Muslimah Rindu Syariah

  • Home
  • Muslimah Rindu Syariah

Muslimah Rindu Syariah .Deliverse
(27)

 Peran Negara dalam Mendistribusikan Ilmu para CendekiawanMendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro menegaskan, maha...
17/11/2024



Peran Negara dalam Mendistribusikan Ilmu para Cendekiawan

Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro menegaskan, mahasiswa penerima beasiswa dari Lembaga Pengelola Yayasan Pendidikan (LPDP) tidak diharuskan kembali ke Indonesia. Ia juga mengatakan, hal ini karena Indonesia tidak bisa menjamin lapangan pekerjaan bagi para mahasiswa tersebut. Menurutnya, Indonesia saat ini belum mempunyai tempat untuk menerima para mahasiswa tersebut. Ia pun menyarankan agar mereka bisa ekspansi ke luar negeri untuk mengembangkan karier.

--
Alasan Klise
--

Pernyataan Mendiktisaintek itu pada dasarnya sangat bertolak belakang dengan kebutuhan Indonesia terhadap hadirnya SDM bermutu, khususnya dosen dan peneliti. Menteri sebelumnya, Nadiem Makarim, bahkan pernah menyebut Indonesia dalam keadaan darurat dosen maupun ilmuwan, padahal mereka akan sangat bermanfaat dalam mewujudkan visi Indonesia Emas.

Sungguh sayang jika mereka yang telah menempuh studi di luar negeri dengan biaya pemerintah ternyata tidak kembali untuk mengabdikan ilmunya. Alasan Pak Menteri dalam hal ini pun tampak klise, yakni klaim bahwa negeri ini tidak menjamin lapangan kerja. Dengan ini, tentu ada sesuatu yang ganjil. Alasan klise itu bahkan seakan-akan menjadi pembenaran saat ada para penerima beasiswa LPDP yang lebih memilih berkarier di luar negeri dan enggan kembali mengabdi pada negeri asalnya. Mereka mengeklaim, inovasi yang mereka temukan kerap diremehkan di negeri sendiri.

Terlebih jika berbicara mengenai dana riset dan inovasi serta pengembangan ilmu pengetahuan, para peneliti banyak yang memilih untuk tidak melanjutkan risetnya. Jikalau tetap lanjut, mereka memilih untuk mencari pendanaan dari pihak swasta atau sumber-sumber lain dari luar negeri. Kondisi ini tentu menjadi dilema.

Negeri ini sesungguhnya membutuhkan para ilmuwan dan peneliti. Namun jika mengikuti logika Pak Menteri, negeri ini justru akan rugi besar. Bahkan, Indonesia berpotensi mengeluarkan biaya yang lebih banyak jika menggantungkan penggunaan teknologi dari luar atau temuan peneliti yang didanai swasta. Alih-alih mengembangkan inovasi dan teknologi dengan mengandalkan SDM dalam negeri, logika pemangku kebijakan ini justru menunjukkan ketakadaan visi dalam mengelola pendidikan tinggi agar bermanfaat bagi masyarakat dan negara.

--
Makin Mencemaskan
--

Pendidikan sesungguhnya memegang peran penting dalam mewujudkan visi suatu bangsa. Indonesia yang memiliki cita-cita mewujudkan “Indonesia Emas” tentu memerlukan langkah-langkah strategis, salah satunya dengan mempersiapkan SDM andal melalui penyelenggaraan pendidikan. Melalui pendidikan, upaya peningkatan kualitas dan kapasitas generasi mendatang dapat terwujud secara maksimal.

Hanya saja, pendidikan yang diselenggarakan semestinya menghasilkan tenaga profesional yang kompeten, intelektual yang memperhatikan permasalahan kemanusiaan, dan mampu tampil sebagai problem solver. Pendidikan tinggi adalah level tertinggi dalam piramida keilmuan. Keberadaan lulusan pendidikan tinggi akan membantu pemerintah untuk mengarahkan setiap kebijakan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat.

Setiap negara yang memandang penting pengembangan ilmu pengetahuan akan melakukan investasi besar dalam pembangunan manusia yang terampil dan berdaya guna. Penyelenggaraan beasiswa menjadi salah satu cara untuk mewujudkannya. Tentu bukan tanpa alasan jika negara menyelenggarakan pendidikan dan membuka peluang beasiswa bagi anak negeri. Tujuannya tidak lain untuk melahirkan SDM unggul dan memberi manfaat luas bagi masyarakat. Atas dasar ini, sangat disayangkan jika SDM bermutu yang sudah tersedia justru negara serahkan kepada negara lain.

Pendidikan tinggi juga memiliki peran strategis sebagai pusat pengembangan intelektual. Hal ini didukung oleh tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya, ada konektivitas nyata antara SDM luaran pendidikan tinggi dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat.

Seluruh pihak tentu menyadari bahwa masalah di negeri ini sangat kompleks. Apalagi dengan cita-cita besar yang kerap disebut-sebut oleh para petinggi negara. Misalnya cita-cita Indonesia menjadi pusat energi panas bumi dunia, negara yang masuk dalam lima negara dengan ekonomi terbaik di dunia, atau cita-cita lainnya yang seharusnya diiringi dengan penyiapan SDM unggul. Pada titik ini jelas, hal penting yang harus tercapai adalah visi negara untuk mendistribusikan buah pikiran para intelektual. Demikian halnya dengan Indonesia Emas 2045, bagaimana nasibnya tanpa ditunjang SDM unggul dan berkualitas?

