17/08/2020
Mengenang Rasis: Stop Sebut Rakyat Papua RASIS!
Oleh : Alexander Gobai
Begitu teriakan Monyet, Anjing, Rasisme dan Usir Papua terhadap Mahasiswa Papua yang mengenyam Pendidikan di Kota Surabaya oleh Oknum-Oknum Reaksioner yang juga tinggal di Surabaya, membomkan Satu pulau Papua dengan demonstrasi besar-besaran βMenolak Rasisme West Papuaβ di tahun 2019 lalu.
Mahasiswa, Pemuda dan Rakyat Papua secara spontan turun jalan memprotes Harkat dan Martabat Orang Asli Papua yang diinjak-injak oleh oknum-oknum yang merasa orang Asli Papua bukan manusia, apalagi mengatakan βMonyet dan Usir Papuaβ. Ungkapan itu menyebutkan orang Papua kehilangan harkat dan martabat sebagai jati diri dan identitas orang asli Papua yang mestinya dihargai antarsatu dengan yang lain.
***
Tepat 16 Agustus 2019 lalu merupakan hari dimana terjadi sebuah peristiwa besar di Surabaya yakni Ujaran Rasisme, Monyet dan Usir Papua kepada Mahasiswa Papua yang mengenyam Pendidikan di Surabaya, Jawa Timur. Peristiwa ujaran Rasisme itu bukan hanya di Surabaya, tetapi juga di beberapa kota di tanah Jawa, seperti Malang, Yogyakarta, Jakarta, Bali dan beberapa kota lainnya. Sebutan Rasisme itu membomkan hati orang Papua mulai dari Sorong sampai di Merauke.
Tepat, tanggal 18 Agustus 2019, Mahasiswa Papua dan Organisasi Kepemudaan (OKP), Seperti Himpunan Mahasiswa Islam, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia dan OKP lainnya duduk Bersama untuk mengatur aksi menolak Rasisme di tanah Papua.
Tanggal 19 Agustus 2019, Mahasiswa dan OKP sekota Jayapura memediasi Rakyat Papua turun jalan sebagai aksi protes menolak Rasisme di tanah Papua. Aksi protes itu dilakukan secara spontanitas oleh Rakyat Papua, karena merasa harga diri dan identitas Orang Asli Papua tidak diihargai. Protes itu dilakukan seluruh daerah dan kota di Pronvinsi Papua, seperti, Fak-Fak, Manokwari, Sorong, Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, Biak, Serui, Jayapura, Wamena, Yahukimo, Pegunungan Bintang, Merauke dan beberapa Kabupaten lainnya.
Aksi protes akibat ujaran Rasisme bukan hanya terjadi sekali, melainkan hampir dua minggu berturut-turut Rakyat Papua memprotes Rasisme di tanah Papua. Tanggal 29 Agustus 2019 aksi protes kedua yang terjadi di tanah Papua. Pengrusakan, pembakaran dan lain sebagainya sebagai bentuk kekecewaan orang papua dengan sebutan Rasisme (Monyet) dari Surabaya.
Akhir dari peristiwa penolakan Rasisime itu, beberapa Mahasiswa, pemuda dan aktivis ditangkap, ditahan hingga diadili dengan dakwaan pasal Makar (106), Pasal Penghasutan (160), Pasal Mufakat Jahat (110) atas dasar Pernyataan Kapolri Jenderal Tito Karnavian membeberkan aktor lokal ULWMPP (United Liberation Movement for West Papua) dan KNPB (Komite National Papua Barat) serta Benny Wenda sebagai dalang rusuh di Papua hingga Papua Barat, seperti yang dilansir detik.com edisi 5 September 2019 tahun lalu.
Diberikan Pasal itu dari pihak kepolisian karena diangga aksi penokan Rasisme ada keterlibatan nuansa Politik. Padahl, bendara dan busana lengkap adalah spontanitas Rakyat papua karena kekecewaan Rakyat Papua dan pelecehan harkat dan martabat harga diri orang asli papua.
***
Berdasarkan penjelasan singkat cerita diatas, ingin menunjukan kepada Jakarta bahwa Rasis adalah musuh suku, bangsa dan Negara.
Kata rasisme berasal dari bahasa Inggris yaitu racism. Rasicsm sendiri berasal dari kata race yang mengandung beberapa arti, yaitu : Pertama, suatu kelas populasi yang didasari oleh kriteria genetik.
Kedua, kelas dari genetik atau tipe gen. Ketiga, populasi yang mana populasi yang di maksud secara genetis berbeda dengan populasi atau ras yang lain.
Sederhananya, rasisme ialah bentuk pandangan terhadap ideologi atau paham masyarakat yang menolak atau adanya ketidaksenangan terhadap golongan masyarakat tertentu yang berdasarkan ras, derajat, atau yang lainnya.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Rasisme menurut KBBI adalah sistem kepercayaan atau doktrin yang menyatakan bahwa perbedaan biologis yang melekat dalam ras manusia menentukan hasil budaya atau individu β bahwa ras tertetu lebih unggul dan memiliki hak dalam mengatur ras lain.
Definisi rasisme menurut Alo Liliweri yaitu ialah ideologi yang didasarkan pada diskriminasi terhadap seseorang maupun kelompok, karena ras mereka bahkan menjadi doktrin politik. Definisi rasisme berdasarkan Komisi Hak Asasi Manusia dan Kesetaraan adalah ideologi yang berkontribusi terhadap pernyataan mitos tentang kelompok etnis dan ras yang merendahkan kelompok atau komunitas tertentu. Menurut Pramoedya Ananta Toer, rasisme adalah pemahaman yang menolak sekelompok orang berdasarkan atau ras yang berbeda. Dengan kata lain, ia memiliki kelainan atau perbedaan daripada umumnya.
