15/04/2024
Sejarah Nama “Sunda” pada Kerajaan Sunda
Berdasarkan fakta sejarah bahwa Kerajaan Sunda adalah pemecahan dari Kerajaan Tarumanegara. Pada tahun 670 Masehi peristiwa pemecahan itu terjadi. Hal ini diperkuat dengan sebuah sumber yang berasal dari berita Cina yang memberitahukan bahwa di tahun 979 Masehi menjadi tahun terakhir utusan Kerajaan Tarumanegara mengunjungi negeri Cina.
Di tahun 679 Masehi, Tarusbawa (raja pertama Kerajaan Sunda) memberikan mandat kepada bawahannya untuk memberitahukan informasi tentang pengangkatan dirinya sebagai raja di Kerajaan Sunda.
Tarusbawa sendiri diangkat menjadi seorang raja pada tanggal 9 bagian-terang bulan Jesta tahun 591 Saka. Jika dalam tahun Masehi kurang lebih pada tanggal 18 Mei 669 Masehi.
Nama Sunda yang terdapat pada sebuah Kerajaan tercatat dalam dua batu prasasti. Kedua batu itu ditemukan di lokasi yang berbeda, yaitu di daerah Bogor dan di daerah Sukabumi. Batu Prasasti pertama ditemukan di kampung Pasir Muara, lebih tepatnya di pinggiran sebuah persawahan yang tidak jauh dari lokasi prasasti Telapak Gajah. Prasasti Telapak Gajah adalah prasasti yang menjadi peninggalan Purnawarman.
Batu prasasti yang ditemukan di kampung Pasir Muara memiliki sebuah tulisan atau kalimat yang berisi empat baris. Bosch menerjemahkan kalimat yang ada pada batu prasasti itu, “ini tanda ucapan Rakryan Juru Pangambat; alam tahun (Saka) kawihaji (8) panca (5) pasagi (4), pemerintahan negara dikembalikan kepada Raja Sunda.”
Untuk membaca angka tahunnya dibaca dari kanan ke kiri, karena angka tahunnya memiliki corak sangkala. Dengan demikian, pembuatan prasasti tersebut pada tahun 458 Saka atau 536 Masehi.
Dalam batu prasasti yang kedua terdapat gambar sepasang telapak kaki gajah dan pada prasasti itu terdapat tulisasn yang berisi “jayavi shãlasya tãrumnendrasya hastinah airãvatãbhasya vibhãtidam padadvayam”. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “kedua jejak telapak kaki adalah jejak kaki gajah yang cemerlang seperti Airawata kepunyaan penguasa Tarumanegara yang jaya dan berkuasa).Sebagai informasi tambahan, Airawata dalam mitologi Hindu adalah nama gajah yang ditunggangi Batara Indra. Ia adalah seorang dewa perang dan penguasa guntur. Sejarah Terbentuknya Kerajaan Sunda
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya jika Kerajaan Sunda adalah pemecahan dari Kerajaan Tarumanegara. Namun, sebagian orang belum mengetahui sejarah singkat pemecahan tersebut. Berikut sejarah singkat terbentuknya Kerajaan Sunda.
Sebelum terjadi pemecahan, Kerajaan Tarumanegara dipimpin oleh Linggawarman. Ia menikah dengan seorang putri Indraprahasta yang bernama Déwi Ganggasari. Dari pernikahannya, mereka dikaruniai dua orang putri, pertama Déwi Manasih, putri kedua bernama Sobakancana.
Putri pertama Linggawarman yang bernama Déwi Ganggasari menikah dengan Tarusbawa dari Sunda. Sementar itu putri kedua Linggawarman yang bernama Sobakancana menikah dengan Dapuntahyang Sri Janayasa (pendiri Kerajaan Sriwijaya). Dalam masa pemerintahan Kerajaan Tarumanegara hanya ada 12 orang yang memimpin kerajaan tersebut. Di tahun 669 Masehi, raja terakhir Kerajaan Tarumanegara, yaitu Linggawarman kedudukannya digantikan oleh menantunya yang bernama Tarusbawa.
Tarusbawa sendiri berasal dari Kerajaan Sunda Sambawa. Ia melihat pamor Kerajaan Tarumanegara sudah mulai menurun. Karena hal itulah, Tarusbawa ingin sekali mengembalikan kejayaan dan keharuman seperti zaman Purnawarman yang bekedudukan di Purasaba (ibu kota) Sundapura.
