Carita bekeng ngakak

Carita bekeng ngakak umum

Tanggung jawab 🤧😫
09/03/2024

Tanggung jawab 🤧😫

ᵁᵐᵘʳ ⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ˢᵃʸᵃⁿᵍ ᶦᵇᵘᵁᵐᵘʳ ¹² ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴵᵇᵘ ᵏᵉᵗᶦⁿᵍᵍᵃˡᵃⁿ ᶻᵃᵐᵃⁿᵁᵐᵘʳ ¹⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ˢᵘᵈᵃʰ ᵇᵉˢᵃʳ ᶦᵇᵘᵁᵐᵘʳ ¹⁷ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ...
09/03/2024

ᵁᵐᵘʳ ⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ˢᵃʸᵃⁿᵍ ᶦᵇᵘ
ᵁᵐᵘʳ ¹² ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴵᵇᵘ ᵏᵉᵗᶦⁿᵍᵍᵃˡᵃⁿ ᶻᵃᵐᵃⁿ
ᵁᵐᵘʳ ¹⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ˢᵘᵈᵃʰ ᵇᵉˢᵃʳ ᶦᵇᵘ
ᵁᵐᵘʳ ¹⁷ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ᵐᵉᵐᵇᵉⁿᶜᶦ ᶦᵇᵘ
ᵁᵐᵘʳ ²⁰ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ᵗᶦᵈᵃᵏ ᵇᵘᵗᵘʰ ˢᵃʳᵃⁿ ᵐᵘ ᶦᵇᵘ
ᵁᵐᵘʳ ²⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴹᵘⁿᵍᵏᶦⁿ ᶦᵇᵘ ᵇᶦˢᵃ ᵐᵉᵐᵇᵃⁿᵗᵘ
ᵁᵐᵘʳ ³⁵ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ᶦⁿᵍᶦⁿ ᵐᵉⁿᵉᵐᵘᶦ ᶦᵇᵘ
ᵁᵐᵘʳ ⁵⁰ ᵗᵃʰᵘⁿ : ᴬᵏᵘ ʰᵃʳᵃᵖ ᶦᵇᵘ ᵐᵃˢᶦʰ ᵃᵈᵃ ᵈᶦ ˢᶦˢᶦ

"ᴾᵉʳⁿᵃʰᵏᵃʰ ᵏᶦᵗᵃ ⁿᵍᵒᵐᵉˡ ʷᵃᵏᵗᵘ ᶦᵃ ᶜᵉʳᵉʷᵉᵗ? ᴾᵉʳⁿᵃʰ!!
"ᴾᵉʳⁿᵃʰᵏᵃʰ ᵏᶦᵗᵃ ᶜᵘᵉᵏᶦⁿ ᵈᶦᵃ? ᴾᵉʳⁿᵃʰ!!
"ᴾᵉʳⁿᵃʰᵏᵃʰ ᵏᶦᵗᵃ ᵇᵉⁿᵗᵃᵏ ᵈᶦᵃ? ᴾᵉʳⁿᵃʰ!!
"ᴾᵉʳⁿᵃʰᵏᵃʰ ᵏᶦᵗᵃ ᵐᶦᵏᶦʳ ᵃᵖᵃ ʸᵃⁿᵍ ᶦᵃ ᵖᶦᵏᶦʳᵃⁿ? ᴳᵃᵏ ᵖᵉʳⁿᵃʰ!!

ˢᵉᵇᵉⁿᵃʳⁿʸᵃ ᵃᵖᵃ ʸᵃⁿᵍ ᶦᵃ ᵖᶦᵏᶦʳᵏᵃⁿ ᵃᵈᵃˡᵃʰ, ᵗᵃᵏᵘᵗ ᵍᵃᵏ ᵇᶦˢᵃ ˡᶦʰᵃᵗ ᵏᶦᵗᵃ ᵗᵉʳˢᵉⁿʸᵘᵐ, ⁿᵃⁿᵍᶦˢ, ᵗᵉʳᵗᵃʷᵃ, ᵈᵃⁿ ᵗᵃᵏᵘᵗ ᵍᵃᵏ ᵇᶦˢᵃ ⁿᵍᵃʲᵃʳ ᵏᶦᵗᵃ ˡᵃᵍᶦ ᵏᵃʳᵉⁿᵃ ʷᵃᵏᵗᵘ ʸᵃⁿᵍ ˢᶦⁿᵍᵏᵃᵗ.

ˢᵃᵃᵗ ᶦᵇᵘ ᵐᵉⁿᵘᵗᵘᵖ ᵐᵃᵗᵃ
ᴳᵃᵏ ᵃᵈᵃ ˡᵃᵍᶦ ʸᵃⁿᵍ ᶜᵉʳᵉʷᵉᵗ
ˢᵃᵃᵗ ᵏᶦᵗᵃ ᵐᵉⁿᵃⁿᵍᶦˢ ᵐᵉᵐᵃⁿᵍᵍᶦˡ-ᵐᵃⁿᵍᵍᶦˡ ᵈᶦᵃ!!
ᴬᵖᵃ ʸᵃⁿᵍ ᶦᵃ ᵇᵃˡᵃˢ??"

