27/03/2020
Siapkan Tisue 😭😭😭
*Sebuah catatan kecil untuk suami yang cintanya pasang surut untuk istrinya*
"Pa, Mama kebelet, tolong pakaikan baju untuk Rasya!" Pinta istriku sebelum ia bergegas menuju kamar kecil.
Istriku selalu begitu. Sejak putra pertama kami lahir dia mulai berbeda. Dulu semua pekerjaan rumah dikerjakannya sendiri tapi sekarang tidak lagi. Ia selalu meminta bantuanku kerja ini itu, seperti ke pasar beli sembako, buang sampah, jemur pakaian atau angkat jemuran. Aku kadang emosi kalau harus mengerjakan pekerjaan perempuan terutama untuk ganti popoknya Rasya atau memakaikan Rasya baju.
"Papa setidaknya bisa mengerjakan sedikit kerjaan perempuan. Nanti kalau aku tidak ada bagaimana?" katanya jika aku malas membantunya mengurus urusan rumah.
"Memangnya Mama mau ke mana? Mau ke Gaza jadi relawan?!?"
"Kita tidak tahu jalan nasib Pa, tidak selamanya aku ada disamping Papa!" Kalau sudah sampai pada kalimat macam begitu, aku lebih baik diam daripada menyulutkan amarahnya.
Perkara kecil seperti itu membuatku lebih betah di kantor. Kalau di rumah istriku banyak permintaan. Jika kutolak permintaanya ia pasti langsung ngomel-ngomel dan berujung ngambek.
Dan kalau dia sudah ngambek, satu kalimat pun tak keluar dari mulutnya. Aku menikmati saat dia ngambek. Hidupku tenteram tanpa perintah darinya. Kalau bosan ngambek akhirnya dia mulai bicara duluan juga. Aku tidak terbiasa membujuk, takut jadi kebiasaan buruk baginya.
Dulu pernah kutawarkan agar ambil pembantu saja tapi istriku menolak. Baktinya kepada suami akan berkurang jika ada pembantu katanya. Istriku mungkin lupa baktinya pun berkurang jika sering ngomel-ngomel. Setiap hari rumahku ramai dibuatnya. Suara omelannya adalah musik pengiring suana di rumah.
Untungnya dia masih kompromi soal Rasya yang diasuh oleh orang lain jika kami sedang kerja. Tapi orang dipilih olehnya tak masuk akal. Kalau aku inginnya perempuan muda, lulusan kebidanan kan lebih profesional tapi dia malah mempercayakan pada Bu Rabiah, janda tua tetangga kami.
"Ya ampun Papa!!" Teriaknya saat masuk kamar dan dilihatinya Rasya masih telanjang.
"Ma, aku kan sudah bilang tidak tahu kerja begituan." Belaku.
"Bedakan tidak tahu Pa dengan tidak mau tahu!" Ketusnya.
***
"Ma ini ayam semalam buang saja!" Teriakku saat kidapati makanan sisa semalam masih tersimpan di kulkas.
"Jangan Pa, ingin kuberikan pada Pacak" Pacak, sebutannya untuk tukang becak langganannya.
"Itu makanan sisa lho Ma. Mama selalu begitu memberikan makanan sisa untuk Pacak!"
"Tidak selalu Pa, kadang-kadang!" Bela istriku. Intonasinya mulai meninggi. Daripada memulai prahara, aku langsung bergegas. Kukecup kening buah hatiku sebelum keluar. Dan istriku hanya dapat jabat tangan. Sejak ada Rasya aku tak lagi memberinya kecupan, entah karena apa. Rasa seluruh cintaku kini bermuara untuk Rasya.
Tukang becak langganannya sudah menunggu di depan rumah. Saat kubuka gerbang, Si Tukang Becak langsung memberikan senyumnya.
"Selamat Pagi Pak!" Sapanya ramah.
"Pagi!" Jawabku datar.