--
Negara Lepas Tangan?
--

Era bonus demografi Indonesia tengah berjalan dan puncaknya akan tercapai pada 2030-2040. Berdasarkan data BPS, penduduk Indonesia pada 2024 berjumlah kurang lebih 270,20 juta jiwa. Dari angka tersebut, jumlah angkatan kerja produktif berkisar 140 juta jiwa. Sayang, masalah lain yang mengiringi bonus demografi adalah isu pengangguran. Alih-alih terwujud bonus demografi, yang cenderung terjadi malah beban demografi.

Meski banyak klaim bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka pengangguran, tetapi fakta di lapangan berkata lain. Badai PHK adalah realitas yang tidak bisa didustakan. Demikian p**a dengan jumlah pengangguran terdidik yang tiap tahunnya akan terus bertambah karena jumlah lulusan perguruan tinggi pun terus bertambah sehingga kita juga patut mempertanyakan ketakmampuan dunia kerja untuk menyerap lulusan perguruan tinggi.

Dari realitas tersebut negara seharusnya segera turun tangan untuk menyelesaikannya. Sebabnya, negaralah yang bertanggung jawab dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat agar cendekiawan asal negeri sendiri tidak dilepas begitu saja untuk mengabdikan ilmunya di negeri orang, atau malah dibiarkan ramai-ramai ke luar negeri mengadu nasib karena kurangnya apresiasi dan tidak adanya lapangan kerja di dalam negeri.

Lantas, mengapa negeri ini mengalami krisis lapangan kerja? Realitas ini sejatinya kompleks dan sistemis. Permasalahan mendasarnya adalah banyaknya pengangguran akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator. Wewenangnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat -termasuk lapangan kerja- dialihkan kepada individu atau swasta.

Demikianlah wujud negara korporatokrasi. Istilah ini mengacu pada bentuk pemerintahan dengan ciri kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tata kelola negara beralih kepada korporasi (perusahaan), baik nasional maupun multinasional. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan tentu akan fokus pada faktor profit (keuntungan). Bagi perusahaan, para pekerja adalah bagian dari faktor produksi semata. Saat perusahaan mengalami goncangan, PHK dengan dalih efisiensi produksi pun sangat mungkin dilakukan. Praktis, kondisi ini berpeluang besar menciptakan banyak pengangguran.

Di sisi lain, pendapatan negara yang hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri menyebabkan negara sulit menyediakan dana untuk merekrut pegawai. Negara benar-benar mengandalkan sektor swasta untuk membuka lapangan kerja. Meski sejatinya dalam pola rekrutmen pegawai, negara berdalih dengan efisiensi anggaran, sedangkan dalih swasta adalah efisiensi produksi.

Dampaknya, rakyat harus gigit jari karena sulit mendapatkan pekerjaan, sementara mereka juga harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jelas, lepas tangannya negara dalam membuka lapangan kerja, membuat rakyat harus menggantungkan nasibnya pada sektor swasta, termasuk tenaga profesional seperti para peneliti. Kebermanfaatan ilmu yang mereka miliki baru terasa ketika masyarakat mengeluarkan sejumlah uang. Artinya, pelimpahan wewenang dari negara ke individu/swasta telah mengarahkan ilmu pengetahuan menjadi barang komersial.

Tidak pelak, memang negaralah yang semestinya hadir untuk mendistribusikan kekayaan pemikiran para intelektual ke tengah-tengah masyarakat. Nyatanya bukan soal ketakadaan lapangan kerja, karena sejatinya urusan dan kebutuhan masyarakat sangatlah banyak. Akar masalahnya justru ada pada negara yang tidak hanya melimpahkan wewenangnya pada individu/swasta, tetapi juga setengah hati merekrut SDM yang dapat memanfaatkan ilmunya bagi masyarakat.

--
Pandangan Islam
--

Dalam Islam, para ahli ilmu (profesional) dan tenaga ahli memiliki kedudukan strategis. Hal ini tampak nyata dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat sebagai realisasi politik dalam negeri, serta aktualisasi visi politik luar negeri.

Islam memiliki perspektif yang khas dalam mewujudkan negara mandiri yang diperhitungkan di kancah internasional. Untuk itu negara bersistem Islam (Khilafah) memiliki sejumlah langkah strategis untuk berinvestasi dalam melakukan pembangunan SDM yang sesuai dengan cita-cita peradaban Islam.

Selain menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yang tangguh, pada tingkat pendidikan tinggi Khilafah menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan mencetak luaran yang memiliki skill, kepakaran, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan peradaban Islam yang mumpuni.

Tentu saja, landasan keilmuan mereka adalah keimanan sehingga para ahli ilmu memahami bahwa ilmu yang mereka peroleh tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Hilirisasi output pendidikan tinggi adalah untuk merealisasikan peran penguasa dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, para lulusan pendidikan tinggi semestinya dipersiapkan untuk membantu kinerja penguasa sebagai pelayan rakyat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim).

Negaralah yang bertugas untuk membenahi pendistribusian kekayaan pemikiran para ahli ke tengah-tengah masyarakat. Kompleksnya kebutuhan dan permasalahan individu masyarakat sesungguhnya membutuhkan jumlah tenaga kerja yang sangat besar, termasuk kebutuhan akan para ahli yang memiliki tingkat keilmuan di atas rata-rata. Negara sangat membutuhkan inovasi dan pengembangan teknologi dari mereka.

