08/01/2025
Belakangan ini, istilah “Kreak” menjadi topik hangat di tengah masyarakat Ambarawa. Tidak lagi sekadar ejekan untuk gaya berpakaian norak, “Kreak” kini bertransformasi menjadi label bagi kelompok remaja yang meresahkan. Kehadiran mereka membawa ancaman nyata bagi keamanan warga, terutama dengan aktivitas mereka yang semakin tak terkendali.
Apa itu “Kreak”?
Secara harfiah, istilah ini berasal dari kombinasi dua kata dalam bahasa Jawa:
Kere, yang berarti miskin atau lemah secara ekonomi.
Mayak, yang merujuk pada sifat sok-sokan atau belagu.
Namun, dalam konteks terkini, “Kreak” adalah sebutan untuk kelompok remaja, kebanyakan pelajar SMP dan SMA, yang kerap melakukan aksi ugal-ugalan di jalan raya. Kelompok ini menggunakan sepeda motor untuk berkeliling atau swiping, sering kali membawa senjata tajam seperti celurit atau pedang yang ditenteng secara terang-terangan.
Aktivitas yang Meresahkan
Gerombolan ini biasanya muncul saat jam istirahat warga, seperti malam hingga dini hari. Mereka sering:
1. Bergerombol di jalan raya dengan motor, memamerkan senjata tajam.
2. Membuat konten media sosial, seperti foto dan video dengan gaya "gangster," untuk menunjukkan eksistensi mereka.
3. Saling tantang di media sosial, yang berujung pada tawuran antar kelompok dengan menggunakan senjata tajam.
Tindakan ini tidak hanya mengganggu ketenangan warga, tetapi juga menciptakan ketakutan akan dampak buruk yang bisa mengenai masyarakat umum.
Mengapa Warga Takut?
Fenomena “Kreak” menimbulkan keresahan di beberapa lapisan masyarakat Ambarawa karena alasan berikut:
1. Penggunaan Senjata Tajam
Membawa senjata tajam di jalan raya meningkatkan risiko tindak kekerasan yang tak terduga, baik antar kelompok maupun terhadap warga yang kebetulan berada di lokasi.
2. Imbas pada Masyarakat
Saat aksi swiping atau tawuran terjadi, masyarakat sering kali menjadi korban tak langsung, baik secara fisik maupun mental, akibat ketakutan dan trauma.
3. Dominasi Remaja
Mirisnya, fenomena ini didominasi oleh remaja sekolah. Padahal, usia tersebut adalah masa kritis dalam pembentukan karakter, sehingga keterlibatan mereka dalam aksi kekerasan membawa kekhawatiran akan masa depan