Rahmat Hidayat

Rahmat Hidayat Bismillah

Semoga Allah Mempermudahkan Jalan Kita Menuju surga. ALLAHUMMA AAMIIN

Banyak orang tua menghadapi tantangan saat mengajak anak-anak untuk shalat, terutama karena sifat anak yang cenderung su...
14/01/2025

Banyak orang tua menghadapi tantangan saat mengajak anak-anak untuk shalat, terutama karena sifat anak yang cenderung sulit diarahkan. Namun, kesabaran dan keteguhan dalam mendidik mereka tetap menjadi kewajiban yang tidak boleh diabaikan. Allah memerintahkan kita untuk mengajarkan shalat kepada keluarga dengan penuh kesabaran, sebagaimana disebutkan dalam Surah Thaha ayat 132.

Allah Ta’ala berfirman,

وَامْرْ أَهْلَكَ بِالصَّلَاهِ وَاصْطَبِرْ عَلَيْهَا لَا نَسْأَلُكَ رِزْقًا نِحْنُ نَرْزُقُكَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْتَّقْوَى

“Dan perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, tetapi Kami-lah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertakwa.” (QS. Thaha: 132)

Penjelasan Ayat Berdasarkan Tafsir Ulama
1. Tafsir Al-Muyassar: Allah memerintahkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam agar memerintahkan keluarganya untuk mendirikan shalat dan bersabar dalam melakukannya. Allah menjelaskan bahwa rezeki bukanlah tanggung jawab manusia, melainkan merupakan karunia-Nya. Kesudahan yang baik di dunia dan akhirat diperuntukkan bagi orang-orang yang bertakwa.

2. Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah: Dalam ayat ini, Allah menekankan pentingnya istiqamah dalam menjalankan shalat, baik bagi diri sendiri maupun keluarga. Rezeki bukan menjadi beban manusia karena Allah telah menjaminnya. Kesudahan yang baik berupa surga adalah balasan bagi mereka yang bertakwa dan menjalankan perintah Allah dengan penuh kesungguhan.

3. Tafsir Al-Mukhtashar: Rasulullah diperintahkan untuk mengajak keluarganya shalat dan bersabar atas pelaksanaannya. Allah menegaskan bahwa rezeki adalah tanggung jawab-Nya, bukan tanggung jawab manusia. Kesudahan yang baik akan diberikan kepada orang-orang yang bertakwa, yakni mereka yang taat kepada Allah dan meninggalkan larangan-Nya.

4. Tafsir Syaikh As-Sa’di: Ayat ini mengajarkan agar seseorang mengajak keluarganya shalat, baik shalat wajib maupun sunnah. Perintah ini mencakup pembelajaran tentang adab, rukun, serta hal-hal yang dapat menyempurnakan shalat. Menegakkan shalat memerlukan kesabaran dan perjuangan karena sifat manusia cenderung lalai. Allah menjamin rezeki bagi hamba-Nya, sehingga seorang Muslim lebih baik fokus pada ketaatan. Kesudahan yang baik, baik di dunia maupun akhirat, hanya diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang lain, “Dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-A’raf: 128).

Penjelasan Perbedaan Kata “Ishṭabir” dan “Ṣabara”
Kata اصطبر (ishṭabir) dan صبر (ṣabara) berasal dari akar kata yang sama, yaitu ص-ب-ر (ṣa-ba-ra), yang berarti “sabar” atau “menahan diri.” Meskipun serupa, keduanya memiliki perbedaan mendalam dalam penggunaannya:

Ṣabara (صبر):
Asal Kata: Kata kerja dasar (fi’il tsulatsi mujarrad).
Makna: Menggambarkan sabar secara umum, baik dalam menghadapi cobaan, menahan diri dari kemarahan, atau bertahan dalam ketaatan.
Penggunaan dalam Al-Qur’an:
Contoh: “فَصَبْرٌ جَمِيلٌ” (QS Yusuf: 18) — “Maka kesabaran yang baik (adalah pilihanku).”
Nuansa: Mengacu pada sikap sabar yang tidak diiringi dengan keluhan atau keputusasaan.
Ishṭabir (اصطبر):
Asal Kata: Bentuk fi’il tsulatsi mazid dengan tambahan “isti” yang menandakan intensitas atau usaha lebih keras.
Makna: Menggambarkan sabar dengan kesungguhan hati dan keteguhan yang luar biasa, terutama dalam menghadapi sesuatu yang berat.
Penggunaan dalam Al-Qur’an:
Contoh: “وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ” (QS Maryam: 65) — “Dan bersabarlah (dengan sungguh-sungguh) dalam beribadah kepada-Nya.”
Nuansa: Menunjukkan usaha sabar yang memerlukan daya tahan ekstra, terutama dalam menjalankan ibadah.
Perbedaan Utama:

