Harmoni Indonesia

  • Home
  • Harmoni Indonesia

Harmoni Indonesia Sajian berita yang berbeda

16/06/2018

Musik Deen Assalam Covering by Sabyan

12/04/2015

Jika diperhatikan, memang foto kucing ini bisa menjebak.

12/04/2015
03/10/2013

(TERDUGA TANGKAP TANGAN YANG TAK MENERIMA APA-APA)

LHI Tidak Pernah Meminta Kuota Daging

Tajuk.co JAKARTA – Luthfi Hasan Ishaaq tidak pernah meminta tambahan quota daging sapi, baik secara langsung kepada Menteri Pertnian maupun melalui orang lain. LHI juga tidak pernah mendorong satu atau beberapa perusahaan untuk mendapatkan kuota impor daging sapi.

Hal tersebut terungkap dalam keterangan Menteri Pertanian Suswono pada sidang lanjutan kasus suap daging impr dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq, Kamis (3/10) di Pengadilan Tipikor, Jakarta Selatan. Selain Mentan Suswono, sidang yang mengagendakan pemeriksaan saksi tersebut juga menghadirkan Sekretaris Menten Baran Wirawan, dan penggurus Kadin Pusat Suwarso.

Keterangan saksi Suswono disampaikan menjawab pertanyaan terdakwa. “Apakah saya pernah meminta tambahan kuota daging, baik langsung maupun melalui orang lain,” tanya LHI kepada saksi Suswono.

“Apakah saya pernah merekomendasikan satu, dua, atau sepuluh perusahaan untuk mendapatkan kuota daging sapi,” tanya LHI lagi.

“Tidak..!” jawab saksi Suswono dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Guzrizal tersebut.

Pertanyaan serupa juga ditanyakan terdakwa kepada Sekretaris Menteri Pertanian Baran Wirawan maupun Suwarso. Terdakwa menanyakan, apakah dirinya pernah menitipkan pesan untuk menteri meminta tambahan kuota daging. Pertanyaan lainnya, apakah dirinya pernah menitipkan pesan agar disampaikan kepada menteri untuk membantu satu, dua, atau sepuluh perusahaan mendapatkan kuota daging sapi.

Baik Baran maupun Suwarso menjawab tidak pernah.

Ketiga saksi menyatakan, terkait dengan persoalan daging, terdakwa hanya menyampaikan keprihatinan atas mahalnya harga daging sapi di pasaran, dan maraknya peredearan daging celeng dan tikus di masyarakat.

“Terdakwa menanyakan bagaimana solusi Kementerian Pertanian terhadap maraknya peredaran daging celeng dan tikus. Saya jawab waktu itu, hal itu hanya persoalan moral hazard. Setelah pelakunya ditangkap tidak ada lagi peredaran daging celeng dan tikus,” terang Suswono.

Terkait peran terdakwa dalam pertemuan di Medan, saksi Suswono menjelaskan, terdakwa tidak ikut dalam perdebatan antara dirinya dengan Elizabeth. “Terdakwa hanya membuka dan menutup pertemuan,” katanya.

Dan ketika menutup pertemuan yang hanya berlangsung sekitar 15 menit tersebut, terdakwa hanya meminta kepada Elizabeth untuk melaksanakan permintaan Mentan untuk menyelenggarakan seminar untuk membuktikan paper yang diajukannya.

Dalam pertemuan tersebut Elizabeth menyampaikan hasil studinya terkait konversi dari sapi hidup menjadi daging. Paper yang diajukan Elizabeth menyebut konversi dari sapi hidup menjadi karkas adalah sebesar 40 persen. Sementara yang dijadikan acuan oleh Kementan adalah sekitar 50 persen. (HAS)

http://tajuk.co/news/lhi-tidak-pernah-meminta-kuota-daging

08/06/2013

Korban ‘Peradilantainment’

HERU SUSETYO
Staf Pengajar Viktimologi dan Hukum Perlindungan Anak
Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Proses peradilan pidana di Indonesia belakangan ini sudah laksana infotain-ment. Penangkapan, penyelidikan, penyidikan, dan persidangan kasus-kasus tertentu menarik untuk dilihat, dipantau, dibicarakan, dan mendapat rating tinggi di mata masyarakat. Sayangnya, terkadang esensi keadilannya tak menjadi fokus perhatian.

