25/09/2025
Neneng Nurhasanah, 22 tahun, tinggal di Tangerang Selatan, Banten, dibesarkan dalam keluarga sederhana dan pesantren yang ketat. Hidupnya yang tertata berubah drastis pada Mei 2013, ketika malam yang seharusnya biasa menjadi titik balik yang mengerikan. Abdul Muhyi, 21 tahun, diduga memaksanya melakukan hubungan seksual di sebuah masjid dan gang sepi di kawasan Telaga Kahuripan. Rasa takut, terpojok, dan trauma mendalam menyelimuti Neneng, hingga ia mengambil langkah ekstrem: memotong alat kelamin Abdul sebagai bentuk balas dendam sekaligus upaya membela diri.
Abdul ditemukan pingsan di depan Puskesmas Pamulang, luka parah mengalir dari tubuhnya, dan pertolongan medis segera diberikan. Polisi menindaklanjuti kasus ini dengan menahan Neneng beberapa hari kemudian. Dalam persidangan, Neneng menjelaskan bahwa tindakannya lahir dari amarah dan rasa terluka akibat pelecehan yang dialaminya. Psikolog yang memberi keterangan menegaskan bahwa perilaku Neneng adalah respons traumatis terhadap ancaman yang dirasakannya, meski tetap dianggap melanggar hukum.
Di Pengadilan Negeri Tangerang, dokter dan saksi medis menggambarkan kondisi Abdul yang kritis. Hakim menimbang motif perlindungan diri dan sikap kooperatif Neneng, namun tetap menegaskan bahwa hukum harus dijalankan. Vonis 2 tahun 6 bulan penjara dijatuhkan, lebih ringan dibanding tuntutan jaksa 5 tahun, memicu perdebatan sengit tentang ketimpangan hukum. Banyak pihak menilai sistem hukum kurang memberi ruang bagi korban untuk membela diri, sehingga respons ekstrem terhadap pelecehan seksual tetap berakhir di balik jeruji.
Kasus ini menjadi simbol konflik batin dan psikologis antara trauma, balas dendam, dan aturan hukum. Tindakan Neneng yang dramatis memperlihatkan ketegangan antara kebutuhan perlindungan korban dan penerapan hukum yang kaku, menimbulkan diskusi panjang tentang batasan pembelaan diri ketika seseorang menghadapi kekerasan seksual yang nyata.