Ret barat Pulo Ruja

  • Home
  • Ret barat Pulo Ruja

Ret barat Pulo Ruja Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Ret barat Pulo Ruja, Digital creator, .

Sekilas tentang Mata Uang Aceh sekitar Abad ke-16mata uang sebagai tanda Aceh adalah sebuah negara yang berdaulat, Seora...
09/06/2024

Sekilas tentang Mata Uang Aceh sekitar Abad ke-16

mata uang sebagai tanda Aceh adalah sebuah negara yang berdaulat,

Seorang pelaut Inggris yang bernama John Davis yang bekerja pada kapal Belanda mendarat di pelabuhan Aceh pada Juni 1599. Ia mengemukakan bahwa di Aceh tedapat berbagai macam alat pembayaran. Seperti cashes (bahasa Aceh: keueh, bahasa Portugis: caxa), mas, cowpan (kupan), pardaw dan tayel (tahil). Ia hanya melihat dua keping mata uang logam, yang satu lagi terbuat dari timah, disebut caxas. Ia menambakan bahwa 1600 cashes sama dengan 1 mas. Empa ratus cashes sama dengan 1 kupan. Empat kupan sama dengan 1 mas. Lima mas sama dengan 4 shilling sterlig. Empat mas sama dengan 1 pardaw, dan 4 pardaw sama dengan 1 tahil.

Satu tail adalah 16 mas dirman

Pada 1691 ada satu buku mengenai perhitungan nilai emas dan perak serta mengenai ukuran dan berat di Benua Timur. Buku itu berjudul “Ujtrekening van de Goude en Silvere Munts Waardye, Inhout der illfaten en Swoorte der Gewigten, in de Respective Gewesten van Indien”. Dalam buku itu disebutkan bahwa di Aceh satu tail adalah 16 mas dirman. Satu ringgit Spanyol atau biasa disebut reyal atau ringgit meriam sama dengan empat mas. Selain itu, Van Langen, seorang poejabat tinggi Belanda pada 1888 menyebutkan bahwa nilai dirham Sri Sultanah Taj al-Alam Safiat ad-Din (1641-1675) di Kerajaan Aceh Dar as-Salam adalah E.O,625 (enam puluh dua setengah sen Hindia Belanda).

Satu tail sama dengan 4 pardu

Kreemer, seorang pakar mengenai Aceh, berdasarkan sumber dari John Davis menulis bahwa 1 tail sama dengan 4 pardu. Pardu adalah mata uang perak yang ditempa oleh Portugis di Goa. Satu Pardu sama dengan 4 dirham (mace, mas), 1 dirham sama dengan 4 kupan (mata uang perak yang kecil), dan 1 kupan sama dengan 400 keueh. Dalam bahasa Portugis keueh atau caxa terbuat dari kuningan dan timah, yang dalam bahasa Belanda disebut kasja atau kasje.

Sumber:

Teuku Ibrahim Alfian. 1998. “Bandar-bandar Niaga di Sekitar Selat Malaka”, dalam Supratikno Rajardjo (ed.) Diskusi Ilmiah Bandar Jalur Sutra (Kump**an Makalah Diskusi), Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, Direkorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pejuang Aceh dari etnis Alas, tahun 1920.
09/06/2024

Pejuang Aceh dari etnis Alas, tahun 1920.

19/05/2024
Sejarah gagal nya Amerika Serikat membangun pangkalan militer nya di Sabang ( Aceh) Mengapa rencana Amerika Serikat memb...
16/05/2024

Sejarah gagal nya Amerika Serikat membangun pangkalan militer nya di Sabang ( Aceh)

Mengapa rencana Amerika Serikat membangun pangkalan militer di Sabang (Aceh) pada tahun 1873 gagal?

Penulis : Iskandar Norman.

Rencana pembangungan pangkalan militer Amerika Serikat di Pulau Weh, Sabang, Aceh itu tertuang dalam perjanjian kerja sama pakta pertahanan Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat; Proposal of Atjeh-Amerika Treaty yang dibuat di Singapura pada tahun 1872.

Dokumen perjanjian kerja sama itu sampai kini masih di simpan di US National Archives bersama 24 rol mikro-film mengenai peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Singapura dan Malaysia.

Perjanjian militer antara Kerajaan Aceh dan Amerika Serikat itu dirancang oleh para diplomat Aceh yang mewakili Sultan Aceh di Singapura.

Tapi mengapa Amerika Serikat gagal membangun pangkalan militer di Sabang?

Bagaimana sejarah munculnya perjanjian militer antara Kerajaan Aceh dengan Amerika Serikat itu, mari kita buka buku Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh yang ditulis oleh Muhammad Nur el Ibrahimy, mantan anggota DPR-RIS dan DPR-RI asal Aceh. Buku ini diterbitkan di Jakarta pada tahun 1993 oleh penerbit Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).

Dalam buku itu dijelaskan bahwa, dalam tahun 1872 Belanda mulai mengumpulkan kekuatan untuk menginvansi Aceh, satu-satunya daerah di nusantara yang berlum berhasil ditaklukkannya.

Ketika Inggris secara sepihak membuat perjanjian Traktrat Sumatera dengan Belanda, dengan sendirinya, Inggris mengingkari Traktrat London sebagai penjanjian kerja sama yang mengakui kedaulatan Kerajaan Aceh. Berpihaknya Inggris kepada Belanda menjadikan Aceh harus mencari mitra baru dalam menghadapi kemungkinan perang dengan Belanda.

Diplomat Aceh, Syahbandar Pang Tibang bersama beberapa wakil Sultan Aceh diutus ke Singapura. Mereka menjajaki kerja sama dengan Konsul Amerika, Perancis, dan Italia. Dan yang paling menyita perhatian Belanda adalah, pertemuan diplomat Aceh dengan Mayor Studer, konsul Amerika di Singapura.

