23/03/2021
Gerimis (Cerita Pendek)
Penulis
Raditya Dika
Aug 22, 2020·10 min read
Tokoh utama kita bernama Alfred, atau sebagaimana teman-temannya memanggilnya: Kampret. Di antara pertemanan sesama cowok, memang ada kecenderungan membuat nama keren yang susah-susah dikasih oleh orang tua menjadi lebih culun. Di SD dia dipanggil Alfred, di-SMP, dia dipanggil Kepret, baru di SMA dia dipanggil Kampret. Nama ini terbawa terus sampai sekarang, saat dia sudah kerja di sebuah perusahaan telekomunikasi di Jakarta.
Anehnya, ketika temannya berkunjung ke rumah dan bertemu orang tuanya, temannya bilang, ‘Kampret ada, Om?’ Bapaknya Alfred malah menjawab, ‘Oh ada tuh di dalam.’ Seolah mengamini bahwa anaknya sejenis kelelawar pemakan buah.
Alfred adalah sosok pria yang ketika kamu berpapasan di supermarket, kamu tidak akan pernah ingat sama sekali kamu pernah papasan dengannya. Dia adalah orang yang biasa saja. Berbaur dengan keramaian. Menyatu dengan oksigen.
Tidak ada yang tahu bahwa dia punya bekas luka di tangan kanannya, hasil dari bermain di comberan ketika kelas enam SD. Tidak ada yang tahu dia s**a baca novel detektif. Alfred adalah tipikal orang yang tiap kali dia potong rambut, tidak ada satupun orang yang sadar, sampai rambutnya panjang lagi.
Sekarang, Alfred sedang patah hati.
Di tengah pandemi seperti ini, ternyata ada yang lebih buruk di tahun 2020 bagi Alfred. Dia baru saja diputusin oleh pacarnya selama lima tahun belakangan ini. Nama perempuan itu adalah: Lisa. Tempat terjadinya pemutusan secara tidak berkepripacaran itu adalah di kamar Alfred, pukul 11 malam. Alfred baru saja selesai menonton episode terakhir dari drama korea Hai Bye Mama. Handphone-nya berbunyi.
Isinya Whatsapp sederhana dari Lisa: ‘Aku rasa sudah waktunya kita selesai.’ Dengan polos Alfred membalas, ‘Selesai apa?’ ‘Selesai. Kita harus akhiri cerita cinta ini.’ Lisa mutusin Alfred dengan bahasa yang sangat baku, seolah dikutip langsung dari lagu cinta yang ramai di radio.
Respon Alfred saat itu biasa saja. Dia hanya bilang, ‘Ya sudah kalau kamu maunya begitu.’ Sesungguhnya dia sudah melihat ini akan terjadi. Seperti mengendarai sebuah mobil, dia sudah bisa melihat dari jauh kalau lampu lalu lintas akan menjadi warna merah. Alfred hanya tidak menyangka waktunya secepat itu.
Dia sudah punya feeling, karena setiap kali dia meminta ketemu dengan Lisa, Lisa tidak mau. Alasan Lisa, sekarang kan lagi pandemi, nanti kamu bawa virus. Bahkan ketika Alfred menawarkan untuk swab test, seharga seperlima dari gajinya setiap bulan, Lisa masih tidak mau. ‘Jangan,’ kata Lisa. ‘Siapa tahu swab test-nya salah.’ ‘Lah namanya swab test kok bisa salah?’ tanya Alfred ‘Yah, namanya manusia tidak luput dari kesalahan,’ begitu ucap Lisa.
Anehnya, Lisa masih nongkrong sama teman-temannya. Update di story instagram dengan teman yang lain, tanpa masker, pakai stiker Good Vibes Only, atau I Love Friday. Postingan tersebut juga tidak di close friend, yang membuat Alfred bertanya-tanya, kenapa Lisa tidak berusaha menyembunyikan hal tersebut dari dirinya. Seolah ada sinyal yang dia mau berikan. Seolah Lisa mau bilang, ‘Gue emang gak mau ketemu lo lagi.’
