08/08/2018
Untuk Hatimu yang Sudah Reda
Apa yang berhenti mengalir dari mata sejarah kita telah pelan-pelan menghapus namaku dari belahan rambutmu.
Esok yang dulu begitu langkah kaki takutkan sampai gemetar telah menginjak jejak-jejak kabur yang meninggalkan aku pada tempatku pertama berdiri canggung meraba-raba kamu dan raut muka yang tidak akan aku lupa.
Perihal-perihal paling krusial yang bermalam-malam mulut engkau adukan kini menjadi bayang abu-abu yang meninggalkanmu.
Rintik-rintik, hujan deras, atau badai yang mengoyak kita pastilah pada engkau sudah reda. Namun diam-diam aku selalu berdoa menjelmakan tanganku jaring-jaring dan membungkam kepalamu dalam bising, mencegah kau tanggalkan ranting-ranting hari kemarin.
Diam-diam aku berharap memasangkan kurungan. Mencegah ingatan kabur perlahan.
Tetapi selalu jatuh.
-Waktu dan hati baru- katamu adalah tempat bagaimanapun arahmu menuju.
Sudahkah tanganmu menemukan apa yang kamu mau?
Apa kabar?
Entah, apa kelak aku akan sampai pada rasa bosan mengucap apa kabar?- padamu, pada diriku sendiri.
Kamu.
Kamu yang demi melihat senyummu yang lebar itu, meski hanya dalam selayar tak bergerak. Demi tahu kamu bahagia dan baik-baik saja, aku sudah menjadi rela menukar sekerat bahagiaku untuk aku tukar dengan selautan air mataku dulu. Rela menjalani hari-hari dengan mengurung diri di kamar dengan bantal yang basah, rela sesegukan di kamar mandi dan terus mengguyur kepalaku dengan air demi melarutkan lelehan airmata di pipiku, rela menulis puluhan atau ratusan puisi dan cerita dengan tinta airmata. Demi melihatmu bahagia.
Itu dulu. Semua itu sudah lewat sekarang. Ya…ternyata aku masih bisa hidup setelah menguras air mata sebegitu banyak dan menguras hatiku sebegitu dalam. Aku masih hidup, bisa bernapas, bisa tersenyum dan tertawa dengan teman-temanku, saudara2ku dan keluarga kecilku. Aku ternyata bisa menjadi baik-baik saja.
Apa kabar?
Kata yang ingin setiap hari kuulang dan kutanyakan padamu.
Bukan sekedar retorik karena aku benar-benar ingin tahu bagaimana kabarmu sekarang.
Jujur saja kadang aku merindukan kamu yang bernyanyi. Kamu yang membuatku tertawa. Namun, rindu sudah menjadi tidak pantas sekarang. Merindukan ternyata bisa menjadi sesuatu yang terlarang.
Kita menjadi orang asing yang tidak saling menyapa, aku menerima. Tapi keegoisan ingin sebagian aku terus tumbuh menjadi bayang-bayang di kepalamu. Semua boleh hilang kecuali ingatan. Kamu,aku harus tetap hidup dengan itu. Kau mengerti?
Kamu harus tetap sehat, jangan lupa makan dan selamat ulang tahun.