21/07/2024
Investigasi visual: 𝗖𝗵𝗶𝗻𝗮 diduga bantu 𝗞𝗮𝗺𝗯𝗼𝗱𝗶𝗮 bangun pangkalan militer, mengapa Indonesia harus waspada?
Informasi artikel
Penulis,Aghnia Adzkia dan Tran Vo
Peranan,BBC World Service
16 Juli 2024
Pembangunan Pangkalan Militer Ream di Kamboja berkembang pesat selama dua tahun belakangan setelah China secara terbuka membeberkan kucuran dana, sebagaimana terlihat dalam investigasi visual BBC terhadap citra satelit. Pakar menilai Indonesia perlu waspada karena keberadaan China di Pangkalan Militer Ream dapat mengancam stabilitas keamanan.
Sejak upacara peletakan batu pertama pada Juni 2022 oleh Duta Besar China untuk Kamboja, Wang Wentian, area seluas 76 hektare tersebut kini sudah dipenuhi oleh setidaknya 14 bangunan besar, jalan, satu dermaga, dan lahan reklamasi.
Pembangunan ini menyisakan 8% dari total keseluruhan area tertutup hijau seperti pohon atau rumput—turun lebih dari setengah dibandingkan dua tahun lalu.
Citra satelit ungkap perubahan pesat pangkalan militer Ream di Kamboja selama dua tahun
18 Jun 2022
Sumber: BlackSky
Selain itu, citra satelit yang diperoleh dari BlackSky, perusahaan intelijen berbasis luar angkasa, menunjukkan dua kapal perang China jenis Jiangdao berlabuh di dermaga itu sejak Desember 2023 hingga Juni 2024, atau lebih lama dari yang dilaporkan Center for Strategic and International Studies (CSIS) sebelumny
Menteri Pertahanan Nasional Kamboja, Tea Seiha, dalam sebuah unggahan di Facebook menjelaskan kapal tersebut datang untuk menyiapkan latihan militer bersama antara China dan Kamboja
BBC berusaha menghubungi Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri China namun belum menerima respons hingga artikel ini terbit.
BBC juga telah mengirimkan surat elektronik kepada Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja sejak 1 April lalu untuk mengonfirmasi apakah Ream menjadi pangkalan militer China, tetapi tidak mendapatkan respons.
Dua kapal tempur China jenis Jiangdao terlihat di dermaga pangkalan militer Ream di Kamboja sejak Desember 2023 hingga Juni 2024
Keberadaan dan aktivitas China memicu kemarahan sejumlah negara termasuk Amerika Serikat (AS) yang merasa dikhianati karena satu bangunan hasil pendanaan AS di pangkalan tersebut dihancurkan oleh pemerintah Kamboja secara diam-diam.
“Pangkalan Ream ini belum menjadi pangkalan China [secara resmi] dan [aktivitas] dilakukan secara diam-diam, beda dengan [pangkalan militer China] di Djibouti, Afrika. Indonesia perlu melakukan kontak bilateral dengan China soal ini untuk menjaga stabilitas kawasan supaya tidak ada catastrophic failure [bencana dahsyat],” kata Ahmad Umar, Analisis Politik Asia Tenggara sekaligus Dosen Tidak Tetap Universitas Queensland, Australia.
Berlokasi di Kamboja barat daya, Pangkalan Militer Ream berjarak sekitar 800 km dari Kep**auan Natuna, Riau. Kep**auan ini merupakan salah satu area terluar dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan garda terdepan dalam sengketa Laut China Selatan.
Pangkalan Ream juga berada di lokasi yang strategis, yakni di pintu masuk Teluk Thailand dan bersebelahan dengan pelabuhan laut dalam Silhanoukville dan dekat dengan pembangunan megaproyek kanal terbesar, Funan Techno.
Pangkalan ini juga tak jauh dari Selat Malaka, jalur strategis yang menghubungkan dua kawasan perdagangan internasional.
Direktur Program Asia Tenggara CSIS, Gregory B Poling, menyebutkan akses China di Pangkalan Ream merupakan investasi yang menguntungkan.
“Sistem radar di pangkalan Ream dapat membantu Tentara Rakyat China untuk beroperasi di sekitar Selat Malaka dan kawasan Indo-Pasifik,” kata Poling kepada BBC.
Terlebih, jika konflik terjadi, pangkalan ini dapat menjadi basis untuk penyuplai bahan bakar, amunisi dan pas**an.
‘China terlibat dalam pembangunan pangkalan’
Pembangunan pangkalan militer yang sangat pesat selama dua tahun belakangan diakui oleh pakar tak luput dari campur tangan China, baik dana maupun pekerja.