Tingkat Kesungguhan: Ṣabara menggambarkan sabar secara umum, sedangkan ishṭabir menuntut kesabaran yang lebih besar dan intens.
Konteks Penggunaan: Ṣabara digunakan untuk situasi umum, sementara ishṭabir digunakan untuk konteks yang lebih spesifik, seperti ketaatan dalam ibadah.
Nuansa Makna: Ṣabara menggambarkan keadaan sabar, sementara ishṭabir menggambarkan proses aktif dan perjuangan untuk tetap sabar.
Kesimp**an
Shalat adalah Perintah Utama: Orang tua harus memerintahkan anak-anaknya untuk mendirikan shalat meskipun itu sulit. Kesabaran adalah kunci dalam membimbing anak agar konsisten dalam ibadah.
Rezeki adalah Jaminan Allah: Shalat akan mendatangkan rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Sebagaimana disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Ketika kamu mengerjakan shalat, maka rezeki akan datang kepadamu dari arah yang tidak kamu sangka.”
Kesabaran dalam Pendidikan: Menanamkan kebiasaan shalat membutuhkan waktu, pengulangan, dan kesabaran. Orang tua harus menjadi teladan dengan menjalankan shalat secara konsisten dan melibatkan anak dalam ibadah sejak dini.
Kesabaran Ekstra dalam Mendidik Anak: Kata “ishṭabir” menunjukkan bahwa mendidik anak dalam hal ibadah, khususnya shalat, membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Orang tua harus bersungguh-sungguh dan berjuang untuk memastikan anak-anak terbiasa dengan kewajiban ini, meskipun memerlukan usaha yang berat.
Pentingnya Istiqamah: Selain memerintahkan, orang tua harus terus memotivasi dan mengingatkan anak-anak untuk tetap istiqamah dalam menjalankan shalat, baik dalam kondisi mudah maupun sulit.
Rezeki Berkah dari Ketaatan: Ayat ini mengajarkan bahwa rezeki tidak hanya berupa materi, tetapi juga keberkahan dalam hidup yang berasal dari ketaatan kepada Allah, terutama melalui shalat.
Ketakwaan adalah Kunci Sukses: Kesudahan yang baik di dunia dan akhirat hanya diperuntukkan bagi mereka yang bertakwa. Ini menekankan pentingnya mendidik anak untuk bertakwa melalui ibadah shalat dan nilai-nilai Islami lainnya.
Shalat Sebagai Pilar Utama Agama: Jika shalat ditegakkan dengan baik, ibadah lainnya akan lebih terjaga. Namun, jika shalat diabaikan, ibadah lainnya pun cenderung akan terbengkalai.
Dengan menanamkan pentingnya shalat kepada keluarga, seorang Muslim tidak hanya melaksanakan perintah Allah tetapi juga memastikan keberkahan hidup di dunia dan akhirat.



Ditulis di Darush Sholihin Gunungkidul, 25 Jumadal Akhir 1446 H, 27 Desember 2024

Dr. Muhammad Abduh Tuasikal (Pakar Manajemen TPA)

sumber : https://ruqoyyah.com/1888-ajari-anak-shalat-meski-sulit-ini-hikmah-surah-thaha-132.html Sorotan Pengikut Jon Wandy Arul Kolaka Doni Hamdani

Bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu...
13/01/2025

Bagi setiap majikan hendaklah ia tidak mengakhirkan gaji bawahannya dari waktu yang telah dijanjikan, saat pekerjaan itu sempurna atau di akhir pekerjaan sesuai kesepakatan. Jika disepakati, gaji diberikan setiap bulannya, maka wajib diberikan di akhir bulan. Jika diakhirkan tanpa ada udzur, maka termasuk bertindak zholim.

Allah Ta’ala berfirman mengenai anak yang disusukan oleh istri yang telah diceraikan,

فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ

“Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.” (QS. Ath Tholaq: 6). Dalam ayat ini dikatakan bahwa pemberian upah itu segera setelah selesainya pekerjaan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memerintahkan memberikan upah sebelum keringat si pekerja kering. Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

Menunda penurunan gaji pada pegawai padahal mampu termasuk kezholiman. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

“Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kezholiman” (HR. Bukhari no. 2400 dan Muslim no. 1564)

Bahkan orang seperti ini halal kehormatannya dan layak mendapatkan hukuman, sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

“Orang yang menunda kewajiban, halal kehormatan dan pantas mendapatkan hukuman” (HR. Abu Daud no. 3628, An Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427, hasan). Maksud halal kehormatannya, boleh saja kita katakan pada orang lain bahwa majikan ini biasa menunda kewajiban menunaikan gaji dan zholim. Pantas mendapatkan hukuman adalah ia bisa saja ditahan karena kejahatannya tersebut.

