21/04/2024
Presiden Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, dengan tulus mengucapkan selamat Hari Kartini kepada semua perempuan Indonesia. Namun, dalam sambutannya, dia menegaskan harapannya agar peringatan setiap 21 April tidak sekadar menjadi rutinitas tanpa makna.
"Hari Kartini bukanlah sekadar ritual tahunan, tetapi harus dijadikan sebagai simbol perjuangan nyata perempuan untuk mendapatkan posisi dan kekuatan yang setara," kata Jokowi dalam pesan yang dia bagikan pada Minggu (21/4/2024).
"Saya mengucapkan Selamat Hari Kartini kepada semua perempuan Indonesia," tambahnya.
Jokowi juga membagikan video animasi yang menampilkan Kartini dalam berbagai versi, dilengkapi dengan tulisan "habis gelap terbitlah terang" dan ucapan selamat Hari Kartini.
Video tersebut juga menghadirkan lagu "Ibu Kita Kartini" karya WR Supratman.
Kisah Inspiratif RA Kartini: Pemberani dalam Mempertahankan Kesetaraan
Salah satu tokoh wanita paling berpengaruh di Indonesia adalah Raden Adjeng Kartini atau yang lebih dikenal sebagai RA Kartini. Setiap tanggal 21 April, hari kelahirannya, diperingati sebagai Hari Kartini di seluruh Indonesia.
Namun, mengapa tanggal 21 April dipilih sebagai Hari Kartini? Keputusan tersebut berakar dari Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang dikeluarkan pada 2 Mei 1964.
Pemilihan RA Kartini sebagai Pahlawan Nasional dilakukan untuk menghargai kontribusinya dalam memperjuangkan kesetaraan gender. Kartini bertekad memajukan kesetaraan dan pendidikan bagi perempuan.
Siapakah RA Kartini, sosok yang lahir pada 21 April 1879 di Jepara dan menjadi salah satu Pahlawan Nasional yang paling berpengaruh di Indonesia?
Kartini adalah anak kelima dari 11 bersaudara. Lahir di Mayong, Jepara, ia adalah cucu dari Pangeran Ario Tjondronegoro, seorang Bupati Demak yang mendorong pendidikan Barat bagi anak-anaknya, termasuk perempuan.
Beberapa tahun sebelum wafat, Pangeran Ario Tjondronegoro memberikan pesan kepada anak-anaknya, "Anak-anakku, tanpa pendidikan, kalian tidak akan mencapai kebahagiaan, keturunan kita akan terbelakang, ingatlah."
Anak-anaknya mewujudkan pesan ayah mereka. Semangat ini juga tercermin pada Kartini dan saudara-saudaranya, dari yang tertua hingga R.M. Sosroningkat, Pangeran A. Sosrobusono, yang menjadi Bupati di Ngawi. Kata-kata ini diambil dari buku Kartini, "Habis Gelap Terbitlah Terang," yang diterjemahkan oleh Armijn Pane.
Hingga usia 12 tahun, Kartini dapat menuntut ilmu di ELS (Europese Lagere School), di mana ia belajar bahasa Belanda. Namun, setelah itu, dia harus tinggal di rumah karena dianggap sudah waktunya untuk dipingit.
Masa Kecil Kartini
Hingga usia 12 tahun, Kartini mendapat kesempatan untuk bersekolah di ELS (Europese Lagere School), di mana dia mempelajari bahasa Belanda. Namun, setelah itu, dia harus tinggal di rumah karena sudah dianggap layak untuk dipingit.
Sejak kecil, Kartini diasuh tidak hanya oleh ibunya, Ngasirah, tetapi juga oleh Mbok Emban Lawiyah. Kartini tidak pernah membedakan perlakuan antara teman-temannya. Pada tahun 1881, ayah Kartini diangkat sebagai Bupati di Jepara.
Tanda-tanda semangat perjuangan untuk emansipasi sudah tampak sejak Kartini berusia enam setengah tahun. Dia ingin sekolah.
Bagi anak perempuan Jawa, pendidikan formal di sekolah pada masa itu dianggap tabu dan diharamkan oleh tradisi serta dihina oleh masyarakat. Tetapi, Kartini kecil menentang norma-norma yang diskriminatif tersebut.