Alih-alih berfokus pada materi kejahatan yang dilakukan atau pada pokok perkara, masyarakat malah lebih menikmati informasi lain yang diluar pokok perkara. Di sisi lain, penegak hukum juga terkesan membiarkan atau bahkan menikmati penyimpangan ini.

Sebutlah kasus model cantik Novi Amalia (NA) yang ditangkap karena mengendarai mobil dengan berbikini saja dalam kendaraan saat mabuk dan menabrak tujuh orang, termasuk dua orang polisi, di sekitar Taman Sari Jakarta Barat pada 11 Oktober 2012.

Setelah ditangkap, kasus yang kemudian menarik perhatian publik bukanlah bahwasanya dia mabuk dan mena brak orang banyak, melainkan bagai mana NA kemudian mengalami perlakuan salah dari polisi.

Ia difoto dalam keadaan berbikini dan diborgol, lalu foto-fotonya menyebar ke mana-mana melalui media seluler dan internet. Maka, NA pun meng alami double victimization. Sudah menderita karena menjadi tersangka pelaku penabrakan, lalu menderita p**a akibat dilecehkan oleh penegak hukum dalam proses pemeriksaan.

Kasus berikutnya adalah tentang kisah-kisah penggerebekan tersangka teroris oleh aparat kepolisian. Tidak sekali atau dua kali operasi-operasi penangkapan teroris tersebut diliput secara terbuka oleh media penyiaran publik, seperti televisi. Mulai dari polisi yang bergerak mengendap-ngendap mencoba mengepung rumah di lokasi tertentu, menyiarkan liputan tentang rumah, keluarga, area sekitar, wawancara dengan masyarakat sekitar, tokoh masyarakat, mantan guru, mantan sekolah terduga teroris, dan sebagainya.

Dampak dari narsisme dalam pemberitaan kasus pemberantasan terorisme ini adalah lahirnya potensi viktimisasi dan kriminalisasi terhadap keluarga tersangka, area sekitar tempat tinggal tersangka, sampai teman-teman tersangka.

Tersangka bisa jadi lolos, tertangkap, ditembak mati, ataupun luka-luka parah. Namun, keluarga, teman-teman, mantan sekolah, hingga area tempat ting gal tersangka sering juga kena getah nya akibat pemberitaan yang eksesif dari lembaga penyiaran publik.

Kasus Antasari Azhar, mantan ketua KPK yang kemudian dijatuhi pidana 18 tahun penjara karena terbukti sebagai perencana pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Rajawali Putra, memiliki magnitude permasalahan yang hampir sama. Alih-alih mendalami kasusnya, sebagian publik malah lebih tertarik dengan isu `cinta segitiga' antara Antasari, Nasrudin dan Rani.

Namun, primadona dari semua kasus `peradilantainment' adalah kasus-kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang banyak terjadi belakangan ini.

Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa KPK melakukan tebang pilih dalam memberantas korupsi, prestasinya juga tidak sedikit. Terakhir adalah ketika Pengadil an Tipikor memidana ZD, anggota DPR, dan anak lelakinya dengan hukuman 15 tahun penjara dan anaknya delapan tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan Alquran.

Sayangnya, dalam beberapa kasus terakhir, proses hukum dan reaksi masyarakat, media cetak, serta lembaga penyiaran publik cenderung salah sasaran.

Alih-alih berfokus kepada dugaan kejahatan dan tindak pidana pencucian uangnya, penegak hukum dan masyarakat malah asyik mengurusi isu-isu lain di seputar tersangka, seperti para perempuan di sekitar tersangka, apakah berstatus istri tua, istri muda, teman dekat, selingkuhan, dan sebagainya.

Misalnya, dalam kasus dugaan korupsi di Korlantas Polri yang melibatkan Irjen Djoko (DS) sebagai tersangka. Kasus lain yang lebih anyar adalah yang melibatkan Ahmad Fathanah (AF) dan Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam dugaan korupsi impor daging sapi di Kementerian Pertanian.