Tapi ya sudahlah, mungkin hubungan dia dan Lisa harus berakhir, begitu pikir Alfred. Walaupun lima tahun rasanya waktu yang terlalu lama untuk diakhiri dengan sebuah kalimat sederhana.
Ketika diputusin, Alfred tidak nangis. Tidak, dia hanya duduk, memeluk bantal Iron Man kes**aannya, lalu tidak merasakan apa-apa. Aneh ya, bagaimana putus cinta biasa digambarkan dengan perasaan yang sangat sakit, tapi kali ini yang terasa justru sebaliknya: hampa.
Seperti seseorang yang baru saja dipukul di kepala, mungkin respon pertamanya adalah kok gak sakit ya, eh tiba-tiba gelap aja. Pingsan di tengah jalan. Itu yang terjadi. Tepat lima jam setelah diputusin, badai memori menabrak pikiran Alfred. Dia menangis hingga dia tidak mengenali suaranya sendiri.
Alfred menangis cukup keras untuk ukuran laki-laki 24 tahun. Alfred masih tinggal dengan orangtuanya, dan orangtuanya mendengar suara tangisan itu dari kamar mereka. Bapaknya mengetuk pintu kamar, membukanya, dan bertanya, ‘Nak, kamu kenapa?’
Bapak Alfred melihat anaknya duduk di atas kasur. Selimut berantakan. Air mata membasahi pipinya. ‘Gak kenapa-napa,’ kata Alfred, sambil buru-buru menghapus pipinya yang basah kuyup.
Bapak Alfred langsung memeluk anaknya erat, dan dalam pelukannya, sambil melihat laptop yang masih terbuka, dia berbisik kepada Alfred, ‘Papa ngerti kok nak, emang endingnya Hai Bye, Mama sedih banget.’
Alfred, yang enggan membenarkan salah paham ayahnya, malah menjawab, ‘Aktingnya Kim Tae-hee emang bagus banget di situ, Pa.’
Satu bulan setelah putus cinta. Alfred pelan-pelan mencoba untuk beraktivitas kembali. Alfred mulai menerima kenyataan bahwa dia di-unfollow oleh Lisa di Instagram, sebuah konfirmasi bahwa dia memang benar diputusin. Karena, di zaman sosial media seperti sekarang ini, putus cinta baru sah jika semua foto dengan mantan telah dihapus, dan akun kita telah di-unfollow. Sebelum itu terjadi, masih ada harapan untuk terjadi keajaiban.
Alfred juga sudah mulai menerima kenyataan untuk memasukkan semua barang dari Lisa ke dalam kotak kardus coklat, dan menyimpannya di pojok kamar. Alfred perlahan sudah bisa menerima, bahwa dia harus melanjutkan hidupnya. Alfred juga tahu, di antara hal yang bikin nyesek seperti ini, dia masih bisa bersyukur: di tengah pandemi dia masih bisa WFH dari kantor, tabungannya cukup, dan keluarganya semua sehat. Tidak semua orang seberuntung dia.
Satu hal yang bikin Alfred susah move on: gerimis. Dalam setahun pertama mereka pacaran, Alfred pernah mengantarkan Lisa pulang, saat itu sedang ada gerimis. Lisa bilang kepada Alfred, ‘Aku s**a gerimis. Pas aja gitu, belum sampai hujan yang bikin orang kedinginan, tapi udah tidak mendung yang bikin orang muram. Gerimis itu hawa yang pas buat aku.’
Alfred membalas pada saat itu, ‘Gerimis juga saat yang tepat untuk jatuh cinta.’
‘Ih apa sih, norak,’ kata Lisa saat itu, padahal senang dalam hati. Di bawah gerimis sore itu, di dalam mobil Alfred, api di dada mereka berdua terasa begitu hangat.
Tiga bulan setelah putus, Alfred masih belum mau menyetir mobil ketika mendung. Dia tidak ingin ada di tengah gerimis dan semua memori malam itu luber keluar tanpa kendali. Di saat ini juga Alfred melihat sebuah iklan sederhana dari postingan seorang temannya: drive in cinema. Nikmati pengalaman nonton di layar besar, film-film di bioskop dari dalam mobil. Alfred sudah kangen sekali menonton film layar lebar, dan nonton di dalam mobil adalah solusi yang paling masuk akal di tengah pandemi seperti ini.