Belanda sangat khawatir dengan langkah yang diambil diplomat Aceh ini. Apa lagi ketika Belanda melalui mata-matanya, Tongku Muhammad Arifin dari Moko-moko, Bengkulu membocorkan hal tersebut. Arifin melaporkan hal itu kepada Konsul Belanda di Singapura, William Read, seorang yang berkebangsaan Inggris.

Sebelum perjanjian Aceh-Amerika itu sampai ke Gedung Putih, Belanda mempercepat invansinya. Pada 26 Maret 1873, Komisaris Pemerintah merangkap Wakil Presiden Hindia Belanda, FN Nieuwenhuijzen memproklamirkan perang terhadap Kerajaan Aceh.

Sementara proposal of Atjeh-Amerika Treaty baru dikirim kepada Presiden Amerika Jenderal Grant empat bulan kemudian. Naskah perjanjian Aceh-Amerika itu dirancang oleh Konsul Amerika di Singapura Mayor Studer bersama Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali. Surat dalam bahasa Inggris itu ditulis di Penang, Malaysia pada 16 Agustus 1873.

Selain sebagai pengantar naskah perjanjian, surat itu juga sebagai petisi yang menginginkan agar Presiden Amerika Serikat Jenderal Grant membantu dan berpihak kepada Aceh dalam melawan agresi Belanda.

Surat itu selain ditandatangani oleh Tuanku Ibrahim Raja Fakih Ali selaku kuasa Sultan Aceh di Penang, juga ditandatangani oleh para diplomat Aceh di sana. Mereka adalah: Tuanku Muhammad Hanafiah, Haji Yusuf Muhammad Abu, Seri Paduka Raja Bendahara, Ahmad Annajjari, Syeikh Ahmad Basyaud, Syeikh Kasim Amudi, dan Gulamudinsa Marikar.

Naskah itu dikirim oleh Studer ke Washington DC pada 4 Oktober 1873. Namun karena perang Aceh dengan Belanda sudah berlangsung selama 7 bulan, Presiden Amerika Serikat Jendral Grant mengambil sikap melihat perkembangan selanjutnya yang terjadi di Aceh.

Belanda kemudian melakukan berbagai upaya untuk mendiskreditkan Aceh dan Amerika. Konsul Belanda di Singapura William Read bersama mata-matanya Tengku Muhammad Arifin membuat versi Belanda perjanjian Aceh-Amerika. Isinya mencontek naskah perjanjian Inggris dengan Brunai Darussalam.

Perjajian Aceh-Amerika versi Belanda ini, sengaja dibuat untuk mendiskreditkan Konsul Amerika di Singapura, Mayor Studer. Versi ini secara massif dipublikasi oleh Belanda, seolah-olah dibuat oleh Studer dan Pang Tibang, padahal rekayasa Read dan Arifin. Sementara versi asli perjanjian Aceh-Amerika dibuat oleh Sultan Aceh di Bandar Aceh Darussalam. Berikut perbedaan kedua versi tersebut.

Versi Belanda (Rekayasa Read dan Arifin)

1. Belum dituangkan ke dalam format naskah perjanjian

2. Merupakan naskah tunggal yang terdiri dari 12 butir

3. Belum bertanggal

4. Dibuat oleh agen Belanda agar dapat menuduh Sultan Aceh mengkhianati perjanjian Aceh-Belanda tahun 1857, serta menuduh Amerika Serikat ikut campur tangan dalam masalah Aceh dengan Belanda.

5. Isinya mengesankan bahwa; Dengan adanya perjanjia itu status Aceh berubah menjadi protektorat; Sultan Aceh membebaskan warga Amerika Serikat dari kewajiban tunduk kepada hukum pengadilan Aceh; Sultan Aceh memberi hak kepada warga negara Amerika Serikat untuk membeli dan menjual tanah di daerah kekuasaan Pemerintah Aceh; Sultan Aceh memberi kelonggaran kepada warga Amerika Serikat dalam hal membayar cukai dan pajak lima persen lebih murah dari arif yang berlaku.

Versi Aceh (versi asli)

1. Sudah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian dan dilengkapi cap sultan.

2. Merupakan naskah dua bagian, umum dan khusus janji (komitmen) Sultan Aceh kepada Pemerintah Amerika Serikat. Tiap-tiap bagian terdiri atas 6 pasal.

3. Sudah bertanggal.

4. Salah satu butir menjelaskan bahwa Sultan Aceh memberikan izin untuk menjadikan Pulau Weh (Sabang) sebagai pangkalan militer Amerika Serikat dengan harapan meningkatkan fungsi Sabang menjadi pelabuhan internasional.

5. Tidak ada hal-hal seperti yang tercantum dalam versi rekayasa Belanda.

Jadi, karena permainan Konsul Belanda di Singapura William Read bersama mata-matanya Teungku Arifin, yang membuat Belanda mempercepat invansi ke Aceh, mendahului upaya Amerika Serikat untuk membangun pangkalan militer di Sabang. Perang Aceh dengan Belanda lebih dulu berlangsung, sebelum Amerika Serikat bertindak.

Surat Pengantar Perjanjian Aceh-Amerika dari kuasa Sultan Aceh Tuanku IBrahim Raja Fakih kepada Presiden Amerika Serikat Jendral Grant [Repro: Selayang Pandang Langkah Diplomasi Kerajaan Aceh.