Dalam kasus AF, berturut-turut timbul Maharani, Vitalia Sesha, Ayu Azhari, Tri Kurnia, sampai istrinya, Sefti Sanustika. Belakangan, konon aliran dana dari AF diduga mengalir ke 40 orang perempuan lainnya. Sayangnya, data tersebut tidak akurat karena dari jumlah tersebut, ada nama dari ibu dan keluarga AF alias bukan perempuan-perempuan teman dekatnya.

Dalam kasus yang melibatkan LHI, alih-alih menguliti kasus dugaan korupsi dan TPPU-nya, media massa lebih tertarik dengan berapa jumlah istri dan apakah Nona Darin Mumtazah (DM) adalah istri dari LHI atau bukan.

Pemanggilan istri pertama, kedua, dan Nona DM juga dilakukan pada saat bersamaan oleh KPK, membuat proses penyidikan yang sebenarnya biasa ini berubah menjadi drama ala telenovela.

Peradilan seharusnya memberikan keadilan, bukan melahirkan viktimisasi bagi orang-orang yang bukan tersangka. Media massa juga sepatutnya memberikan informasi yang sehat dan mendidik, bukannya semata-mata mengakomodasi selera rendah masyarakat.

Rambu-rambu untuk perlindungan terhadap `peradilantainment' tersebut sudah ada. Setiap profesi penegak hukum memiliki undang-undang dan kode etik. Masyarakat memang memerlukan informasi yang cepat dan segar. Tapi, juga jangan melupakan akurasi dan kesehatan berita, juga perlindung an terhadap tersangka, korban, dan saksi harus diutamakan.

Karena, alih-alih memberikan informasi yang cepat dan tepat, pemberitaan media belakangan ini cenderung kurang sehat dan kurang akurat. Dampaknya adalah terjadi viktimisasi dan kriminalisasi terhadap orang-orang yang tidak sepatutnya diviktimisasi dan dikriminalisasi.

Beberapa bentuk perlindungan tersebut, misalnya, tidak meliput persidangan dan mengambil foto persidangan secara vulgar. Di luar negeri banyak negara yang melarang peliputan dan pengambilan gambar persidangan. Lalu, gunakanlah inisial untuk nama-nama orang yang sepatutnya dilindungi, seperti pada korban dan saksi.

Dengan dikembalikannya proses penegakan hukum dan peliputan media pada rel yang seharusnya, semoga proses peradilan pidana akan betul-betul melahirkan keadilan. []

*Opini REPUBLIKA (8/6/2013)

Pengadaan Alat Penyadap Tanpa Tender, Yusril Ihza Mahendra meminta KPK Memeriksa Dirinya SendiriLangkah Yusril Ihza Mahe...
06/06/2013

Pengadaan Alat Penyadap Tanpa Tender, Yusril Ihza Mahendra meminta KPK Memeriksa Dirinya Sendiri


Langkah Yusril Ihza Mahendra meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar lembaga itu memeriksa dirinya sendiri terkait pengadaan alat penyadap yang tidak melalui proses tender dipuji peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti.

"Bukan membela dia, tapi hal itu (langkah Yusril, red) saya salut banget," kata Ikrar di sela-sela sebuah seminar di Jakarta, Jumat.

Menurut Ikrar, Yusril yang juga Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) itu merupakan satu-satunya orang yang berani "melawan" KPK yang merupakan lembaga "superbody".

Dengan adanya laporan Yusril tersebut, katanya, masyarakat menjadi tahu kalau KPK juga melakukan pengadaan barang tanpa proses tender.

Meski mengakui penunjukan langsung dalam pengadaan barang dan jasa dibolehkan Keppres 80/2003 jika menyangkut rahasia negara, Ikrar meminta KPK tetap menindaklanjuti laporan Yusril tersebut.

"KPK jangan cuma bisa menyelidiki institusi lain," kata Ikrar.

Pada kesempatan itu Ikrar menyatakan harapannya agar KPK mulai serius mengurusi kasus korupsi yang bernilai besar. Misalnya, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"KPK jangan hanya ngurusin kasus Rp300 juta hingga Rp1 miliar. Itu kasus remeh-temeh. Cari d**g kasus yang korupsinya segunung-gunung, yang selama ini tidak diutak-atik," kata Ikrar.