"Ibu Dokter sudah siap Pak?" Tanyanya lagi, masih dengan wajah ramah.
"Sudah, tunggu saja!" Tanpa a i u, aku langsung masuk mobil dan meninggalkan ia yang sedang menunggu istriku.
Tukang becak langganan istriku itu sudah tua, kulitnya gelap akibat sengatan matahari. Tulang pipinya sangat menonjol seperti orang kurang gizi. Ubannya yang dominan memperjelas usianya tak lagi muda.
Berulang kali kuingatka istriku agar tak naik becak lagi ke Puskesmas. Tapi ia selalu menolak. Alasannya macam-macam, tak biasa dengan AC lah, mau hirup udara segar, atau kasihan pada si tukang becak. Aku muak dengan alasan-alasan itu. Aku kadang malu dengan teman-teman kantor jika mengatakan tega membiarkan istri naik becak sementara aku enak-enakan naik mobil. Hmm..mereka tidak tau saja bertapa keras kepalanya istriku.
***
Kabar virus Corona semakin viral dimedia sosial. Hampir tiap menit ada korban meninggal di Wuhan. Kabar itu menggegerkan dunia.
"Semoga virus itu tak sampai ke Indonesia." kata Istriku disela-sela kesibukannya memasak.
"Indonesia dengan Tiongkok berjauhan Ma, jaraknya beratus-ratus kilometer. Nggak mungkin sampai ke sini." Kataku santai.
"Papa ini, itu virus lho Pa, gampang nyebarnya. Apalagi dizaman sekarang, akses tak terbatas. Indonesia belum membatasi diri sementara sudah banyak negara yang membatasi diri. Aku jadi khawatir dengan negara ini."
"Hahahaha..aduh Mama, khawatirnya berlebihan. Lebih baik mama memikirkan Papa dan Rasya ketimbang memikirkan virus itu. Mama kayak Presiden saja yang khawatir dengan negara." Selorohku padanya.
"Aku khawatir justru karena memikirkan Papa dan Rasya." Tegasnya.
"Sudah sudah, bahas yang lain saja, malas aku bahas-bahas virus itu yang adanya jauh dari kita." Kataku sebelum kugendong Rasya keluar dan meninggalkan ia di dapur.
***
Benar dugaan istriku, akhirnya virus Corona betul-betul sampai ke Indonesia. Hari ini korbannya sudah mencapai 200an orang. Pemerintah akhirnya mengambil langkah social distancing untuk mengantisipasi penyebaran virus.
Sekolah diliburkan selama 14 hari, bagitupun dengan para pegawai. Aku tak senang mendapat kabar itu. Kerja 14 hari dirumah akan membosankan, apalagi pekerjaanku tentunya akan terganggu dengan permintaan istriku.
Aku bergegas pulang setelah pengumuman itu dikeluarkan oleh atasan. Sepanjang jalan, toko-toko mulai sepi, jalanan pun mulai sepi. Pasti istriku sudah menunggu dengan setumpuk pekerjaan yang disiapkannya untukku.
Sesampai di rumah ternyata dugaanku salah. Istriku belum pulang, yang kudapati hanya Bu Rabiah bermain dengan Rasya.
"Assalamualikum. Aku telat pulang Pa, ada rapat." Pesan darinya baru saja masuk. Baguslah pikirku, siang ini aku ingin menikmati hari tanpa omelannya.
Lama betul rapatnya, menjelang malam istriku belum juga pulang. Untung saja tadi Bu Rabiah membuat makanan untukku jadi perutku tak keroncongan. Menjelang magrib kuizinkan Bu Rabiah pulang. Kini tinggal aku dan Rasya menunggu istriku pulang.
Sampai Rasya terlelap, istriku belum juga pulang. Tak biasanya seperti ini, rasa khawatirku kini berubah rasa jengkel, bisa-bisanya tak memberi kabar jika akan pulang selarut ini. Berulang kali kuhubungi nomornya tapi tidak aktif. Akhirnya aku cuek, Dia akan memberi kabar jika terjadi apa-apa pikirku.
