Cerita Dramatis

Cerita Dramatis Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Cerita Dramatis, Digital creator, San Diego, CA.

Anda tidak akan menyesal menyukai foto ini .Penjual es : cukup senyumin aja 😊
12/06/2024

Anda tidak akan menyesal menyukai foto ini .

Penjual es : cukup senyumin aja 😊

"Sering Berbuat Ulah di Sekolah"Sinopsis:Di SD Pribumi, seorang guru muda, Bu Anisa, harus berhadapan dengan murid-murid...
10/20/2024

"Sering Berbuat Ulah di Sekolah"

Sinopsis:
Di SD Pribumi, seorang guru muda, Bu Anisa, harus berhadapan dengan murid-murid yang penuh masalah. Di antara mereka, Dasep, seorang siswa kelas 4 yang terkenal paling nakal, membuat hidup Bu Anisa penuh tantangan. Namun, di balik kenakalannya, Dasep menyembunyikan beban tanggung jawab keluarga yang berat. Dengan pendekatan yang tidak biasa, Bu Anisa mencoba memahami latar belakang Dasep dan memulai perjalanan emosional yang penuh konflik, tawa, dan air mata. Di tengah pertengkaran dengan rekan guru, persahabatan dengan sesama murid, dan tekanan kehidupan, cerita ini menyajikan momen-momen penuh pelajaran tentang kesetiaan, perjuangan hidup, dan arti cinta.

Genre:
Drama Komedi, Slice of Life, Sekolah, Emosi Keluarga

Penulis : Cerita Dramatis

Bab 1: Hari Pertama Bu Anisa Mengajar di SD Pribumi

Pagi itu, kabut tipis menyelimuti SD Pribumi yang sederhana. Burung-burung berkicau di kejauhan, dan embun masih terlihat di daun-daun pohon yang rimbun di halaman sekolah. Anisa berdiri di gerbang sekolah, memandangi gedung tua dengan perasaan campur aduk. Gedungnya tampak usang, dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa tempat. Meskipun sekolah ini terlihat kecil dan sederhana, Anisa merasa tekanan yang sangat besar menunggu di dalamnya.

Hari ini adalah hari pertama Anisa sebagai guru honorer di sekolah ini. Ia baru lulus dari universitas pendidikan dan penuh dengan cita-cita. Anisa mengenakan blus sederhana berwarna pastel dan rok panjang cokelat, serta sepatu datar yang tampak nyaman. Meski dari luar tampak tenang, hatinya berdebar-debar. Ia berulang kali mengingatkan dirinya bahwa hari pertama selalu yang paling sulit, namun ini adalah impian yang telah ia kejar selama bertahun-tahun.

“Tenang, Anisa. Semua akan baik-baik saja,” gumamnya pada diri sendiri sambil menarik napas dalam. Tangannya sesekali menyeka peluh di dahi. Di sampingnya, tas hitam berisi buku-buku pelajaran terasa lebih berat dari biasanya, seolah menyadari beban tanggung jawab yang akan ia pikul.

Di depan pintu ruang guru, Pak Surya, kepala sekolah, sudah menunggunya. Ia adalah pria paruh baya dengan rambut yang mulai memutih, dan wajah yang selalu tampak serius namun ramah. Senyumnya tampak tegas, namun menyiratkan rasa hormat.

“Selamat pagi, Bu Anisa,” sapanya dengan anggukan hormat.

“Selamat pagi, Pak Surya,” jawab Anisa sambil tersenyum, meskipun perasaan gugup masih menyelimuti dirinya. Ia mencoba berbicara dengan percaya diri, meski di dalam hatinya ada sedikit rasa takut.

Pak Surya menyerahkan selembar kertas padanya. "Ini daftar kelas yang akan Anda ajar. Anda akan mengajar di kelas 4. Murid-murid di sana cukup menantang, tapi saya yakin Anda bisa mengatasinya," katanya, mencoba menenangkan Anisa.

Anisa mengambil daftar itu dengan tangan sedikit gemetar. Ia melirik nama-nama murid yang tertulis di sana, salah satunya langsung menarik perhatian—Dasep. Nama ini sering disebut oleh guru-guru senior di ruang guru. Dasep terkenal karena kenakalannya, dan cerita tentang ulahnya sudah membuat Anisa sedikit khawatir. Katanya, anak itu sering membuat keributan di kelas, s**a bolos, dan terkadang berkelahi dengan teman-temannya.

Pak Surya sepertinya memperhatikan kegelisahan di wajah Anisa. "Jangan khawatir, Bu. Setiap anak punya cara sendiri untuk belajar. Kita hanya perlu menemukan caranya," katanya, menyemangati.

Anisa mengangguk pelan. Ia tahu, menjadi guru tidak hanya soal mengajar materi pelajaran. Ia harus bisa mengendalikan kelas dan menghadapi berbagai karakter anak yang berbeda. Dengan langkah mantap, Anisa akhirnya melangkah menuju kelas 4, ruang yang menjadi tempat pertempuran pertamanya hari ini.

Begitu Anisa membuka pintu kelas, suasana yang kacau segera menyambutnya. Anak-anak berteriak, berlarian di dalam kelas, ada yang saling melempar kertas, dan beberapa bahkan memanjat meja. Hanya ada satu anak yang tampak tidak terpengaruh oleh kegaduhan itu—Dasep, yang duduk di sudut kelas dengan wajah bosan, seolah tidak peduli dengan keributan di sekitarnya. Seragamnya lusuh, dan rambutnya berantakan.