Contoh Kejadian Rasisme kepada salah satu Mahasiswa Papua di Surabaya seperti yang dilansir, Trito.id Teriakan makian bernada rasis yang memuat nama-nama binatang dari sejumlah orang mengagetkan Dorlince Iyowau (19 tahun) yang tengah berada di dalam asrama mahasiswa Papua, Jalan Kalasan No.10, Surabaya, Jawa Timur pada Jumat (16/8/2019) sore.
Dalam kondisi yang mengecewakan orang Papua, seperti INIKATA.com bahwa Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa meminta maaf atas peristiwa yang menimpa mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Terlebih munculnya pernyataan rasis terhadap masyarakat Papua tersebut yang berimbas pada rusuh Papua tepatnya di Manokwari, Senin (19/8/2019).
Dengan kalimat meminta maaf oleh Gubernur Jawa Timur sangat tidak tepat dalam kondisi yang sangat ganas. Apalagi masalah Rasis teleh membludak di Sosial Media dan membuat Rakyat Papua Marah.
Berdasarkan UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Diskriminasi menujukkan sikap dan nilai yang berdiri di tengah untuk saling menghargai, suku, ras, agama dan etnis, apalagi sikap dan tutur kata yang diucapkan orang lain, itu pun juga harus dihargai.
Sementara, Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) di tahun 2008 mencetuskan empat akar persoalan Papua, diantaranya: pertama, Marginalisasi, Diskriminasi dan Rasis. Kedua, Pelanggaran HAM. Ketiga, Pembangun Pendidikan, Kesehatan dan lain-lain. Keempat, Pelanggaran Hak Politik (sejarah Papua).
Peristiwa tahun 2019 lalu telah mengajarkan setiap manusia yang hidup di bumi tanah Papua, kalau Masalah Rasis akan lebih serius ditanggapi oleh rakyat Papua, karena harkat dan martabat orang Papua sangat tinggi dan harus dijunjung tinggi.
LIPI telah memberikan materi khusus tentang persoalan Papua berdasarkan kajiannya. Itu artinya bahwa Negara telah ketahui bahwa penolakan Rasis adalah sikap sangat wajar sebagai negara demokrasi dan hukum, karena ada Warga Negara yang menolak Rasis di di tanah Papua. Artinya Papua tidak ingin membeda-bedakan apalagi ujaran usir Papua, Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan.
Warga yang hidup di tanah Papua sangat toleransi antaragama, apalagi dengan yang lainya. Kekeluargaan dan persaudaraan sangat dijunjung tinggi. Hidup aman dan aktivitas dengan baik tanpa ada perbedaan antara orang papua dan non-Papua.
Papua bukan Rasis dan Papua sangat anti dengan Rasisme. Sebutan kalimat kepada suku lain, sangat tidak biasa diutarakan kepada suku lain. Pertunjukan nilai toleransi sangat baik. Meski berbagai aspek lain selau terjadi diskriminasi dan intimidasi kepada orang Papua, sebut saja, dunia pemerintahan, Pendidikan, Kesehatan dan aspek lainnya.
Persoalan Rasisme duluh, sekarang dan kedepan tentunya akan selalu dirasakan dan dialami oleh generasi berikut. Karena menceritakan masalah Papua sangat sensitif dan kompeleks. Karena Orang Papua memang, dianggap Makar, Separatis, KKB dan lainnnya. Itulah Stigma yang diberikan Jakarta kepada Orang Papua.
Pembunuhan, Pemerkosaan, Penganiyaian, pembantaian kepada orang Papua sudah terjadi dari tahun 60-an hingga saat ini dan akan terjadi kedepan pun. Ditambah dengan sebutan Monyet, Separatis, Makar dan lain sebagainya. Kebiasaan Jakarta kepada Orang Papua memang sudah menjadi budaya tersendiri yang sudah tidak menghargai nilai kemanusiaan.
Dengan berbagai persoalan tanah Papua, Negara harus mampu mengindonesiakan orang Papua. Karena hal itu yang dicita-citakan Negara kepada Orang Papua. Tetapi, Mimpi dan cita-cita itu tidak bisa diwujudkan dengan semuda itu. Karena Orang Papua saat ini lebih cerdas dan pandai dalam menentukan arah dan gerak Papua kedepan.
Ada beberapa poin sebagai rekomendasi dan solusi penulis kepada Negara tentang Papua Bukan Rasis, sebagai berikut:
Pertama, Negara Harus hadir Mendeklarasikan Stop Rasis di Indonesia. Kedua, Negara harus hadir dan segera memberhentikan Persure Rakyat papua dengan Militer di tanah Papua. Ketiga, Mahkama Agung Harus Reviu Kembali Penerapan Pasal Makar. Keempat, Negara Stop Menjastivikasi Orang Papua dengan Stigma-Stigma yang dibuat Jakarta kepada orang Papua.
Solusi yang ditulis diatas merupakan wujud dari saling menghargai Hak-Hak Orang Papua di Negara Indonesia. Rakyat papua bukan Monyet seperti yang pernah terjadi di tahun 2019 lalu. Stop Sebut Rasisme Kepada rakyat Papua.
Penulis Eks Tapol Korban Rasisme Tinggal di Jayapura