16/04/2024
BABY SITTER ANAKKU
PART 2
Tiba-tiba aku merasa ada di sebuah ruangan yang gelap. Ketika berjalan, kakiku basah. Ada genangan air sampai ke betis. Belum lagi ada percikan api dari kabel listrik yang terputus.
Aku berjalan dengan begitu hati-hati, terdengar suara kotak musik. Entah, mengapa di saat seperti ini alunannya begitu mengganggu, justru membuat semakin takut.
Terlihat tempat tidur bayiku berayun pelan dengan sendirinya. Lalu, terdengar suara seorang wanita bergumam menirukan suara lantunan kotak musik itu.
"Wu--lan?"
Ia terus saja bernyanyi dan tempat tidur b4yiku yang kosong diayun lebih cepat.
Sambil waspada, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Lalu mataku menangkap sesuatu. Seseorang yang duduk di dekat tempat tidur b4yiku. Ia duduk membelakangi sambil terus bergumam menirukan lantunan suara dari kotak musik yang bunyi dan berputar-putar di atas meja.
Keberanikan diri untuk mendekatinya. Namun, tiba-tiba saja alunan kotak musik itu berhenti. Sontak, langkahku juga turut berhenti.
Suara nyanyian Wulan berubah menjadi isak tangis. Memilukan dan menyedihkan.
Aku menghela napas panjang. Sampai akhirnya kuputuskan untuk mendekatinya.
Sekarang, jarak di antara kami hanya sejengkal. Tanganku gemetaran ketika hendak menyentuh pundaknya.
Sontak terkejut, ketika Wulan menoleh cepat dengan wajah mengerikan. Setelahnya, ia menghilang, tapi tidak dengan suara tangisnya.
Suara itu masih menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Sontak aku terbangun, keringat bercucuran deras. Mimpi, hanya mimpi. Di sela napas yang masih terengah-engah, langsung beristighfar sebanyak-banyaknya.
Sejak mimpi buruk itu, entah mengapa aku tak bisa tidur lagi. Seperti merasa bahwa Wulan hendak menunjukkan sesuatu padaku. Bukan hanya itu, suara tangisnya seolah masih terdengar berulang-ulang di telingaku.
Aku mencoba menenangkan hati. Sesekali melihat ke arah bayiku yang masih terlelap.
Merasa sudah tenang, aku turun dari tempat tidur. Namun, merasakan sesuatu yang aneh, piyamaku basah hingga ke batas betis. Padahal ingat betul bahwa sebelum tidur aku sudah mengganti pakaianku.
Entah mengapa saking takutnya langsung berteriak histeris, juga membuat b4yiku terbangun.
Dari luar, tergopoh-gopoh suamiku masuk, disusul dengan beberapa temannya yang memang berjaga di luar.
"Ada apa?"
Aku hanya bisa terisak. Sambil menjinjing sedikit cel*naku.
Suamiku seolah paham, ia langsung mem3lukku.
"Tolong segera temukan pelakunya, kasihan Wulan. Kasihan dia," lirihku.
***
Di pagi hari, keluarga Wulan, Supri dan keluarga Pak Man datang menemui kami.
Kubiarkan suamiku menjelaskan, karena memang kasusnya masih dalam proses penyelidikan, bahkan kami belum melakukan proses aut*psi, karena tidak etis jika belum mendapatkan persetujuan dari keluarga mereka.
Dengan cepat, keluarga Supri dan Pak Man langsung setuju, mereka menyampaikan, bahwa ingin segera menemukan semua pelakunya, agar bisa mendapatkan hukuman seberat-beratnya.
Berbeda dengan keluarga Wulan. Kami sangat terkejut, ketika mereka meminta u4ng persetujuan dengan nominal yang sangat fantastis.
"Saya setuju jen*zah putri saya di aut*psi, jika ada uang ganti rugi minimal 1 M. Tapi, jika tidak setuju, maka kami akan segera membawa jenazah Wulan ke kampung dan memak*mkannya."
Aku dan Mas Lukman saling berpandangan. Benar-benar tidak habis pikir. Dari awal, kami memang sudah berniat untuk memberikan u4ng ganti rugi kepada keluarga yang ditinggalkan. Sempat p**a ada pembahasan bahwa kami akan membantu biaya pendidikan keluarga mereka, termasuk adik-adik Wulan.
Mas Lukman hanya diam, justru meminta waktu untuk berpikir.
Setelah mereka semua pergi. Aku langsung memarahinya. Menurutku, akan lebih baik jika ia menyetujui kesepakatan itu.