“Model bangunan seperti ini [pangkalan di Ream] mengingatkan saya dengan pangkalan militer China di Djibouti dan di Kep**auan Spratly. Sangat mungkin kalau China membangun [pangkalan] ini karena pemerintah Kamboja tidak memiliki kapasitas dan sumber daya untuk mengonstruksi pangkalan secepat ini,” ujar Thomas H. Shugart III, pensiunan Angkatan Laut AS dan peneliti senior Center for a New American Security kepada BBC.
Meski demikian, Thomas beranggapan bahwa analisisnya perlu diverifikasi kepada pemerintah China karena memerlukan bukti yang lain untuk menunjukkan keterlibatan China lebih dalam.
Akan tetapi, Kementerian Pertahanan dan Kementerian Luar Negeri China belum merespons permintaan wawancara dari BBC.
Kementerian Pertahanan Nasional Kamboja juga tidak merespons pertanyaan dari BBC.
Baca juga:
Investasi China: Sepak terjang perusahaan yang menguasai seperlima garis pantai Kamboja
Penjaga Pantai China bawa pedang dan tombak, tentara Filipina melawan 'dengan tangan kosong'
'Kami dapat melihat wajah mereka dari jarak dekat' - Kesaksian wartawan BBC menumpang kapal Filipina dan dikejar kapal patroli China
Dalam kesempatan yang lain, kedua negara telah menentang klaim keterlibatan dan akses eksklusif militer China di Kamboja.
Duta Besar China untuk Kamboja, Wang Wentian, dalam pidato peletakan batu pertama pada 2022 silam menyebutkan, “China patuh pada aturan hukum dalam negeri Kamboja dan China, serta hukum dan praktik internasional yang terkait, dan tidak menyasar pihak ketiga mana pun.”
“Tentara China akan terus membantu pas**an Kamboja dalam rangka menguatkan kerja sama militer dua negara serta membawa kerja sama tersebut ke babak dan perkembangan baru.”
Selaras dengan Wentian, mantan Perdana Menteri Hun Sen dan anaknya yang menjadi penerus takhta, Hun Manet, secara konsisten menjelaskan kepada media lokal bahwa mereka tidak memberikan akses eksklusif kepada China di pangkalan tersebut.
Merujuk Konstitusi Kamboja pasal 53, negara Kamboja melarang pembangunan pangkalan militer negara asing. Pasal selanjutnya menjelaskan bahwa seluruh kesepakatan atau perjanjian apa pun harus patuh pada kemerdekaan, kedaulatan, integritas wilayah, netralitas dan persatuan Kamboja.
Akan tetapi, kenyataan di lapangan sungguh berbeda.
Jika kita menengok ke lima area, maka akan tampak perubahan yang drastis di Pangkalan Ream selama dua tahun belakangan.
Di sebelah timur, hanya dalam waktu enam bulan sejak Juni 2022 hingga Desember 2022, mereka telah membersihkan lahan sekitar sembilan hektare. Setahun kemudian, empat blok bangunan telah berdiri.
Menurut Thomas, dua bangunan di sebelah kiri terlihat seperti gedung administrasi dan dua gedung di tengah mirip dengan barak. Sementara itu, dua gedung lainnya yang baru berdiri pada April 2024 tampak seperti gudang penyimpanan kendaraan atau garasi.
Di area yang sama, tampak empat tabung yang mirip dengan tangki bahan bakar.
Tabung ini baru dibuat sejak Agustus 2023 hingga 2023, kemudian diwarnai biru pada akhir April 2024.
Di area tengah ke arah barat pangkalan, mereka mulai membangun dermaga dengan panjang sekitar 300 meter sejak Maret 2023 hingga Oktober 2023. Dua bulan kemudian, dua kapal tempur China tampak berlabuh.
Sejak Juni 2022 hingga Desember 2022, pembersihan lahan di sebelah utara dilakukan. Setahun kemudian, empat gedung telah berdiri.
Pada Februari 2024 setelah area timur laut dibersihkan, empat bangunan lainnya bermunculan.
Antara Februari 2024 hingga Juni 2024, bangunan yang berjejer di bibir pantai mulai dihancurkan dan tengah dikosongkan. Belum diketahui hingga saat ini terkait peruntukan area tersebut.
Pada Oktober 2023, mereka mulai membersihkan lahan di sebelah selatan dan tak lama kemudian, pengerukan lahan reklamasi mulai dilakukan.