Kemampuan negara untuk memetakan kebutuhan masyarakat dan mempersiapkan para ahli dalam memenuhi kebutuhan tersebut, membuat Khilafah benar-benar menghidupkan hilirisasi ilmu para cendekiawan. Dengan begitu, Khilafah tidak akan bingung menyerap dan menyalurkan tenaga ahli, karena sejatinya mereka akan sangat dibutuhkan masyarakat. Khilafah juga tidak akan berdalih atas ketakadaan biaya untuk menggaji para ahli ilmu, sebab pemenuhan kebutuhan masyarakat berjalan dengan pembiayaan penuh dari baitulmal.

Sumber-sumber utama pendapatan negara di baitulmal semuanya diperoleh menurut ketentuan syariat Islam. Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, dari kepemilikan individu seperti sedekah, hibah, zakat, dan lain-lain. Zakat harus dipisahkan dari harta lain. Kedua, sektor kepemilikan umum termasuk tambang, minyak bumi, gas, hutan, dan lain-lain. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai’, usyur, dan sejenisnya.

Jika kas baitulmal tidak mencukupi atau habis, kewajiban tersebut akan beralih kepada umat Islam dalam bentuk pajak atau pinjaman. Pajak dalam Islam hanya berlaku untuk sementara waktu dan hanya dikenakan pada orang kaya laki-laki saja. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai jihad, industri militer, dan yang terkait dengannya. Juga bantuan kepada fakir, miskin, dan orang yang dalam kesulitan, membayar gaji pegawai seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru, serta membiayai kebutuhan mendesak yang dapat membahayakan umat jika diabaikan seperti penanggulangan bencana seperti gempa bumi, longsor, dan banjir.

Ketakmampuan negara hari ini membuka lapangan kerja dengan dalih efisiensi dana pada dasarnya karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Selain menciptakan prinsip negara korporatokrasi, sistem ekonomi kapitalisme juga menganut prinsip kebebasan kepemilikan yang membuka kesempatan bagi individu untuk menguasai aset-aset strategis negara. Akibatnya, keuangan negara hanya bertumpu pada pajak dan utang, alih-alih mengandalkan pendapatan dari SDA yang ada. Tidak heran, kita menyaksikan rakyat negeri ini bak ayam mati di lumbung padi. Mereka melarat di tengah kekayaan SDA yang melimpah.

Selain itu, pelaksanaan politik dalam dan luar negeri mengharuskan negara memiliki kekuatan militer yang kuat. Hal ini penting agar negara dapat mencegah upaya para imperialis untuk menguasai wilayah Islam dan SDA di dalamnya.

Walhasil, kebingungan pemerintah dalam menyalurkan ahli ilmu sesungguhnya bersifat sistemis dan membutuhkan penanganan dengan paradigma mendasar. Sistem sekuler kapitalisme telah nyata terbukti menyengsarakan, bahkan mengacaukan tata kelola negara seperti hari ini. Wallahualam bissawab.

Sumber: FP MuslimahNewsCom

Like and share, semoga menjadi amal sholih

Find us on
Facebook: Mrs.Deliverse
Instagram: .deliverse
YouTube: Deliverse Network

 Moderasi Beragama Bukan Solusi BangsaPara tokoh Mubalighah peduli umat  berkumpul dalam acara yang membahas tentang "Mo...
16/11/2024



Moderasi Beragama Bukan Solusi Bangsa

Para tokoh Mubalighah peduli umat berkumpul dalam acara yang membahas tentang "Moderasi Beragama Bukan Solusi Bangsa".

Ustadzah Santi, sebagai narasumber pertama menyampaikan bahwa "Opini moderasi beragama semakin bergema didukung platform media. Begitu seriusnya rezim menyalurkan ide moderasi kepada masyarakat hingga menggelontorkan dana 3,2 triliun rupiah untuk program Islam moderat. Hal membuat masyarakat semakin moderat".

Melihat begitu kerasnya usaha pemerintah mengarus deraskan moderasi beragama. Apakah 'Moderasi Beragama' benar-benar bisa menjadi solusi beragama?

Moderasi beragama adalah pemahaman dan praktik menjalankan agama Islam dengan 4 indikator, yakni: Cinta Tanah Air, Menciptakan Kerukunan & Menjaga Keragaman, Menolak Kekerasan, Cinta Budaya dan Keragaman.
Jika dengan cinta tanah air membuat kita risih dan tidak s**a terhadap ajaran Islam (khilafah) yang mampu membuat individu menjadi bertakwa dan sejahtera, apakah ini sesuatu yang baik?

Justru tidak, tentu kita menginginkan sebagai muslim masuk surga dengan melakukan sebanyak-banyaknya ketaatan yang hanya bisa dilakukan secara penuh ketika kita berada dalam sistem khilafah.

Fereydoon Hoveyda, seorang pemikir dan diplomat Iran untuk PBB, mengatakan bahwa kata 'Moderasi Beragama' muncul dari jurnal-jurnal barat sejak tahun 1979. Ini membuktikan bahwa ide ini sudah dirancang barat untuk membuat kaum muslimin semakin jauh dari Islam dan menjadi muslim yang moderat.

Ide 'Moderasi Beragama' sejatinya adalah alat penjajahan untuk membuat kaum muslimin benci dengan ajaran Islam dan menghalangi umat Islam untuk bangkit dan menegakkan syari'at Islam. Sebab jika syari'at Islam tegak maka ini akan menghalangi penjajah untuk mengekspolitasi sumber daya alam di negeri-negeri kaum muslimin.