Para ulama yang duduk di Al Lajnah Ad Daimah (Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia) pernah ditanya, “Ada seorang majikan yang tidak memberikan upah kepada para pekerjanya dan baru memberinya ketika mereka akan safar ke negeri mereka, yaitu setelah setahun atau dua tahun. Para pekerja pun ridho akan hal tersebut karena mereka memang tidak terlalu sangat butuh pada gaji mereka (setiap bulan).”

Jawab ulama Al Lajnah Ad Daimah, “Yang wajib adalah majikan memberikan gaji di akhir bulan sebagaimana yang berlaku di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi jika ada kesepakatan dan sudah saling ridho bahwa gaji akan diserahkan terakhir setelah satu atau dua tahun, maka seperti itu tidaklah mengapa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

المسلمون على شروطهم

“Kaum muslimin wajib mematuhi persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah, 14: 390).

Wallahul muwaffiq.



Bathaa’, Riyadh-KSA, 26 Rabi’ul Awwal 1434 H

Sumber https://rumaysho.com/3139-bayarkan-upah-sebelum-keringat-kering.html
Sorotan Pengikut

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan untuk memotivasi para wanita “agar bidadari cemburu padamu”. Maksud ungkapan ters...
12/01/2025

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan untuk memotivasi para wanita “agar bidadari cemburu padamu”. Maksud ungkapan tersebut adalah wanita penghuni surga akan lebih cantik dan lebih baik keadaannya dibandingkan bidadari surga. Ungkapan ini benar. Hanya saja, di surga tidak ada rasa cemburu dan hasad lagi.

Sering kali wanita di dunia tidak “terlalu suka” dengan penjelasan bidadari surga dan kecantikan mereka. Padahal dengan membahas hal tersebut, mereka akan tahu bahwa mereka lebih baik keadaannya daripada bidadari surga.

Sebuah pertanyaan diajukan kepada Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah,

هل الأوصاف التي ذكرت للحور العين في القرآن تشمل نساء الدنيا يا فضيلة الشيخ؟

“Apakah sifat-sifat (kecantikan) bidadari dalam Al-Qur’an juga mencakup sifat para wanita dunia (yang masuk surga), wahai syaikh?

Beliau menjawab,

الذي يظهر لي أن نساء الدنيا يكنّ خيراً من من الحور العين حتى في الصفات الظاهرة، والله أعلم.

“Pendapat terkuat menurutku bahwa wanita dunia lebih baik daripada bidadari, termasuk sifat dan karakteristik lahiriahnya (penampilan dan kecantikan), wallahu a’lam.” (Fatwa Nur ‘Alad Dard, kaset 283)

Di kesempatan lain, beliau menjelaskan bahwa para suami mereka (wanita dunia) lebih tertarik pada wanita dunia (istri mereka di dunia) dibandingkan bidadari. Beliau rahimahullah berkata,

المرأة الصالحة في الدنيا- يعني: الزوجة- تكون خيراً من الحور العين في الآخرة ، وأطيب وأرغب لزوجها

“Wanita shalihah di dunia, yaitu para istri, lebih baik daripada bidadari di akhirat, lebih cantik dan lebih menarik bagi suaminya.” (Fatwa Nur ‘Alad Dard 2: 4, Syamilah)

Ahli Tafsir Al-Qurthubi rahimahullah, menjelaskan bahwa wanita dunia lebih baik dan lebih cantik dari bidadari karena amal baik mereka di dunia, berbeda dengan bidadari yang langsung Allah Ta’ala ciptakan di dalam surga. Wanita dunia juga akan menjadi ratu dan tuan putri di surga. Beliau rahimahullah berkata,

حال المرأة المؤمنة في الجنة أفضل من حال الحور العين وأعلى درجة وأكثر جمالا ؛ فالمرأة الصالحة من أهل الدنيا إذا دخلت الجنة فإنما تدخلها جزاءً على العمل الصالح وكرامة من الله لها لدينها وصلاحها ، أما الحور التي هي من نعيم الجنة فإنما خُلقت في الجنة من أجل غيرها وجُعلت جزاء للمؤمن على العمل الصالح ….؛ فالأولى ملكة سيدة آمرة ، والثانية – على عظم قدرها وجمالها – إلا أنها ـ فيما يتعارفه الناس ـ دون الملكة ، وهي مأمورة من سيدها المؤمن الذي خلقها الله تعالى جزاءً له