Setahun kemudian, tampak beton-beton tersusun rapi di sebelahnya. Terlihat p**a beberapa tongkang lalu lalang di area ini.
“Bisa jadi tongkang itu membawa material bangunan,” kata Thomas H. Shugart III, pensiunan Angkatan Laut AS dan peneliti senior Center for a New American Security kepada BBC.
Pada Juni 2024, lahan reklamasi ini mulai tampak membentuk area U seperti dermaga.
Di bagian tenggara, sebanyak enam bangunan telah disusun di atas lahan yang telah dibersihkan. Sejumlah jalan juga telah dibangun.
“Apa yang telah dibangun ini menunjukkan kemiripan dengan nota kesepakatan (MoU) yang dibocorkan ke pers pada 2019. Sepertiga area dari pangkalan Ream akan digunakan untuk angkatan laut Kamboja, dengan bantuan infrastruktur dan pekerja dari China, sementara dua pertiga lainnya akan diberikan secara eksklusif ke China,” kata Direktur Program Asia Tenggara CSIS, Gregory B Poling.
“Yang mereka inginkan adalah agar kita fokus pada bagian selatan saja yang sepertiga itu tadi dan mengabaikan yang dua pertiga lainnya di sebelah utara karena itu masih disimpan untuk akses ekslusif China suatu saat.”
‘Tentara China menetap sementara di pangkalan’
Keberadaan kapal perang China di pangkalan Ream yang tertangkap melalui citra satelit selama berbulan-bulan menuai kontroversi. Poling menjelaskan kepada Nikkei Asia sebelumnya bahwa ada kemungkinan pas**an militer China yang menetap sementara.
Pasalnya, ia berpendapat bahwa biasanya pas**an yang dikirimkan untuk latihan militer tak akan terus-menerus menetap selama berbulan-bulan di lokasi latihan.
Latihan militer kedua negara rampung pada akhir Mei 2024. Namun, tangkapan satelit pada 12 Juni 2024 menunjukkan kapal tersebut masih ada.
Analis intelijen militer yang tidak mau disebutkan namanya menjelaskan jenis dua kapal tersebut yakni Jiangdao dengan panjang sekitar 90 meter dan lebar maksimal yakni 11.14 meter.
Kapal yang terlihat pada Juni 2024 adalah kapal yang sama terlihat di citra satelit selama tujuh bulan belakangan.
Kapal ini berlabuh sejak 1 Desember 2023, atau dua hari lebih awal dari yang dilaporkan oleh Radio Free Asia.
Selama lima bulan, sejak Desember 2023 hingga Mei 2024, kapal ini hanya pergi meninggalkan dermaga selama tiga hari di waktu yang berbeda dan selalu bepergian berpasangan.
“Tidak pernah ada satu waktu kalau kapal ini hanya bepergian sendiri. Jadi mereka selalu berdua. Pergi dan berlabuh pun berdua,” katanya.
Sebelumnya pada 2020, Hun Sen kepada Khmer Times menjelaskan bahwa pemerintah Kamboja mengizinkan kapal dari mana pun untuk berlabuh di Ream.
"Kami menerima kapal dari semua negara, termasuk AS, Prancis, Kanada, India, Inggirs, Jepang, Australia, tidak hanya China. Klaim bahwa Kamboja memberikan akses eksklusif kepada China selam 50 hingga 90 tahun itu tak berdasar,” kata Hun Sen.
Meski demikian, pada Februari 2024, Khmer Times juga melaporkan bahwa dua kapal perusak Pas**an Bela Diri Maritim Jepang berlabuh di Pelabuhan Sihanoukville alih-alih Ream selama dua hari.
Mengapa Indonesia harus waspada?
Eksistensi China di Ream memberikan akses bagi militer China untuk menyadap berbagai informasi di kawasan melalui radar dan satelit komunikasi, menurut Alexander L Vuving, peneliti dari the Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Kementerian Pertahanan AS.
Situasi ini, klaimnya, makin menguntungkan China mengingat militer China juga memiliki sistem radar di Kep**auan Spratly.
Alhasil, China punya ‘senjata’ dari dua sisi: barat di Ream dan timur di Kep**auan Spratly.
“Dengan akses ini, China dapat mengontrol dan menguasai kawasan Asia Tenggara,” kata Vuving.
“Ini baru radar saja, belum lagi jika China menguasai pangkalan yang bisa menjadi tempat peluncuran kapal atau kendaraan lainnya untuk mengontrol udara, laut, dan area terdekat. Ini juga kemungkinan yang bisa didapat China,” sambungnya.
