24/12/2024
Kod Merah – Bapak Panglima Dalam Bahaya – Bahagian 2
Bab 2: Big Boss
Melaka
Big Boss sedang membaca laporan harian di pejabatnya di Markas 21 Gerup Gerak Khas ketika panggilan telefon itu datang. Nama yang disebut segera membangkitkan kenangan lama -- Bapak Panglima. Dia mengenali Bapak Panglima sejak sekian lama, malah pernah sama-sama mengikuti latihan di Fort Bragg dan Fort Benning, Amerika Syarikat pada tahun 1970an, dalam kursus pasukan khusus Green Beret dan lintas udara, antara lainnya. Big Boss sedikit lebih tua darinya, tetapi hubungan mereka akrab. Bapak Panglima pernah bersekolah di Victoria Institution, Kuala Lumpur, ketika Big Boss berada di Royal Military College (RMC). Mereka pernah bermain ragbi bersama dalam pertandingan antara sekolah.
Ada satu lagi yang dia ingat: hubungan rapat Bapak Panglima dengan Tunku Mahkota sebuah negeri, yang juga pernah mengikuti latihan ketenteraan di Fort Bragg dan Fort Benning lewat 1970an. Sultan negeri tersebut p**a adalah Kolonel Rejimen kepada 21 Gerup Gerak Khas. Dengan jaringan seperti itu, Big Boss tahu Bapak Panglima adalah tokoh yang berpengaruh.
Suara pegawai perhubungan di Kopassus di hujung telefon terdengar tegang. “Jeneral, Bapak Panglima meminta bantuan kita. Dia ingin keluar dari Indonesia, dan dia memerlukan jalan selamat.”
Big Boss terdiam sejenak, memproses maklumat itu. Permintaan ini bukan hal yang ringan. Operasi lintas negara selalu membawa risiko politik. Namun, dia juga tahu bahawa ini adalah hutang moral. Bapak Panglima pernah membantu beberapa operasi pasukannya di masa lalu. Big Boss segera menghubungi pihak berkuasa di Kuala Lumpur untuk mendapatkan kebenaran rasmi. Persetujuan datang dengan cepat, dan lebih penting lagi, Kolonel Rejimen juga memberikan restunya. “Ini adalah langkah strategik,” katanya. “Bapak Panglima mempunyai masa depan yang cerah. Membantu dia sekarang akan menjadi pelaburan jangka panjang kita.”
Big Boss memutuskan untuk memimpin perancangan ini secara peribadi. Sebuah tim kecil dibentuk, dipimpin oleh seorang Mejar yang dia percaya, Mejar Ismail. Tugas mereka adalah memastikan pelarian Bapak Panglima berjalan lancar tanpa meninggalkan jejak. Ini adalah misi yang penuh cabaran, tetapi dia yakin pada kemampuan timnya.
“Mejar, ini bukan misi biasa,” katanya kepada ketua tim ekstraksi. “Kita tidak hanya melindungi seorang individu, tetapi juga membina kepercayaan untuk masa depan. Pastikan semuanya berjalan dengan sempurna.”
Mejar Ismail mengangguk, matanya penuh tekad. Operasi ini tidak akan mudah, tetapi mereka berdua tahu bahawa mereka memiliki semua yang diperlukan untuk menyelesaikannya. Dan dia tahu, di tengah badai politik yang melanda Jakarta, bantuan mereka akan menjadi penyelamat bagi seorang jeneral yang terpojok.
Bab 3: Mejar Ismail
Dia adalah seorang perajurit komando. Tidak asing baginya menjalankan misi sulit, tetapi perintah kali ini berbeza. Ketika panggilan itu datang dari Big Boss, seorang ketua yang dia hormati, dia tahu ini bukan misi biasa. Tugas mereka adalah mengekstrak seorang tokoh besar militer negara jiran, seorang leftenan jeneral yang juga menjabat jawatan tinggi dalam organisasinya—dalam situasi yang melibatkan risiko tinggi dan politik tingkat tinggi.
“Mejar, tugas ini sangat sensitif. Bapak Panglima adalah teman lama kita,” ujar Big Boss itu dengan nada berat. “Rencanakan setiap langkah dengan hati-hati. Jika misi ini bocor, kesannya mungkin tidak dapat dibayangkan.”
Sebagai ketua tim yang dipilih, dia mula menyusun strategi ekstraksi ini. Target harus dikeluarkan dari Jakarta ke Malaysia tanpa dikesan. Dari sana, ia akan diterbangkan ke Jordan, tempat yang lebih selamat dan jauh dari negara jiran. Tapi jalan menuju Malaysia penuh rintangan.
Langkah pertama adalah menyelamatkan titik kontak di Jakarta. Tim ekstraksi bekerjasama dengan pegawai perhubungan di Kopassus, unit elit Indonesia yang pernah menjadi unit lama target. Melalui pegawai tersebut, Mejar Ismail mengatur pertemuan rahsia di sebuah rumah selamat seliaan ejen khas kerajaan di kawasan pinggiran Jakarta.
“Pastikan target tidak terlihat oleh siapa pun,” dia memberi arahan kepada timnya yang terdiri dari lima orang. “Gunakan kendaraan awam. Jangan ada tanda-tanda militer.”
Setelah pertemuan, mereka merancang jalur pelarian. Pilihan terbaik adalah melewati jalan darat menuju Pelabuhan Merak, tempat kapal kecil telah disiapkan untuk membawa target ke pantai barat Sumatera. Dari sana, perjalanan laut akan dilakukan menggunakan kapal kargo yang sudah diatur oleh kontak di Selat Melaka.