“Keadaan wanita beriman di surga lebih utama dari bidadari dan lebih tinggi derajat dan kecantikannya. Wanita shalihah dari penduduk dunia masuk surga sebagai balasan atas amal saleh mereka. Hal ini adalah kemuliaan dari Allah untuk mereka karena bagusnya agama dan kebaikan mereka. Adapun bidadari adalah bagian dari kenikmatan surga. Mereka diciptakan di dalam surga sebagai kenikmatan bagi makhluk selainnya, sebagai balasan bagi orang beriman atas amal salihnya.

Jenis yang pertama, (yaitu wanita dunia) adalah sebagai ratu, tuan putri, dan yang memerintah. Adapun jenis kedua, (bidadari surga) dengan keagungan kedudukan dan kecantikannya – sebagaimana yang diketahui oleh manusia – maka kedudukan bidadari di bawah ratu. Dia menjadi pelayan bagi tuannya yang beriman yang Allah ciptakan sebagai balasan bagi orang beriman.” (Tafsir Al-Qurthubi, 16: 154)

Berbahagialah wahai para wanita dunia, dengan beramal salih dan berdoa kepada Allah Ta’ala agar dimasukkan surga Allah yang tertinggi. Kenikmatan surga tidak dapat dibayangkan sedikit pun, kecantikan para wanita surga kelak tidak bisa dibayangkan sedikit pun.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menukil firman Allah Ta’ala dalam hadis qudsi,

يَقُوْلُ اللهُ : أَعْدَدَتُ لِعِبَادِيَ الصَّالِحِيْنَ مَا لاَ عَيْنٌ رَأَتْ وَلاَ أُذُنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَ عَلَى قَلْبِ بَشَر، وَاقْرَأُوا إِنْ شِئْتُمْ فَلاَ تَعْلَمُ نَفْسٌ مَا أُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ أَعْيُنٍ جَزَاءً بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Allah telah berfirman, ‘Aku telah menyiapkan bagi hamba-hambaku yang salih (di surga) kenikmatan-kenikmatan yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pernah terbetik dalam benak manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Demikian sedikit pembahasan tentang wanita penghuni surga. Semoga bermanfaat.



@ Lombok, Pulau seribu Masjid

Penyusun: Raehanul Bahraen

Sumber: https://muslim.or.id/59613-wanita-dunia-penghuni-surga-lebih-cantik-dari-bidadari-surga.html
Copyright © 2025 muslim.or.id
Sorotan Pengikut

Mendamaikan hubungan antara dua orang muslim yang saling bermusuhan adalah salah satu di antara amal dan akhlak yang mul...
12/01/2025

Mendamaikan hubungan antara dua orang muslim yang saling bermusuhan adalah salah satu di antara amal dan akhlak yang mulia. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan keutamaan amal tersebut. Allah Ta’ala berfirman,

وَالصُّلْحُ خَيْرٌ

“Dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka).” (QS. An-Nisa’ [4]: 128)

Allah Ta’ala berfirman,

فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ

“Oleh sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu.” (QS. Al-Anfaal [8]: 1)

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 10)

Di ayat yang lain, Allah Ta’ala bahkan memerintahkan hal ini. Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang, hendaklah kamu damaikan antara keduanya.” (QS. Al-Hujuraat [49]: 9)

Bentuk “al-ishlaah” (mendamaikan) hubungan antar manusia adalah jika ada sikap permusuhan dan kebencian antara dua orang, maka ada seseorang yang mendamaikan dan memperbaiki hubungan di antara mereka berdua. Sehingga hilanglah rasa kebencian dan permusuhan di antara dua orang tersebut. Semakin dekat hubungan kekeluargaan antara dua orang yang bermusuhan, maka perdamaian di antara keduanya tentu akan lebih ditekankan. Dengan kata lain, jika putusnya hubungan di antara dua orang yang bermusuhan itu lebih besar bahayanya, maka mendamaikan di antara keduanya menjadi semakin ditekankan. Jadi, jika seorang ayah dan anak itu berseteru, tentu mendamaikan di antara keduanya lebih afdhal dibandingkan jika yang berseteru adalah dua orang teman biasa. Hal ini karena putusnya jalinan silaturahmi antara seorang ayah dan anak tentu perkara yang lebih besar bahayanya.