"Bukan begitu, Ma. Ada banyak pertimbangan. Pertama kita belum tau jelas siapa pelakunya. Kedua, jika kita mengiyakan, kita akan diperas, karena otomatis keluarga almarhum Pak Man dan Supri juga aman menuntut hal yang sama kepada kita."
Pikiranku kalut, tak bisa berkata apa-apa. Padahal, sangat paham, jika terlalu lama mengulur waktu, akan bertambah p**a rentetan masalah yang datang.
Di hari itu juga, aku mengambil cuti selama seminggu. Ingin menenangkan diri. Setelah, kondisi an4kku benar-benar membaik, aku langsung membawanya ke rumah orang tuaku
Di sana, Mas Lukman mendapat banyak sekali wejangan dari Papa. Memintanya untuk menyetujui permintaan keluarga Wulan. Lalu, melakukan hal yang sama, kepada keluarga Pak Man dan Supri. Mengenai biaya, Papa juga bersedia membantu.
Mas Lukman memang selalu tak berkutik di depan Papa. Namun, ia juga mengatakan bahwa akan menyelidiki semua tentang keluarga korban. Sebab, kami pun tak paham musuh yang sebenarnya dari mana.
Selama ini, kami merasa tak memiliki musvh, tapi itu bukanlah jaminan.
"Lukman, kasus apa yang akhir-akhir ini sedang sibuk kau tangani?" tanya Papa.
"Gembong m*fia, Pa. Mereka bahkan memiliki jaringan luas hingga ke mancanegara, sudah terbukti menjadi akar peredaran nark*ba. Bukan hanya itu, mereka juga tak segan untuk melakukan tindakan pemb vnu han."
Hal itu baru saja kuketahui. Sebelumnya, Mas Lukman tak pernah membahasnya.
Semua itu membuatku banyak berspekulasi, membuat kepala ini terasa pecah.
"Mungkin ini adalah kasus besar, Lukman. Lakukan dengan tenang dan hati-hati."
Belum sempat menjawab perkataan Papa, handphone suamiku berbunyi. Ia segera mengangkatnya.
"Walaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Hah?! Apa katamu?! Baiklah, saya akan segera ke sana."
"Ada apa?" tanyaku sambil berlari keluar menyusul Mas Lukman.
"Dua pelaku yang kami temukan kemarin mencoba mengigit lidahnya sendiri, sampai hampir putus," jawabnya sambil buru-buru memasuki mobil.
Seketika aku langsung terdiam. Dadaku terasa sesak. Kenapa begitu rumit? Sebenarnya siapa pelaku yang sebenarnya? Apa motif mereka?
Banyak sekali pertanyaan yang belum terungkap. Membuatku semakin ketakutan dan tidak tenang.
***
Aku masih mondar-mandir di dekat jendela ruang tamu. Sudah tengah malam Mas Lukman belum p**ang, bahkan tak memberikan kabar.
Aku masih terus menunggu, tapi belum ada tanda-tanda keberadaannya. Beberapa saat kemudian, bayiku terdengar menangis kencang.
Aku bergegas menaiki tangga. Namun, tiba-tiba saja suara tangisnya berubah menjadi suara tawa diselingi dengan suara ocehannya.
Ketika hendak memasuki pintu kamar, entah mengapa begitu merinding. Dengan cepat aku membuka pintu, tak ada siapa-siapa. Bayiku terlihat tertawa sambil melihat ke arah atas.
Cepat-cepat aku ingin mengambilnya dari tempat tidur, tetapi terasa ada sesuatu yang mendorong tubuhku hingga terhuyung ke belakang.
Aku berusaha mendekati bayiku lagi, tetapi tiba-tiba terdengar suara alunan kotak musik itu lagi. Kali ini bukan mimpi.
B4yiku juga terus saja terkekeh, seperti ada yang sedang mengajaknya becanda. Lalu, dengan cepat aku menggendongnya sambil mengelus sedikit dahinya ke bawah agar tidak terus melihat ke atas.
Saat berbalik hendak berjalan menuju pintu, aku melihat kehadiran Mas Lukman yang begitu tiba-tiba.
Lebih terkejut lagi saat melihat ada sosok wanita yang di gendongan belakangnya. Sosok itu tersenyum menyeringai. Kedua matanya melotot dengan kepala teleng ke kanan-kiri.
Aku gemetaran melihatnya. Namun, sepertinya Mas Lukman tak menyadarinya.
Sudah tamat di aplikasi KBM App (hanya 32 bab) dengan judul yang sama BABY SITTER ANAKKU, atau bisa langsung klik link di bawah ini
https://read.kbm.id/book/detail/ec2155b8-a4a3-46cb-ac97-54eb8df2b0df?af=89541ab2-f6b2-dd84-57e0-ddc195116156