05/04/2024
Istriku Pulang Setelah Dua Hari Dimakamkan (1)
Penulis : Widya Yasmin
[Aa, cepetan p**ang, Neng udah gak kuat.]
[Gak kuat apa, Sayang? Sabar ya, kalau p**ang nanti, kita puas-puasin.] Aku membalas chat istriku dengan candaan.
[Neng serius, Aa. Cepetan p**ang, atau Aa gak akan pernah melihat Neng lagi.]
Aku terkejut saat membaca chat terakhir darinya. Setelah itu aku langsung menelponnya, tetapi langsung tak aktif. Karena khawatir, aku langsung menelpon ibuku.
"Gimana kabarnya, Kasep?" tanya wanita yang telah melahirkankanku itu.
"Alhamdulillah baik, Bu. Boleh gak aku bicara sama Kinasih, Bu?"
"Dia sedang tidur, ibu gak berani ganggu," jawabnya.
"Apa Kinasih sakit, Bu? Soalnya tadi dia bilang gak kuat, maksudnya apa ya?"
"Mungkin dia kangen sama kamu. Dia sehat, kok, seharian ini dia ngerujak dan ngeliwet sama teman-temannya. Pulang-p**ang langsung tidur."
Entah kenapa aku merasa masih kurang puas dengan jawaban Ibu. Karena dadaku rasanya terus bergemuruh dan tak tenang.
Namaku Nirwan, sudah dua tahun aku menjadi TKI di Korea Selatan. Sebenarnya aku sudah meminta izin untuk cuti sejak Kinasih terus memintaku untuk p**ang, tetapi semuanya tidak bisa mendadak, perlu waktu satu bulan untuk permintaan cutiku diizinkan perusahaan.
Sejak membaca pesan terakhir dari Kinasih, perasaanku semakin tak tenang. Apalagi ponselnya tak juga aktif. Akhirnya aku kembali menelpon ibuku, tetapi ternyata nomor ibu pun tak aktif. Akhirnya aku menelepon adikku.
"Aku lagi di kampus, A," jawab Dini, adikku.
"Ya udah kalau kamuudah p**ang, telpon Aa, ya."
Malam pun tiba, tetapi hp istriku masih sulit dihubungi, begitu p**a dengan Ibu juga Dini. Keesokan harinya aku memutuskan untuk resign, meskipun bulan depan aku baru bisa p**ang.
Sebulan berlalu, aku telah tiba di bandara. Aku sengaja tak memberitahu Ibu juga Dini, karena aku merasa ada yang tak beres di rumah. Selama sebulan sejak aku minta izin resign sampai hari ini, HP istriku tak bisa dihubungi, sementara Ibu dan Dini selalu saja memberikan alasan bahwa istriku sedang pergi dengan teman-temannya setiap kali aku menelpon.
Akhirnya setelah beberapa saat kemudian, aku telah tiba di kampung halamanku. Setibanya di depan rumah bercat hijau, aku terhenyak saat melihat bendera berwarna kuning berkibar-kibar. Selain itu rumahku tampak dipenuhi banyak tetangga.
"Astaghfirullah, Ibu. Apa yang terjadi padanya?"batinku.
Kemarin Ibu memang mengatakan jika dirinya sakit kepala dan minta ditransfer, tetapi aku malah menanyakan keberadaan Kinasih hingga Ibu marah lalu menutup telponnya.
Aku langsung bergegas menerobos kerumunan, hingga seketika aku terhenyak saat melihat sesosok tubuh yang terbujur kaku ditutupi kain jarik atau orang daerahku menyebutnya samping kebat.
"Nirwan, k-kamu p**ang?" tanya Ibu yang tampak tercengang saat melihat kep**anganku.
Begitu p**a dengan Dini yang juga tampak tercekat seolah melihat hantu. Tanpa memperdulikan mereka, aku langsung bergegas menghampiri sesosok tubuh yang terbujur kaku tadi. Kusibak kain yang menutupinya, hingga tiba-tiba seluruh tubuh ini terasa lemas.
"Neng Kinasih, bagun, Neng, ini Aa p**ang." Tangisku seketika pecah saat melihat tubuh istriku yang tak lagi bergerak.
"Neng harus bangun, masa suami p**ang, Neng malah tidur!" Semua orang tampak menitikkan air mata saat menyaksikanku yang terus membangunkan Kinasih.
"Kasep, anak Ibu. Sabar, ya. Kinasih sudah lebih dulu meninggalkan kita," ujar Ibu sembari mengelus kepalaku.
Kulihat air mata membasahi pipinya, lalu tiba-tiba ia menatapku dengan wajah penyesalan.
"Kenapa, Bu? Kenapa Ibu gak bilang soal kondisi Kinasih?" Aku menatapnya dengan wajah kecewa.
"Maafkan, Ibu. Maafkan Ibu." Hanya itu yang ia katakan, sementara air matanya terus berjatuhan membanjiri wajahnya.