Mendamaikan dan berusaha menjadi penengah antara dua orang yang berselisih adalah salah satu amal yang mulia. Allah Ta’ala berfirman,

لاَّ خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِّن نَّجْوَاهُمْ إِلاَّ مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia.” (QS. An-Nisa’ [4]: 114)

Yang dimaksud dengan “najwa” dalam ayat di atas adalah perkataan yang tersembunyi antara seseorang dengan saudara atau sahabatnya (semacam bisikan). Maka dalam ayat di atas, mayoritas najwa itu tidak ada kebaikan di dalamnya, kecuali pada ajakan untuk memberi sedekah, berbuat kebaikan (ma’ruf), dan mengadakan perdamaian di antara manusia. Kemudian Allah Ta’ala sebutkan pahala yang besar dari amal tersebut, yaitu:

وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ ابْتَغَاء مَرْضَاتِ اللّهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيهِ أَجْراً عَظِيماً

“Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar.” (QS. An-Nisa’ [4]: 114)

Oleh karena itu, jika kita melihat ada di antara saudara sesama muslim yang berselisih, bermusuhan, atau berseteru, berusahalah dengan sekuat tenaga untuk mendamaikan di antara keduanya. Meskipun ketika dalam prosesnya, kita mungkin mengeluarkan sejumlah harta (uang) yang kita miliki.

[Selesai]

***

YPIA, 7 Sya’ban 1442/21 Maret 2021

Penulis: M. Saifudin Hakim

Catatan kaki:

Disarikan dari kitab Makaarim Al-Akhlaaq karya Syekh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah, hal. 39-41.

Sumber: https://muslim.or.id/61725-mendamaikan-hubungan-dua-orang-yang-bermusuhan.html

Kita ketahui bahwa tujuan utama penciptaan kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Dan sang...
09/01/2025

Kita ketahui bahwa tujuan utama penciptaan kita di dunia ini adalah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata. Dan sangat penting untuk diketahui bahwa ibadah yang kita lakukan akan menjadi sia-sia apabila tercampur dengan kemusyrikan. Apabila suatu ibadah bercampur dengan kemusyrikan, maka ibadah kita tidak akan diterima. Oleh karena itu, barangsiapa yang beribadah kepada selain Allah Ta’ala –di samping juga beribadah kepada Allah Ta’ala–, maka ibadahnya kepada Allah Ta’ala adalah ibadah yang batil. Karena suatu ibadah tidaklah bermanfaat bagi pelakunya kecuali jika disertai dengan keikhlasan dan tauhid.

Allah Ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu, ‘Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.’” (QS. Az-Zumar [39]: 65)

Di dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,

وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

“Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am [6]: 88)

Untuk lebih mendekatkan pemahaman kita tentang hal ini, Syaikh Muhammad At-Tamimy rahimahullah membuat suatu ilustrasi tentang kedudukan tauhid dan ikhlas dalam beribadah. Beliau rahimahullah mengatakan, ”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen.). Sebagaimana shalat tidaklah disebut sebagai shalat kecuali dalam keadaan bersuci (thaharah). Apabila ibadah tersebut dimasuki syirik, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats yang masuk dalam thaharah.” (Syarh Al-Qowa’idul Arba’, hal. 14).

Dari ilustrasi yang beliau sampaikan tersebut, jelaslah bahwa ibadah kita tidak akan diterima kecuali dengan tauhid. Hal itu sebagaimana ibadah shalat dengan bersuci (thaharah). Tauhid adalah syarat diterimanya ibadah, sebagaimana bersuci adalah syarat sah ibadah shalat. Sebagaimana shalat tidak sah jika tidak dalam kondisi suci, demikian p**a ibadah kita tidak akan sah jika tidak disertai dengan tauhid, meskipun di dahinya terdapat tanda bekas sujud, berpuasa di siang hari, atau rajin shalat malam. Karena semua ibadah tersebut syaratnya adalah ikhlas dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Apabila terdapat satu saja dari ibadah tersebut yang dicampuri dengan kemusyrikan, maka seluruh ibadah yang pernah dia lakukan akan batal dan hilanglah pahalanya.