Foto surat-surat di bawah ini

BELANDA VS ACEH DARUSSALAM 🇹🇷 🇹🇷Penulis : muazii (25)in   • 4 years ago (edited)Untuk Melicinkan Niatnya Menguasai Aceh ...
16/05/2024

BELANDA VS ACEH DARUSSALAM 🇹🇷 🇹🇷

Penulis : muazii (25)in • 4 years ago (edited)

Untuk Melicinkan Niatnya Menguasai Aceh ,, Kerajaan Belanda Mengajak Kerajaan Inggris Untuk Menandatangani Suatu Perjanjian Dengan Inggris (Traktat Sumatera) Yang Isinya : Bekas Jajahan Belanda Di Afrika (Gold Coast - Sekarang Ghana) Di Serahkan Kepada Inggris Dan Jajahan Inggris Di Sumatera (Yaitu Bengkulu) Di Serahkan Kepada Belanda . Untuk Menguasai Seluruh Sumatera Jika Perlu Belanda Akan Memerangi Aceh . Perjanjian ini Di Tandatangani Tahun 1871 .

Ketika itu Seorang Anggota Parlemen Inggris Lord Standley Aderley Seorang Bangsawan Inggris Telah Membantah Dan Menolak isi Perjanjian itu .

Ia Berkata : Belanda Tidak Mempunyai alasan dan tidak mempunyai sebab untuk menyerang Aceh yang tidak berbuat apa-apa kepada Belanda. Sekarang Belanda sudah menyerang Kerajaan Aceh, dan digagalkan. Kejatuhan Aceh akan menyebabkan kehancuran kemuliaan kita di seluruh Asia Timur dan Asia Tenggara.

kekecewaan besar akan dirasakan oleh warga Inggris di Asia Tenggara dan oleh orang-orang di Kep**auan Melayu yang kesan baik dari mereka adalah sangat penting bagi kita. Perjanjian baru antara Inggris dengan Belanda ini bukan saja merusakkan kemuliaan negara Inggris tetapi juga merusakkan kepentingan ekonomi kita. Sistem pemerintahan Belanda di Jawa bukan saja berlawanan sekali dengan kebebasan perdagangan, tetapi hampir tidak berbeda dari perbudakan.

Belanda menamakannya “kerja tidak bergaji” sehingga tidak ada alasan sama sekali mengapa pemerintah Inggris mau menolong meluaskan sistem ini sampai ke Sumatera Bagian Utara, atau sekurang-kurangnya mengapa tidak dibuat pengecualian untuk Aceh.

Sebab Kerajaan Aceh berhak mengharap kita tidak melupakan kedaulatannya yang dari zaman purbalaka, dan sejarah yang gilang-gemilang, sebab Aceh sudah menjadi suatu kerajaan yang berdaulat ketika Belanda sendiri masih menjadi satu provinsi Spanyol.

Dalam Perang 80 Tahun Belanda Melawan Spanyol, di mana Aceh yang pertama kali mengakui kedaulatan negeri Belanda pada awal-awal kemerdekaan Belanda dari Spanyol. Dinasti pertama setelah Belanda merdeka dari Spanyol adalah dinasti Orange, dengan Price Murist sebagai Kepala Negara.

Bantahan terhadap perjanjian ini terus dilancarkan oleh beberapa anggota Parlemen Inggris baik sebelum dan sesudah meletusnya perang antara Aceh melawan Belanda, seperti:

Thomas Gibson Bowles telah menjawab dalam Surat kabar LONDON TIMES, 3 Februari, 1874. Berbunyi:

Perjanjian Belanda-Inggris tahun 1871 sama sekali tidak dapat membebaskan Pemerintah Inggris dari kewajibannya menepati janji untuk mempertahankan Aceh menurut Perjanjian Pertahanan tahun 1819. Maka adalah suatu pelanggaran umum yang luar biasa dan hina sekali untuk menolak menepati kewajiban yang timbul dari Perjanjian yang sudah ditanda tangani itu"(THE TIMES, London, 3 Februari, 1874, p.10)

Selanjutnya Surat kabar VANITY FAIR, 12 September, 1874, telah mengeluarkan tajuk rencana mengenai Perjanjian Pertahanan Aceh-Inggris yang sudah dikhianati itu:
Dikatakan bahwa Inggris adalah netral dalam perang ini, tetapi Belanda dibiarkan menggunakan wilayah jajahan kita di sini sebagai basis operasi menyerang Aceh.

Jadi Inggris bukan saja tidak membantu Aceh, sebagai kewajibannya menurut perjanjian, tetapi ia memberikan kepada Belanda segala bantuan untuk menaklukan Aceh. Sudah pasti ini adalah puncak dari pengkhianatan. Dan Perdana Menteri baru, Tuan Disraeli, sesudah menyela Perdana Menteri yang lama, Tuan Gladstone, dalam perkara ini, sekarang dia sendiri berbuat demikian: membantu Belanda menundukkan Aceh.

Walaupun demikian masih banyak orang menyangka bahwa dalam demokrasi semua dapat diperbaiki dan diubah dengan menggantikan satu Kabinet dengan Kabinet baru, partai Pemerintah dengan Oposisi. Suatu bangsa sudah menjadi rendah sekali apabila ia tidak perduli lagi kepada kehormatannya dan kepada perkara-perkara seperti ini.

“Perkara kenyataan dalam soal ini tidak mungkin ada perdebatan: sebab semuanya adalah terang-benderang. Inggris terikat dengan Perjanjian Pertahanan untuk mempertahankan Aceh. Mula-mula Lord Granville berusaha menolak perjanjian itu. Lord Debry, yang seharusnya memperbaiki nama negerinya dan bangsanya tetapi berbuat sebagai orang-orang yang digantinya. Mereka adalah pantas menjadi Menteri-menteri dari suatu bangsa yang sudah hilang perasaan kehormatannya”.