Di tahun 670 Masehi, Tarusbawa mengganti Kerajaan Tarumanegara menjadi Kerajaan Sunda. Penggantian nama itu membuat Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh memisahkan negaranya dari kekuasaan atau kepemimpinan Tarusbawa.
Wretikandayun adalah seorang putra Galuh menikah dengan seorang Putri yang bernama Parwati. Parwati adalah seorang putri Maharani Sima dari Kerajaan Kalingga (sebuah kerajaan di Jawa Tengah). Dengan dukungan Kerajaan Kalingga, Wretikandayun menuntut kepada Tarusbawa supaya bekas kawasan Kerajaan Tarumanegara dibagi menjadi dua bagian. Tarusbawa sedang dalam keadaan lemah dan tidak ingin terjadi perang saudara maka ia menerima tuntutan yang diajukan Wretikandayun. Di tahun 670 Masehi, bekas kawasan Kerajaan Tarumanegara dipecah menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh.
Sungai Citarum menjadi pembatas antara Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Setelah terjadi pemecahan, Tarusbawa kemudian mendirikan atau membangun Ibukota Kerajaan yang baru yang terletak di daerah pedalaman dekat hulu sungai Cipakancilan.
Dalam Carita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa hanya disebut dengan gelarnya saja, yatitu Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Tarusbawa bisa dikatakan sebagai seseorang yang mencetuskan cikal bakal raja-raja Sunda. Masa pemerintahan Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Tarusbawa hanya sampai pada tahun 723 Masehi.
Putra dari Tarusbawa sudah wafat terlebih dahulu sehingga putra putri mahkota yang bernama Tejakencana diangkat menjadi seorang anak dan ahli waris kerajaan. Suami dari putri inilah yang menjadi raja kedua di Kerajaan Sunda. Suami putri itu bernama Rakeyan Jamri yang juga cicit dari Wretikandayun.
Ketika menjadi seorang raja di Kerajaan Sunda, Rakeyan Jamri dikenal dengan nama Prabu Harisdarma. Namun, setelah ia berhasil menguasai Kerajaan Galuh, nama Sanjaya lebih dikenal oleh banyak orang.
Sebagai ahli waris Kerajaan Kalingga, Rakeyan Jamri menjadi pemimpin Kerajaan Kalingga Utara atau lebih dikenal dengan nama Bumi Mataram di tahun 732 Masehi. Sedangkan kekuasaannya di Jawa Barat diberikan kepada putranya yang berasal dari Tejakencana yang bernama Tamperan atau Rakeyan Panaraban.
Rakeyan Panaraban adalah kakak dari Rakai Panangkaran (Putra Sanjaya dari Sudiwara putri Dewasingga raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara).
Raja-Raja Kerajaan Sunda
Hanya sampai pada kekuasaan Sri Jayabupati, raja-raja Sunda berjumlah 20 orang. Berikut nama-nama raja Sunda.
1. Tarusbawa (Menantu Linggawarman, (669-723 M)
2. Harisdarma atau Sanjaya (Menantu Tarusbawa, (723- 732 M)
3. Tamperan Barmawijaya (732- 739 M)
4. Rakeyan Banga (739-766 M)
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M)
6. Prabu Giliwesi (menantu Rakeyan Medang Prabu Hulukujang, (785-795 M)
7. Pucukbumi Darmeswara (menantu Prabu Giliwesi (795-819 M)
8. Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon (819-891 M)
9. Prabu Darmaraksa (adik ipar Rakeyan Wuwus Prabu Gajah Kulon, 891-895 M)
10. Windusakti Prabu Dewageng (895-913 M)
11. Rakeyan Kamuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M)
12. Rakeyan Jayagiri (menantu Rakeyan Kamuning Gading, 916-942 M)
13. Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M)
14. Limbur Kancana (putra Rakeyan Kamuning Gading, 954-964 M)
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M)
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973-989 M)
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M)
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-2029 M)
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019-1030 M)
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabuopati (1030-1042 M)
Peninggalan Kerajaan Sunda
Kerajaan Sunda meninggalkan beberapa peninggalan yang sampai saat ini masih bisa dilihat. Mayoritas peninggalan Kerajaan Sunda berada di tanah Sunda atau lebih dikenal Jawa Barat. Berikut beberapa peninggalan Kerajaan Sunda.
