14/03/2025
Cinta baginya selalu mengalir seperti sungai—deras, tak terhentikan, membawa segala harapan dan impian di arusnya. Ia membiarkan dirinya hanyut, percaya bahwa pada akhirnya, sungai ini akan bermuara di tempat yang seharusnya, di hatimu. Namun, semakin jauh ia mengarungi perasaan ini, semakin ia menyadari kenyataan pahit yang tak pernah ingin ia terima: alirannya terhalang oleh tembok-tembok besar, penghalang tak kasat mata yang berdiri kokoh antara dirinya dan dirimu. Tembok yang terbentuk dari ketidakpedulianmu, dari kehadiran orang lain di sisimu, dari kenyataan bahwa tak peduli seberapa kuat ia mengalir, ia akan selalu menemui kebuntuan.
Dan kini, di bawah langit kelabu dan hujan yang tak kunjung reda, ia berdiri di persimpangan jalan, menyadari bahwa semua langkah yang telah ia tempuh hanya membawanya pada kehampaan. Ia telah berlari, mengejar bayang-bayang yang tak pernah bisa ia sentuh, menaruh harapan pada pintu yang tak akan pernah terbuka untuknya. Anak panah yang ia lepaskan dengan keyakinan penuh kini menancap di tempat yang salah—bukan pada hatimu, melainkan pada dirinya sendiri, menyisakan luka yang tak terlihat namun terasa begitu nyata.
Ia menatap ke langit, mencari matahari di balik mendung yang menggantung. Dulu, ia percaya bahwa matahari akan selalu bersinar untuknya, menjadi cahaya yang membimbingnya menuju cinta yang ia dambakan. Tapi kini, ia menyadari bahwa tak semua cinta bisa memiliki jalannya sendiri. Ada yang harus berhenti sebelum sempat dimulai, ada yang harus karam sebelum mencapai tepian. Dan ia? Ia adalah sungai yang harus menerima nasibnya sendiri—terperangkap di balik tembok-tembok yang tak bisa ia robohkan, selamanya mengalir menuju kehampaan.