ᴰᶦᵃ ʰᵃⁿʸᵃ ᵇᵉʳᵇᵃʳᶦⁿᵍ ᵈᵃⁿ ʰᵃⁿʸᵃ ᵈᶦᵃᵐ.
ᵀᵃᵖᶦ ᵇᵃʸᵃⁿᵍᵃⁿⁿʸᵃ ᵗᵉᵗᵃᵖ ᵈᶦˢᵃᵐᵖᶦⁿᵍ ᵏᶦᵗᵃ ᵈᵃⁿ ᵇᵉʳᵏᵃᵗᵃ!!
ᴺᵃᵏ, ᵏᵃᵐᵘ ʲᵃⁿᵍᵃⁿ ⁿᵃⁿᵍᶦˢ ᶦᵇᵘ ᵐᵃˢᶦʰ ᵈᶦˢᶦⁿᶦ ᵈᶦʰᵃᵗᶦ ᵏᵉᶜᶦˡ ᵏᵃᵐᵘ ᶦᵇᵘ ˢᵃʸᵃⁿᵍ ᵏᵃᵐᵘ

ᴰᵒ'ᵃᵏᵘ

ʸᵃ ᴬˡˡᵃʰ, ʲᵃⁿᵍᵃⁿ ˢᵃᵐᵖᵃᶦ ˢᵉᵗᵉᵗᵉˢ ᵖᵘⁿ ᵃᵖᶦ ⁿᵉʳᵃᵏᵃ ᵐᵉⁿʸᵉⁿᵗᵘʰ ᵏᵘˡᶦᵗ ᵃʸᵃʰ ᵈᵃⁿ ᶦᵇᵘᵏᵘ

ʸᵃⁿᵍ ᵇᵃᶜᵃ ˢᵗᵃᵗᵘˢ ᶦⁿᶦ ˢᵉᵐᵒᵍᵃ ʸᵃ ᴬˡˡᵃʰ ᵖᵃⁿʲᵃⁿᵍᵏᵃⁿ ᵘᵐᵘʳ ᵃʸᵃʰ ᵈᵃⁿ ᶦᵇᵘ ᵏᶦᵗᵃ. ♡😭😧🥲😢

BANGKIT SETELAH DI GILIR 4 PRIA Part 5Penulis : Rafasya “Rustam, Rustam, bangun!” ujar Nilam, menggoyang-goyangkan bahu ...
09/03/2024

BANGKIT SETELAH DI GILIR 4 PRIA
Part 5

Penulis : Rafasya

“Rustam, Rustam, bangun!” ujar Nilam, menggoyang-goyangkan bahu Rustam yang masih tertidur.

“Aaaaaaaaaaaa! Lepas, lepaskan!” teriaknya dengan mata yang masih terpejam.

“Rustam bangun, hei, ini Ibu. Kau sedang bermimpi apa?”

Seketika mata Rustam terbuka, dia langsung terduduk, napasnya tersengal-sengal. Rustam memindai sekitar, ternyata sudah pagi.

Dia menarik napas panjang, “Syukurlah, aku hanya bermimpi.” gumamnya.

“Kau bermimpi apa, sampai teriak-teriak?” sambung Nilam.

Rustam mengingat-ingat mimpinya, entah mengapa ia bisa bermimpi seperti itu tentang Seruni. Rustam menatap lekat Nilam yang berdiri di sampingnya.

“Seruni di mana, Bu?“ tanya nya.

“Ada, Seruni sedang menyiapkan sarapan, kau bangunlah, lalu mandi. Tadi ibu kemari karena mendengar teriakanmu.” terang Nilam.

Rustam mengangguk, sebelumnya dia tidak pernah bermimpi buruk seperti itu mengenai Seruni, meskipun sejak kecil dia sangat membencinya.

Nilam keluar dari kamar Rustam, dia menghampiri Seruni yang sedang menata meja.

“Sudah siap, Run?” ujar Nilam.

“Sudah, Bu.”

Wahyudi datang entah dari mana, di tangannya membawa ayam hidup berwarna hitam pekat.

“Ayam siapa itu, Pak?”

Wahyudi tersenyum, “Oh ini, ayam dari Juragan Karta, dia memberiku sebagai upah kemarin.” jawab Wahyudi menyerahkan ayam itu kepada Nilam.

“Kita pelihara saja Lam, lumayan.”

“Iya, Pak. Lumayan.” Nilam mengambilnya.

Seruni memiringkan wajahnya melihat ayam cemani di dalam tangan Nilam. Matanya berkilat, seketika ayam itu bergerak berusaha melepaskan diri.

Krrkkk krrkkk!

“Eh, eh, kenapa dengan ayam ini?” pekik Nilam, dia sedikit kesusahan memegang ayam tersebut.