Anisa mencoba mengatur napasnya. Ini lebih buruk dari yang ia bayangkan. "Selamat pagi, anak-anak!" serunya, berusaha membuat suaranya terdengar lantang dan tegas.

Tidak ada yang merespons. Suara keributan masih memenuhi ruangan. Anisa merasa seolah-olah ia tidak ada di sana. Ia mengerutkan kening, lalu mengetukkan penghapus papan tulis ke meja guru dengan keras. Suara itu akhirnya berhasil menarik perhatian beberapa anak. Mereka mulai melirik ke arahnya, meski masih ada yang sibuk bermain-main.

“Anak-anak, semua duduk di tempat masing-masing!” suara Anisa terdengar lebih tegas, kali ini berhasil membuat sebagian besar anak menurut. Mereka duduk di kursi masing-masing dengan enggan, dan beberapa masih tertawa cekikikan.

Anisa berdiri di depan papan tulis, menuliskan namanya dengan kapur putih yang sedikit retak di tangannya. "Nama saya Bu Anisa. Saya akan menjadi guru kalian mulai hari ini. Saya berharap kita bisa belajar bersama dengan baik."

Beberapa anak mulai diam, meskipun masih ada bisik-bisik di belakang kelas. Anisa melanjutkan dengan memperkenalkan diri secara singkat, sambil memantau suasana kelas dengan waspada. Setiap kali matanya beralih ke sudut kelas, ia melihat Dasep duduk santai, menatap ke luar jendela dengan ekspresi bosan.

Anisa melirik daftar hadir yang ada di tangannya dan mulai memanggil satu per satu nama siswa. "Aliyah?"

“Hadir, Bu!” jawab seorang gadis kecil dengan suara ceria.

"Rina?"

“Hadir, Bu,” sahutnya dengan tenang.

“Dasep?” Suara Anisa terdengar sedikit lebih tenang, tapi tetap tegas.

Tidak ada jawaban. Dasep masih duduk dengan acuh tak acuh, kakinya dibiarkan menggantung dari meja. Anisa mencoba menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat ke arah anak itu. “Dasep?” panggilnya lagi.

Anak itu mendongak perlahan, tatapannya kosong namun penuh tantangan. “Ya, Bu. Saya di sini,” jawabnya singkat, lalu kembali menatap ke luar jendela, seolah Anisa tidak penting.

Anisa mencoba menahan kesal. “Baik, Dasep. Saya harap kamu bisa ikut pelajaran dengan baik, ya.”

Pelajaran pertama pun dimulai, tapi suasana kelas tetap kacau. Anisa mencoba menjelaskan materi matematika tentang pecahan, tapi hanya sedikit yang mendengarkan. Beberapa anak asyik bermain dengan kertas, sementara yang lain sibuk mengobrol. Dasep, seperti yang Anisa duga, sama sekali tidak tertarik. Dia bahkan tidak mencatat apa pun.

Anisa berjalan mendekati meja Dasep, lalu menatap buku catatannya yang kosong. “Kenapa kamu tidak mencatat, Dasep?” tanyanya dengan nada yang lembut, berusaha menjaga ketenangannya.

Dasep hanya mengangkat bahu. “Nggak penting buat dicatat, Bu,” jawabnya datar.

Anisa merasa kesabarannya diuji. Namun, ia ingat nasihat Pak Surya tentang tidak mudah menyerah. "Kalau menurutmu ini tidak penting, apa yang menurutmu penting, Dasep?" tanyanya, berusaha membangun hubungan.

Dasep tampak bingung. Ia menatap Anisa, seolah pertanyaan itu tidak pernah terlintas dalam pikirannya. Tapi sebelum ia bisa menjawab, bel istirahat berbunyi. Anak-anak segera berhamburan keluar dari kelas, meninggalkan Anisa yang berdiri terpaku di depan meja guru, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Sebelum Anisa sempat duduk, pintu kelas terbuka dengan keras. Rina, salah satu murid perempuan, masuk dengan wajah pucat dan napas terengah-engah.

“Bu Anisa! Bu Anisa!” Rina berlari mendekatinya.

"Ada apa, Rina?" Anisa bertanya, merasa ada sesuatu yang tidak beres.

“Bu… tadi saya lihat Dasep di belakang sekolah. Ada orang asing yang sedang berbicara dengannya, Bu! Orang itu kelihatan seram, dan Dasep tampak takut,” Rina menjelaskan dengan tergesa-gesa.

Anisa merasa jantungnya berdebar lebih cepat. “Di mana kamu melihatnya?”

“Di dekat gerbang belakang, Bu,” jawab Rina cepat.

Anisa merasa ada sesuatu yang salah. Tanpa berpikir panjang, ia segera bergegas keluar kelas, menuju gerbang belakang sekolah. Namun, saat ia tiba di sana, Dasep dan orang asing yang dilihat Rina sudah menghilang. Hanya ada halaman kosong yang diterpa angin.

Hatinya mulai diliputi kegelisahan. Siapa orang asing itu? Dan mengapa Dasep terlibat dengan seseorang yang tampak mencurigakan? Ada banyak pertanyaan yang berputar di kepala Anisa, namun tidak ada jawaban yang jelas.

Ia berdiri di gerbang sekolah, memandangi jalan setapak yang sepi dengan perasaan campur aduk. Dasep bukanlah anak biasa. Di balik kenakalannya, ada sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang belum Anisa pahami.

Bersambung..

Address

San Diego, CA

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Cerita Dramatis posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share