Oleh karena itu, di dalam banyak ayat Allah Ta’ala mengumpulkan antara perintah untuk beribadah kepada Allah Ta’ala dengan perintah untuk menjauhi perbuatan syirik. Allah Ta’ala berfirman,

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (QS. An-Nisa’ [4]: 36)

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah [98]: 5)

Ketika Allah Ta’ala melarang kita untuk berbuat syirik, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah Ta’ala tidak ridha disekutukan dengan apa pun dalam ibadah kepada-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ

“Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,’Aku tidaklah butuh adanya tandingan-tandingan. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amal dalam keadaan menyekutukan Aku dengan selain Aku, maka Aku akan meninggalkan dia dan perbuatan syiriknya itu.’” (HR. Muslim no. 7666)

Oleh karena itu, apabila ada sekelompok masyarakat yang rajin shalat, rajin puasa, bersyahadat laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah, dan berhaji ke baitullah, namun di sisi lain mereka juga berdoa meminta kepada penghuni kubur, meminta kepada “Wali Songo” yang sudah meninggal, maka semua ibadahnya itu sia-sia semata. Hal ini karena mereka menyekutukan Allah Ta’ala, mereka mengotori ibadah mereka dengan perbuatan syirik. Semua amalnya adalah amal yang batil, sampai dia bertaubat, mentauhidkan Allah Ta’ala dalam ibadah, dan mengikhlaskan ibadahnya hanya kepada Allah Ta’ala semata.

Allah Ta’ala tidak akan pernah ridha dengan kemusyrikan, meskipun yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah malaikat yang paling mulia –yaitu Jibril ‘alaihis salaam- atau salah seorang Nabi yang diutus, seperti Muhammad, ‘Isa, Nuh, Ibrahim, dan selainnya. Lalu, bagaimana lagi jika yang dijadikan sebagai sekutu itu adalah selain malaikat dan para nabi, seperti wali dan orang shalih yang kedudukannya tentu sangat jauh di bawah mereka? Tentu Allah Ta’ala lebih tidak ridha lagi dengan hal itu. Maka hal ini adalah bantahan atas anggapan sebagian orang yang menganggap bahwa syirik itu baru disebut sebagai syirik jika yang disembah adalah batu, pohon, patung, dan sejenisnya. Adapun jika yang disembah adalah malaikat, nabi, atau orang shalih, maka hal itu bukan syirik.

Anggapan semacam ini adalah anggapan yang tidak benar. Dan di antara dalil yang menunjukkan atas batilnya anggapan tersebut adalah firman Allah Ta’ala,

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.” (QS. Al-jin [72]: 18)

Kata “ahadan” dalam ayat di atas adalah isim nakiroh (kata benda indefinitif) yang berada dalam konteks nahi (larangan), yaitu kalimat “Janganlah kamu menyembah”. Menurut kaidah ilmu ushul fiqh, hal ini mengandung makna yang bersifat umum, mencakup seluruh jenis sekutu, tidak ada pengecualian di dalamnya sedikit pun. Maksudnya, Allah Ta’ala melarang untuk menujukan ibadah kepada selain Allah Ta’ala, siapa pun dia. Baik malaikat yang paling dekat dan paling mulia di sisi Allah Ta’ala, seorang nabi, berhala, kubur, wali, orang shalih, baik orang tersebut masih hidup maupun sudah meninggal dunia. Oleh karena itu, perbuatan syirik tetaplah disebut syirik meskipun yang disembah adalah seorang malaikat, nabi, atau wali dan orang shalih. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan menjauhkan kita dari perbuatan syirik.

***

Selesai disempurnakan menjelang isya, Masjid Nasuha Rotterdam NL, 20 Jumadil Ula 1436

Yang senantiasa membutuhkan ampunan Rabb-nya.

Penulis: M. Saifudin Hakim

Sumber: https://muslim.or.id/24866-allah-taala-tidak-pernah-ridha-dengan-kemusyrikan.html
Copyright © 2024 muslim.or.id Sorotan

Rasisme Dalam Pandangan IslamPerbuatan rasisme tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia manapun. Meremehkan, merendahkan...
06/01/2025

Rasisme Dalam Pandangan Islam
Perbuatan rasisme tentu tidak sesuai dengan fitrah manusia manapun. Meremehkan, merendahkan dan menghina orang lain hanya karena berbeda suku, berbeda warna kulit, berbeda bangsa atau negara. Kita dapati rasisme ini masih ada di beberapa tempat di dunia ini dan ini memang yang sangat tidak kita harapkan. Ketahuilah, Islam agama yang mulia telah menghapus dan mengharamkan rasisme tersebut di muka bumi ini. Semua orang pada asalnya sama kedudukannya dan memiliki hak-hak dasar kemanusiaan yang sama serta tidak boleh dibedakan, satu di istimewakan dan satu lagi dihinakan hanya karena alasan perbedaan suku, ras, bangsa semata.