Jika KPK tidak menyentuh kasus-kasus korupsi besar, katanya, jangan heran jika masyarakat menilai KPK adalah alat yang dipakai untuk menyingkirkan semua orang yang dianggap tidak loyal terhadap penguasa.(antaranews.com)

26/05/2013

Di tengah euphoria atas kehebatan KPK melucuti perempuan2 di sekitar AF ada suara lain yang amat keras memperingatkan KPK siapakah dia??

Suara itu adalah milik Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH. LL.M
Siapa Professor Doktor yang hebat ini?
Biasa disapa Prof. Romli, beliau lahir di Cianjur, Jawa Barat, 1944. Menyelesaikan pendidikan S-1 Hukum pada Fak. Hukum Unpad, 1969. Kemudian menyandang gelar Master Hukum dari University of California, Berkeley, 1981. Lalu menyandang gelar Doktor Cum Laude dalam Ilmu Hukum dari UGM, 1996. Saat ini beliau aktif sebagai Maha Guru Hukum Pidana Internasional, pada Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung. Selain aktif di dunia akademis, beliau juga adalah Koordinator Forum Pemantau Pemberantasan Korupsi (Forum 2004), dan tim ahli United Nations Convention Against Corruption (Konvensi PBB Melawan Korupsi).
Itulah sekilas reputasinya.
Tetapi itu belum cukup. Pada masa persiapan pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Prof. Romli adalah Ketua Tim Seleksi Komisioner KPK, yang kemudian memilih Taufiequrrachman Ruki. Di era pemerintahan Presiden Megawati, Prof. Romli ditunjuk sebagai Anggota Tim Perumus UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi yang berlaku sampai sekarang. Dari kapasitas inilah Prof. Romli mesti didengarkan.
Dalam video 14 menit ini, Prof Romli berbicara mengenai Tugas KPK dan latar belakang dibentuknya KPK. Bahwa sasaran UU Tipikor itu adalah penyelenggara negara, tak dapat digunakan untuk menjerat kalangan swasta, kecuali dengan alasan khusus. Tuduhan suap-menyuap itu pun harus jelas buktinya, terkait dengan tugas dan kewenangannya. Soal TPPU, hanya ada 26 pasal TPPU dan tak ada soal pasal produk pertanian.
Ketika pewawancara menunjukkan pasal TPPU yang dituduhkan kepada Akhmad Fatonah, Prof. Romli berkata: “Itu pasal apa? Dari mana? Tak ada pasal seperti itu dalam TPPU!”
Beliau juga secara khusus menyoroti Bambang Widjoyanto, yang didengarnya pernah bicara tentang ‘menggunakan wewenang untuk mempengaruhi’. Bahwa pasal itu tidak ada dalam UU Tipikor. Soal masih dalam perencanaan atau direncanakan untuk diundangkan, itu tak ada urusannya. Bicara hukum adalah bicara hukum: “Pasal itu tidak ada dalam UU Tipikor!”
Dengan suara dan mimik yang sedikit kecewa, Professor Romli berkata : “Terus terang saya meragukan cara kerja KPK seperti ini!” Ucapan itu barangkali tak punya makna apa-apa di kalangan awam, tetapi dapat dimaknai sebagai sambaran petir di kalangan ilmuwan. Tetapi ucapannya berikutnya pasti dapat dimengerti sebagai kemarahan oleh siapa pun juga: “Komisioner KPK dapat dipenjara maksimal 4 tahun karena membocorkan nama-nama orang yang menerima aliran dana dari Akhmad Fatonah!”
Wawancara itu ada dalam video berikut ini:

Kesimp**annya adalah, UU Tipikor yang dijalankan oleh KPK itu bertujuan untuk memberantas korupsi demi keselamatan bangsa ini, bukan untuk tujuan selain itu. Sasaran cakupannya adalah penyelenggara negara mulai dari Presiden sampai ke bawahnya.
Selebihnya, mari kita interpretasikan sendiri-sendiri.

