07/06/2023
MENGUBAH TAKDIR (Terkait Tafsir Surat Ar-Ra'd ayat 11)
Salah satu ayat yang sering sekali di bacakan terkait mengubah takdir dengan berusaha adalah potongan ayat di dalam surat Ar-Ra'd ayat 11 berikut ini:
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيْرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيْرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Artinya :
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri."
Dalam ayat ini, seolah olah Allah menegaskan bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum melainkan mereka harus berani memulai dengan aksi dan gerakan (ikhtiar) nya sendiri. Pada dasarnya, Hal ini memang tidak bisa di pungkiri dikarenakan ikhtiar (usaha) pada hamba merupakan suatu keniscayaan disamping ia juga harus meyakini bahwa dibalik ikhtiarnya itu masih terdapat peran qudrah Allah.
Namun di sisi lain terkait pemahaman ayat ini, seolah-olah juga kita sedang mempertegas bahwa keberhasilan dan kesuksesan (ta'sir)nya sebuah ikhtiar itu adalah hak hamba, bukan lagi hak Allah. Padahal akidah ahli sunnah wal jamaah sudah jauh jauh hari menerangkan bahwa hasil dari suatu perbuatan atau ikhtiar itu hak prerogatif Allah, karena tugas hamba hanya berusaha sementara hasil dari usahanya biarlah Allah yang menentukan.
Maka dari itu, bukankah hal keliru jika kita menafsirkan ayat ini dengan keterangan di atas?
Lalu, bagaimana sebenarnya terkait tafsir ayat:
إن اللهَ لَا يُغَيْرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيْرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
1. Di dalam Tafsir At- Thabari termaktub:
وقَوْلُهُ : (إِنَّ اللَّهَ لا يُغَيْرُ ما بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيْرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ} [الرعد ١١] يَقُولُ تَعالى ذكره: إن الله لا يُغَيْرُ ما بِقَوْمِ مِن عافِيَةٍ ونِعْمَةٍ فَيُزِيلُ ذَلِكَ عَنْهُمْ وَيُهْلِكَهُمْ حَتَّى يُغَيْرُوا ما بِأَنْفُسِهِمْ مِن ذَلِكَ بِظُلْمٍ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، واعْتِداء بَعْضهمْ عَلَى بَعْضٍ، فَتَحِلَّ بِهِمْ حِينَئِذٍ عُقُوبَتُهُ وتَغْيِيرُهُ
Artinya:
إِنَّ اللهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيْرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ :
Firman Allah" artinya adalah bahwa Allah tidak akan mengubah kesehatan dan nikmat yang allah berikan sebelum mereka mengubahnya sendiri dengan kezhaliman antara satu sama lain dan saling bermusuhan. Maka saat itu terjadi, sudah tepat allah mengazabnya dan mengubah nikmat yang allah berikan menjadi bencana."
(Jami' Al-Bayan Tafsir Thabarri, Hal. 356, Jilid 7).
Di dalam tafsir thabari ini jelas di terangkan bahwa allah tidak semena mena menurunkan bencana kepada suatu kaum melainkan karena perbuatan mereka sendiri. Allah memberikan kesehatan, kesenangan dan berjumlah nikmat nikmat yang lain, tapi kaum tersebut justru mempermainkan nikmat Allah dengan asik berbuat kezhaliman, kemungkaran dan tindakan negatif lainnya. Maka jangan salahkan Allah yang menurunkan bencana kepada kita sementara kita lupa diri untuk mensyukuri nikmat tak terhingga yang sudah Allah berikan.