Moderasi beragama adalah tipu daya musuh dengan tujuan deislamisasi, mengokohkan Islam ala barat, membuat 'penjajah' semakin eksis, sehingga kita harusnya menolak ide ini. Demikian disampaikan Ustadzah Santi.

Ustadzah Linda Wulandari, selaku pengamat kebijakan publik, menyampaikan bahwa "Moderasi beragama adalah adidaya barat".
Ustazah Linda juga menambahkan "Menoy, AS, Mike Pompeo di Indonesia (29/10/2020) pemerintah memfasilitasi pertemuan khusus dengan tema "Memupuk aspirasi bersama tentang Islam Rahmatan Lil'alamin RI & USA."

Berarti mewujudkan Islam Rahmatan lil 'alamin yang dimaksud bukanlah dilandaskan pada Al Qur'an dan As Sunnah, namun berdasarkan kesepakatan ide (RI & USA). Ini adalah sesuatu yang menyesatkan, ungkap Ustadzah Linda.

Sikap yang harusny diambil sebagai muslim, yakni: Memahami Islam Politik, maka kita akan memahami politik & musuh Islam. Memegang teguh syari'at, maka kita akan menolak dengan tegas Islam moderat sebab bukan ajaran Islam. Mendakwahkan Islam ideologis.

Agenda diakhiri dengan penyataan sikap para Mubalighah Sumatera Utara yang berisi antara lain:

1. Menolak moderasi beragama untuk persoalan bangsa.

2. Ikut terlibat aktif untuk membongkar kerusakan dan kesesatan moderasi beragama serta kepentingan barat kuffar didalamnya.

3. Menyeru untuk penerapan Islam kaffah dalam bingkai khilafah sebagai sistem warisan Rasulullah SAW.

4. Terlibat aktif dalam upaya mencerdaskan umat untuk menyadarkan terhadap kewajiban menerapkan syariat secara kaffah dalam bingkai Khilafah.

Like and share, semoga menjadi amal sholih

Find us on
Facebook: Mrs.Deliverse
Instagram: .deliverse
YouTube: Deliverse Network

 Pilkada Demokrasi untuk Oligarki, Rakyat Kian TersakitiPilkada serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024 m...
16/11/2024



Pilkada Demokrasi untuk Oligarki, Rakyat Kian Tersakiti

Pilkada serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 27 November 2024 mendatang. Tanggal tersebut sudah ditetapkan sebagai hari libur nasional mengingat pentingnya menentukan orang-orang yang layak memimpin daerah. Seperti halnya pemilu dalam memilih presiden dan anggota legislatif, pilkada juga diharapkan mampu memenuhi harapan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang adil dan amanah.

Hanya saja, harapan rakyat tampaknya akan kembali pupus. Sebabnya, aroma politik kotor pilkada menjelang pencoblosan malah makin pekat. Hal itu tampak dari mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktik suap, kecurangan, hingga mempermainkan agama dengan menjanjikan para pemilihnya masuk surga.

Oleh karena itu, kita harus mengurai akar persoalan munculnya politik kotor yang selalu saja mewarnai pesta demokrasi. Apa yang menyebabkan pemimpin terpilih bukanlah pemimpin yang diinginkan rakyat? Bagaimana agar umat kembali memiliki pemimpin yang adil dan amanah serta siap menerapkan aturan Islam secara kafah?

--
Kisruh Pilkada
--

Kekisruhan yang paling disorot media kali ini yakni mobilisasi kades. Mobilisasi kades untuk pemenangan memang kerap terjadi di setiap kontestasi. Namun pada November 2024 ini terlihat makin masif. Pada 23 Oktober 2024, tim Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Semarang menggerebek sekitar 90-an kades yang sedang mengikuti pertemuan tertutup di hotel bintang lima di Kota Semarang. Acara yang berslogan “Satu Komando bersama Sampai Akhir” itu diduga kuat sebagai ajang mobilisasi kades dalam rangka memenangkan salah satu paslon.

Pekan sebelumnya, 17 Oktober 2024, tim Bawaslu juga mendapati sekitar 200 kades dari Kabupaten Kendal yang sedang menggelar pertemuan di kawasan elite di Semarang. Pada 22 Oktober 2024, mobilisasi kades juga terjadi di Kabupaten Pemalang dan Tegal yang dilaksanakan di Hotel Grand Dian Pekalongan. Patut diduga kuat masih banyak pertemuan-pertemuan lain yang terkait dengan mobilisasi para kades.

Belakangan, kades telah menjadi entitas yang mempunyai pengaruh dan daya tawar politik. Sebabnya, kades yang dipilih langsung oleh masyarakat pasti memiliki basis massa. Secara struktural kades memiliki bawahan mulai dari perangkat desa, ketua RW, dan ketua RT. Ia memegang kendali pemerintahan di tingkat akar rumput sebagai pelayan publik, pengambil keputusan, serta yang berkuasa menentukan anggaran desa.

Oleh karena itu, kades memiliki pengaruh yang signifikan untuk memengaruhi warganya agar memilih salah satu paslon. Kades adalah ujung tombak elite politik dalam memuluskan keinginannya. Bahkan kades kerap aktif mencari peluang mendekati paslon demi kompensasi atau akses kekuasaan. Lihatlah saat para kades berhasil mendorong perubahan UU 6/2014 tentang Desa menjadi UU 3/2024, yakni terkait dengan masa jabatan kades yang awalnya 6 tahun menjadi 8 tahun.