Alfred berencana membawa mobilnya, Toyota Corolla tahun 2008 yang dia dengan bangga beli dengan tabungannya sendiri. ‘Biar bekas, yang penting tidak ngutang,’ kata Alfred setelah berjabat tangan dengan pemilik sebelumnya. Ketika Alfred menutup pintu mobil itu, ingatan terhadap Lisa kembali terjadi. Sekelebat, memori antar-jemput Lisa dari kantor ke rumahnya hampir setiap hari, terngiang kembali di kepalanya. Air matanya, tidak dia sadari, kembali menggenang. Di luar, Ibu Alfred yang sedang membaca buku di teras rumah, melihat anaknya menangis. ‘Pa, kata ibunya, memanggil bapaknya.’ ‘Ya, Ma,’ kata bapaknya menghampiri. ‘Kayanya Alfred harus ngurangin nonton drama Korea, deh.’ Bapaknya mengangguk setuju.
Mobil Alfred menembus jalanan yang ramai, seolah tidak ada pandemi yang sedang terjadi. Dia memasukkan mobil di tengah mobil-mobil lain. Seorang karyawan drive in datang membawa popcorn. Aroma jagung bakar yang sudah enam bulan itu tidak dia hirup. Ternyata, hal-hal kecil seperti ini yang dia rindukan. Maklum, dua minggu sekali, dia pergi bersama Lisa ke bioskop.
Film yang bermain hari itu adalah Grease, sebuah film tahun 1978. Alfred menyandarkan kursinya. Dia melihat film tersebut bermain. Pikirannya justru mengawang-awang. Dia tidak menyimak. Gambar yang bermain di depannya terlihat hanya seperti potongan-potongan adegan tanpa arti, karena pikiran sibuk berjalan sendiri. Dia berandai: kalau gue masih pacaran, Lisa mungkin ada di sebelah gue.
Di tengah-tengah film, tiba-tiba pintu kacanya diketuk.
Alfred menoleh ke arah kaca.
Jantung Alfred berhenti dua detik, saat dia tahu yang mengetuk adalah Lisa. Lisa mengernyitkan alisnya, dia terlihat gusar. Lisa buru-buru ke arah pintu penumpang, dia mencoba membukanya, tapi pintu masih terkunci.
‘Buka kuncinya,’ kata Lisa.
Alfred masih bengong.
‘Buka kuncinya, Fred.’
‘Iya,’ kata Alfred, ngomongnya agak tergagap, ada diambang kaget dengan tidak siap. Melihat mantan pacar seperti ini seperti melihat hantu: sesuatu yang pernah hidup, tapi sekarang gentayangan.
Lisa masuk ke dalam mobil Alfred. Dia memakai baju pink hari itu. Rambut ikalnya terlihat bercahaya diterpa gambar dari layar besar di depan mobil. Alfred masih bengong, tidak siap dengan ini semua. Dia masih belum mengucapkan satu patah kata pun.
‘Kamu ngikutin aku?’ tanya Lisa. Suaranya cukup jelas untuk didengar di antara dialog dan musik film yang masih terus bermain.
‘Ngikutin?’ balas Alfred.
‘Iya, kamu ngikutin aku ke tempat ini? Aku tadi lagi nonton di depan, terus aku lihat ke sebelah kiri belakang, kok ada mobil kamu. Fred, ini serem lho.’
‘Gak ada yang ngikutin siapa-siapa,’ balas Alfred.
‘Terus kenapa kamu di sini?’ tanya Lisa.
‘Ya, seperti semua orang lainnya di sini sih, mau nonton Grease. Kamu ngapain di sini?’
‘Sama, seperti semua orang disini.’
Ada hening yang tidak enak selama beberapa saat.
‘Kamu gak takut?’ tanya Alfred.
‘Takut apa?’
‘Ini, masuk ke mobil aku. Kemarin-kemarin kan kamu nolak ketemu gara-gara takut virus, ini, sekarang kamu kok bisa langsung masuk ke mobil aku?’