Istriku akhirnya pulang saat aku sudah tertidur.
"Pa, kenapa tidur sofa?" Tanyaanya saat mendapatiku tertidur sofa ruang tamu. Ia baru saja selesai mandi, badannya bau sabun, tak bau obat seperti biasanya.
Ingin rasanya melampiaskan kejengkelan saat ia membangunkanku, tapi mendengar pertanyaan lembutnya itu, dan melihat wajahnya yang kelelahan aku berubah pikiran "Mama sudah pulang?"
"Maaf Pa tadi hapeku lowbat dan pasien berdatangan satu per satu jadi tidak sempat beri kabar?"
"Puskesmas buka sampai malam begini?" Tanyaku heran.
"Pa, aku dipindahkan ke rumah sakit. Rumah sakit kekurangan tenaga medis. Sementara penyebaran Corona semakin merajalela. Maaf Aku tidak meminta persetujuanmu dulu. Maafkan aku." Katanya, sebelum ia menubrukkan tubuhnya padaku.
***
Semua pegawai dan karyawan diliburkan. Bahkan banyak pengusaha yang mogok kerja karena Corona. Termasuk aku yang tetap di rumah, tapi istriku tidak. Ia tetap bekerja seperti biasanya dan tukang becak langganannya tetap setia menjemput. Kini Bu Rabiah punya pekerjaan tambahan, selain mengurusi Rasya dia juga mengurusiku.
Waktu istriku tak banyak lagi di rumah. Kini kesehariannya dihabiskan di rumah sakit. Ia hanya pulang sesekali untuk melihat Rasya. Ketika pulang istriku langsung mandi dan mencuci semua pakaiannya.
Seminggu di rumah tanpa omelannya rasanya lain juga. Sepertinya aku mulai rindu kebiasaan itu.
Pernah suatu malam kudapati istriku sedang menangis saat melihat kami sedang terlelap. Ia mengira aku sudah tidur. Ia menangis saat menyiapkan pakaiannya untuk besok. Setelahnya ia lalu mengecup keningku dan Rasya.
Hari ini istriku sama sekali tak pulang. Ia harus tetap di rumah sakit.
"Pa, Aku tak bisa pulang dulu. Tolong jaga Rasya. Oh iya besok pagi pasti Pacak menunggu, tadi kupesan padanya tak usah menjemput malam ini, tolong berikan pakaian yang sudah kusiapkan padanya." Pesan istriku.
Tiga malam sudah istriku tak pulang ke rumah. Kini aku benar-benar rindu padanya. Aku rindu apapun tentangnya. Tapi aku tak pernah mengatakan padanya soal ini. Kalau dia tahu aku rindu dan memikirkannya pasti dia ngelunjak. "Hmm tu kan, Aku memang selalu jadi makhluk indah yang dirindukan!" Kalimat itu pasti jadi balasannya jika tahu.
Waktu terus berlalu, sudah 10 hari istriku tak pulang. Hanya pesan-pesan yang terus berdatangan darinya. Menanyakan kabarku dan Rasya setelah itu ia kembali sibuk dengan pasiennya.
Hidupku akhirnya terasa sepi tanpa istriku. Jika dia ada disini ingin kupeluk erat dia. Aku benar-benar rindu dan tak lagi merahasiakan rinduku. Pesannya selalu kubalas ungkapan rindu berharap agar ia pulang walau semenit saja. Tapi keadaan sama sekali tak berpihak pada kami. Dan dugaanku selalu benar, ungkapan rinduku selalu dibalasnya "Aku memang selalu jadi makhluk indah yang dirindukan! Peluk cium untuk kalian, orang terkasihku."
***
Pagi-pagi buta aku di kagetkan oleh teriakan Bu Rabiah.