Berkaitan dengan fakta-fakta yang telah disebutkan diatas, maka pada tanggal 26 Maret 1873, Gubernur Hindia Belanda yang berpusat di Jawa, menyatakan perang kepada Kerajaan Aceh / Sultan Mahmud Shah yang dilengkapi dengan “Ultimatum” yang berisi:

Aceh menyerah kalah dengan tanpa syarat;
Turunkan bendera Aceh dan kibarkan bendera Belanda;
Hentikan perbuatan berpatroli di Selat Melaka;
Serahkan kepada Belanda sebagian Sumatera yang berada dalam lindungan Sultan Aceh;
Putuskan hubungan diplomatik dengan Khalifah Osmaniyah di Turki.

“Ultimatum” ini ditolak mentah-mentah oleh Sultan Aceh, maka terjadilah perang melawan Belanda pada 4 April 1873. Pada tanggal 26 Maret 1873, Kerajaan Belanda mengeluarkan Pernyataan perang dengan resmi atas kerajaan Aceh. Maka pasukan Belanda dibawah pimpinan Jendral J.H.R Kohler pada tanggal 5 April 1873 mulai menyerang Aceh.

Pasukan Belanda memusatkan serangannya pada Masjid Raya Baiturrahman. Setelah pertempuran berlangsung beberapa lama, Masjid Raya Baiturrahman terbakar dan dapat dikuasai Belanda. Dalam pertempuran tersebut Jendral Kohler tewas. Meskipun Masjid Raya Baiturrahman dapat dikuasai Belanda, namun hal itu tidak berlangsung lama. Belanda semakin terdesak dan pergi meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.

Namun kemudian Belanda datang lagi. Kedatangan kembali Belanda ke Aceh dipimpin oleh Jendral J.Van Swieten. Belanda berhasil menguasai istana dan dijadikan daerah pertahanan. Walaupun istana dapat dikuasai Belanda, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung. Di bawah pemimpin-pemimpin Aceh seperti Panglima Polim, Teungku Chik Di Tiro, Teuku Ibrahim, Cut Nya Dien, Teuku Umar dll, rakyat Aceh terus berperang melawan kedzaliman dan penjajahan Kristen Belanda.

Bagaimana peperangan itu terjadi, dituliskan oleh LONDON TIMES, pada 22 April 1873 sebagai berikut:

Suatu kejadian yang luar biasa dalam sejarah penjajahan baru sudah terjadi di kep**auan Melayu, Suatu kekuatan Eropa yang besar sudah dikalahkan oleh tentara anak negeri, tentara Kerajaan Aceh. Rakyat Aceh sudah mencapai kemenangan yang menentukan. Musuh mereka bukan saja sudah kalah tetapi dipaksa lari".

Surat Kabar THE NEW YORK TIMES, 6 Mei, 1873 menulis:

Suatu pertempuran bertumpah darah sudah terjadi di Aceh. Serangan Belanda sudah ditangkis dengan penyembelihan besar-besaran terhadap tentara Belanda. Panglima Belanda sudah dibunuh dan tentaranya lari lintang-pukang. Kekalahan Belanda itu dianggap hebat sekali dan ini terbukti dengan terjadinya debat yang hebat dalam Parlemen Belanda di Den Haag, dimana seorang anggota Parlemen sudah menyatakan bahwa kekalahan di Aceh ini adalah permulaan dari kejatuhan kekuasaan Belanda di Dunia Timur".

Dari rangkaian peristiwa inilah sehingga New York Times, 15 Mei 1873 menulis bahwa:

"Now the Achehnese education of the present generation of Christendom may be said to have fairly begun".

Sudah tentu ulasan New York Times, didasarkan kepada fakta sejarah yang dilengkapi dengan bukti-bukti kukuh. Walaupun ulasan tersebut dalam rangka menyambut kemenangan tentara Aceh melawan serdadu Belanda dalam perang Aceh, pada 4 April 1873, namun jauh sebelum itu orang Aceh memang sudah dikenal mahir berperang, terutama dalam kurun waktu abad ke-16 sampai 17.

Kemudian pada 24 Desember, 1873, Belanda kembali menyerang Aceh dengan mengerahkan serdadu upahannya dari Jawa, Madura, Manado dan Maluku.

Mereka juga menyewa ribuan penjahat dari Penjara Swiss, Prancis dan termasuk penjahat dari Afrika untuk dikerahkan mempertaruhkan nyawa mereka di Aceh. Setelah terjadinya perang periode ke II ini, maka perang melawan Belanda tidak berhenti sampai kemudian Belanda melarikan diri dari Aceh tahun 1942.

Belanda keok di Aceh! Pada tahun 1879 Belanda menyerbu Aceh dari segala penjuru dan akhirnya berhasil menguasainya. Namun demikian, daerah-daerah hutan dan pegunungan masih dikuasai rakyat Aceh. Teuku Ibrahim memimpin perang gerilya. Dalam suatu serbuan terhadap pos Belanda, Teuku Ibrahim gugur. Teuku Ibrahim meninggalkan seorang istri yang bernama Cut Nya Dien.

Perjuangan diteruskan oleh Teuku Umar. Ia masih kerabat Teuku Ibrahim. Kemudian Teuku Umar mengawini Cut Nya Dien dan bersama-sama berjuang melawan kafir-kafir kolonialis Belanda. Ingat kalau kita menonton film “Tjoet Njak’ Dhien” arahan sutradara Eros Djarot yang dibintangi oleh Christine Hakim, Cut Nya Dien selalu menyebut “kaphe-kaphe” untuk menyebut tentara-tentara Belanda. “Kaphe-Kaphe” maksudnya adalah kafir-kafir.