Lisa tersadar, lalu bertanya. ‘Tapi kamu di rumah aja kan?’
‘Iya, di rumah aja. Gak kemana-mana. Gak ketemu siapa-siapa. Papa-mama juga,’ jawab Alfred. ‘Kamu?’
‘Besok satu kantor mau keluar kota, udah dibayarin swab sama bos. Semua dites,’ kata Lisa. ‘Aman.’
‘Baguslah,’ kata Alfred. ‘Gak lucu juga pulang ketemu mantan tiba-tiba sesak napas kan?’
‘Iya gak lucu,’ kata Lisa. Lisa melihat tajam ke arah Alfred, dia terlihat penasaran. ‘Aku harus tanya langsung. Jawab jujur. Ini bener kebetulan kamu ada di sini? Di saat yang bersamaan dengan aku?’
‘Ini bener kebetulan,’ jawab Alfred, mengkonfirmasi. Lisa tahu Alfred berkata yang sejujurnya. Lima tahun berpasangan, dia tahu kelemahan Alfred: setiap kali Alfred berbohong, secara tidak sadar dia menggaruk hidungnya. Lisa tidak pernah memberitahu kelemahan ini kepada Alfred. Sungguh, berkah seorang pacar adalah kemampuan untuk mendeteksi kebohongan pasangannya.
Lisa menghela nafas panjang. Dia lalu memegang gagang pintu, bersiap untuk keluar, ‘Aku pergi du-’
Belum sempat Lisa menyelesaikan kalimatnya, Alfred bertanya, ‘Kenapa sih kamu putusin aku.’
Lisa tidak menjawab.
‘Kenapa?’ tanya Alfred, lagi.
‘Ini bener-bener mau dibahas, nih?’ tanya Lisa.
‘Yang tidak selesai, harus dibahas dong,’ kata Alfred.
‘Buat aku udah selesai, kurang jelas apa lagi? Foto udah aku hapus, kamu udah aku unfollow,’ kata Lisa.
‘Buat aku belum.’ Alfred melihat mata Lisa. ‘Jadi, kenapa?’
‘Cintanya hilang,’ jawab Lisa, singkat.
‘Hilang?’
‘Iya, suatu hari aku bangun. Telponan sama kamu, terus, udah. Gak ada apa-apa. Aku gak ngerasain apa-apa lagi,’ kata Lisa. ‘Hilang begitu aja. Aku juga gak ngerti. Jujur, aku juga bingung kenapa aku begini.’
‘Bosen?’ tanya Alfred.
‘Mungkin. Tapi yang jelas, penjelasan paling sederhana: cintanya sudah tidak ada lagi. Maaf, itu sejujur-jujurnya. Aku juga gak tahu kenapa. Mungkin, sekarang kita udah jadi orang yang beda.’
‘Lima tahun itu waktu yang lama lho,’ kata Alfred.
‘Dan aku gak mau menghabiskan lima tahun lagi dengan orang yang salah,’ ucap Lisa. ‘Mungkin ini sakit buat kamu, tapi mendingan sakit sekarang dibandingkan sakit nanti-nanti.’
Alfred terdiam. Dia lalu melihat tajam ke arah Lisa, ‘Kamu salah sih, aku gak berubah. Aku orang yang sama dengan yang kamu temui 5 tahun lalu. Aku orang yang sama, yang ngantri di belakang kamu di KFC Kemang. Aku orang yang sama yang kamu minta tolong malam itu. Aku masih inget, kamu ada di depan kasir, sendirian, mau bayar makanan, terus kamu nengok ke belakang, kamu bilang, ‘Sori, boleh pinjem lima puluh ribu gak, gue janji bakal gue ganti. Gue gak bawa duit. Maap banget.’ Abis itu kita kenalan, lalu kita makan satu meja.
Aku masih ingat itu semua. Kata per kata.
Aku orang yang sama, Lisa. Aku masih sayang kamu.’
‘Iya,’ kata Lisa. ‘Tapi aku orang yang beda.’
Alfred terdiam.