Malam ekstraksi, Mejar Ismail dan tim tiba di rumah selamat tepat pada waktunya. Bapak Panglima menyambut mereka dengan tatapan tegas meskipun jelas dari wajahnya dia kepenatan dan sedikit cemas.
“Mejar,” kata Bapak Panglima, menepuk bahu Mejar Ismail. “Aku tahu ini tidak mudah. Aku berhutang banyak pada kalian.”
“Ini tugas kami, Pak,” jawab Mejar Ismail, menatap langsung ke matanya. “Tapi kita harus bergerak cepat.”
Tim ekstraksi menggunakan kenderaan biasa, dua buah Toyota Kijang yang diubahsuai agar terlihat seperti kenderaan keluarga, namun menyembunyikan pelbagai kelengkapan misi. Dengan kecepatan konstan dan melalui jalan alternatif, mereka mencapai Pelabuhan Merak menjelang fajar.
Di Pelabuhan Merak, kapal nelayan yang tampak lusuh sudah menunggu. Sang kapten adalah kontak lama yang dipercayai oleh pihak tim ekstraksi. Mereka mengamankan target di ruang bawah dek, menyamarkannya sebagai seorang pedagang yang membawa barang dagangan.
“Perjalanan ini akan memakan waktu beberapa jam,” kata Mejar Ismail kepada target. “Kekal di bawah. Jika ada pemeriksaan, kami sudah menyiapkan dokumen palsu.”
Meski laut agak bergelombang, perjalanan berjalan lancar. Sesampainya di pantai barat Sumatera, target dipindahkan ke kapal kargo yang lebih besar. Dari sini, perjalanan menuju Pelabuhan Klang di Malaysia dimulai.
Setakat ini proses ekstraksi berjalan lancar, namun Mejar Ismail dan tim-nya masih bersedia untuk sebarang kemungkinan.
Setibanya di Pelabuhan Klang, target disambut oleh perwakilan pasukan khusus Malaysia. Langkah berikutnya adalah penerbangan rahsia ke Jordan. Tugas Mejar Ismail berakhir di sini.
Dia berdiri di dermaga, menyaksikan kapal kargo itu berlayar menjauh. Dalam pikirannya, misi ini lebih dari sekadar penyelamatan; ini adalah bentuk kesetiaan dan penghormatan antara perajurit, melampaui batas negara. Tapi dia tahu, dalam permainan kekuasaan seperti ini, segala sesuatu selalu membawa konsekuensi.
Epilog – Bapak Panglima
Amman
Bapak Panglima berdiri di sebuah balkoni di Amman, Jordan, memandang hamparan kota yang terbentang di bawahnya. Udara di sini berbeza, tidak ada ketegangan yang dia rasakan di Jakarta. Untuk pertama kalinya dalam beberapa minggu, dia bisa bernafas lega. Tapi di balik ketenangan ini, fikirannya terus bekerja.
Dia selamat untuk sementara, tapi dia tahu ini bukan akhir dari perjuangannya. Dia masih memiliki jaringan yang luas—baik di militer, politik, maupun perniagaan—yang boleh dia gunakan untuk membangun kembali kekuasaannya. Jordan adalah tempat yang strategik, sebuah titik awal untuk mengatur rancangan selanjutnya. Di sini, dia memiliki hubungan baik dengan keluarga diraja, yang telah lama menghormati hubungan baiknya dengan komuniti antarabangsa, termasuk dengan Amerika Syarikat dan Malaysia.
“Pak, semua dokumen dan rekening bank anda sudah siap,” ujar salah satu pembantunya, seorang ekspatriat Indonesia yang telah tinggal lama di Jordan. “Dengan ini, anda bisa mulai menjalankan perniagaan di sini.”
Dia mengangguk. Perniagaan adalah langkah awal untuk membangun kembali pengaruh. Dari Jordan, dia bisa memperluas jaringan ke Timur Tengah, Amerika, dan Asia Tenggara. Malaysia, melalui hubungan rapatnya dengan komuniti militernya, juga menjadi sahabat strategik yang tak ternilai.
Namun, fikirannya tidak pernah jauh dari Indonesia. Dalam dunia politik, dia dinilai masih muda, dan dia yakin waktu berpihak padanya. Situasi di Indonesia tidak akan selamanya seperti ini. Dia tahu, suatu saat, peluang untuk kembali akan datang. Dan ketika saat itu tiba, dia akan lebih kuat, lebih siap, dan lebih berbahaya daripada sebelumnya.
“Indonesia belum melihat yang terakhir dariku,” bisik Bapak Panglima pada dirinya sendiri, menatap ke cakrawala. "Aku akan kembali."
Penafian
Cerita ini adalah sebuah karya fiksyen semata-mata. Segala nama, watak, tempat, organisasi, dan peristiwa yang digambarkan dalam cerita ini tidak mempunyai sebarang kaitan dengan kejadian sebenar, individu, atau entiti tertentu, sama ada secara langsung mahupun tidak langsung. Sebarang persamaan adalah kebetulan dan tidak disengajakan.
Karya ini ditulis untuk tujuan hiburan dan imaginasi semata-mata dan tidak bertujuan untuk mencetuskan perdebatan politik, menyokong atau menentang mana-mana pihak, atau memberikan pandangan rasmi mengenai mana-mana isu global atau tempatan. Penulis tidak bertanggungjawab terhadap sebarang tafsiran atau penggunaan karya ini di luar konteks asalnya.