Lihat-lah bagaimana Bilal bin Rabah, seorang sahabat yang mulia. Beliau adalah mantan budak dan berkulit hitam legam, tetapi kedudukan beliau tinggi di antara para sahabat. Beliau telah dipersaksikan masuk surga secara khusus yang belum tentu ada pada semua sahabat lainnya.[1] Beliau juga adalah sayyid para muadzzin dan pengumandang adzan pertama umat Islam.[2]

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Abu Dzar,

ﺍﻧْﻈُﺮْ ﻓَﺈِﻧَّﻚَ ﻟَﻴْﺲَ ﺑِﺨَﻴْﺮٍ ﻣِﻦْ ﺃَﺣْﻤَﺮَ ﻭَﻻَ ﺃَﺳْﻮَﺩَ ﺇِﻻَّ ﺃَﻥْ ﺗَﻔْﻀُﻠَﻪُ ﺑِﺘَﻘْﻮَﻯ

“Lihatlah, engkau tidaklah akan baik dari orang yang berkulit merah atau berkulit hitam sampai engkau mengungguli mereka dengan takwa.”[3]

Allah menciptakan kita berbeda-beda agar kita saling mengenal satu sama lainnya. Yang membedakan di sisi Allah hanyalah ketakwaannya. Perhatikan ayat berikut:

ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﺇِﻧَّﺎ ﺧَﻠَﻘْﻨَﺎﻛُﻢْ ﻣِﻦْ ﺫَﻛَﺮٍ ﻭَﺃُﻧْﺜَﻰ ﻭَﺟَﻌَﻠْﻨَﺎﻛُﻢْ ﺷُﻌُﻮﺑًﺎ ﻭَﻗَﺒَﺎﺋِﻞَ ﻟِﺘَﻌَﺎﺭَﻓُﻮﺍ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. (Al-Hujurat: 13)

Jadi kita diciptakan berbeda-beda suku, ras dan bangsa agar kita saling mengenal. Allah menegaskan setelah ayat ini bahwa yang paling mulia adalah yang paling taqwa. Ath-Thabari menafsirkan,

ﺇﻥ ﺃﻛﺮﻣﻜﻢ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻋﻨﺪ ﺭﺑﻜﻢ ، ﺃﺷﺪﻛﻢ ﺍﺗﻘﺎﺀ ﻟﻪ ﺑﺄﺩﺍﺀ ﻓﺮﺍﺋﻀﻪ ﻭﺍﺟﺘﻨﺎﺏ ﻣﻌﺎﺻﻴﻪ ، ﻻ ﺃﻋﻈﻤﻜﻢ ﺑﻴﺘﺎ ﻭﻻ ﺃﻛﺜﺮﻛﻢ ﻋﺸﻴﺮﺓ

“Yang paling mulia di sisi Rabb kalian adalah yang paling bertakwa dalam melaksanakan perintah dan menjauhi maksiat. Hukan yang paling besar rumah atau yang paling banyak keluarganya.”[4]

Bahkan Islam melarang keras bentuk ta’assub yaitu membela serta membabi buta hanya berdasarkan suku, rasa atau bangsa tertentu, tidak peduli apakah salah atau benar, dzalim atau terdzalimi.

Perkatikan hadits berikut, Jabir bin ‘Abdillah radhiallahu ‘anhu,ia berkata:

ﻛُﻨَّﺎ ﻣَﻊَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻰِّ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ﻓِﻰ ﻏَﺰَﺍﺓٍ ﻓَﻜَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻸَﻧْﺼَﺎﺭِ ﻭَﻗَﺎﻝَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻯُّ ﻳَﺎ ﻟَﻠْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ – ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ – ‏« ﻣَﺎ ﺑَﺎﻝُ ﺩَﻋْﻮَﻯ ﺍﻟْﺠَﺎﻫِﻠِﻴَّﺔِ ‏» . ﻗَﺎﻟُﻮﺍ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻛَﺴَﻊَ ﺭَﺟُﻞٌ ﻣِﻦَ ﺍﻟْﻤُﻬَﺎﺟِﺮِﻳﻦَ ﺭَﺟُﻼً ﻣِﻦَ ﺍﻷَﻧْﺼَﺎﺭِ . ﻓَﻘَﺎﻝَ ‏« ﺩَﻋُﻮﻫَﺎ ﻓَﺈِﻧَّﻬَﺎ ﻣُﻨْﺘِﻨَﺔٌ ‏»

”Dahulu kami pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di Gaza, Lalu ada seorang laki-laki dari kaum Muhajirin yang memukul pantat seorang lelaki dari kaum Anshar. Maka orang Anshar tadi pun berteriak: ‘Wahai orang Anshar (tolong aku).’ Orang Muhajirin tersebut pun berteriak: ‘Wahai orang muhajirin (tolong aku).’ Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Seruan Jahiliyyah macam apa ini?!.’ Mereka berkata: ‘Wahai Rasulullah, seorang muhajirin telah memukul pantat seorang dari kaum Anshar.’ Beliau bersabda: ‘Tinggalkan hal itu, karena hal itu adalah buruk.’ ” (HR. Al Bukhari dan yang lainnya)