Selain mobilisasi kades, politik kotor pilkada juga terkait erat dengan politik uang. Suap-menyuap berkedok pengajian lumrah terjadi menjelang pencoblosan. Terbaru, bagi-bagi uang untuk membeli suara menggunakan e-money atau e-wallet bahkan digunakan paslon untuk menyasar anak muda. Serangan fajar terkini terjadi tanpa harus mengetuk pintu, tetapi langsung masuk rekening. Miris, semua parpol baik yang berlatar belakang Islam apalagi nasionalis, sama-sama menggunakan politik uang dalam upaya pemenangan.

Belum lagi kampanye-kampanye yang menjual agama, telah dijadikan senjata ampuh mengumpulkan suara. Seperti yang baru-baru ini viral, yakni video kampanye seorang bupati yang menjanjikan surga kepada siapa saja yang memilihnya sebab salah satu program paslon tersebut yakni menyantuni anak yatim. Alih-alih berpidato menyampaikan visi misi yang dimiliki, banyak paslon lebih senang mengumbar janji bahkan janji masuk surga. Astagfirullah!

--
Pilkada Demokrasi
--

Kisruhnya pilkada kali ini makin membuktikan bahwa pertarungan politik dalam demokrasi hanya memperebutkan kekuasaan. Berbagai cara dilakukan demi pemenangan, termasuk cara-cara kotor. Hal yang demikian itu akibat dari landasan sistem politiknya yang sekuler kapitalisme. Tidak heran, para kandidat merasa boleh-boleh saja melakukan segala cara agar menang. Pemikiran sekuler kapitalisme ini pun memosisikan motivasi menjabat hanya sebatas materi. Ini wajar dalam sistem demokrasi, bahwa yang terpilih adalah para pemimpin yang niat awal memang bukan untuk umat.

Selain itu, sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal meniscayakan hadirnya para “bohir politik” alias pemilik cuan yang siap menjadi sponsor para elite politik untuk bisa naik tahta jabatan. Inilah yang menyebabkan politik bersifat transaksional. Jual beli jabatan dan kebijakan adalah lahan bisnis yang tidak terhindarkan.

Hadirnya para bohir juga sangat berpengaruh terhadap kebijakan yang ditetapkan. Akibatnya, pemerintah pusat maupun daerah tidak memiliki independensi dalam menetapkan suatu aturan. Para politisi yang sudah menjabat pun harus membalas budi para sponsor yang telah mendukung mereka.

Politik balas budi ini sangat merugikan rakyat karena kepentingan para donatur itu kerap berseberangan dengan rakyat. Misalnya saja dalam hal pembangunan daerah, prioritas pembangunan infrastruktur nyatanya demi kepentingan oligarki bukan rakyat. Buktinya, pemerintah lebih mendahulukan pembuatan jalan menuju resort-resort mewah dan tempat wisata dibandingkan memperbaiki jembatan antardesa yang sudah reyot. Kita bisa menyaksikan beritanya di linimasa media sosial, anak-anak sekolah mempertaruhkan nyawa dengan menyeberangi jembatan yang tidak layak hanya untuk bisa belajar ke sekolah.

Demikian halnya jika kita menelisik sumber pendanaan pilkada yang diambil dari APBN dan APBD. Data dari Kemendagri, pilkada serentak 2024 diprediksi menghabiskan dana lebih dari Rp41 triliun. Tentu ini sangat membebani rakyat, sebab sumber utama APBN dan APBD adalah pajak dari rakyat. Andai saja dana sebanyak Rp41 triliun itu digunakan untuk kemaslahatan umat, setidaknya beban rakyat akan sedikit berkurang. Misalnya, harga sembako akan lebih rendah, tarif biaya air dan listrik lebih murah, pajak berkurang, juga harga gas dan BBM bisa turun.

Atas dasar ini, berharap akan terpilih penguasa yang amanah dalam sistem demokrasi tidak ubahnya pungguk merindukan bulan. Sistem ini akan terus menjaga oligarki dan para cukong melalui politik transaksionalnya. Rakyat hanya menjadi objek politik yang dipakai menurut kepentingan mereka. Tidak pelak, rakyat tentu kian tersakiti.

--
Sistem Politik Islam
--

Sistem politik Islam berjalan dengan akidah Islam sebagai landasannya. Ikatan yang terbentuk antara penguasa dan rakyat juga ikatan akidah, bukan manfaat. Individu yang terlibat dalam pemerintahan adalah mereka yang ingin berkhidmat untuk mengurusi urusan umat. Jabatan dalam sistem Islam adalah amanah untuk mendulang pahala, sekaligus sesuatu yang mengandung tanggung jawab besar karena Allah Swt. akan mengharamkan surga bagi pemimpin yang tidak amanah. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seseorang diamanahi memimpin suatu kaum kemudian ia meninggal dalam keadaan curang terhadap rakyatnya, maka diharamkan baginya surga.” (HR Bukhari-Muslim).

Oleh karena itu, kecurangan dalam pemilihan pemimpin akan diganjar oleh Allah Swt. dengan keharaman masuk surga. Jika ada sekelompok orang atau oligarki yang mencurangi suara dan kemudian memimpin, sejatinya Allah Swt. sedang menghimpun mereka di neraka. Inilah seburuk-buruk balasan bagi penguasa yang curang dan menipu rakyatnya.

