tatapan Si Hijau: “Terima kasih telah menjadi rumahku, sahabatku.”