Kini kami sibuk memuat hewan-hewan denda penduduk. Sungguh-sungguh hal yang memalukan kita. Gubernur memerintahkan supaya rumah-rumah besar di kampung-kampung dibakar jika penduduk tidak membayar denda. Tadinya ia menginginkan supaya penduduknya ditembak mati saja, tetapi perintah itu telah kami protes…,“

Itulah bagian dari kutipan surat seorang opsir muda Belanda yang cemerlang, ditujukan kepada istrinya yang berada jauh di Belanda. Ditulis di sebuah bivak di kawasan Hutan Tamun tanggal 25 April 1897. Sebagai Kepala Staf Divisi XII Marsose, opsir yang bernama Van Daalen itu sedang memimpin pasukannya mengejar Teuku Umar di Aceh Barat.
Sebagai bagian dari pasukan elite Belanda (pasukan Marsose, Van Daalen terpaksa melaksanakan perintah yang mirip perampokan itu.

Di kantung-kantung gerilya, mereka membakar rumah-rumah penduduk, memusnahkan tanaman di kebun, agar penduduk tidak punya tenaga lagi untuk melakukan perlawanan. Penduduk kampung atau pemukim yang terbukti memberi tempat berlindung bagi pejuang Aceh, dikenakan denda mencekik leher.

Kenegerian Lhong, masih di Aceh Barat, misalnya, didenda 30.000 gulden karena Teuku Umar sempat bersembunyi di sana. Suatu angka yang mustahil bisa dipenuhi penduduk miskin di kenegerian itu. Ini artinya, rumah mereka akan dimusnahkan berikut tanaman di ladang. Sedang ternak disita.

Namun, Van Daalen yang kelak menjadi gubernur, malah mendapat julukan si jagal yang kejam. Ia adalah pejabat yang terbengis selama penjajahan kolonial di Aceh. Van Daalen menggerakkan segala mesin perang, karena Kerajaan Belanda memerintahkannya untuk memenangkan perang ini secepat mungkin. Belanda baru kemudian sadar mereka terperangkap dalam perang berkepanjangan, yang nyaris membuat bangkrut kas Hindia Belanda.

Kekerasan dihadapi dengan kekerasan, itulah motto Van Daalen. Perlawanan Aceh hanya akan berakhir jika dihadapi dengan superioritas militer. Mayat-mayat kemudian bergelimpangan di sana-sini. Benar bahwa tahun 1913, atau setelah 40 tahun perang, Aceh berhasil ditaklukkan, tetapi bukan berarti perang sudah usai.

Kurang lebih 10.000 prajurit Belanda tewas dalam Perang Aceh. Belanda mengerahkan kekuatan maksimum. Invasi pertama saja tiba dengan 5.000 personel, suatu jumlah yang amat besar untuk masa itu. Bagi Belanda, Perang Aceh merupakan pengalaman pahit. Itu sebabnya hanya Aceh satu-satunya daerah yang tidak dijamah Belanda ketika kembali ke Indonesia (bekas Hindia Belanda) dengan menumpang Sekutu-NICA seusai PD II.

Peperangan yang panjang dan melelahkan ini telah mengorbankan ratusan ribu nyawa manusia dari kedua belah pihak. Demikian juga dengan dana perang yang sangat besar dikeluarkan oleh Belanda, sehingga menyebabkan semua perusahaan-perusahaan sebagai sumber ekonomi Belanda terpaksa gulung tikar sebagai konsekuensi logis dari perang yang dahsyat dan paling lama dalam sejarah mereka.

Bagi Belanda segalanya sudah menjadi tidak terkendali. Seorang penulis sejarah Belanda mengatakan:
Bangsa Belanda dan negeri Belanda tidak pernah menghadapi satu peperangan yang lebih besar daripada peperangan dengan Aceh. Menurut kurun waktunya, perang ini dapat dinamakan perang delapan puluh tahun.

Menurut korbannya -1ebih seratus ribu orang yang mati- perang ini adalah suatu kejadian militer yang tidak ada bandingannya dalam sejarah bangsa Belanda”.
Untuk negeri dan bangsa Belanda, perang Aceh itu lebih daripada hanya pertikaian militer: “Selama satu abad inilah persoalan pokok politik internasional, politik nasional, dan politik kolonial Belanda”. Paul Van’ t Veer, De Acheh Oorlog, Amsterdam, 1969, p.10.

Rakyat Aceh tidak dapat dikalahkan Belanda dengan pendekatan militeristik, sebab bangsa Aceh memandang perang melawan Belanda sebagai perang suci-jihad fisabilillah- yang bermakna; orang Aceh akan berlomba-lomba untuk mati syahid menggempur musuh yang dirangsang dengan aqidah Islam yang sudah masuk ke dalam tulang sumsumnya. Itulah sebabnya perang ini telah melibatkan semua lapisan masyarakat, tidak terkecuali kaum wanitanya.

Para Ulama telah menghembuskan roh jihad dalam perang ini. Tengku Thjik di Tiro Muhammad Saman telah memimpin peperangan ini dan diikuti oleh bangsa Aceh serta keluarga di Tiro yang lain sampai kepada Tengku Tjhik Maat di Tiro yang mati syahid dalam satu peperangan di Alue Bhot, Pidie, tahun 1911.

Perang terus merebak ke seluruh Aceh. Tengku Mata Ie bersama pasukannya berjuang di sektor Aceh Besar; Tengku Tapa bersama pasukannya berjuang di sektor Timur; Tengku Paja di Bakong bersama pasukannya berjuang di sektor Utara; Tjut Ah dan Tengku di Barat bersama pasukannya berjuang di sektor Barat-selatan; Pang Jacob, Pang Bedel dan Pang Masem berjuang di sektor Tengah; Panglima Tjhik bersama pasukannya berjuang di sektor Tenggara. Akhirnya, pada tahun 1942 Belanda angkat kaki dari bumi Aceh dalam keadaan hina.