“Sepertinya dia lapar, Lam.”

“Iya sepertinya, sebentar, Pak. Aku akan menaruhnya di dalam kandang. Kebetulan ada kandang yang kosong di belakang.”

Wahyudi mengangguk, pandangan Seruni mengikuti gerakan Nilam. Dia membasahi bibirnya menggunakan ludah.

Mereka sarapan bersama, Rustam tak henti-hentinya melirik ke arah Seruni.

“Gadis itu terlihat baik-baik saja, Lalu kenapa aku bisa mimpi yang seram-seram tentangnya.” ucap Rustam dalam hati. Masih teringat mimpinya semalam, bagaimana wajah Seruni yang sangat menyeramkan.

Rustam memijat pelipis, mendadak selera makannya menguar.

“Kau kenapa Rustam? Ibu perhatikan sejak tadi dirimu gelisah? Kau kenapa?” Nilam menod**gnya dengan banyak pertanyaan.

Rustam terkesiap, dia menatap satu persatu mereka yang berada di meja makan.

“Bu, Pak. Sepertinya aku harus pergi untuk beberapa hari. Aku ada pekerjaan dan mengharuskan ku pergi luar kota. Aku mungkin akan menginap beberapa hari di sana.”

“Kapan kau akan berangkat?” tanya Nilam, tangannya sibuk mengambilkan lauk untuk suaminya.

“Siang ini.”

“Baiklah, jaga kesehatan mu nanti, makan dan tidur yang teratur.”

Rustam mengangguk, sedang Wahyudi berdiri dari tempat duduknya. Dia harus segera berangkat ke tempat Juragan Karta.

Sejak tadi Seruni hanya mengaduk-aduk makanannya saja, dia masih terbayang-bayang akan ayam tadi.

“Jika tidak dapat darah manusia, darah hewan pun tak apa, untuk mengganjal perutku yang haus akan darah.” lirihnya.

“Apa katamu Runi? Kau bilang apa?” tanya Nilam, dia kurang jelas mendengar apa yang di katakan Seruni, begitu pelan padahal mereka bersisian.

“Tidak ada, Bu. Apa siang ini aku akan mengantarkan makan siang untuk Bapak lagi?”

Nilam mengangguk, “Tentu, jika kau tidak keberatan.”

“Seruni tidak keberatan sama sekali.”

“Baiklah, seperti biasa, setelah mengantarkan makan siang. Kau harus segera pulang, jangan mampir kemana pun. Ibu sangat takut terjadi sesuatu padamu.”

“Iya, Bu. Seruni akan langsung pulang.”

***

Seruni mengantarkan makan siang kembali untuk Wahyudi, kali ini penampilannya lebih memukau dari sebelumnya.

Seruni berlenggak-lenggok bak model, seluruh mata tak lepas dari memandangnya. Seruni semakin cantik di balut kebaya hitam yang melekat di tubunya. Rambut hitam nan panjangnya tergerai indah.

“Kau mencari si Wahyudi lagi?” tanya pria paruh baya yang kemarin.

“Iya, Pak. Di mana bapakku itu?”

"Itu di sana. Dia sedang bicara dengan Den Bara.”

“Baiklah, terima kasih.” Rahayu menunduk, tanda berterima kasih pada pria di depannya.

Dia mulai berjalan mendekat ke arah Wahyudi dan seorang pemuda.

Bara Sadewa—putra dari Juragan Karta tertegun melihat kedatangan Seruni. Kata-kata pedas yang hendak dia lontarkan pada Wahyudi menjadi urung.

Bara menelis*k Seruni dari atas hingga bawah. Pertemuannya dengan Seruni membuatnya, tak bisa berkata-kata.

“Runi, kenapa kau kemari, kau bisa menunggu Bapak di sana.”

“Tidak apa-apa, Pak.”

“Maaf ya, Den Bara. Lain kali saya akan behati-hati dalam bekerja.”

Seruni menatap datar ke arah Bara, pemuda tampan berusia 25 tahun itu terus memandangnya. Sudut bibirnya terangkat saat melihat Seruni yang perlahan menjauh pergi bersama Wahyudi.

“Bos, kami sudah siap. Sam sudah berada di dalam mobil.” ujar Amat yang tiba-tiba saja datang.

“Pergilah!“ sahut Bara. Anak buahnya itu mengganggu saja. Tidak tau jika Bara sejak tadi terus memperhatikan Seruni.

“Gadis itu—” ucapan Amar menggantung.

“Ya, aku sudah tau.” jawab Bara, dia menyeringai.

“syukurlah jika kau sudah tau.”

“Pergilah, bawa barang-barang itu ke tempat yang sudah tertulis. Sebelum itu kalian cek, jangan sampai ada yang kurang bahkan lebih.”

“Baik, Bos.”

Amar segera pergi dari sana menghampiri kawannya—Sam.