Terkait pilkada, sebenarnya di dalam Islam tidak ada syariat yang mengaturnya sebab kepala daerah di dalam Khilafah ditunjuk oleh khalifah berdasarkan saran dan mas**an dari Majelis Umat (MU) dan Majelis Wilayah (MW). MU dan MW dapat mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah baik di level provinsi maupun kota. Jika ada perbedaan pendapat antara MU dan MW, yang diutamakan adalah pendapat MW sebab MW adalah representasi masyarakat daerah.

Penyebutan kepala daerah untuk wilayah setingkat provinsi disebut wali. Sedangkan untuk kepala daerah setingkat kabupaten/kota disebut amil. Adapun pihak yang melantik, wali diangkat dan dilantik langsung oleh khalifah. Sedangkan amil, bisa diangkat langsung oleh khalifah atau oleh wali yang telah diberi mandat oleh khalifah. Secara filosofis, hanya khalifah yang berwenang mengangkat para penguasa di bawahnya, baik wali maupun amil. Hal ini berdasarkan kewajiban mengangkat khalifah dengan metode baiat. Mekanisme ini selain lebih sederhana, juga tidak memakan banyak biaya seperti pemilihan langsung pada pilkada demokrasi. Penunjukan kepala daerah oleh khalifah pun akan menjadikan kepala daerah terpilih tidak memiliki beban mahar yang besar kepada para cukong politik seperti saat ini.

Masa jabatan kepala daerah dalam Khilafah tidak ditentukan, tetapi penempatan tugasnya tidak boleh terlalu lama. Seorang wali bisa diberhentikan oleh khalifah kapan saja dan bisa diangkat lagi untuk daerah lain. Selain itu, kepala daerah tidak boleh dipindahtugaskan dari satu wilayah ke wilayah lain tanpa pemberhentian jabatan terlebih dahulu di wilayah sebelumnya. Adapun yang berwenang memberhentikan kepala daerah adalah khalifah. Dalam hal ini, MU bisa menyatakan ketakrelaan atau menunjukkan ketaks**aan terhadapnya, tetapi yang berwenang memberhentikannya tetap Khalifah.

--
Khatimah
--

Oleh karena itu, jangan pernah berharap bahwa sistem demokrasi mampu melahirkan pemimpin yang amanah. Sebabnya, justru demokrasi sendirilah yang merupakan sistem rusak dan merusak sehingga individu dan parpol hanya bekerja berdasarkan materi. Rakyat pun menjadi korban kerakusan para elite oligarki.

Dengan demikian, sistem politik yang fokus kepada kemaslahatan umat hanya bisa terjadi melalui penerapan sistem politik Islam. Pemilihan kepala daerah yang ditunjuk oleh khalifah berfungsi untuk menyederhanakan proses pengangkatan sehingga tidak membutuhkan banyak biaya, dan yang terpenting sesuai dengan sunah Nabi saw.. Wallahualam bissawab.

Sumber: FP MuslimahNewsCom

Like and share, semoga menjadi amal sholih

Find us on
Facebook: Mrs.Deliverse
Instagram: .deliverse
YouTube: Deliverse Network

 Kriminalisasi Guru, Hilangnya Muruah Sang Pemberi IlmuPersoalan pendidikan di negeri ini makin rumit dengan maraknya kr...
15/11/2024



Kriminalisasi Guru, Hilangnya Muruah Sang Pemberi Ilmu

Persoalan pendidikan di negeri ini makin rumit dengan maraknya kriminalisasi terhadap guru. Muruah (kehormatan) guru tercabik dengan banyaknya kasus guru yang dilaporkan kepada pihak berwajib lantaran dituduh melakukan kekerasan terhadap anak didiknya. Sejatinya, mereka hanya ingin mendisiplinkan anak didiknya sebagai wujud implementasi dari perannya sebagai guru. Ini semua sungguh miris karena guru adalah pemberi ilmu yang sangat menentukan kualitas pendidikan sebuah bangsa.

--
Kriminalisasi Guru
--

Kasus seorang guru bernama Supriyani di Konawe, Sulawesi Tenggara misalnya, yang belakangan ini menjadi sorotan media. Supriyani dipenjara dengan tuduhan telah menganiaya seorang siswa kelas 1 SD yang belakangan diketahui merupakan anak seorang polisi. Meski sudah bersikukuh membantahnya, kasus Supriyani masih terus dilanjutkan.

Guru honorer yang sudah mengajar 16 tahun itu menjelaskan bahwa dirinya diminta oleh kepala desa untuk membayar uang damai senilai Rp50 juta kepada orang tua murid yang mengaku anaknya dianiaya. Sebab menurut kepala desa, orang tua murid tersebut tidak terima jika uang damainya di bawah nominal tersebut. Namun Supriyani tidak mau membayar, selain karena merasa tidak bersalah, ia pun tidak punya uang sebanyak itu. Ia mengaku gajinya hanya Rp300 ribu per bulan yang itu pun dibayarkan tiga bulan sekali.

Sebenarnya, jauh sebelum kasus Guru Supriyani, kasus serupa sudah banyak terjadi. Sebut saja Guru Sambudi di Sidoarjo pada 2016, yang diadili karena mencubit anak didiknya yang tidak mau melaksanakan salat berjamaah. Kasus lainnya pada 2023, Guru Zaharman di Bengkulu, yang harus mengalami kebutaan, setelah diketapel oleh orang tua yang marah karena anaknya dihukum setelah ketahuan merokok. Masih banyak lagi kasus kriminalisasi guru, baik yang terendus media maupun yang tenggelam dari pemberitaan. Namun yang pasti, betapa malang nasib sang pemberi ilmu hari ini. Sudahlah kesejahteraan tidak didapat, perlindungan hukum pun kian sirna.