Setelah itu Belanda kapok dan tidak pernah berani lagi menginjak Aceh. Ketika tahun 1946-1948 Belanda kembali dan telah menduduki seluruh wilayah Indonesia, mereka tidak mau terperangkap kembali di Aceh. Keadaan di Aceh persis seperti dikatakan oleh seorang penulis Belanda. image

Sesudah tahun 1945 pemerintah Belanda tidak kembali lagi ke Aceh, pada ketika aksi-aksi militer tahun 1946-1947, ketika bagian-bagian besar Sumatera diduduki tidak dilakukan upaya untuk menembus sampai ke Aceh. Di bagian satu-satunya dari Indonesia inilah antara tahun 1945 dan 1950 merdeka sudah menjadi kenyataan.“ (Paul Van ’t Veer. Perang Acheh, hal.254) .

Anak-anak persantren (madrasah) ditangkap kerana bangkit melawan Belanda di Tanah Jawa.Menyedihkan tentera Belanda yang ...
16/05/2024

Anak-anak persantren (madrasah) ditangkap kerana bangkit melawan Belanda di Tanah Jawa.

Menyedihkan tentera Belanda yang menangkap mereka juga terdiri dikalangan orang Jawa

pak Harto tentara KNIL Belanda .Setelah mengikuti ujian test masuk untuk menjadi tentara , ternyata ujiannya lulus dan s...
16/05/2024

pak Harto tentara KNIL Belanda .

Setelah mengikuti ujian test masuk untuk menjadi tentara , ternyata ujiannya lulus dan selanjutnya diterima sebagai tentara KNIL dengan ikatan dinas pendek. Sebenarnya ada dua sistem penerimaan KNIL untuk serdadu rendahan, yaitu ikatan dinas panjang (langverband) dan ikatan dinas pendek (kortverband).

Sebagai ikatan dinas pendek ( kortverband ) di Gombong , pak Harto bersama dengan anggota tentara baru lainnya berlatih bidang ketentaraan dari pagi sampai malam. Pak Harto lulus sebagai tentara yang terbaik. Dia kemudian ditugaskan praktik menjadi wakil komandan regu di Batalion XIII di Rampal dekat Kota malang , kemudian pindah tugas untuk menjaga pertahanan pantai di Gresik.

Pak Harto masih ingat para atasan atasan beliau sewaktu di KNIL, Komandan Kompinya Kapten Dryber , komanda peletonnya Letnan Hyneman sedangkan komandan regunya bernama sersan Jansen.

Pada era 1900-1942, motivasi menjadi serdadu KNIL Belanda , bukanlah hal yg aneh bagi kaum pribumi. Bukan karena ideologi atau setia pada Pemerintah Kolonial Belanda , tapi lebih sekadar untuk mencari cari nafkah untuk makan. Umumnya pemuda-pemuda yang berasal dari daerah yang tandus dan tak punya pekerjaan , mereka mau jadi tentara karena tertarik upahnya.[2]

Sejak penyerangan pangkalan Amerika Serikat di Pelabuhan Mutiara ( Pearl Harbor ) sejak tanggal 8 Desember 1941 , mulai pecahlah Perang Pasifik dan pada gilirannya Tentara Jepang juga menyerang Hindia Belanda pada awal Maret 1942 yang akhirnya Pemerintahan Militer Belanda menyerah kalah kepada Pemerintahan Militer Jepang di Kalijati tanggal 8 Maret 1942. Dengan berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda di Hindia Belanda, maka berakhir p**a lah eksistensi tentara KNIL Belanda.

maka pak Harto melepas atribut militernya sebagai anggota KNIL . Dan kemudian beliau bergabung menjadi polisi Jepang, yang kemudian dilanjutkan menjadi komandan kompi Pembela Tanah Air (PETA). Selama menjadi tentara Peta pak Harto tak pernah membuka identitas dirinya mengaku sebagai mantan serdadu Belanda pada Jepang , karena bisa bisa nanti malah ditahan oleh tentara Jepang.

Jadi pak Harto pernah menjadi tentara Belanda ( Knil ) sampai tahun 1942 tepatnya 8 Maret 1942.

Demikian jawaban ini semoga mencerahkan. Salam buat mas taufik Hidayat ini jawaban saya .

Catatan Kaki

[1] Dari Zaman KNIL ke Zaman PETA - HM Soeharto
[2] Soeharto pernah kerja jadi tentara Belanda | merdeka.com

Ini foto pak Harto sebagai tentara KNIL Belanda.[1]

Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertama...
16/05/2024

Kerajaan Linge adalah sebuah Kerjaaan kuno di Aceh. Kerajaan ini terbentuk pada tahun 1025 M (416 H) dengan raja pertamanya adalah Adi Genali. Adi Genali (Kik Betul) mempunyai empat orang anak yaitu: Empu Beru, Sibayak Linge, Merah Johan, Reje Linge I mewariskan kepada keturunannya sebilah pedang dan sebentuk cincin permata yang berasal dari sultan Peureulak Makhdum Berdaulat Mahmud.
Syah (1012-1038 M).

SEJARAH 7 BENTENG SAKSI BISU KEKEJAMAN MARSOSE PIMPINA VAN DAALEN7 Benteng Ini Jadi Saksi Kekejaman Belanda Membantai Ri...
14/05/2024

SEJARAH 7 BENTENG SAKSI BISU KEKEJAMAN MARSOSE PIMPINA VAN DAALEN

7 Benteng Ini Jadi Saksi Kekejaman Belanda Membantai Ribuan Rakyat Aceh
MATA INDONESIA, JAKARTA– Rakyat Aceh pasti takkan pernah melupakan tragedi 105 tahun yang lalu. Ketika itu, mereka menjadi saksi bisu peristiwa pembantaian pertama kali di abad ke-20 di 7 benteng pertahanan Tanah Gayo Lues, Provinsi Aceh.