Usahanya tidak sia-sia. Akhirnya, ia mendapat izin dari ayahnya untuk bersekolah. Di sekolah, ia bersahabat dengan anak-anak keturunan Indo-Belanda, sedangkan anak-anak Jawa hampir tidak ada karena hanya putra Bupati yang diizinkan untuk bersekolah di sekolah Belanda.
Tahun terakhirnya di sekolah, Kartini lulus dengan prestasi tertinggi. Namun, meskipun Ario Sosroningrat, sebagai Bupati dan pemegang adat, cenderung progresif, ia terbatas oleh norma-norma dan harus menghormati tradisi yang berlaku di masyarakatnya.
Termasuk dalam menghadapi keinginan anaknya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Ketika Kartini Dipingit
Cerita Kartini menjadi lebih jelas ketika ia memasuki masa pingitan. Seperti yang diungkapkan dalam buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya Ananta Toer, di "penjara" ini Kartini merenung.
Kehidupan yang bebas, yang dia alami sejak kecil, berubah menjadi hukuman dengan aturan-aturan yang membatasi dan memaksanya untuk tumbuh dewasa lebih cepat dari yang seharusnya.
Namun, Kartini tidak menyerah begitu saja. Di dalam pingitan, dia belajar sendiri tanpa bantuan guru. Berkat kemampuannya berbahasa Belanda, ia mulai belajar dan menulis surat kepada teman-teman korespondensinya dari Belanda.
Salah satu dari mereka adalah Rosa Abendanon, yang sangat mendukungnya. Dengan bacaan dari buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada pemikiran-pemikiran progresif perempuan Eropa. Ini memicu keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini sering membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diedit oleh Pieter Brooshooft, dan menerima leestrommel (paket majalah dari toko buku) yang berisi majalah kebudayaan dan ilmiah yang berat, serta majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Kartini bahkan beberapa kali mengirimkan tulisannya yang dimuat di De Hollandsche Lelie. Minatnya tidak hanya pada emansipasi wanita, tetapi juga pada isu-isu sosial lainnya. Kartini percaya bahwa perjuangan wanita untuk memperoleh kebebasan, otonomi, dan kesetaraan hukum adalah bagian dari gerakan yang lebih besar.
Diantara bacaannya sebelum usia 20 tahun adalah buku-buku seperti "Max Havelaar" dan "Surat-Surat Cinta" karya Multatuli.
Kartini Menjadi Dewasa dan Menikah
Kartini menjadi dewasa, pemikirannya semakin matang seiring dengan bertambahnya usia. Dengan membaca yang luas, Kartini memperluas wawasannya tentang pandangan dunia, hak asasi manusia, dan keadilan untuk semua.
Salah satu ide besar Kartini adalah mendirikan sekolah untuk perempuan pribumi. Meskipun rencana ini hampir terwujud, ayahnya jatuh sakit parah sebelum pelaksanaannya. Hal ini menghentikan rencana tersebut, karena dalam masyarakat pada saat itu, seorang bupati harus mematuhi adat istiadat yang berlaku.
Meskipun gagal menjadi seorang guru, Kartini tetap bersemangat untuk mewujudkan cita-citanya. Ia berharap dapat menempuh pendidikan sebagai seorang dokter. Ayahnya pun mendukungnya dengan mengajukan permohonan beasiswa kepada pemerintah Hindia Belanda.
Meskipun Kartini diberi kesempatan untuk mendapatkan beasiswa tersebut, ia menolaknya karena alasan akan segera menikah. Beasiswa itu kemudian diberikan kepada Haji Agus Salim. Pada tahun 1903, Kartini menikah dengan R.M Joyohadiningrat, seorang Bupati di Rembang.
Meskipun menikah, semangat Kartini dalam memajukan kaum perempuan tidak surut. Ia dan suaminya sama-sama berusaha untuk memberikan pendidikan kepada anak-anak perempuan, menjadikan sekolah yang pernah ia rintis di Jepara dilanjutkan di Rembang.
Dengan semangat dan tekadnya, Kartini tidak hanya menjadi contoh bagi perempuan Indonesia pada zamannya, tetapi juga masih memberikan inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya. Perjuangannya untuk kesetaraan dan pendidikan tetap diingat dan diperingati setiap tahun pada Hari Kartini, sebagai penghargaan atas dedikasinya yang luar biasa bagi bangsa Indonesia.