17/11/2024
Peran Negara dalam Mendistribusikan Ilmu para Cendekiawan
Mendiktisaintek Satryo Soemantri Brodjonegoro menegaskan, mahasiswa penerima beasiswa dari Lembaga Pengelola Yayasan Pendidikan (LPDP) tidak diharuskan kembali ke Indonesia. Ia juga mengatakan, hal ini karena Indonesia tidak bisa menjamin lapangan pekerjaan bagi para mahasiswa tersebut. Menurutnya, Indonesia saat ini belum mempunyai tempat untuk menerima para mahasiswa tersebut. Ia pun menyarankan agar mereka bisa ekspansi ke luar negeri untuk mengembangkan karier.
--
Alasan Klise
--
Pernyataan Mendiktisaintek itu pada dasarnya sangat bertolak belakang dengan kebutuhan Indonesia terhadap hadirnya SDM bermutu, khususnya dosen dan peneliti. Menteri sebelumnya, Nadiem Makarim, bahkan pernah menyebut Indonesia dalam keadaan darurat dosen maupun ilmuwan, padahal mereka akan sangat bermanfaat dalam mewujudkan visi Indonesia Emas.
Sungguh sayang jika mereka yang telah menempuh studi di luar negeri dengan biaya pemerintah ternyata tidak kembali untuk mengabdikan ilmunya. Alasan Pak Menteri dalam hal ini pun tampak klise, yakni klaim bahwa negeri ini tidak menjamin lapangan kerja. Dengan ini, tentu ada sesuatu yang ganjil. Alasan klise itu bahkan seakan-akan menjadi pembenaran saat ada para penerima beasiswa LPDP yang lebih memilih berkarier di luar negeri dan enggan kembali mengabdi pada negeri asalnya. Mereka mengeklaim, inovasi yang mereka temukan kerap diremehkan di negeri sendiri.
Terlebih jika berbicara mengenai dana riset dan inovasi serta pengembangan ilmu pengetahuan, para peneliti banyak yang memilih untuk tidak melanjutkan risetnya. Jikalau tetap lanjut, mereka memilih untuk mencari pendanaan dari pihak swasta atau sumber-sumber lain dari luar negeri. Kondisi ini tentu menjadi dilema.
Negeri ini sesungguhnya membutuhkan para ilmuwan dan peneliti. Namun jika mengikuti logika Pak Menteri, negeri ini justru akan rugi besar. Bahkan, Indonesia berpotensi mengeluarkan biaya yang lebih banyak jika menggantungkan penggunaan teknologi dari luar atau temuan peneliti yang didanai swasta. Alih-alih mengembangkan inovasi dan teknologi dengan mengandalkan SDM dalam negeri, logika pemangku kebijakan ini justru menunjukkan ketakadaan visi dalam mengelola pendidikan tinggi agar bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
--
Makin Mencemaskan
--
Pendidikan sesungguhnya memegang peran penting dalam mewujudkan visi suatu bangsa. Indonesia yang memiliki cita-cita mewujudkan “Indonesia Emas” tentu memerlukan langkah-langkah strategis, salah satunya dengan mempersiapkan SDM andal melalui penyelenggaraan pendidikan. Melalui pendidikan, upaya peningkatan kualitas dan kapasitas generasi mendatang dapat terwujud secara maksimal.
Hanya saja, pendidikan yang diselenggarakan semestinya menghasilkan tenaga profesional yang kompeten, intelektual yang memperhatikan permasalahan kemanusiaan, dan mampu tampil sebagai problem solver. Pendidikan tinggi adalah level tertinggi dalam piramida keilmuan. Keberadaan lulusan pendidikan tinggi akan membantu pemerintah untuk mengarahkan setiap kebijakan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat.
Setiap negara yang memandang penting pengembangan ilmu pengetahuan akan melakukan investasi besar dalam pembangunan manusia yang terampil dan berdaya guna. Penyelenggaraan beasiswa menjadi salah satu cara untuk mewujudkannya. Tentu bukan tanpa alasan jika negara menyelenggarakan pendidikan dan membuka peluang beasiswa bagi anak negeri. Tujuannya tidak lain untuk melahirkan SDM unggul dan memberi manfaat luas bagi masyarakat. Atas dasar ini, sangat disayangkan jika SDM bermutu yang sudah tersedia justru negara serahkan kepada negara lain.
Pendidikan tinggi juga memiliki peran strategis sebagai pusat pengembangan intelektual. Hal ini didukung oleh tridharma perguruan tinggi, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Artinya, ada konektivitas nyata antara SDM luaran pendidikan tinggi dengan upaya pemerintah dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat.