25/05/2013

(KRIMINALISASI LHI OLEH KPK)
Wawancara Eksklusif Pakar Hukum Prof.Romli tentang Kriminalisasi LHI oleh KPK

Islamedia - Adanya kejanggalan proses penahanan Ustadz Lutfi Hasan Ishak (LHI) yang dilakukan KPK yang terlalu terburu-buru dan sangat terlihat memaksakan membuat berbagai kalangan meragukan Profesionalisme KPK, bahkan ada yang mengungkapkan KPK sengaja melakukan krimininalisasi ke LHI dengan tuduhan yang mengada-ada dan tidak jelas.

Salah seorang Pakar Hukum Profesor Romli Atmasasmita bahkan mengatakan bahwa KPK terlalu dini/terburu buru dan ceroboh dengan melakukan penahanan LHI.

Stasiun televisi Beritasatu berhasil mewancarai Profesor Romli yang dilaksanakan pada hari Jum'at (24/5/2013).

Berikut isi wawancaranya :

Beritasatu : Prof, Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dahsyatnya seperti apa sih sebenarnya?

Prof Romli : Jadi begini, salah satu strategi membangun pemerintahan yang bersih , yang baik , bisa juga yang fair dan kompetitif kita memerlukan sesuatu ketentuan-ketentuan yang tidak ada di UU Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). UU TIPIKOR hanya pada orang dan bagaimana mengembalikan kerugian Negara, tapi persoalan hasil dari tindak pidana korupsi tidak diatur disana. Jadi ini ada lobang, kita masukkanlah Undang Undang Pencucian Uang yang sudah 2 kali perubahan dan ini yang ke-3, maksudnya untuk mempertajam kukunya supaya lebih keras.

Siapapun penyidik baik pidana korupsi maupun yang lainya (terutama KPK), penyidik tidak bisa langsung menyidik cuci uang walaupun ada indikasi. Bahkan dalam UU pencucian uang yang sebelumnya tahun 2002, penyidik asal tidak dapat menyidik cuci uang, kecuali polisi. Setelah ada perubahan tahun 2003 juga demikian, belum ada pembuktian terbalik. Kemudian disempurnakan tahun 2010 bahwa penyidik asal boleh melakukan penyidikan cuci uang sekaligus dan pembuktian terbalik.

Beritasatu : Jadi persoalanya adalah pembuktian ya Prof, kalau yang menjerat Ahmad Fathanah bagaimana? Pasal yang menjerat Ahmad Fathanah adalah : PASAL 3 ATAU PASAL 4 ATAU PASAL 5 UU PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TPPU JO. PASAL 55 AYAT 1 KE-1 KUHP. Pasti anda lebih hafal yah Prof? hahaha. Bagaimana komentar anda?

Prof Romli : Ini data dari mana ini?

Beritasatu : Ini dari sumber informasi yang disampaikan oleh juru bicara KPK Johan Budi.

Prof Romli : Ooo, saya kira terlalu pagi, Johan Budi berbicara itu. Terlalu paginya begini : kita lihat Tipikor itu sasaranya yang utama adalah penyelenggara Negara, bisa orang maupun korporasi. Kita lihat dari lahirnya, jauh sebeluma ada UU tipikor ada UU No.28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas KKN, disitulah sasaran tindak tipikor kalau kita ingin membersihan Negara ini. Maka dari itu, penyelenggara Negara baik dari presiden sampai turun sampai level bawah, tidak ada swasta. Kecuali kalau swasta berkolaborasi dengan pejabat Negara, itu jelas.
Jadi pertama siapa orang itu, walaupun dia banyak uang namun dia swasta, tidak ada tindak pidana lain selain selain memang dia berbisnis itu juga belum tentu.

Beritasatu : Dalam kasus Ahmad Fathanah itukan harus dibuktikan itu dulu kan Prof? Dari kacamata anda bagaimana?

Prof Romli : Dari kacamata saya, secara keilmuan : inikan tertangkap tangan, yang tertangkap tangan siapa? Ahmad Fathanah. Kemudian dia itu swasta bukan, kalau diliat dia itu broker/calo/makelar. Memang makelar belum pernah diatur dalam Undang Undang Tipikor, kecuali kalau makelar itu ikut membantu, membujuk, maka pakailah pasal 55 itu, bukan pasal cuci uang.