"Ibu..!!" Teriaknya.
Aku langsung bangun, lalu turun ke bawah. Aku kaget, dengan orang-orang berpakaian astronot yang berbicara dengan Ibu Rabiah. Kukucek mataku berulang kali. Mungkin aku hanya mimpi karena khawatir berlebihan akan istriku.
Tapi ini bukan mimpi, Bu Rabiah yang menggendong Rasya histeris memanggil-manggil Ibu, sapaannya untuk istriku.
Di antara mereka juga kulihat lelaki tua sedang meneteskan air mata. Lelaki yang hampir seluruh kulit wajahnya keriput, itu tukang becak langganan istriku.
Aku lari menuruni tangga dan menemui orang-orang itu.
"Maaf Pak, kami datang menyampaikan kabar duka. Dokter Sukma telah meninggal dan kami telah mengurusnya jenazahnya dengan baik. Sebelum meninggal Dokter Sukma sempat menulis surat tapi kami tak membawanya. Nanti kami akan kirimkan foto dan videonya." Sesaat hening.
Ucapan petugas itu seperti palu godam yang menghantam jantungku berkali-kali.
"Maaf kami akan melakukan pemeriksaan dengan kalian, orang-orang terdekat Dokter Sukma!"
Kami pasrah mengikuti semua instruksi petugas. Aku lesu, sepatah katapun tak keluar dari bibirku.
Setelah pemeriksaan dilakukan mereka pamit pulang. Sekarang aku hanya ditemani Bu Rabiah dan Pacak.
Istriku telah benar-benar pergi. Jangankan untuk mengecup keningnya, melihat wajahnya untuk terakhir kali dan mengucapan sayang terakhir untuknya pun tak boleh.
"Ibu Dokter telah tiada, entah siapa lagi yang akan menumpangi becak reotku! Bapak sangat beruntung mendapatkan istri sebaik Ibu Dokter, bapak juga suami yang baik untuknya, Ibu Dokter selalu bercerita kebaikan Bapak!" Ia terisak sambil menghapus air mata dengan ujung lengan bajunya.
"Ibu sangat baik pada siapapun. Saat tidak ada satupun orang di kompleks ini yang menerima jasa janda tua sepertiku, Ibu datang menawarkan pekerjaan. Ibu tidak hanya menganggapku pengasuh anaknya tapi memperlakukanku seperti ibunya sendiri." Tambah Bu Rabiah sambil memeluk Rasya.
Ah, tetiba saja air mataku tumpah mendengar penuturan dua orang tua yang sangat dikasihi istriku itu.
Dan Rasyaku, tetap mengoceh kegirangan dipelukan Bu Rabiah. Ia belum paham makna piatu yang baru saja disandangnya.
***
Isi surat yang ditulis istriku.
Sayang, jika virus ini akhirnya pun membuatku menghadap Tuhan aku mohon kepadamu cukupkanlah doamu untukku semoga jadi penerang bagiku di alam sana. Didiklah anak kita menjadi anak saleh agar ia tahu cara mendoakan ibunya.
Peluk cium untuk kalian.
______***_____
____Tunjukkan rasa sayang selangi masih hidup sebab kita tak tahu kapan Tuhan akan menjemputnya. Bahagiakan selagi masih bisa karena segumpal penyesalan tak akan membawanya kembali.___
___Untuk para tenaga medis sebagai garda terdepan perang melawan Corona, tetaplah semangat, jangan surut, kalian adalah pahlawan dan harapan Indonesia.___
Tulisan ini terinspirasi dari cerita seorang sahabat tentang tukang becak di Makassar yang menangis karena tidak mendapatkan penumpang sejak imbauan sosial distancing dikeluarkan.
Tadi pagi saya dapat kabar seorang perawat meninggal dunia ditengah perjuangannya melawan virus Corona, semoga almarhuma Husnul Khatima..
Sumber : kbm post Haerunnisa