2. Terkait tafsir ayat ini, Imam Suyuthi membahasakan di dalam kitab tafsirnya yaitu kitab Ad-dur Al-mantsur fii Tafsir Bil Ma'tsur, Hal. 394, Jilid 8:
إنَّما يجيء التغيير من الناس والتيسير من الله فلا تغيرُوا ما بكم من نعم الله
"Hanyasanya manusia memiliki kehendak untuk mengubah suatu nikmat, dan kemudahan nikmat itu dari Allah, maka jangan sekali kali kalian berani mengotak atik atau mengubah nikmat yang sudah allah berikan (dengan berbuat maksiat)" Masih di dalam kitab yang sama, Imam Suyuthi juga mengutip suatu hikayat dari Ibn Abi Hatim:
وأخرج ابن أبي حاتم عَن إبراهيم - رضي الله عنه - قال أوحى الله إلى نبي من أنبياء بني إسرائيل أن قل لقومك أنه ليس من أهل قزية ولا أهل بيت يكونون على طاعة الله فيتحولون إلى معصية الله إلا تحول الله منا يحيون إلى ما يكرهون تمام قال: إن تصديق ذلك ) في كتاب الله تعالى ( إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Artinya:
"Allah Swt. memberi wahyu kepada seorang nabi bani israil, yang isinya: katakan kepada kaummu bahwa tidaklah suatu kampung maupun rumah yang sebelumnya mereka taat kepada Allah, lalu mereka berpaling dengan kemaksiatan melainkan Allah pun akan memalingkan mereka dari perkara yang mereka cintai ke perkara yang mereka benci."
Kemudian Imam Suyuthi melanjutkan:
Bukti kebenaran wahyu Allah ini terdapat di dalam al quran yaitu:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
3. Imam Mawardi menerangkan di dalam tafsirnya:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم يحتمل وجهين أحدهما: أن الله لا يغير ما بقوم من نعمة حتى يغيروا ما بأنفسهم من معصية
الثاني: لا يغير ما بهم من نعمة حتى يغيروا ما بأنفسهم من طاعة تفسير الماوردي - النكت والعيون ۹۹/۳ - الماوردي (ت ٤٥٠)) الرعد
"Potongan ayat
إن الله لا يغيز ما يقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
Memiliki 2 kemungkinan :
1. Bahwa allah tidak akan mengubah nikmat hamba-Nya melainkan mereka mengubahnya sendiri dengan kemaksiatan,
2. Allah tidak akan mengubah (menambahkan) nikmat kepada hamba-Nya melainkan mereka bisa mereka
menambahnya dengan ketaatan."
Dari ketiga tafsir ini, tidak ada keterangan. tentang motivasi dan dorongan agar kita harus memperjuangkan hidup menjadi baik dengan jerih payah kita sendiri, yang pada mulanya buruk kemudian menjadi baik atau dari baik menjadi lebih baik. Karena konteks ayat ini adalah untuk melestarikan dan merawat baik baik nikmat yang sudah allah berikan, jangan sampai kita mengotak atik dan menodai anugerah Allah dengan perilaku buruk dari kita hamba.
Meskipun poin pertama tadi ada sisi positifnya juga, tapi 2 kesimp**an ini berangkat dari motif yang berbeda. Motif pertama adalah dari buruk menjadi baik atau dari baik menjadi lebih baik, sedangkan kedua atas keyakinan bahwa semua anugerah yang allah berikan itu baik dan menjadi tugas kita hamba untuk merawatnya dengan baik. Selama kita masih terus mensyukuri anugerah yang tuhan berikan, maka selama itu p**a anugerah Allah bertahan, oleh karena itu jangan salahkan Allah saat mencabut nikmat-Nya dan menurunkan bencana, tapi salahkan diri kita sendiri apakah kita sudah menjalankan tugas yang seharusnya di jalankan, yaitu mensyukuri nikmat-Nya.
Imam Al-Ghazali mengatakan:
والشكر قيد النعم به تدوم وتبقى وبتركه تزول وتتحول
"Rasa syukur itu dapat mengikat nikmat, tapi nikmat tersebut akan lepas jika kita meninggalkan rasa syukur ini."
Maka mari sama sama kita merenungi sudahkah kita mensyukuri nikmat atau justru masih merasa nikmat ini belum cukup sehingga dengan beraninya kita mendurhakai-Nya.
Waallahu a'la bis shawab.