Aku kembali menatap wajah istriku yang pucat pasi, apa sebenarnya yang terjadi padanya? Seketika aku teringat pesan terakhir darinya yang menyuruhku untuk segera p**ang. Aku sangat menyesal, karena tak bisa mencegah kepergiannya.
"Dini, sebenarnya apa yang terjadi pada Kinasih, Din?" Kini aku mengalihkan pandangan pada adikku yang sejak tadi hanya tertunduk sambil berlinang air mata.
Namun, ia hanya bungkam, begitu p**a dengan para tetangga yang juga hanya diam saat aku mengharapkan penjelasan.
"Neng, bangun, Neng. Aa sempat minta foto bareng Song Joong Ki, bahkan Aa juga punya tanda tangannya. Neng kan ngefans banget sama dia." Aku terus membujuknya, tetapi tetap saja matanya tak juga terbuka.
"Sabar, Jang, istrimu sudah diambil oleh pemiliknya. Jang Nirwan harus ikhlas," ujar Pak Ustaz hingga membuat tangisanku kembali pecah.
Meskipun berat, akhirnya aku merelakan istriku untuk dimandikan, dikafani dan dishalatkan sesuai syariat yang berlaku. Lalu setelah itu aku dibantu para tetangga menggotong jenazahnya menuju liang lahat.
Istriku adalah seorang yatim piatu, sejak kecil ia tinggal di panti asuhan, hingga akhirnya bertemu denganku lalu aku memutuskan untuk menikahinya.
Saat sedang menggotong tandu jenazah istriku, tiba-tiba aku teringat percakapan kami dua bulan yang lalu di telpon. Ia mengatakan bahwa dirinya ingin kugendong, karena ia bilang tubuhnya semakin hari semakin kurus. Ia mengatakan bahwa aku tak akan merasa berat menggendongnya meskipun harus keliling kampung, karena tubuhnya yang semakin hari semakin kurus.
Saat itu aku tak memiliki firasat apapun, karena aku hanya fokus bekerja agar bisa mengumpulkan banyak uang untuknya.
Setibanya di liang lahat, Pak Ustaz menyuruhku untuk turun ke lubang tempat peristirahatan terakhirnya. Aku berusaha menahan air mataku menetes sesuatu ucapan Pak Ustaz ketika menangkap tubuh Kinasih yang terbungkus kain kafan lalu menidurkannya, setelah itu mengadzaninya.
________
"Sekarang kalian harus menjawab, kenapa Kinasih bisa meninggal?" tanyaku pada Ibu juga Dini setelah p**ang dari pemakaman.
"Dia sakit setelah hujan-hujanan bersama pacarnya di tepi danau," jawab Ibu setelah tak ada lagi tetangga yang bertakziah.
"Ibu jangan mengada-ada! Kinasih bukan orang seperti itu!" Terpaksa aku meninggikan suara, karena aku sangat yakin jika ibuku sedang memfitnah istriku.
"Aa harus percaya sama Ibu. Teh Kinasih itu sudah selingkuh sama cowok yang ia kenal dari Facebook." Tiba-tiba Dini menyahut.
"Kalian jangan mengada-ada, aku sangat yakin istriku tak seperti itu."
"Asal kamu tahu, Nirwan, selama kamu di Korea, kerjaannya cuma tiktokan dan keluyuran. Tadinya ibu malas ikut campur, karena gak mau rumah tangga kalian kenapa-kenapa, tapi belakangan ibu baru mengetahui kalau dia punya selingkuhan."
"Diaaaaaaaam!" teriakku hingga membuat Ibu dan Dini seketika tercekat.
Entah mengapa aku sama sekali tak percaya dengan ucapan Ibu. Istriku adalah seorang pendiam dan pemalu, ia tak memiliki akun sosial media apapun, jadi aku yakin semua yang ibuku katakan pasti bohong.
Aku langsung masuk kamar dan membanting pintu. Pasti ada yang tak beres dengan kematian istriku, aku berjanji untuk menyelidiki semuanya.
Keesokan harinya, aku mendatangi satu persatu tetangga. Semua jawaban mereka tak jauh berbeda dengan apa yang Ibu dan Dini katakan. Mereka mengatakan bahwa istriku s**a keluyuran hingga larut malam. Hingga akhirnya aku mendatangi teman-temannya yang kebetulan tinggal di kampung sebelah.
"Sejak menikah denganmu, kami tak pernah bisa bertemu. Kinasih bilang, ibumu tak pernah mengizinkannya keluar rumah, kecuali ke warung," ujar Susi, sahabat dekat Kinasih ketika SMA.
Setelah Susi, aku juga mendatangi Ratna, Sartika dan Puri. Semua jawaban mereka sama, yaitu tak pernah bertemu dengan istriku karena dilarang oleh ibuku.
Baca selengkapnya.. Nantikan part lain 👇
Bersambung