Selama ini China telah mempraktikkan strategi “zona abu-abu” atau grey zone tactics di kawasan Asia Tenggara—strategi yang mengedepankan kepentingan tanpa harus menggunakan pas**an bersenjata atau militer, strategi ini berada di tengah-tengah antara perang dan perdamaian.
“Konflik Laut China Selatan itu bukan kepentingan China. Jika konflik di situ terjadi, ada kemungkinan AS akan turut andil memihak kubu Filipina. Di situ lah kemudian menjadi persoalan rumit bagi China,” imbuhnya.
Baca juga:
Peta baru China: Mengapa aksi China menuai kontroversi, dan haruskah Indonesia khawatir?
Laut China Selatan: AS sebut ‘BUMN China serupa dengan VOC’, Indonesia minta semua pihak menahan diri
Kapal perang TNI AL usir kapal Penjaga Pantai China di perairan Natuna, China klaim zona ekonomi eksklusif
Pas**an AS memiliki pangkalan militer di Filipina. Kini dengan kehadiran China di Ream, China memiliki akses ke lokasi yang lebih dekat dengan pangkalan AS.
Peneliti Asia Tenggara sekaligus Dosen Tidak Tetap Universitas Queensland, Ahmad Umar, menjelaskan, keberadaan China dapat memicu bencana militer yang hebat.
“Pertama, China bisa menyadap informasi negara-negara di sekitar Pangkalan Ream termasuk Indonesia. Kedua, keberadaan China akan mengancam tidak hanya relasi di kawasan Asia Tenggara tetapi juga relasi China-AS dan bahkan dapat mengintervensi konflik di Taiwan,” kata Umar kepada BBC.
Umar meyakini strategi China untuk tak banyak omong soal aktivitas dan bantuannya di Ream merupakan bagian dari rencana mereka untuk menghindari AS.
Umar melanjutkan, jika konflik China-AS pecah di Laut China Selatan, maka upaya Indonesia yang selama ini dilakukan untuk menegakkan perdamaian dan stabilitas di kawasan pun menjadi sia-sia.
“Pertama, Indonesia perlu melakukan kontak bilateral dengan China. Kedua, Indonesia perlu mendorong mekanisme yang lebih kuat di regional, apakah lewat ASEAN atau forum informal lainnya untuk mengantisipasi dampak dari masalah di Kamboja,” ujar Umar.
Menanggapi hal ini, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia, Roy Soemirat, menjelaskan Indonesia mengimbau semua negara di kawasan untuk “menahan diri dan menghindari terjadinya eskalasi ketegangan di Laut China Selatan.”
Roy menambahkan, sikap Indonesia sebagai penyokong perdamaian dan stabilitas kawasan tidak berubah. Menurutnya, perang dan konflik di kawasan tersebut tak membawa keuntungan bagi semua pihak.
Indonesia pun akan terus mengupayakan stabilitas keamanan dan perdamaian di kawasan melalui berbagai forum bilateral dan juga regional lewat ASEAN.
“Salah satu langkah nyata yang akan terus diupayakan adalah menyelesaikan pembahasan Code of Conduct (COC) di Laut China Sealtan yang saat ini telah memasuki putaran ketiga. Perlu dicatat khusus bahwa pada saat pertemuan ASEAN-RRT tahun 2023 lalu, telah disepakati bahwa seluruh negara akan mengupayakan agar negosiasi COC dapat diselesaikan dalam jangka waktu tiga tahun,” kata Roey kepada BBC.
Dengan tata cara berperilaku tersebut, para pihak diharapkan mampu menciptakan perdamaian dan stabilitas kawasan dalam resolusi konflik, mengacu pada hukum internasional yang tertuang dalam United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 atau UNCLOS 1982.
Selain itu, Roy mengutarakan, Indonesia juga akan terus mendorong implementasi kesepakatan untuk menjaga stabilitas kawasan seperti yang tertera dalam Declaration of Conduct (DOC) tahun 2002.
Pergeseran dari AS ke China
Jauh sebelum eksistensi China di Ream, AS telah lebih dulu menjalin relasi dengan militer Kamboja di pangkalan tersebut. Latihan militer bersama kedua negara ini pun telah dilakukan sejak 2010.
Namun, pada 2017, sebelum latihan tahunan keduanya, Kamboja secara sepihak mengumumkan penangguhan kerja sama dengan AS selama beberapa tahun.
Pada 2019, nota kesepakatan antara China dengan Kamboja terkait pangkalan militer Ream bocor ke media dan diberitakan oleh The Wall Street Journal.
