27/08/2024
"Dek, ini mi instan buat bulan sekarang, ya," kata Mas Aji sambil meletakkan kardus tersebut di atas meja.
"Ya, Mas. Rasa soto, 'kan?" tanyaku tak sempat membaca tulisan pada kardus tersebut karena sibuk mencuci piring.
"Iya, Dek. Rasa soto." Akhirnya aku menoleh, lantas tersenyum.
Aku memang sengaja memesan rasa soto karena sudah bosan dengan indomie ayam bawang bulan lalu.
"Maaf ya, Dek. Mas belum dapat kerjaan, jadi bulan ini terpaksa harus hemat lagi." Mas Aji mendekatiku, tangannya terasa hangat menyentuh bahu kiri ini.
"Nggak apa, Mas. Mi instan enak kok." Mas Aji terdiam, membuatku menoleh lagi.
"Sudah, jangan banyak pikiran. Semoga secepatnya kamu dapat pekerjaan lagi, Mas." Aku menyunggingkan senyum, Mas Aji mengikutinya lalu mendaratkan kecupan singkat di dahi ini.
"Terima kasih ya, Dek. Mas mandi dulu." Aku mengangguk, Mas Aji pun berlalu menuju kamar mandi.
Dua bulan lalu Mas Aji memang kena PHK dari tempatnya bekerja, setiap hari dia mencari lowongan sembari menarik penumpang sebagai ojek online.
Jujur saja hidup rasanya semakin sulit, tuntutan ekonomi kian mencekik. Mas Aji yang biasanya memiliki gaju satu juta lima ratus saat bekerja menjadi Office Boy di sebuah perusahaan, kini hanya mengandalkan upah harian yang didapat dari penumpang.
Kami juga tak memiliki tabungan, saat masih bekerja di perusahaan itu, Mas Aji lah yang memegang kendali tentang keuangan. Aku sendiri merasa senang-senang saja, yang penting dia tetap bertanggung jawab dengan urusan dapur juga kontrakan yang kami huni.
Mas Aji masih berada di kamar mandi, lelaki itu kalau mandi lamanya melebihi perempuan.
Sambil menunggu dia selesai membersihkan diri, kubuka kardus mi instan lalu mengambil dua bungkus dari sana. Lantas kurebus dengan sawi hijau yang sudah kupotong-potong.
Awalnya aku ingin menambahkan telur, tapi mengingat harganya yang mahal membuat niatku urung seketika.
Tak perlu menunggu lama untuk memasak indomie rasa soto itu, lima menit saja sudah tersaji di atas mangkuk. Tapi Mas Aji masih belum kunjung selesai juga.
Aku pun memilih membereskan pakaian kotor bekas Mas Aji setelah menyimpan mangkuk berisi mi instan di dekat kompor.
"Ayo mandinya, Mas. Keburu ngembang itu indomie sotonya," kataku sambil berjalan ke dekat pintu toilet, hendak memasukkan pakaian kotor pada keranjang cucian.
"Bentar lagi, Dek!" sahutnya dari dalam, membuatku menghela napas dalam, lalu melanjutkan pekerjaan.
Ponsel Mas Aji rupanya masih berada di dalam saku celana hitam yang barusan dia pakai, beruntung saja aku selalu mengecek semua saku di celana mau pun baju yang hendak dicuci.
Namun saat mengambil ponsel dari celana tersebut, sebuah kertas ikut menempel dan keluar dari sana. Keningku terasa mengernyit, apa mungkin itu sebuah struk belanja Mas Aji saat membeli satu kardus indomie?
Namun ... kurasa bukan. Saat kubalik kertas tersebut, ada sebuah tulisan atas nama Aji Gunawan. Dadaku bergemuruh menyadari secuil kertas ini adalah slip gaji.
Empat juta delapan ratus lima puluh ribu, itu total gaji yang diterima atas nama Aji Gunawan. Kucek tanggalnya, jelas sekali ini upah bulan sekarang.
Aku semakin meneguk ludah saat melihat nama PT yang memberi gaji itu masih sama dengan PT yang mempekerjakan Mas Aji dua bulan lalu.
Ya Allah, apa Mas Aji berbohong padaku? Apa dia tidak diPHK? Apa selama ini gajinya bukan satu juta lima ratus seperti apa yang dia terangkan padaku? Lantas jika iya, ke mana sisa-sisa uang yang ternyata masih lumayan itu.
Lamunanku langsung buyar saat ponsel Mas Aji bergetar. Dengan tangan gemetar aku memberanikan diri membuka ponselnya.
[Ji, kapan kirim uang? Ibu udah nggak ada simpenan. Kalau bisa lebihin ya, jangan dua juta]
Ya Allah, dadaku semakin sakit. Air mata ini langsung luruh. Jadi selama ini suamiku berbohong? Kenapa? Untuk apa? Padahal aku tak pernah melarangnya memberikan uang pada Ibu mertua.
Lalu apa dia akan selamanya begini? Akan kulihat, sampai mana Mas Aji akan terus berdusta pada istrinya ini.
Penulis : AZU RA