“Kau memang sangat cantik, Seruni. Gadis sepertimu jarang ku temui.” gumam Bara.

***

Seruni mengendap-endap ke belakang rumahnya, dia menuju ke kandang ayam di mana ayam cemani itu berada. Air liurny terus menetes. Iblis di dalam tu buhnya sudah haus akan darah. Namun terikat dengan perjanjiannya pada Marsih. Saat waktunya tiba nanti, keempat pendosa itu akan menjadi santapannya.

Seruni membuka kandang ayam itu secara perlahan. Dia mengambil segera ayam cemani tersebut. Senyumnya merekah taring giginya seketika memanjang dengan cepat, bola matanya berubah menjadi merah.

Krrkkk krrkkk!

Ayam itu bergerak kesana kemari, seperti ketakutan akan kehadiran Seruni. Seruni mencengkram nya dengan kuat. Kuku-kukuby a yang panjang ia gunakan untuk memegang ayam itu agar tidak lepas.

Seruni sudah tak sabar, sehingga....

BRET!

Sekali gigitan leher ayam tersebut putus. Darah mengucur deras, senyum Seruni merekah, dia menjulurkan lidahnya menikmati setiap tetesan darah ayam cemani.

Di dalam kamarnya, Nilam merasa aneh, sejak tadi dia tidak mendengar suara geraman ayam yang terletak tak jauh dari kamarnya.

“Ah sudahlah, mungkin saja ayamnya sedang tidur.”

BRAK!

Nilam terkejut saat mendengar suara yang berasal dari belakang rumahnya. Dia segera turun dari ranjang, pergi keluar rumah untuk mengecek.

Seketika mata Nilam membulat, dia membekap mulutnya sendiri, melihat seonggok ayam cemani yang tergeletak tak berdaya kepala dan badannya seperti di putus dengan paksa.

“Astaga, kenapa bisa begini.”

Nilam bingung hendak mengatakan hal ini pada siapa, Rustam sedang pergi ke luar kota, sedangkan Wahyudi belum pulang.

“Runi, Seruni. Kemari Nak!“ tiba-tiba saja Nilam teringat akan Seruni. Hanya dia saja yang berada di rumah ini.

Seruni datang, dia bers*kap biasa saja.

“Ada apa, Bu?” tanya nya. Seperti tidak mengetahui apapun.

“Lihatlah!” tunjuk Nilam ke arah ayam yang tergeletak di tanah.

“Oh, astaga.” Seruni menunjukkan wajah keterkejutan nya.

“Siapa kiranya yang melakukan ini, ya, Run?”

“Iya, Bu. Tega sekali membu nuh ayam yang tidak berdosa.” Seruni menimpali.

Nilam bergeming. Sejak tadi dia tidak mendengar suara yang aneh-aneh. Untuk apa orang yang sudah melakukan hal itu. Jika mau ayamnya, kenapa tidak di bawa sekalian. Malah di biarkan dengan leher yang putus.

Nilam tak habis pikir. Dia melirik ke arah Seruni yang sedang memainkan rambutnya.

“Runi ....” panggulnya.

Seruni menoleh, Nilam berjalan mendekat ke arahnya. Kemudian menyeka sudut bibir Seruni.

“Apa ini? Seperti da rah?”

Nilam mencium noda di tangannya, seketika dia menjauhkan tangannya, bau amis darah membuatnya mual.

“Runi, katakan, kenapa bibirmu ada noda darah?!”

Nilam menatap Seruni dengan tatapan yang sulit di artikan.

______________

Penulis : Rafasya
Akun KBM : Rafasya
Judul : Bangkit dari kematian

Baca selengkapnya.....

https://read.kbm.id/book/read/acc2baa0-d113-45e2-8c60-98a0f9b6c8c6/4fbc9d6b-1c0c-400c-beb9-411230e5c6ef?af=1a428259-8624-4b37-b819-f55b4b6f254d

Sesuai profesi Yuk ambil 😊
07/03/2024

Sesuai profesi Yuk ambil 😊

😂😂😂
05/03/2024

😂😂😂

"Aku pamit, Mas. Maaf jika baktiku selama ini belum sanggup meluluhkan hatimu."***"Mulai malam ini aku membebaskanmu dar...
04/03/2024

"Aku pamit, Mas. Maaf jika baktiku selama ini belum sanggup meluluhkan hatimu."

***

"Mulai malam ini aku membebaskanmu dari tanggung jawab sebagai suamiku," ucapnya sambil menatap dalam mataku.

Aku menarik napas sedikit kesusahan dengan jantung yang mendadak berdegup kencang saat Najwa menggenapi kata-katanya.

Tidak! Aku bukan bersedih karena dia menginginkan perpisahan. Jelas bukan. Aku hanya sedang merasa terhina dengan permintaannya.

Jelas ini penghinaan besar untukku!

"Kau serius dengan ucapanmu, Najwa?" tanyaku mencoba tetap tenang meski ada yang terasa menggelegak dalam dada.