Beritasatu : Artinya terlalu dini pasal itu dikeluarkan? Tapi kalau tidak dilakukan seperti itu, apa tidak khawatir nanti tidak bisa dijerat?

Prof Romli : Begini, strateginya kalau UU tipikor itu disebut juga, kalau penyidik yang mempunyai dugaan tindak pidana korupsi sebanyak pasal 2 ayat 1, 26 pidana asal predicate offence, maka dia boleh meneruskan apalagi kalau sudah ada hasilnya, dugaan hasil tindak pidana dinikmati, maka bisa langsung ke cuci uang. Jadi paling tidak harus mempunyai 2 alat bukti untuk mengatakan ada tindak pidana korupsi.

Beritasatu : Prof, kalau bicara soal alat bukti, sebenarnya jangan-jangan KPK juga sedang meraba-raba dan mencari-cari alat bukti sambil meraba-raba pasal juga yang paling cocok nih. Hehe?

Prof. Romli : Tadi kan sudah diberi tahu, hehe

Beritasatu : Tadi anda katakana terlalu dini, jadi yang benar yang mana Prof?

Prof. Romli : Tadi kan kelihatan , kalau itu betul yah pasal-pasalnya, itu Pasal UU Tipikornya tidak ada, yang ada pasal cuci uangnya kan. Dikaitkan dengan pasal 55 KUHP, berartikan kejahatan asalnya belum jelas. Jadi bukti-bukti permulaan tipikornya belum jelas.

Beritasatu : Apakah tidak bisa dikembangkan ke pasal lain dari situ?

Prof. Romli : Tidak boleh

Beritasatu : Kenapa tidak boleh?

Prof. Romli : Tidak boleh, justru menurut pasal 2 ayat 1, sangkaan awal harus jelas. Pasal 2 menyatakan bahwa tindak pidana sampai 26, ada suap,korupsi dll. Tapi ingat, dari 26 jenis itu tidak ada tindak pidana dibidang pertanian. Kehutanan ada, perikanan ada, pertanian tidak ada. Kalau KPK menggunakan tuduhan korupsi, korupsi yang mana? Korupsi kan banyak, ada pasal 2, pasal 3 , pasal 5, pasal 11.

Beritasatu : Tapi, kenapa itu yang dipakai KPK Prof? Pasal-pasal tadi, tentang cuci uang.

Prof Romli : Berarti kalau KPK hanya bisa menyampaikan tuduhan pasal cuci uang, pasal tindak pidana asalnya masih dicari.

Beritasatu : Kalau masih dicari asalnya, tidak bisa dikembangkan ke yang lain?

Prof. Romli : Tidak bisa

Beritasatu : Lalu bagaimana kasus ini bisa diungkap dengan menjerat orang-orang yang menjerat tindak pidana korupsi itu?

Prof. Romli : Jadi begini, saya juga prihatin. Prihatinya begini, tindak pidana asalnya, kelihatanya KPK masih mencari, belum ada bukti yang kuat mengatakan apa korupsi , korupsi pasal berapa itu juga belum jelas, kalau misalnya tindak pidana penyuapan juga belum jelas pasal penyuapan yang mana pasal berapa, semua belum jelas tiba-tiba pasal cuci uang nya.

Terlalu dini juga diungkap kepada public aliran dana Fathanah kemana-mana, karena begini: untuk mengatakan bahwa seseorang menerima tindak pidana, harus jelas tindak pidananya apa dulu. Harus jelas, bukan harus dibuktikan. Kalau sudah jelas, aliran kemana-mananya baru boleh diungkap. Masalahnya alat bukti KPK bahwa ada unsur pidana belum kelihatan. Kalau dari 7 kasus pencucian uang seperti Waode, itu pelaku. Baru kali ini KPK berani menyeret orang yang menerima. Apalagi Presiden PKS, itu masih jauh lah, apalagi menteri Pertanian Suswono masih sangat jauh.

Berita satu : Prof , kalau kita kaitkan dengan UU 31 tentang korupsi pasalnya sudah tepat belum? Pasal 12 , pasal 5 ?