Bagaimana Menyikapi Isu Rasisme?
Alhamdulillah, kita diberi anugrah Islam, walaupun berbeda-beda suku, ras dan bangsa kita semua bersaudara dan disatukan dalam agama Islam. Allah berfirman,

ﻭَﺍﺫْﻛُﺮُﻭﺍ ﻧِﻌْﻤَﺔَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ ﺇِﺫْ ﻛُﻨْﺘُﻢْ ﺃَﻋْﺪَﺍﺀً ﻓَﺄَﻟَّﻒَ ﺑَﻴْﻦَ ﻗُﻠُﻮﺑِﻜُﻢْ ﻓَﺄَﺻْﺒَﺤْﺘُﻢْ ﺑِﻨِﻌْﻤَﺘِﻪِ ﺇِﺧْﻮَﺍﻧًﺎ

“Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara.” (Ali Imran: 103)

Kampus UGM, Yogyakarta Tercinta

Penyusun: dr. Raehanul Bahraen
Artikel: Muslim.or.id

Catatan kaki:

[1] Dari Abu Hurairah, beliau berkata,

ﻗَﺎﻝَ ﺭَﺳُﻮﻝُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠّﻢَ ﻟِﺒِﻼَﻝٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟْﻐَﺪَﺍﺓِ ﻳَﺎ ﺑِﻼَﻝُ ﺣَﺪِّﺛْﻨِﻲ ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻋِﻨْﺪَﻙَ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﻣَﻨْﻔَﻌَﺔً ﻓَﺈِﻧِّﻲ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺍﻟﻠَّﻴْﻠَﺔَ ﺧَﺸْﻒَ ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﺑَﻴْﻦَ ﻳَﺪَﻱَّ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻗَﺎﻝَ ﺑِﻼَﻝٌ ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻼً ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﺃَﺭْﺟَﻰ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﻣَﻨْﻔَﻌَﺔً ﻣِﻦْ ﺃَﻧِّﻲ ﻻَ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮُ ﻃُﻬُﻮْﺭًﺍ ﺗَﺎﻣًّﺎ ﻓِﻲ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣِﻦْ ﻟَﻴْﻞٍ ﻭَﻻَ ﻧَﻬَﺎﺭٍ ﺇِﻻَّ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄُّﻬُﻮْﺭِ ﻣَﺎ ﻛَﺘَﺐَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻟِﻲْ ﺃَﻥْ ﺃُﺻَﻠِّﻲَ ‏

“Rasulullah bersabda kepada Bilal setelah menunaikan shalat subuh, ‘Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku tentang perbuatan-perbuatanmu yang paling engkau harapkan manfaatnya dalam Islam! Karena sesungguhnya tadi malam aku mendengar suara terompahmu di depanku di surga.’ Bilal radhiyallahu ‘anhu menjawab, ‘Tidak ada satu perbuatan pun yang pernah aku lakukan, yang lebih kuharapkan manfaatnya dalam Islam dibandingkan dengan (harapanku terhadap) perbuatanku yang senantiasa melakukan shalat (sunat) yang mampu aku lakukan setiap selesai bersuci (wudhu) dengan sempurna di waktu siang ataupun malam.’ (HR. Muslim).

[2] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ﻧﻌﻢ ﺍﻟﻤﺮﺀ ﺑﻼﻝ، ﻫﻮ ﺳﻴﺪ ﺍﻟﻤﺆﺫﻧﻴﻦ، ﻭﻻ ﻳﺘﺒﻌﻪ ﺇﻻ ﻣﺆﺫﻥ، ﻭﺍﻟﻤﺆﺫﻧﻮﻥ ﺃﻃﻮﻝ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺃﻋﻨﺎﻗًﺎ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ

“Iya, orang itu adalah Bilal, pemuka para muadzin dan tidaklah mengikutinya kecuali para muadzin. Para muadzin adalah orang-orang yang panjang lehernya di hari kiamat.” (HR. Thabrani)

[3] HR. Ahmad, 5: 158. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari sanad lain

[4] Lihat Tafsir Ath-Thabari

Sumber: https://muslim.or.id/29806-tidak-ada-rasisme-dalam-islam.html
Copyright © 2024 muslim.or.id

berat Pengikut Insanak Sorotan

Address

Alianyang
Singkawang

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Rahmat Hidayat posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Rahmat Hidayat:

Videos

Share