1. Prasasti Cikapundung
Pada tanggal 8 Oktober 2010, warga menemukan batu prasasti yang ditemukan di sekitar sungai Cikapundung. Batu prasasti ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-14. Pada batu prasasti Cikapundung terdapat sebuah tulisan dengan huruf Sunda kuno dan gambar telapak tangan, telapak kaki, dan wajah.
Kalimat yang dituliskan pada prasasti itu berbunyi “unggal jagat jalmah hendap”, yang jika diartikan berarti semua manusia di dunia akan mengalami sesuatu. Pada saat ditemukan, batu prasasti ini mempunyai panjang 178 cm, lebar 80 cm, dan tinggi 55 cm.
Hingga saat ini, batu prasasti Cikapundung masih diteliti oleh para peneliti dari Balai Arkeologi .
2. Prasasti Pasir Datar
Tahun 1872 menjadi tahun ditemukannya prasasti Pasir Datar. Prasasti Pasir Datar ditemukan di Cisande, Sukabumi atau lebih tepatnya ditemukan di Perkebunan Kopi di Pasir Datar. Untuk menjaga keasliannya, prasasti ini dipindah dan disimpan di Museum Nasional Jakarta.
Prasasti Pasir Datar terbuat batu alam. Sampai saat ini, Isi atau pesan yang terdapat pada prasasti Pasir Datar belum ditranskripsi sehingga isi dan pesannya belum diketahui.
3. Prasasti Huludayeuh
Prasasti Huludayeuh terletak di pertengahan sawah di kampung Huludayeuh, Desa Cikalahang, Kecamatan Sumber. Namun, setelah terjadi pemekaran wilayah menjadi Kecamatan Dukupuntang, Cirebon.
Sebenarnya warga setempat sudah lama mengetahui keberadaan batu prasasti Huludayeuh. Namun, para ahli arkeologi dan ahli sejarah baru mengetahui letak batu prasasti ini pada bulan September 1991. Setelah batu prasasti ini sudah diketahui oleh ahli sejarah dan arkeologi, barulah diumumkan atau diberitakan di media cetak.
Pemberitaan tentang batu prasasti Huludayeuh di media cetak terjadi pada tanggal 11 September 1991 di Harian Pikiran Rakyat. Sedangkan Harian Kompas memberitakan berita ini pada tanggal 12 September 1991.
Prasasti Huludayeuh memiliki 11 baris tulisan yang beraksara dan berbahasa Sunda kuno. Batu prasasti ini saat ditemukan mempunyai tinggi 75 cm, lebar 36 cm, dan 20 cm.
Hal yang sangat disayangkan pada penemuan prasasti Huludayeuh adalah kondisi batu prasasti sudah tidak utuh lagi. Hal ini mengakibatkan isi atau pesan yang terdapat pada batu prasasti ini sudah tidak bisa diketahui secara keseluruhan.
4. Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis
Prasasti Perjanjian Sunda-Portugis memiliki bentuk seperti tugu batu dan ditemukan di Jakarta pada tahun 1918. Adanya prasasti sebagai sebuah tanda perjanjian Kerajaan Sunda dan Kerajaan Portugal.
Perjanjian itu dibuat oleh utusan dagang Portugis yang berasal dari Malaka yang dipimpin oleh Enrique Leme. Perjanjian itu berupa Kerajaan Portugis membawa barang-barang untuk diberikan kepada “Raja Samian” (Sanghyang, yaitu Sanghyang Surawisesa).
Tempat untuk membangun benteng dan gudang bagi orang Portugis adalah lokasi prasasti ini didirikan.
Setelah sekian lama terpendam, prasasti ini ditemukan kembali oleh para pekerja bangunan ketika sedang melakukan penggalian untuk membangun pondasi gudang di sudut Prinsenstraat (jalan Cengkeh) dan Groenstraat (jalan Kali Besar Timur I). Kedua tempat itu sekarang termasuk ke dalam wilayah Jakarta Barat.
Untuk menjaga keasliannya, prasasti ini dibawa dan disimpan di Museum Nasiona Republik Indonesia. Sedangkan sebuah replika dari prasasti ini bisa di lihat di Museum Sejarah Jakarta. 5. Prasasti Ulubelu
Prasasti Ulubelu bisa dikatakan sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Prasasti ini diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 M. Tahun 1936, prasasti ini ditemukan di Ulubelu berada di desa Rebangpunggung, Kotaagung, Lampung.
Meskipun lokasi penemuannya di Lampung, tetapi prasasti dianggap sebagai peninggalan Kerajaan Sunda. Hal ini dikarenakan wilayah Kerajaan Sunda tersebar sampai ke daerah Lampung.