Seluruh pihak tentu menyadari bahwa masalah di negeri ini sangat kompleks. Apalagi dengan cita-cita besar yang kerap disebut-sebut oleh para petinggi negara. Misalnya cita-cita Indonesia menjadi pusat energi panas bumi dunia, negara yang masuk dalam lima negara dengan ekonomi terbaik di dunia, atau cita-cita lainnya yang seharusnya diiringi dengan penyiapan SDM unggul. Pada titik ini jelas, hal penting yang harus tercapai adalah visi negara untuk mendistribusikan buah pikiran para intelektual. Demikian halnya dengan Indonesia Emas 2045, bagaimana nasibnya tanpa ditunjang SDM unggul dan berkualitas?
--
Negara Lepas Tangan?
--
Era bonus demografi Indonesia tengah berjalan dan puncaknya akan tercapai pada 2030-2040. Berdasarkan data BPS, penduduk Indonesia pada 2024 berjumlah kurang lebih 270,20 juta jiwa. Dari angka tersebut, jumlah angkatan kerja produktif berkisar 140 juta jiwa. Sayang, masalah lain yang mengiringi bonus demografi adalah isu pengangguran. Alih-alih terwujud bonus demografi, yang cenderung terjadi malah beban demografi.
Meski banyak klaim bahwa pemerintah berhasil menurunkan angka pengangguran, tetapi fakta di lapangan berkata lain. Badai PHK adalah realitas yang tidak bisa didustakan. Demikian p**a dengan jumlah pengangguran terdidik yang tiap tahunnya akan terus bertambah karena jumlah lulusan perguruan tinggi pun terus bertambah sehingga kita juga patut mempertanyakan ketakmampuan dunia kerja untuk menyerap lulusan perguruan tinggi.
Dari realitas tersebut negara seharusnya segera turun tangan untuk menyelesaikannya. Sebabnya, negaralah yang bertanggung jawab dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat agar cendekiawan asal negeri sendiri tidak dilepas begitu saja untuk mengabdikan ilmunya di negeri orang, atau malah dibiarkan ramai-ramai ke luar negeri mengadu nasib karena kurangnya apresiasi dan tidak adanya lapangan kerja di dalam negeri.
Lantas, mengapa negeri ini mengalami krisis lapangan kerja? Realitas ini sejatinya kompleks dan sistemis. Permasalahan mendasarnya adalah banyaknya pengangguran akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, negara hanya berperan sebagai regulator. Wewenangnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat -termasuk lapangan kerja- dialihkan kepada individu atau swasta.
Demikianlah wujud negara korporatokrasi. Istilah ini mengacu pada bentuk pemerintahan dengan ciri kewenangan pemerintah dalam melaksanakan tata kelola negara beralih kepada korporasi (perusahaan), baik nasional maupun multinasional. Dalam menjalankan bisnisnya, perusahaan tentu akan fokus pada faktor profit (keuntungan). Bagi perusahaan, para pekerja adalah bagian dari faktor produksi semata. Saat perusahaan mengalami goncangan, PHK dengan dalih efisiensi produksi pun sangat mungkin dilakukan. Praktis, kondisi ini berpeluang besar menciptakan banyak pengangguran.
Di sisi lain, pendapatan negara yang hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri menyebabkan negara sulit menyediakan dana untuk merekrut pegawai. Negara benar-benar mengandalkan sektor swasta untuk membuka lapangan kerja. Meski sejatinya dalam pola rekrutmen pegawai, negara berdalih dengan efisiensi anggaran, sedangkan dalih swasta adalah efisiensi produksi.
Dampaknya, rakyat harus gigit jari karena sulit mendapatkan pekerjaan, sementara mereka juga harus berjibaku untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Jelas, lepas tangannya negara dalam membuka lapangan kerja, membuat rakyat harus menggantungkan nasibnya pada sektor swasta, termasuk tenaga profesional seperti para peneliti. Kebermanfaatan ilmu yang mereka miliki baru terasa ketika masyarakat mengeluarkan sejumlah uang. Artinya, pelimpahan wewenang dari negara ke individu/swasta telah mengarahkan ilmu pengetahuan menjadi barang komersial.
Tidak pelak, memang negaralah yang semestinya hadir untuk mendistribusikan kekayaan pemikiran para intelektual ke tengah-tengah masyarakat. Nyatanya bukan soal ketakadaan lapangan kerja, karena sejatinya urusan dan kebutuhan masyarakat sangatlah banyak. Akar masalahnya justru ada pada negara yang tidak hanya melimpahkan wewenangnya pada individu/swasta, tetapi juga setengah hati merekrut SDM yang dapat memanfaatkan ilmunya bagi masyarakat.
--
Pandangan Islam
--
Dalam Islam, para ahli ilmu (profesional) dan tenaga ahli memiliki kedudukan strategis. Hal ini tampak nyata dalam mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat sebagai realisasi politik dalam negeri, serta aktualisasi visi politik luar negeri.