Maraknya kasus serupa, menyebabkan para guru makin takut mendisiplinkan anak didiknya. Jika kondisi ini dibiarkan, akan berdampak pada munculnya fenomena “masa bodoh” dari para pendidik. Jika sudah demikian, akan sangat berpengaruh terhadap output pendidikan.

Inilah yang menyebabkan para guru turun ke jalan, berdemonstrasi menuntut agar para guru mendapatkan perlindungan hukum. PGRI misalnya, mereka turun ke jalan menuntut agar pemerintah segera membuat RUU Perlindungan Guru. Sebab nyatanya, UU yang sudah ada tidak cukup kuat untuk memberikan perlindungan hukum bagi para guru. Hal ini dibantah oleh Mendikdasmen Abdul Mu’ti dengan mengatakan bahwa UU yang mengatur perlindungan guru sudah cukup baik, yakni termaktub dalam UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Hanya saja, tambahnya, yang belum maksimal adalah upaya penegakan dan pelaksanaan aturannya.

Lantas, apa akar persoalan maraknya kriminalisasi guru? Bagaiman cara Islam memuliakan guru agar terwujud generasi berkualitas?

--
Faktor Penyebab
--

Ada banyak faktor yang menyebabkan maraknya kriminalisasi pada guru, di antaranya UU Perlindungan Anak. Tidak bisa kita mungkiri bahwa UU tersebut kerap menjadikan para guru mudah dipidana. Sebabnya, beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak.

Faktor lain yakni adanya perbedaan terkait dengan definisi dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat, serta negara. Masing-masing pihak memiliki persepsi yang berbeda terhadap pendidikan anak sehingga menimbulkan gesekan di antara mereka, termasuk langkah guru dalam mendidik siswanya.

Demikian halnya dengan pola komunikasi yang kurang baik antara guru dan siswa, juga sekolah dan orang tua. Realitas ini membuat gesekan makin tajam. Orang tua yang sibuk dengan pekerjaannya dan menyerahkan pendidikan sepenuhnya pada sekolah sering kali menyalahkan sekolah jika anaknya melakukan sesuatu yang buruk. Begitu p**a pihak sekolah, tuntutan akademik dan akreditasi menjadikan pola ajar dan mengajar hanya fokus pada penilaian akademik semata dan kurang memprioritaskan aspek moral, apalagi agama. Akibatnya, rasa hormat siswa pada guru dan orang tua makin luntur.

Selain itu pada level negara, UU yang ada nyatanya tidak mampu melindungi guru. Banyak pihak pesimis jika ada UU khusus akan efektif memberikan hak perlindungan hukum bagi para guru. Sebabnya, bukan isapan jempol semata jika negeri ini dikuasai mafia peradilan. Hukum bisa dibeli dengan uang dan kekuasaan. Artinya, seorang guru yang lemah posisi tawarnya tentu akan kesulitan mencari keadilan meski banyak UU yang sudah ditetapkan untuk melindungi guru.

--
Sistem Sekuler Kapitalisme
--

Jika kita telisik lebih dalam, sebenarnya semua persoalan di atas lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Sebabnya, pertama, negara sekuler niscaya melahirkan UU yang lemah. UU produk sekuler hanya menyandarkan pada hasil akal pikiran manusia yang tentu saja lemah dan terbatas. Sebagai contohnya UU Perlindungan Anak dan UU Guru, yang pada akhirnya seolah-olah saling menegasikan. Alih-alih melindungi anak dan guru, UU tersebut malah berpotensi saling menyerang balik.

Negara sekuler juga sangat meniscayakan lahirnya mafia peradilan sebab ketakwaan individu tidak tumbuh pada individu mayoritas pejabat. Inilah di antara hal yang bisa menyebabkan sulitnya memperoleh keadilan. Seorang guru yang posisi tawarnya lemah, akan mudah dipidanakan oleh orang tua siswa yang memiliki harta dan kedudukan, kendati UU-nya sudah dibuat sedemikian rupa untuk melindungi guru.

Kedua, sistem sekuler menjadikan setiap individu jauh dari agama. Tidak sedikit dari para guru, siswa, dan orang tua siswa yang kesehariannya jauh dari agama sehingga tidak ada kontrol diri dalam mengendalikan emosi. Kasus Guru Zahraman misalnya, yang mengalami kebutaan akibat diketapel orang tua murid yang kesal anaknya dihukum. Inilah yang makin menyuburkan gesekan antara guru, siswa, dan orang tua siswa.

Ketiga, sistem kehidupan sekuler kapitalisme melahirkan individu yang materialistis sehingga berdampak p**a pada tujuannya untuk mengenyam pendidikan. Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan untuk mengubah nasib ekonomi keluarga. Dengan kata lain, pendidikan hanya disandarkan pada capaian materi. Tidak bisa dinafikan bahwa guru-guru hari ini dilahirkan dari sistem pendidikan sekuler kapitalisme yang sama-sama berorientasi pada materi.

Banyak guru yang mengajar sekadar untuk formalitas profesi yang membuatnya bergerak berdasarkan target materi tanpa peduli pada nasib generasi. Ketika pada gilirannya ada guru yang mencurahkan hidupnya untuk mengajar hingga dirinya tidak mempermasalahkan gaji rendah, malah dipandang sebelah mata sehingga mudah dipidanakan begitu saja.