Sejarawan juga meyakini aksara yang digunakan pada prasasti ini adalah huruf Sunda kuno. Dengan pernyataan yang diungkapkan oleh sejarawan semakin memperkuat kebenaran bahwa prasasti Ulubelu adalah peninggalan Kerajaan Jawa Barat.
Prasasti Ulubelu berisi tentang sebuah mantra permintaan tolong kepada dewa-dewa utama, yaitu Batara Guru (Siwa), Brahma, dan Wisnu. Bukan hanya kepada dewa-dewa utama, tetapi dewa penguasa air, penguasa tanah, dan penguasa pohon supaya menjaga keselamatan dari semua musuh.
6. Prasasti Kebon Kopi II
Prasasti Pasir Muara atau yang biasa dikenal dengan nama Prasasti Kebon Kopi II adalah peninggalan Kerajaan Sunda. Dinamakan Prasasti Kebon II karena pada saat ditemukan lokasinya tidak jauh atau hanya berjarak sekitar 1 km dari prasasti Kebon Kopi I.
Meskipun hanya berjarak sekitar 1 km, tetapi prasasti Kebon Kopi I (prasasti Tapak Gajah) bukan peninggalan Kerajaan Sunda melainkan peninggalan Kerajaan Tarumanegara.
Prasasti Kebon Kopi II ditemukan pada abad ke-19 dan lokasi penemuan prasasti Kebon Kopi II terletak di Kampung Pasir Muara, desa Ciaruteun Ilir, Cibungbulang, Bogor, Jawa Barat.
Sekitar tahun 1940-an prasasti ini dinyatakan hilang. Namun pakar F. D. K Bosch sempat mempelajari batu prasasti ini dan mengungkapkan bahwa prasasti ini ditulis dalam bahasa Melayu Kuno. Selain itu, pakar F. D. K Bosch mengungkap bahwa batu prasasti ini berisi tentang “raja Sunda menduduki kembali tahtanya” sekitar tahun 932 Masehi..
7. Situs Karangkamulyan
Situs Karangkamulyan adalah situs peninggalan dari zaman Kerajaan Galuh yang memiliki corak Hindu-Budha. Situs Karangkamulyan terletak di Desa Karangkamulyan, Ciamis, Jawa Barat.
Ciung Wanara adalah legenda dari situs Karangkamulyan. Ciung Wanara itu sendiri mempunyai hubungan dengan Kerajaan Galuh dan ia dipercaya memiliki keperkasaan dan kesaktian yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain.
Situs Karangkamulyan memiliki luas kurang lebih 25 Ha dan menyimpan berbagai jenis benda. Setiap benda yang tersimpan di situs ini berkaitan dengan sejarah Kerajaan Galuh. Sebagian besar benda-benda yang tersimpan berbentuk batu.
Meskipun letak batu-batu ini berdekatan, tetapi tersebar dengan bentu yang berbeda-beda. Semua batu yang ada di Situs Karangkamulyan berada di dalam sebuah bangunan. Bangunan itu mempunyai struktur yang terbuat dari tumpukan batu dengan bentuk yang tidak jauh beda. Selain itu, dengan sebuah pintu yang dipasang pada struktur bangunan ini, maka sekilas bangunan ini menyerupai kamar.
Setiap batu yang tersimpan di Situs Karangkamulyan mempunyai nama-nama yang khas serta di dalam batu-batu itu tersimpan kisah-kisah yang menarik. Nama-nama yang terdapat pada setiap batu berasal dari masyarakat sekitar yang s**a dikaitkan dengan kisah atau mitos tentang Kerajaan Galuh.
Kesimpulan
Sebelum menjadi Kerajaan yang berdiri sendiri, Kerajaan Sunda masih di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanegra. Hal itu terjadi, ketika Wretikandayun menuntut Tarusbawa untuk membagi bekas kawasan Kerajaan Tarumanegara.
Nama peninggalan-peninggalan Kerajaan Sunda mayoritas berasal dari lokasi atau tempat ditemukan peninggalan tersebut. Hampir semua peninggalan-peninggalannya berlokasi di Jawa Barat. Beberapa dari peninggalan itu ada yang sudah hilang dan ada yang dipindahkan ke Museum Nasional Indonesia yang berlokasi di Jakarta. https://www.gramedia.com/literasi/sejarah-kerajaan-sunda/