Dia mengangguk samar.

"Ya, aku serius," ucapnya dengan suara bergetar.

Wanita itu terlihat berjalan menuju ke arah lemari dan lantas mengambil satu persatu baju-baju miliknya. Dan seperti orang bodoh, aku hanya bisa berdiri menyaks*kan saat dirinya memasukkan baju-baju itu di dalam tas ransel yang tak seberapa besar.

Dia berjalan mendekatiku dan menatapku dengan serius saat mungkin merasa cukup dengan baju-baju yang akan dibawanya. Di dalam tas itu.

"Aku pamit, Mas. Maaf jika selama ini baktiku masih belum mampu meluluhkan hatimu. Maafkan aku juga kalau usahaku menjadi istri yang baik sama sekali tak ada artinya untukmu. Aku minta maaf," ucapnya dengan air mata yang perlahan menetes di p**i.

Aku mendengkus pelan. Merasa dia terlalu percaya diri saat memutuskan untuk pergi.

"Memangnya mau ke mana kau, ha?"

Dia diam tak menjawab. Dan aku yakin betul jika dia sendiri memang tak tahu arah tujuannya setelah pergi dari sini. Bukan apa-apa, kedua orang tuanya sudah berpulang setahun yang lalu, dan dia tak punya siapa-siapa selain ... Zhafira. Kakak yang hampir tak pernah menganggapnya seperti saudara.

Wait! Bukankah sebelum ini aku sedang bersiap-siap untuk bertemu dengan wanita itu?

Ck! Persetan lah. Urusan Najwa yang sekarang ini berubah jadi pembangkang lebih urgent dari segalanya.

Aku memang ingin pisah dengannya, tapi bukan dengan cara konyol seperti ini.

Aku tersentak saat melihatnya benar-benar keluar kamar dengan tas ransel di punggungnya.

Oh, hei! Apa dia serius ingin pergi?

"Kau ingat, kan, pesan almarhum ibumu, yang bilang harus berbakti pada suami?" Aku terpaksa mengejar langkah wanita yang mendadak jadi sekeras batu sekarang.

Dia menatapku dengan pandangan nyalang.

"Sekarang, jangan coba-coba pergi dari rumah ini," ucapku memperingatkannya dengan tegas.

"Biar apa, Mas? Biar aku bisa melihatmu tertawa dan tersenyum saat ber-chatting ria dengan Mbak Fira, begitu? Bahkan, selama tiga tahun kita menikah, aku belum pernah melihatmu sebahagia itu. Kau selalu menekuk muka saat bertatapan denganku." Lagi-lagi kudengar ada getaran dalam suaranya.

Bibirku terkatup rapat. Tak tahu harus menyanggah bagaimana ucapan wanita yang selama ini entah seperti aku menganggapnya.

Suasana yang terasa kalut mendadak pecah oleh suara bel yang terdengar berdentang beberapa kali.

Ck! Siapa yang bertamu lewat jam tujuh malam seperti ini?

Mengganggu saja!

"Najwa, sebaiknya kau masuk kamar dan jangan pergi ke mana-mana," ucapku sebelum menarik langkah menuju ke depan.

Dia bergeming pada posisinya.

Aku membuka pintu gerbang dan mendapati sepupuku datang sambil membawa entah apa di tangannya.

"Hai, Bro." Fatih menyapaku dengan gaya slengean-nya yang menyebalkan.

"Ada perlu apa?" sahutku dingin.

"Santai lah, Bro. Kalem-kalem."

Aku mendengkus kecil, sama sekali tak tertarik dengan semua yang diucapkannya.

"Najwa mana?" Dia celingak-celinguk seperti sedang mencari sesuatu.

Aku membatu.

"Gue bawa martabak manis dia," ucapnya sambil mengangkat bungkusan plastik di tangannya dengan lebih tinggi.

Aku mendecak kesal.

"Lo ngehina gue? Lo pikir gue nggak punya cukup duit cuma buat beliin dia martabak?"

Emos*ku tersulut tanpa bisa dikendalikan.

"Santai, Men, Santai. Pas kuliah dulu, yang gue tahu Najwa paling s**a makanan begini. Jadi tadi pas di jalan lihat tukang martabak, keinget, deh, gue sama bini lo."

Aku menyipit menatapnya.

"Lihat martabak lo inget bini orang?"

"Lah, apa yang salah. Najwa dulu teman sekelas gue pas kuliah. Mana gue tahu dia bakal berjodoh sama lo pas selesai kuliah. Sekarang, mana dia? Gue pengen ketemu."

Aku yang sedang berdebat dengan Fatih tersentak kaget saat menyadari Najwa sudah berdiri tak jauh dari tempat kami berdiri.

Fatih ternganga. Terang saja, bukankah tas ransel di punggung Najwa memang bukan pemandangan yang lumrah?

"Kamu ... mau ke mana, Wa?" tanya Fatih masih dengan wajah cengo-nya.

Najwa tersenyum tipis.