Islam memiliki perspektif yang khas dalam mewujudkan negara mandiri yang diperhitungkan di kancah internasional. Untuk itu negara bersistem Islam (Khilafah) memiliki sejumlah langkah strategis untuk berinvestasi dalam melakukan pembangunan SDM yang sesuai dengan cita-cita peradaban Islam.
Selain menyelenggarakan pendidikan dasar dan menengah yang bertujuan untuk membentuk kepribadian Islam yang tangguh, pada tingkat pendidikan tinggi Khilafah menyelenggarakan pendidikan yang bertujuan mencetak luaran yang memiliki skill, kepakaran, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mewujudkan peradaban Islam yang mumpuni.
Tentu saja, landasan keilmuan mereka adalah keimanan sehingga para ahli ilmu memahami bahwa ilmu yang mereka peroleh tidak lain untuk mewujudkan kemaslahatan umat. Hilirisasi output pendidikan tinggi adalah untuk merealisasikan peran penguasa dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, para lulusan pendidikan tinggi semestinya dipersiapkan untuk membantu kinerja penguasa sebagai pelayan rakyat. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka.” (HR Abu Nu’aim).
Negaralah yang bertugas untuk membenahi pendistribusian kekayaan pemikiran para ahli ke tengah-tengah masyarakat. Kompleksnya kebutuhan dan permasalahan individu masyarakat sesungguhnya membutuhkan jumlah tenaga kerja yang sangat besar, termasuk kebutuhan akan para ahli yang memiliki tingkat keilmuan di atas rata-rata. Negara sangat membutuhkan inovasi dan pengembangan teknologi dari mereka.
Kemampuan negara untuk memetakan kebutuhan masyarakat dan mempersiapkan para ahli dalam memenuhi kebutuhan tersebut, membuat Khilafah benar-benar menghidupkan hilirisasi ilmu para cendekiawan. Dengan begitu, Khilafah tidak akan bingung menyerap dan menyalurkan tenaga ahli, karena sejatinya mereka akan sangat dibutuhkan masyarakat. Khilafah juga tidak akan berdalih atas ketakadaan biaya untuk menggaji para ahli ilmu, sebab pemenuhan kebutuhan masyarakat berjalan dengan pembiayaan penuh dari baitulmal.
Sumber-sumber utama pendapatan negara di baitulmal semuanya diperoleh menurut ketentuan syariat Islam. Terdapat tiga sumber utama pendapatan negara. Pertama, dari kepemilikan individu seperti sedekah, hibah, zakat, dan lain-lain. Zakat harus dipisahkan dari harta lain. Kedua, sektor kepemilikan umum termasuk tambang, minyak bumi, gas, hutan, dan lain-lain. Ketiga, sektor kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fai’, usyur, dan sejenisnya.
Jika kas baitulmal tidak mencukupi atau habis, kewajiban tersebut akan beralih kepada umat Islam dalam bentuk pajak atau pinjaman. Pajak dalam Islam hanya berlaku untuk sementara waktu dan hanya dikenakan pada orang kaya laki-laki saja. Pajak yang terkumpul digunakan untuk membiayai jihad, industri militer, dan yang terkait dengannya. Juga bantuan kepada fakir, miskin, dan orang yang dalam kesulitan, membayar gaji pegawai seperti tentara, pegawai, hakim, dan guru, serta membiayai kebutuhan mendesak yang dapat membahayakan umat jika diabaikan seperti penanggulangan bencana seperti gempa bumi, longsor, dan banjir.
Ketakmampuan negara hari ini membuka lapangan kerja dengan dalih efisiensi dana pada dasarnya karena penerapan sistem ekonomi kapitalisme liberal. Selain menciptakan prinsip negara korporatokrasi, sistem ekonomi kapitalisme juga menganut prinsip kebebasan kepemilikan yang membuka kesempatan bagi individu untuk menguasai aset-aset strategis negara. Akibatnya, keuangan negara hanya bertumpu pada pajak dan utang, alih-alih mengandalkan pendapatan dari SDA yang ada. Tidak heran, kita menyaksikan rakyat negeri ini bak ayam mati di lumbung padi. Mereka melarat di tengah kekayaan SDA yang melimpah.
Selain itu, pelaksanaan politik dalam dan luar negeri mengharuskan negara memiliki kekuatan militer yang kuat. Hal ini penting agar negara dapat mencegah upaya para imperialis untuk menguasai wilayah Islam dan SDA di dalamnya.
Walhasil, kebingungan pemerintah dalam menyalurkan ahli ilmu sesungguhnya bersifat sistemis dan membutuhkan penanganan dengan paradigma mendasar. Sistem sekuler kapitalisme telah nyata terbukti menyengsarakan, bahkan mengacaukan tata kelola negara seperti hari ini. Wallahualam bissawab.
Sumber: FP MuslimahNewsCom
Like and share, semoga menjadi amal sholih
Find us on
Facebook: Mrs.Deliverse
Instagram: .deliverse
YouTube: Deliverse Network