Merujuk dokumen tersebut, Kamboja mengizinkan militer China untuk menggunakan separuh kawasan di sebelah utara selama 30 tahun atau dapat diperbaharui selanjutnya secara otomatis.
Pada 2020, Nikkei Asia melaporkan bahwa bangunan yang didanai oleh AS di sebelah utara pangkalan tersebut dihancurkan oleh pemerintah Kamboja sebagai persiapan konstruksi Ream yang baru dari kerja sama China dan Kamboja.
Saat kunjungan kerja pada Juni 2021, Wakil Menteri Luar Negeri AS, Wendy Sherman, mempermasalahkan penghancuran gedung, keberadaan China, dan konstruksi ulang area pangkalan militer ini kepada pemerintah Kamboja.
Dalam sebuah pernyataan pers yang dimuat di situs pemerintah AS, Sherman mengatakan dalam pertemuan tersebut, “Pangkalan militer China di Kamboja akan merusak kedaulatan dan mengancam pertahanan regional dan berdampak buruk terhadap relasi AS-Kamboja.”
Tak lama setelah pertemuan, Atase Pertahanan Kedutaan AS untuk Kamboja, Kolonel Marcus M. Ferrara, diundang ke Pangkalan Ream. Namun, saat bertandang, Ferrara tidak diberikan akses penuh untuk menengok pangkalan.
Juru bicara pemerintah Kamboja merespons bahwa pihaknya berhak untuk membatasi kunjungan dengan alasan keamanan nasional dan kedaulatan wilayah.
Alexander L Vuving, peneliti dari the Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies, Kementerian Pertahanan AS, menilai aksi Kamboja tidak transparan.
"Tidak ada yang tahu apa dan bagaimana kawasan tersebut telah direncanakan untuk China—kedua negara tidak mengumumkannya secara terbuka. Meski Kamboja telah menyebutkan bahwa mereka tidak mengizinkan pembangunan pangkalan militer asing di negaranya, realitasnya tidak ada yang tahu,“ kata Vuving kepada BBC.
Chhengpor Aun, peneliti dari Cambodia's Future Forum, berkata kepada BBC: “Ada banyak perandaian. Jika skenario ini (Kamboja menjadi tuan rumah pangkalan militer asing), maka akan membutuhkan perubahan konstitusi yang mana akan menuai pro dan kontra di dalam dan luar negeri. Saya pikir pemerintah Kamboja tidak akan mengambil risiko itu, tetapi saya pun tidak bisa menebak kesepakatan apa yang sudah dilakukan keduanya, kalau pun ada.”
“Jika memang berkembang pesat, Ream akan menjadi kunci dari pertahanan angkatan laut Kamboja untuk menegakkan kedaulatan maritim di Teluk Thailand dan keikutsertaan Kamboja dalam menjaga pertahanan militer akan meningkat.”
Setelah perkembangan pesat dalam dua tahun ini, China dan Kamboja aktif menggunakan Ream untuk latihan militer besama, dua kali dalam tujuh bulan ini.
Pelatihan terakhir melibatkan 2,075 pas**an dan senjata termasuk di antaranya 1.315 tentara Kamboja dan 760 tentara China.
Dengan serentetan aktivitas ini, Direktur Program Asia Tenggara CSIS, Gregory B Poling, menilai relasi China-Kamboja makin menguat.
“Fakta bahwa Kamboja kini semakin mendekat ke China itu karena rezim yang dipimpin Hun Manet dan Cambodian People Party (CPP) adalah pemerintah yang korup. Mereka mencari celah dari pendanaan untuk terus menjalankan korupsinya. Jika kucuran dana habis, maka CPP akan tumbang. Selama China terus mengucurkan uang ke Kamboja, s**a atau tidak s**a maka Hun dan Hun Manet akan terus menjalin kerja sama dengan Beijing,” klaim Poling.
“Relasi dua negara ini akan selamanya berlangsung jika Hun Sen dan Hun Manet berkuasa. Meski demikian, ada kemungkinan Kamboja tidak lagi tersudutkan oleh China. Suatu saat nanti masyarakat Kamboja pun akan tersadar dan curiga terhadap China,” tutupnya.
BBC News, Indonesia
Alasan Anda dapat mempercayai BBC News
Peraturan Penggunaan
Mengenai BBC
Kebijakan tentang Privasi
Cookies
Hubungi BBC
Do not share or sell my info
© 2024 BBC. BBC tidak bertanggung jawab atas konten dari situs eksternal. Baca tentang peraturan baru terkait link eksternal.