"Memangnya kakak sepupumu belum cerita? Kami bakal bercerai sebentar lagi," ucap Najwa, tak bisa menahan isakan. Matanya yang mulai terlihat sembab, tampak meneteskan bulir bening.

"Kalian ... beneran mau cerai?" tanya Fatih sambil menatapku dan Najwa secara bergantian.

"Ya. Tentu saja," balas Najwa terdengar mantap, meski masih dengan suara serak.

Fatih tersenyum menatap wanita berjilbab hitam yang tampak muram malam ini. Dan ... entah kenapa aku sangat muak melihat ekspresi wajahnya.

Apa dia s**a mendengar kata cerai? Apakah dia bersaudara dengan se-tan?

"Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggu dengan sabar sampai akta ceraimu turun. Setelah itu, akan kukenalkan pada Mama jika kau adalah calon istriku."

Rasa panas tak tertahankan menggelegak dalam dada saat mendengar Fatih dengan jelas mengucap kata demi kata itu.

Perasaan macam apa ini?

***

Sudah tamat di KBM app.

Judul: Istri Berwajah Pas-pasan

Penulis Askana Sakhi Meydina

Link baca
https://read.kbm.id/book/detail/8f13af2b-8e67-4717-9591-54e990cae9c6?af=3132fc4f-b300-3eed-c736-68673061f1ee

Preman pasar
04/03/2024

Preman pasar

MITOS atau FAKTA min...
03/03/2024

MITOS atau FAKTA min...

Jangan blg kalo Sdah bisa nahan sabar
03/03/2024

Jangan blg kalo Sdah bisa nahan sabar

03/03/2024

Tinggal 8 Hari Ramadhan yg baca statusku sehat, panjang umur, rezeki mlimpah kayaRaya, bahagia dunia-akhirat🤲

03/03/2024

Ada tukang kayu lagi benerin rumah orang kaya. Karena hari panas dan pekerjaanya udah selesai si tukang kayu mutuin untuk mandi di kolam renang milik si orang kaya. Si tukang itu nggak sadar kali bahwa ada Si Inem yang dari tadi memperhatikan dia yang lagi mandi. Begitu dia berbalik, mau ambil bajunya…situkang kaget.

Karena situkang kaget..si Inem juga ikut kaget dan berteriak kecil..”Hah..apa itu diantara pahamu???!!”

Dengan tanpa maksud untuk mencari keuntungan, dia menjawab…”Itu bunga, jika Inem memegangnya dia akan mekar!”

Si Inem muda itu penasaran kepengen tau, lalu dia pegang yang katanya bunga itu…ck..ck..(nakal juga) ha..ha..ha..

Si Inem berteriak..wah..lihat..dia mekar..dia mekar..”

Sambil berteriak keras-keras..lalu lari kedalam rumah besar. Dalam rumah dia ketemu dengan yanti kepala asisten rumah tangga-nya.. dan menceritakan apa yang terjadi.

Yanti marah besar..sambil mengumpat habis-habisan. “Dasar Kurangajar..tukang bohong…!!!”

Inem pun kaget “Loh emang kenapa??”

“Dia bilang itu terompet, jadi aku meniupnya!!!!”

Ketika Istri Mulai Lelah "D1AM! BISA D1AM GAK KALIAN! LAMA-LAMA AKU BISA IKUT GI LA TINGGAL DISINI! A NAK NANGIS! ISTRI ...
03/03/2024

Ketika Istri Mulai Lelah


"D1AM! BISA D1AM GAK KALIAN! LAMA-LAMA AKU BISA IKUT GI LA TINGGAL DISINI! A NAK NANGIS! ISTRI NANGIS! MAUNYA APA SIH SEBENARNYA!"

Dalam keadaan nya wa belum terkumpul, karena dibangunkan pak sa oleh Istriku, emo s*ku memun cak.

Kepala masih berputar. Pusing kurang tidur membuatku mele dak.

Kulihat Aisyah menghentikan tangisannya, dan menaruh paksa Dede Azam dipangkuanku. Ia berlari cepat memasuki kamar dan mengunci pintu dari dalam.

Aku sungguh tak bisa mengerti perasaan wanita. Terkadang Aisyahku penurut, terkadang membe rontak. Terkadang Ia mendiamiku, terkadang marah-marah tak jelas. Terkadang ia menangis sendiri, terkadang tertawa sendiri. Terkadang ia manis, terkadang ka sar. Terkadang ia lucu, terkadang menyebalkan. Jadi, aku tuh kudu piye?

Kupaksakan mata ini untuk tetap terbuka, kutimang-timang Dede Azam untuk menenangkannya. Bukan mereda, malah tangisnya semakin kencang.

"Ma, tolong buka pintunya Ma! Ini Dede nangisnya semakin kencang, tak mau diam juga. Tolong beri Dede A SI dulu Ma, kasihan mungkin dia haus atau lapar,"

Kuketuk pintu kamar untuk membangunkannya. Sambil memohon ku terus membujuknya.

