09/03/2024
“Bi, aku sekarang sudah tahu dan mantap ingin kelak di puncak karir ingin kerja dimana.”
Istri tiba-tiba membuka pembicaraan saat selesai menidurkan si Adik. Pillow talk, rutinitas yang kami senangi sebelum tidur.
“Emang dimana?”
“Aku ingin kerja di sebuah tempat yang nantinya, aku bisa mengambil kebijakan yang berkaitan dengan bidang teknologi di Uni Eropa.”
Aku kemudian tersenyum. Cita-cita emaknya anak-anak ini sungguh tinggi sekali.
“Syaratnya pasti berat itu. Biar bisa mengisi posisi kayak gitu harus lulusan PhD kan?” tanyaku penasaran.
“Iya pasti. Juga harus punya pengalaman panjang bekerja di bidang teknologi.”
“Berapa tahun lagi kira-kira?”
“Ya nggak tahu. Tapi yang jelas belum dalam waktu dekat. Aku masih harus cari pengalaman, juga biar nunggu anak-anak agak besar, karena nanti bakal berat.”
“Kenapa lho beratnya?”
“Antara kita bisa pindah negara lagi atau aku bakal sering ditugaskan ke luar. Kasihan kalau anak-anak masih kecil.”
Aku kembali mengukir senyum. Aku tahu keinginannya bekerja di badan yang berkaitan dengan pembuat kebijakan seperti itu, tidak hanya soal semata karir. Tetapi lebih pada soal kebermanfaatan.
Dengan membuat kebijakan yang menyangkut maslahat umat manusia, berarti dia ingin berkontribusi bagi sesama. Karena bidang dan keahliannya adalah bidang teknologi, maka dia ingin memberikan sumbangsih ilmu yang telah dia pelajari bertahun-tahun itu.
Tetapi di luar itu semua, dia tetap tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang ibu dan istri. Dia tetap memikirkan bagaimana anak-anak dan suaminya. Dan tentu, dia selalu meminta izin, saran, dan menyerahkan semua keputusan akhir kepadaku. Sang suami.
***
Aku mulai mengenalnya sejak 14 tahun lalu, saat pertama bertemu di ospek jurusan. Aku senior sebagai panitia dan dia junior sebagai peserta. Segelintir wanita diantara puluhan lelaki yang masuk jurusan teknik elektro, apalagi dengan penampakannya, jelas dia tidak hanya mencuri perhatianku, tetapi juga cecunguk lainnya.
Enam bulan kemudian, saat tahu dia adalah peraih IPK tertinggi satu angkatannya di semester pertama, perhatianku mulai bertambah besar padanya.
Setelah akhirnya memenangi kompetisi melawan para cecunguk lain dan kemudian mengenal dia lebih dekat, aku tahu betapa besar potensi yang dia miliki.
Dia tidak cuma cerdas. Dia juga berkarakter dan tegas. Sesuatu yang kemudian membuatku mati-matian berusaha memantaskan diri. Karena aku tahu, mustahil aku bisa menjadikan dia jodoh, jika aku masih berkutat dengan kualitas yang begitu-begitu saja.
Karena itulah, aku bersepakat dengan diri sendiri untuk terus-menerus belajar, berusaha, dan bekerja keras sebaik mungkin agar bisa pantas menjadi pendampingnya.
***
14 tahun ternyata waktu yang singkat. Sungguh singkat.
Seperti baru kemarin saja, aku diam-diam membuntuti motor honda beat warna biru miliknya, setiap hari ketika dia p**ang dari kampus ke rumah. Hanya demi memastikan dia tiba di rumah dengan selamat.
Seperti baru kemarin saja, dia mengeluh dan merasa tidak mampu, saat seleksi menjadi asisten laboratorium telekomunikasi. Aku harus meyakinkannya berulang-ulang, hingga kemudian dia bisa percaya diri dan akhirnya berhasil.
Seperti baru kemarin saja, aku menemaninya menonton konser BigBang di Jakarta. Berangkat dari Malang naik bus, dengan aku dan driver saja sebagai kaum lelaki normal. Menunggu sendirian di pantai Ancol, sementara dia beserta ribuan VIP berada di arena konser.
Seperti baru kemarin saja, dia ragu bisa lulus dengan baik. Hingga kemudian dia sebagai junior hampir saja lulus mendahuluiku. Cumlaude, 3.5 tahun, dan IPK 3.87. Tertinggi dan tercepat sepanjang sejarah jurusan Teknik Elektro Universitas Brawijaya yang telah berdiri lebih dari 30 tahun.
Seperti baru kemarin saja, kami diuji dengan hubungan jarak jauh sebelum menikah, saat dia menempuh studi S-2 selama setahun lebih. Taiwan-Indonesia.
Seperti baru kemarin saja, aku memutuskan resign dari pekerjaan mapan untuk menemaninya studi S-3. Karena dia tahu, dia tidak akan sanggup berangkat studi sendiri jika tidak didampingi oleh suaminya.
Seperti baru kemarin saja, dia diancam akan dikeluarkan dan dipecat oleh profesornya, karena dianggap tidak bisa fokus karena baru memiliki bayi. Ditambah LDR dengan Sierra yang baru berusia dua bulan. Kami menangis bersama hampir tiap hari.
Seperti baru kemarin saja, dia akhirnya lulus PhD dari salah satu universitas terbaik di Taiwan dengan predikat sangat memuaskan. Lulusan termuda untuk jenjang S-3 dan satu-satunya dari Faculty of Engineering sekaligus dari Indonesia ketika proses wisuda.
Seperti baru kemarin saja, dia hampir menyerah karena tidak kuat menghadapi tekanan bekerja di Belanda, yang disebabkan kami harus LDR kembali dengan Sierra.
Dan, seperti baru kemarin saja, dia kemudian diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan teknologi yang ada di Belanda. Kemudian memimpin banyak anak buah di kantor, para lulusan S-2 dan S-3 dari berbagai dunia. Semuanya laki-laki, dia satu-satunya wanita, akan tetapi dia adalah pemimpinnya.
Sungguh, betapa kami melewati banyak hal bersama-sama. Dan, untuk beberapa waktu ke depan, aku akan tetap dan selalu memperlakukannya dengan cara yang sama seperti sebelumnya. InsyaAllah.
Sepertinya aku harus kembali mengambil beberapa kalimat lama ini, karena sampai kapanpun, kalimat yang aku buat untuknya ini akan selalu relevan.
Aku yang akan menyingkirkan batu dan kerikil yang menghalangi jalannya.
Aku yang akan menyediakan air ketika dia lelah berlari.
Aku yang akan menyiapkan payung ketika hujan memperlambat gerakannya.
Dan, aku yang akan menyiapkan meja dan kursi, untuknya berkarya mengubah peradaban.
Eindhoven, 9 Maret 2024.