Keempat, pola relasi antarmanusia dalam sistem sekuler hanyalah sebatas asas materi. Hilangnya rasa hormat seorang siswa kepada gurunya juga tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sekuler tersebut. Siswa bisa begitu lancang melaporkan gurunya karena merasa harta dan jabatan orang tuanya lebih tinggi dari gurunya.

--
Islam Memuliakan Guru
--

Guru adalah profesi mulia yang seharusnya dijaga muruahnya. Ia adalah sang pemilik ilmu sekaligus yang memberikan ilmu. Banyak dalil yang menggambarkan keutamaan beserta kedudukan guru di sisi Allah dan Rasul-Nya. Siapa saja yang memahami agama, sejatinya akan menjaga adabnya terhadap seorang guru. Ia akan memberikan perlakuan yang baik terhadap guru. Ia pun akan patuh terhadap nasihat gurunya sebab ia yakin semua itu juga merupakan kebaikan bagi dirinya.

Demikian p**a dengan orang tua siswa. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga adab kepada guru. Salah satu adab yang harus dilakukan anak didik beserta orang tuanya kepada guru adalah tidak mencari-cari kesalahan guru tersebut. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang s**a memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).

Para guru dalam sistem kehidupan Islam akan berlomba-lomba menjadi orang-orang terbaik. Motivasi utama mereka dalam mengajar adalah mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).

Dalam Islam, seseorang akan menjadi guru yang berkualitas dan fokus memberikan pengajaran terbaiknya pada setiap siswanya. Kualitas guru yang demikian itu sulit diraih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang mengaitkan aktivitas pengajarannya pada nilai materi.

Terkait peran negara, memuliakan profesi guru adalah dengan menjamin kesejahteraan guru dengan sistem penggajian yang terbaik sehingga guru dapat menjalankan amanahnya dengan optimal. Negara juga akan memberikan perlindungan hakiki kepada guru dan murid dengan cara menerapkan aturan Islam secara kafah. Sebabnya, penerapan Islam secara kafah dengan sendirinya akan melindungi seluruh individu dari beragam profesi, termasuk guru.

Saat khalifah merumuskan suatu kebijakan, landasannya Al-Quran dan Sunah sehingga produk kebijakan/UU-nya memiliki kekuatan hukum hakiki dan mampu menyolusi persoalan. Kebijakan khalifah akan berfokus pada umat karena pemerintahannya independen tanpa intervensi kepentingan dari pihak luar. Inilah jaminan lahirnya kebijakan yang mampu melindungi semua pihak, termasuk para guru.

--
Sistem Pendidikan Islam
--

Perlindungan terhadap guru dan proses belajar mengajar yang optimal tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Islam mewajibkan negara sebagai pihak yang mengurusi seluruh kebutuhan hidup manusia, tidak terkecuali kebutuhan pendidikan. Negara akan serius mengatur urusan pendidikan rakyatnya agar hak berpendidikan diberikan kepada seluruh rakyatnya secara merata dan berkualitas.

Negara harus memahamkan pada rakyatnya akan tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekali siswa dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.

Dengan begitu, semua pihak akan bersinergi dalam mencapai tujuan pendidikan menurut Islam. Tujuan ini menjadikan seorang guru optimal dalam mengajar karena ia meyakini bahwa siswa beserta orang tuanya telah mempercayakan amanah mengajar kepada sang guru. Dengan begitu, jangankan mengkriminalisasi guru, para orang tua justru akan mengapresiasi dan mendukung penuh konsep pengajaran guru kepada putra-putri mereka.

Tidak hanya guru, siswa, dan orang tua yang berusaha mewujudkan tujuan pendidikan, negara sebagai penanggung jawab urusan umat akan menjaga agar tujuan pendidikan Islam terwujud dengan baik. Hal ini salah satunya dengan menetapkan kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Mata pelajaran dan metodologi penyampaiannya seluruhnya disusun tanpa menyimpang sedikit pun dari asas akidah.

--
Khatimah
--

Kriminalisasi yang menjatuhkan muruah guru akan mudah muncul dalam sistem kehidupan kapitalisme. Sistem sekuler hanya memosisikan guru sebagai instrumen dalam sistem pendidikan. Guru menjalani peran yang tidak ubahnya faktor produksi yang bertugas menghasilkan individu berpendidikan. Konsep ini berbeda secara diametral dengan Islam yang memosisikan guru sebagai pemberi ilmu yang derajatnya Allah Swt. tinggikan.

Memperlakukan guru dengan baik dan memuliakannya dengan membuat mereka sejahtera dan aman, adalah hal yang sangat penting bagi semua pihak. Optimalisasi guru dalam mengajar akan mewujudkan generasi yang berkepribadian Islam dan siap membangun peradaban gemilang. Oleh karena itu, penerapan Islam secara kafah urgen dilakukan demi terciptanya perlindungan hakiki bagi para guru dan siswa. Wallahualam bissawab.

Sumber: FP MuslimahNewsCom

Like and share, semoga menjadi amal sholih

Find us on
Facebook: Mrs.Deliverse
Instagram: .deliverse
YouTube: Deliverse Network

Address


Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Muslimah Rindu Syariah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Muslimah Rindu Syariah:

Videos

Shortcuts

  • Address
  • Alerts
  • Contact The Business
  • Videos
  • Claim ownership or report listing
  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share