"Kasih aja air tajin! A SIku tak keluar!" teriaknya dari dalam.

Mataku terbelalak, anak minta A si masa suru dikasihnya air rebusan beras atau sering disebut air tajin! Mana ada rasa dan bisa kenyang coba?!

Aisyah, memang pernah menge luh kalau A SI-nya sedikit. Bahkan terkadang tak keluar sama sekali. Namun aku selalu memak sanya untuk memberi anak-anak kami A SI eksklusif.

"Makan sayur yang banyak, biar A SI-nya banyak. Kalau makannya kering-kering gitu gimana mau keluar ASI-nya," nasihatku waktu itu

Aisyah langsung berhenti makan dengan menghen tak sendok ke atas piring hingga mengeluarkan bunyi nyaring dan ia pun tak menghabiskan makanannya.

"Tak dihabiskan makannya?" tanyaku dengan suara lembut. Seketika perasaanku mulai tak enak. Apakah aku salah bicara?

"Sudah kenyang dengerin cera mahmu!"

Aisyah menggeser bangku dan segera berdiri dengan membawa piring serta gelas ke arah dapur. Lalu meletakkan piring di wastafel dengan sedikit dihen takkan, hingga terjadilah suara denting piring beradu. Setelah itu, Ia kembali ke kamar untuk menemani anak-anak tidur.

Semakin tak so pan ia sebagai istri. Pikirku kala itu.

Dilain waktu, Aku juga pernah bercerita, kalau Ibuku dahulu sering memberi anak-anaknya waktu bayi air tajin ( Air rebusan beras ). Kata Ibuku biar anak-anaknya pintar semua. Tapi minumnya satu atau dua sendok makan saja. Namun, sepertinya ia tak s**a jika aku menceritakan kepahlawanan ibuku ketika menga suh anak-anaknya.

"Apa-apa kata Ibu! Nika hi aja ibumu sekalian!" gerutunya dengan suara pelan.

"Apa katamu!"

"Tidak Apa-apa!"

Ia kira aku tak mendengar gerutuannya. Padahal aku dengar semuanya.

Begitulah Aisyah sekarang. Tak pernah pa tuh kepada suami. Aku heran, kata-kataku beberapa bulan yang lalu saat ia masih mengangandung Kakak Adam, masih saja diingatnya.

Saat ini, kesabaranku telah ha bis, Aisyah semakin ke ras kepala. Hingga akhirnya aku berkata ka sar lagi kepadanya.

"BUKA PIN TUNYA! ATAU KUDOB RAK!" an camku padanya.

Aku ka lut, Dede Azam semakin keras suara tangisannya. Sedangkan Mamanya tak mau menyu suinya.

"Dob rak saja kalau bisa! lakukan ses**a hatimu! Aku hanya ingin tidur nyenyak!"

Sejak kapan Aisyah mulai berani memban tah ucapanku! Aku begini karena ulahnya juga! Andaikan ia pa tuh kepada suami. Mungkin aku tak akan seka sar ini.

Ku Urungkan niat untuk mendo brak pintu. Kulihat jam dinding menunjukan pukul 04:00 pagi. Sebentar lagi subuh.

Aku berinisiatif untuk membawa Dede Azam pergi ke rumah Mbak Ratih. Aku akan menitipkan Dede sementara di rumahnya.

Jarak rumahku dan Rumah Mbak Ratih tak terlalu jauh, hanya beda Beberapa Blok saja. Tapi hubungan Mbak Ratih dan Istriku tak terlalu baik. Seperti tak ada kecocokan di antara mereka. Sayangnya aku tak tau awal permasalahannya apa, yang membuat hubungan mereka renggang sampai saat ini.
-
-
-

"Assalamualaikum, Mbak,"

Kuketuk pintu rumahnya dengan kencang. Sambil menimang Dede Azam yang masih saja menangis.

Setelah beberapa lama menunggu, akhirnya pintu terbuka juga.

"Ada apa pagi-pagi bu ta kesini?! Beri s*k ih, diamkan bayimu itu!"

Ketika melihat aku yang datang Mbak Ratih terlihat ke sal.

"Maaf Mbak, aku mau menitipkan Dede Azam sementara di sini,"

Suaraku beradu dengan tangisan Dede Azam.

"Dikira ini panti asu han! Emang kemana Ibunya!"

"Ibunya sedang sakit, Mbak,"

Aku terpaksa menutupi kelakuan istriku di depan Kakakku.

"Halah! Paling Stre snya kambuh lagi! Ya kan? Sudahlah tak usah ditutupi jika punya Istri stre s kaya gitu,"

"Loh, atas dasar apa Mbak bilang istriku stre s?"

"Eh, hm itu ... Ya taulah. Kalau bukan stre s terus apa d**g namanya kalau gak mau ngu rus anak kaya gini! Anak malah dititipin orang! Dia hanya ma las saja tak mau repot ngu rusin a nak dan pekerjaan rumah! Maunya jadi nyonya, gak mau ca pe!"

