05/12/2024
“Tuhan, Mengapa Mereka Pergi?”
Nina duduk di sudut kamarnya yang sunyi, memandang foto keluarganya yang berdebu. Ayah, Ibu, dan dirinya saat masih kecil, tersenyum hangat. Foto itu dulu membuatnya bahagia, tapi kini hanya menyisakan luka mendalam.
Hidup Nina berubah drastis beberapa bulan terakhir. Saat sedang mengandung anak pertamanya, ia mendengar kabar bahwa ayahnya jatuh sakit. Ia bergegas ke rumah orang tuanya, hanya untuk menyaksikan ayahnya terbaring lemah di ranjang.
“Maafkan Ayah, Nak. Ayah mungkin tidak bisa melihat cucu Ayah lahir,” bisik sang ayah, suaranya serak tapi penuh cinta.
“Jangan bicara seperti itu, Yah. Ayah harus kuat. Ayah harus lihat cucu Ayah nanti,” balas Nina sambil menggenggam tangan ayahnya erat-erat. Tapi beberapa hari kemudian, Tuhan memanggil ayahnya pulang.
Hari itu, Nina merasa sebagian jiwanya ikut terkubur bersama ayahnya. Tapi ia tahu, ia harus kuat. Untuk ibunya. Untuk bayinya.
Namun, tak lama setelah hari ke-40 meninggalnya ayah, ibunya mulai sering sakit-sakitan. “Ibu hanya rindu Ayah,” katanya setiap kali Nina memintanya untuk pergi ke dokter. Nina mencoba merawat ibunya, tapi kesedihan ibunya terlalu dalam.
Di malam yang sunyi, Nina menemukan ibunya duduk di kamar, memegang foto pernikahannya dengan ayah. "Nak, Ibu sudah tidak kuat. Ibu ingin bersama Ayah," katanya lirih.
“Ibu, jangan bicara seperti itu. Aku butuh Ibu. Anak ini butuh neneknya,” isak Nina sambil memeluk ibunya.
Tujuh hari kemudian, ibunya benar-benar pergi.
Kehilangan dua orang tua dalam waktu singkat membuat Nina seperti berjalan di atas pecahan kaca. Namun, dia berusaha bertahan, menguatkan dirinya untuk bayi yang ia kandung. "Kamu harus kuat, Nak. Ibu akan jadi segalanya untukmu," bisiknya pada perutnya yang membesar.
Saat akhirnya melahirkan, Nina berharap kebahagiaan baru akan menyembuhkan luka-lukanya. Tapi Tuhan punya rencana lain. Bayinya yang dinantikannya dengan penuh harapan hanya bertahan beberapa jam di dunia.
Dokter memberitahunya dengan suara lembut, tapi bagai petir di siang bolong, Nina tak bisa menerima kenyataan itu. Ia memeluk tubuh mungil bayinya yang dingin, menangis histeris hingga tak ada lagi air mata yang tersisa.
"Kenapa? Kenapa semuanya pergi? Apa salahku?" jerit Nina dalam hati, merasakan kehampaan yang tak terlukiskan.
Hari-hari berikutnya Nina seperti mayat hidup. Ia sering berbicara pada dinding, memanggil nama ayah, ibu, dan bayinya. Setiap malam ia memimpikan mereka tersenyum, memanggilnya untuk ikut bersama mereka.
Namun, di tengah kegilaan itu, ada satu mimpi yang mengubah segalanya. Ia melihat ayah, ibu, dan bayinya berdiri di taman yang penuh bunga, tersenyum padanya.
"Nak, hidupmu belum selesai. Kami bahagia di sini, tapi kamu harus melanjutkan hidupmu. Jangan sia-siakan kesempatan yang Tuhan berikan," kata ibunya sambil memeluknya dalam mimpi itu.
Pagi itu, Nina bangun dengan hati yang berat, tapi sedikit cahaya mulai masuk ke dalam hatinya. Ia tahu ia harus bangkit, meski rasa sakit itu akan selalu ada.
Ia mulai belajar menerima bahwa mereka semua telah pergi, tapi cinta mereka akan selalu ada dalam setiap detak jantungnya.