Prof. Romli : Pasal 12 bisa saja, tapi kan tidak muncul sampai sekarang, karena sasaranya penyelenggara Negara. Lutfi Hasan ishak itu memang penyelenggara Negara, namun dia itu anggota DPR , tugas DPR apa itu : menyusun UU, pengawasan, APBN. Dia tidak mengeluarkan Quota, ga punya kebijakan kearah sana.

Beritasatu : Tapi kan Lutfi bisa mempengaruhi?
Prof. Romli : Bisa mempengaruhi ia, namun kalau hanya mempengaruhi, cek dulu di UU tipikor ada ngga tidak pidana mempengaruhi? Yang sering disebut oleh Bambang Widjjoyanto tentang Trading in Influence. Belum ada itu. Sudah diratifikasi, belum diundangkan, belum sah menurut system hukum kita .
Berita satu : Jadi tidak bisa dipakai KPK menjerat Lutfi Hasan Ishak yah Prof?

Prof . Romli : Tidak bisa.

Beritasatu : Prof, jangan-jangan ini ada upaya pembalikan fakta terkait dengan kasus yang sedang diusut oleh KPK ini. Kalau demikian apakah KPK masih bisa dipercaya kalau pasal-pasal yang diajukan KPK sendiri , anda masih meragukan ?

Prof Romli : Terus terang saya masih ragu ,

Beritasatu : Ragu ke pasal nya atau ragu ke KPK nya ? hehe

Prof. Romli : Ragu ke cara kerja KPK nya.

Beritasatu : Ataukah ini strategi prof?

Prof. Romli : Wallahu a’lam. Yang jelas selama ini KPK selalu berhasil untuk tipikor lho. Tapi untuk cuci uang kan yang terbukti karena sebelumnya itu pelaku, bukan penerima. Yang pelaku kan otomatis dia umpetin, tapi kalau yang menerima? Nah kasus Pa Lutfi Hasan Ishak ini baru pertama nih KPK menuduh sebagai penerima.

Jadi begini : yang menerima itu ada pasal 5 ayat 1 UU Pencucian Uang berbeda dengan pasal 3 dan 4, itu aktifkan. Tapi kalau dikenakan ke LHI itu Pasif kan. Kemudian pertanyaanya, apa penjelasanya. Penjelasanya begini : setiap orang yang bisa diduga menerima uang haram secara pasif, tapi dia itu harus mengetahui ada transaksi yang melanggar hukum, dia harus punya keinginan untuk menikmati uang, dia punya tujuan untuk mendapatkan.

Kemudian yang perlu dicermati juga, dalam pasal 11 dalam UU TPPU , pejabat PPATK, penyidik, penuntut, tidak boleh memberikan keterangan mengenai segala sesuatu dalam proses penyidikan cuci uang sampai semuanya terbukti. Namun dalam kasus LHI ini, belum apa-apa sudah dibuka lebar. Dan ancaman pidana bagi pihak yang membocorkan itu 4 tahun penjara.

Beritasatu : sekali lagi prof, kalau ini semua digunakan KPK untuk mengungkap kasus?

Prof. Romli : tidak bisa, bukan itu caranya.

Beritasatu : Apakah KPK tertalu gegabah?

Prof. Romli : Menurut saya tanda petik yah, ceroboh. Yang menjadi pertanyaan, ada apa tergesa-gesa?

Untuk LHI, sebagai penyelenggara Negara, dalam UU 28 dan 29 diatur bahwa mengatakan sejak dia diangkat sebagai penyelenggara Negara , harta kekayaanya itulah yang harus diklarifikasi kedepan, bukan kebelakang.

Beritasatu : Prof. Saya ingin mengakhiri diskusi kita dengan satu pertanyaan untuk menjawab tanda besar tadi apakah menurut anda dari kacamata anda, dari perspektif anda, jangan-jangan sebenarnya kasus ini hanya membuat momentum situasi saja sampai 2014 selesai, dimana kasus ini memang sudah jelas ujungnya kemana atau buat mabok-mabok saja.?

Prof.Romli : Begini, pertanyaan itu bisa dijawab oleh perkembangan hasil KPK, output KPK nanti.

Berita satu : Nantinya itu kapan?

Prof. Romli : Ya Wallahu a’lam, Tanya KPK.