Pembantaian tersebut dilakukan seorang perwira Belanda Gotfried Coenraad Ernst van Daalen. Aksi genosida itu pun turut mencoreng wajah Negeri Kincir Angin untuk selama-lamanya.

Saat peringatan 100 tahun Perang Aceh 2014 lalu, foto-foto pembantaian rakyat Gayo sempat ditampilkan. Termasuk sebuah foto yang menampilkan seorang anak kecil terluka menghisap puting sang ibu yang telah menjadi bangkai.

Mirisnya, serdadu Marsose berdiri pongah di dekat anak kecil itu. Marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer yang bernaung di bawah Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) alias Tentara Kerajaan Hindia Belanda

Peristiwa ini berawal dari hasil riset Snouck Hurgronje bertajuk “Het Gajolan en Zijn Bewoners” atau “Tanah Gayo dan Penduduknya” kepada van Heutsz. Sang Gubernur Jenderal pun merespons dengan menunjuk van Daalen sebagai pemimpin ekspedisi operasi militer ke Aceh, pada 8 Februari 1904.

Van Daalen dipilih karena keluarganya dikenal sudah sangat berpengalaman di Aceh. Ayahnya, Gotfried, van Daalen Sr., pernah menjabat kapten dalam Perang Aceh periode kedua (1874-1880).

Van Daalen muda pun menerima penunjukan tugas militernya sekaligus menuntaskan tugas bapaknya yang gagal saat itu. Setelah tiba, van Daalen langsung mengirimkan surat kepada raja-raja Gayo untuk segera menandatangani perjanjian takluk. Cara ini diakukan seperti banyak pemimpin rakyat di wilayah Aceh lain (Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh,2014:280).

Namun para pemimpin Gayo menolak memenuhi undangan itu. Van Daalen pun murka dan menggerakkan pasukan untuk menyisir satu demi satu perkampungan di wilayah tersebut.

Lalu terjadilah pembantaian terhadap warga di tujuh benteng pertahanan Gayo. Ajudan van Daalen, J.C.J. Kempees, dalam laporan berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), menyebut ekspedisi militer Belanda di pedalaman Aceh itu setidaknya menelan korban nyawa hingga 4.000 orang.

Setiap kali usai penyerbuan, van Daalen memerintahkan ajudannya untuk memotret tumpukan-tumpukan mayat dengan para Marsose yang berpose di sekitarnya (Dien Madjid, 2014: 282).

Berikut 7 benteng yang menjadi lokasi pembantaian tersebut :

1. Benteng Pasir

Pada 10 maret 1904, pasukan Van Daalen tiba di kampung Kla, Kecamatan Tripe Jaya, Gayo Lues, di hari yang sama mereka bergerak memasuki kampung Kloang. Kemudian perjalanan dilanjutkan ke Desa Rerebe.

Gempuran peluru Marsose, membuat pejuang Gayo Lues memilih untuk mundur. Pasukan Marsose melanjutkan gerakan militernya menuju kampung Pasir.

Dan di kampung tersebut ternyata para pejuang Gayo telah menyiapkan benteng pertahanan, maka hingga sekarang dikenal sebagai Benteng Pasir.

Pasukan Marsose memasuki wilayah Kampung Pasir pada 14 Maret 1904 dan menggempur benteng pertahanan rakyat di pasir. Benteng pasir ini adalah benteng pertama rakyat Gayo Lues yang menjadi sasaran serbuan Belanda. Persiapan pertahanan rakyat di benteng pasir ini terbilang lemah karena perencanaannya tergesa-gesa.

Benteng Pasir diserang oleh satu setengah brigade penggempur marsose, sedang beberapa pasukan lainnya berjaga-jaga di tempat-tempat yang strategis, di luar benteng. Pertempuran tidak bisa dihindarkan.

2. Benteng Gemunyang

Serangan ke Benteng Gemunyang merupakan lanjutan dari Van Daalen menghabisi rakyat Gayo di Pasir. Pada 18 Maret 1904 Van Daalen memerintahkan 3 Brigade Marsose dibawah pimpinan Kapten Scheepens dibantu oleh Letnan Ebbink, 2 Brigade dibawah Komando Letnan Watrin dan yang lain dibawah pimpinan Van Daalen sendiri sebagai cadangan bergerak menuju benteng.

Pasukan pengempur marsose pun terkejut ketika dalam posisi kira-kira 10 meter dari dinding benteng, tiba-tiba meledaklah semburan api dari dalam benteng, ditambah lemparan batu, kayu-kayu runcing, semprotan air cabe yang terus-menerus.

Dari catatan Kempees jumlah korban tewas di pihak Gayo Lues sebanyak 308 orang di antaranya 168 laki-laki, 92 perempuan dan 48 anak-anak. Sementara pihak Belanda 2 orang mati dan 15 orang luka-luka.

Sekedar tahu Benteng Gemuyang terletak di tepi gunung di kecamatan Kutapanjang sekarang dekat kampung Peparik. Benteng ini panjangnya 54 meter, dan lebarnya 42 meter, tingginya 2 meter dan tebal dindingnya 1,5 meter dan kakinya 0,9 meter.

3. Benteng Durin

Benteng kampung Durin ini terletak di tengah-tengah gundukan perkampungan besar Penampaan – Kutelintang. Di bagian kanan perkampungan ini terletak kampung Kute Bukit, dan Kute Sere. Tidak jauh dari perkampungan ini terletak kampung Blangkejeren, Bacang, Bener Kalifah, dan Kampung Kong.

Van Daalen mengira bahwa setelah jatuhnya benteng Gemuyang ke tangan pihak Belanda, dia akan dengan mudah dapat menaklukan rakyat Gayo Lues. Namun ternyata Van Daalen salah, rakyat tidak mau menyerah, mereka lebih memilih berjuang.