Apa benar yang dibilang Mbak Ratih kalau Aisyah sebenarnya hanya ma las. Sengaja ia buat u lah agar terlepas dari menga suh anak kami.

Mengapa istriku tak seperti istri orang-orang yang bisa mengurus keluarga dengan baik?

Adzan subuh mulai berkumandang. Kami menghentikan obrolan kami di depan pintu. Ku serahkan Dede Azam kepada Mbak Ratih yang masih saja menangis. Kuminta ia menjaganya sampai aku pulang kerja nanti.

"Mbak tolong beri A SI Dede ya, Mbak masih menyu sui Danis kan?"

Pikirku Danis masih usia dua tahun, jadi pasti Mbak Ratih masih memberinya A SI eksklusif.

"Iya, nanti Mbak su sui a nakmu! Tapi ing at! Ini semua tak gratis! Aku mau dibayar cash perhari! Anggap saja aku penga suh a nakmu!"

Dalam hati terbersit rasa kece wa, mengapa Mbak Ratih malah tambah menyu sahkanku. Bukannya menolong dengan ikhlas malah meminta baya ran, seperti orang lain saja!

"Iya Mbak," ucapku perlahan."Ya sudah aku pamit ya, Mbak,"

"Iya, hati-hati, cari u ang yang banyak!"

Kutinggalkan rumah Mbak Ratih dengan gontai. Tak tega sebenarnya melihat Dede Azam dipisah dari Mamanya, tapi apa boleh buat. Mamanya sendiri tak mau mengurusnya!

**

Sesampainya di rumah, kulihat Aisyah habis selesai salat subuh. Ia melipat mukenanya dan tersenyum melihatku.

"Sudah salat subuh, Pah?" tanya Aisyah lembut.

"Eh, belum Mah, ini baru mau salat," ucapku gugup. Semakin bingunglah aku kepadanya.

"Ya sudah, salat dulu sana, keburu waktu subuhnya habis," ucapnya dengan senyum manis di wajahnya.

Aku heran, bukankah tadi ia memberontak? Mengapa sekarang ia begitu lembut?
Lalu mengapa ia tak merasa kehilangan anaknya. Apakah ia belum sadar kalau Dede Azam tak ada di rumah?

"Sarapan dulu Pah,"

Kulihat nasi goreng kes**aanku telah berada di meja makan, tetata rapih beserta teh manis hangat di sampingnya sebagai pelengkap.

Aku mulai makan dengan hati penuh tanda tanya. Suasana hening saat makan. Hanya denting sendok dan piring saja yg terdengar. Kulihat Aisyah dengan santai mengunyah makanannya seperti tak terjadi suatu apapun tadi.

Aku bingung harus memulai percakapan dari mana? Hingga selesai makan pun Aisyah masih tidak menanyai Dede Azam.

"Mah, Dede Azam tadi aku titipkan ke Mbak Ratih," ucapku dengan perlahan takut aku salah bicara.

"Oh," ucap Aisyah singkat.

Oh doang jawabannya!

"Apa Papa jemput sekarang aja Dedenya? Atau Nanti Mama yang mau jemput sendiri?"

"Tidak, biarkan saja Dede di sana! Selamanya juga tak apa! Aku ben ci suara tangisannya!"

Brak! Meja makan rafleks aku gebrak.

"Apa kamu sudah gi la! Bilang saja kalau sudah tak mau mengu rus a nak kita lagi! Kok ada ya orang tua yang te ga seperti kamu ini!" cercaku kepadanya. Belakangan hari ini Aisyah selalu saja menyulut emo s*ku, yang membuatku selalu terpancing dan tak sadar telah memben taknya.

"Aku yang te ga atau kamu! Terus saja bilang aku gi la! Ucapan adalah doa! Sebentar lagi doa kamu akan terkabul!" ucapnya sambil terus saja mengunyah makanannya.

"Kamu ini ... "

Aku sudah bersiap mengangkat tanganku untuk menam parnya.

"Mau tam par? Nih tam par saja! Kalau perlu ambil saja nya waku sekalian!"

Aisyah bangun dari duduknya, ia berlari ke arah dapur dan segera kembali dengan membawa pi sau di tangannya. Lalu Ia berjalan cepat ke arahku.

Mataku membulat, jantungku berdegup kencang, tubuh ini bergetar, keringat dingin mulai menjalar di tubuhku.

Apa yang akan Aisyah lakukan dengan pi sau itu? Apakah ia akan mengha bis*ku?

Bersambung ...
https://read.kbm.id/book/detail/7da8506f-81a5-ec33-11ba-6391a4dec1da?af=ffbd7ec0-4ffe-7534-ee0a-3ef0ca7e168f

Address

Ampana
94684

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Carita bekeng ngakak posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Carita bekeng ngakak:

Videos

Share

Nearby media companies