Beritasatu : bisa lebih cepat atau selesai pemilu?

Prof. Romli : kalau orang itu ditahan, KPK terbatas oleh batas waktu penahanan 20 hari, 30 hari, nah itu. Kita lihat saja nanti.

Barikut video wawancaranya :
http://www.youtube.com/watch?feature=player_embedded&v=cikxLwLvgBw

BEM Seluruh Indonesia Minta Ketua KPK Abraham Samad MundurTuesday 21 May 2013 13:45:03Rizky Kurniawan BEM Mahasiswa Univ...
24/05/2013

BEM Seluruh Indonesia Minta Ketua KPK Abraham Samad Mundur


Tuesday 21 May 2013 13:45:03

Rizky Kurniawan BEM Mahasiswa Universitas Brawijaya Malang saat melakukan demo di depan gedung KPK Jakarta, Selasa (21/5).(Foto: BeritaHUKUM.com/put)
JAKARTA, Berita HUKUM - Gedung Pemberantasan Korupsi KPK, di datangi seribuan Aktifis Presiden Mahasiwa dan Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia, menuntut Ketua KPK Abraham Samad menuntaskan janjinya untuk membongkar sekandal kasus Bank Century atau mundur, Selasa (21/1).

Risky Kurniawan Presma Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Brawijaya Malang, mengatakan kepada pewarta BeritaHUKUM.com. "Kami soroti kasus Bank Century, kami menagih janji dari pernyataan Abraham Samad, pada tahun 2012 lalu.

Bahwa Abraham akan menuntaskan kasus Century dan bila tidak selesai dia Abraham Samad akan mundur dari jabatanya, dan kami tagih janji Abraham Samad hari ini, Abraham harus mundur," ujar Rizky.

Kami juga sudah menyiapkan MOU, sampai Abraham Samad turun kemari menemui kami, dan menandatangani MOU dan bila tidak bersedia, kami akan terus bermalam di sini, hingga Abraham mundur," ujar Rizky humas BEM SI.

Ribuan aktifis Mahasiswa ini, melakukan aksi tutup jalan di depan gedung KPK, sehingga satu ruas jalan di tutup total, sebagaian dari mereka juga melakukan aksi sholat berjamaah, di sepanjang jalan hingga berita ini di turunkan BEM SI masih belum mulai melakukan orasi dan mimbar bebas.(bhc/put)

http://beritahukum.com/detail_berita.php?judul=BEM+Seluruh+Indonesia+Minta+Ketua+KPK+Abraham+Samad+Mundur&subjudul=Demo%20didepan%20Gedung%20KPK #.UZ63EEp1Om4

Bunda: Sabar ya nak... KPK akan menjemputmu di PAUD nanti..Dede: Dede bayi juga bu?!Bunda: Ia.. terpaksa Dede bayi juga ...
24/05/2013

Bunda: Sabar ya nak... KPK akan menjemputmu di PAUD nanti..

Dede: Dede bayi juga bu?!

Bunda: Ia.. terpaksa Dede bayi juga ibu operasi sesar.. :(

[Inilah akibat menerima sedekah dari Ust LHI..]
oh KPK

ICW boneka Yahudi?Koordinator ICW, Danang Widoyoko, mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya mendapat suntikan dana dari ...
19/05/2013

ICW boneka Yahudi?


Koordinator ICW, Danang Widoyoko, mengakui bahwa lembaga yang dipimpinnya mendapat suntikan dana dari Bloomberg Initiative, lembaga yang diinisiasi Wali Kota New York, Michael Bloomberg itu.

Ia beralasan, penerimaan dana sebesar 45,4470 dolar AS, atau setara Rp.409.230.000 itu adalah demi menyukseskan kampanye anti rokok pada anak-anak.

Meski demikian, keputusan ICW menerima bantuan asing, terlebih yang dipelopori seorang Yahudi patut disayangkan. Sebab hal tersebut dapat mempengaruhi kebijakan. Padahal ICW sendiri adalah LSM yang bergerak dalam pencegahan korupsi yang seharusnya dapat bersikap independen tanpa intervensi dari pihak manapun.

Address


Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Harmoni Indonesia posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share