Atas sikap itu, Belanda mengatur siasat dan pada 22 Maret 1904 Van Daalen mengeluarkan perintah kepada pasukan marsose untuk menyerang benteng Durin.

Pasukan itu berjumlah diperkiarakan, 8 (delapan) Brigade yang dipimpin oleh pasukan serbu Kapten Scheepens dibantu oleh Letnan Aukes, 2 brigade dipimpin oleh Letnan Watrin dan dibantu oleh Ebbink, 3 brigade berada dibawah pimpinan Letnan Winter untuk cadangan, termasuk barisan kesehatan di bawah pimpinan perwira kesehatan Neeb, 2 brigade di bawah pimpinan Christoffel membantu mengawasi lapangan sedangkan Van Daalen sebagai cadangan.

Tercatat dari buku karangan JCJ. Kempees, korban dari rakyat Gayo yang tewas sebanyak 164 orang terdiri dari perempuan dan anak-anak. Sedangkan dari pihak Belanda berjumlah 30 orang luka-luka diantaranya 2 perwira Belanda.

4. Benteng Badak

Tepatnya 4 April 1904, Marsose menyerang benteng ini, setelah mereka berhasil menguasai Benteng Durin.

5. Rikit Gaib

Pertempuran di Benteng Rikit Gaib terjadi pada 21 April 1904. Dalam penyerangan ke benteng ini, Belanda mengerahkan seluruh kekuatan induk marsose ditambah dengan bala bantuan baru.

Pasukan penggempur 3 Brigade di bawah pimpinan Kapten Scheepens dibantu oleh Letnan Aukes, 2 seksi dipimpin oleh Kapten De Graaf dibantu oleh Letnan Harbord dan Delgorde. Selanjutnya 2 Brigade di bawah pimpinan Letnan Ebbink ditugaskan menduduki bukit sebelah barat benteng Tungel.

Kemudian 1 Brigade dipimpin oleh Letnan Christoffel ditugaskan menduduki bukit sebelah utara Rempelam dan 2 Brigade yang dipimpin oleh Letnan Watrin dan 1 seksi dipimpin oleh Letnan Velsing bersama Van Daalen sendiri dan 1 seksi ditugaskan mengawasi lapangan.

Persenjataan yang tidak seimbang, Benteng Rikit Gaib jebol berhasil direbut dan rakyat berguguran. Tercatat korban tewas di pihak Gayo Lues sebanyak 184 orang, 143 laki-laki dan 41 perempuan dan anak-anak.

Benteng Rikit Gaib adalah gabungan dari dua kampung yang bertetangga yaitu kampung Cane Uken dan kampung Tungel.

6. Benteng Penosan

Pada tanggal 11 Mei 1904, Van Daalen mengeluarkan perintah untuk menyerang benteng Penosan dengan kekuatan penuh. Untuk menyerbu benteng setinggi 3 meter ini, Van Daalen mengerahkan 10 Brigade marsose, dibantu oleh 4 pasukan mobil dari Kuala Simpang dan pasukan penggempur terdiri dari 3 Brigade di bawah komando Kapten Scheepens.

Pertempuran pun berkecamuk dengan hebat, pejuang Aceh menyambut pasukan Belanda di atas tanggul dan pinggiran benteng. Rakyat Gayo, laki-laki dan perempuan serta anak-anak mempertahankan dengan gagah berani.

Untuk membendungan kekuatan rakyat, Dallen memerintahkan prajuritnya untuk membakar rumah, perlindungan rakyat, lubang-lubang perlindungan sehingga banyak pejuang Gayo yang hangus terbakar.

Diperkirakan warga Gayo yang tewas sebanyak 284 orang gugur, 200 orang laki-laki, 71 orang perempuan, 23 orang anak-anak. Korban luka-luka 19 orang laki-laki, perempuan dan anak-anak. Di pihak Belanda korban 39 orang, 6 orang mati, 3 orang luka-luka dan 30 serdadu marsose.

7. Benteng Tampeng

Pertempuran di benteng Tampeng terjadi tanggal 18 Mei 1904. Benteng yang terletak tidak jauh dari Penosan diserbu 10 Brigade pasukan marsose ditambah pasukan infantry bala bantuan dari Kutaraja dan Kuala Simpang.

3 Brigade dipimpin oleh Kapten Scheepens dibantu Letnan Winter. 3 Brigade dipimpin Letnan Watrin dibantu Letnan Braam Morris, 3 Brigade dipimpin Letnan Christoffel yang bertugas sebagai pembantu bagian selatan bersama 4 seksi di bawah komando Kapten De Graaf lengkap dengan dokter, ambulans dan 250 orang hukuman. Penyerangan dimulai.

Menurut catatan korban di pihak Gayo Lues 176 orang gugur, 125 orang laki-laki dan 51 orang perempuan dan anak-anak. Hanya 4 orang perempuan dan anak-anak yang masih hidup. Korban di pihak Belanda 39 orang, 1 orang mati dan luka-luka 38 orang
kompeni bedebah elanda yg tukang pukulnya sebagian besar adalah pribumi indonesia sendiri,terutama dari jawa dan maluku.cut nyak dien jg ketangkap pada rangkaian ekspedisi penaklukan aceh ini

mengenai van daleen sendiri memang kelewatan,sampai sampai beberapa petugas lapangan belanda muka dan mengundurkan diri ,begitu jg Snouck Hurgronje sampai mengecam van daleen.

pasukan belanda sendiri banyak diisi sama pribumi sendiri, yg dijadiin tukang bantai buat sesama, terutama diisi orang orang jawa. ini masih meninggalkan bukti sampai sekarang, dengan banyaknya kuburan pasukan belanda dengan nama-nama jawa di Aceh.

Address


Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Ret barat Pulo Ruja posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share