Alfred dengan gusar berkata, ‘Terus, ingatan-ingatan kita gimana? Kamu mau apain? Aku ada lho, ketika kamu lulus, aku ada ketika kamu butuh interview kerja, sampai malam aku temenin kamu latihan pakai bahasa inggris.’
‘Kamu gak bisa gitu dong,’ balas Lisa. ‘Aku juga ada kok, pas kamu minta ditemenin skripsi di perpustakaan daerah, aku ngorbanin gak kumpul sama temen-temen vokal grup aku. Aku juga ada. Berpasangan bukan masalah itung-itungan, Fred. Ini sederhana: aku sudah berubah. Cintanya sudah hilang,’ kata Lisa.
‘Apa yang berubah?’ kata Alfred.
‘Semuanya. Mimpi aku, sifat aku. Selera aku. Band yang kita dengerin dulu bukan lagi favorit aku.’
‘Sheila on 7?’ tanya Alfred.
‘Itu masih.’ Lisa memandang nanar ke depan. ‘Yang lainnya tidak. Kamu kalau dalam posisi aku juga pasti begini, Fred. Kamu mau kita masih pacaran, tapi pasangan kamu sudah gak ada rasa. Itu gak adil buat kamu, dan gak adil juga buat aku. Orang berubah, itu wajar. Akan ada masanya dua orang saling berpisah jalan, kamu gak salah, aku juga gak salah. Tolong, ngertiin itu, dong.’
Alfred mengangguk, argumen Lisa ada benarnya.
‘Terus aku harus ngapain sekarang?’
‘Ya kamu harus relain aku. Aku yakin kok kamu pasti nemu orang yang lebih cocok, yang lebih baik dari aku. Yang lebih pantas buat kamu. Yang terima kamu seperti ini apa adanya.’
Alfred terdiam.
Dia menengok ke arah depan kanan. Alfred bertanya, ‘Mobil kamu mana?’
‘Gak ada.’
‘Gak ada?’
Lisa mengangguk.
‘Kamu kesini naik apa?’
‘Itu,’ kata Lisa menunjuk sebuah mobil. ‘Mobil itu.’
Mata Alfred mengarah ke sebuah mobil Honda HRV berwarna hitam. Dia melihat ada siluet laki-laki sedang membuka handphone, terlihat tidak memperhatikan film yang bermain di depannya. Mata Alfred terbuka lebar. ‘Kamu dateng… sama… cowok lain?’ tanya Alfred.
‘Iya, aku datang sama cowok lain,’ kata Lisa.
‘Kamu mutusin aku, gara-gara dia?’ tanya Alfred, mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
‘Kalau kamu nuduh aku selingkuh, jawabannya: tidak. Aku baru dikenalin minggu lalu. Ini pertama kali kami pergi bareng.’ kata Lisa. ‘Tenang aja, aku gak sejahat itu.’
Alfred mengangguk.
Dia tahu itu benar.
‘Fred, aku udah maju ke depan dengan hidup aku.’ kata Lisa. ‘Yang terbaik buat kamu adalah untuk melanjutkan juga hidup kamu. Sampai jumpa, Fred. Terimakasih buat lima tahun ini.’
Alfred terdiam.
Lisa berkata, ‘Janji kamu bakal cepat ngelupain aku.’
Alfred masih terdiam.
‘Janji,’ kata Lisa. ‘Please.’
‘Janji,’ kata Alfred, sambil mengangkat tangan kanan, dan menggaruk hidungnya.
Lisa menghela nafas panjang. Air matanya mulai terkumpul.
‘Dah,’ kata Lisa. Dia buru-buru turun dari mobil.
Lisa masuk ke dalam mobilnya, dia menceritakan jujur apa yang terjadi kepada laki-laki di sebelahnya. Laki-laki itu menoleh ke arah Alfred, sekilas, tapi lantas dia tidak peduli. Mereka melanjutkan menonton film.
Alfred masih melihat dari dalam mobil. Tanpa sadar, ada gerimis yang berjatuhan di atas mobil membuat ketukan-ketukan kecil yang mengiringi lamunan Alfred malam hari itu. Alfred melihat ke kaca mobilnya, menyalakan wiper, sambil berharap gerimis kali ini membasuh patah hatinya pergi.