05/05/2021
Semarang - Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditkrimsus) Polda Jawa Tengah membongkar praktik penjualan alat rapid test antigen ilegal. Dari penjualan rapid test ilegal ini, pria berinisial SPM (34) sudah mendapat keuntungan kotor Rp 2,8 miliar.
Kasus ini mulai terungkap sejak adanya informasi peredaran alat rapid test tanpa izin edar pada Januari lalu. Berdasarkan informasi tersebut alat rapid test ini beredar di kawasan Padangsari, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang.
"Kita dapatkan informasi adanya masyarakat kita yang menggunakan rapid tes tanpa izin edar," kata Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Lutfi saat rilis kasus di Ditkrimsus Polda Jateng, Semarang, Rabu (5/5/2021).
Polisi lalu melakukan undercover buy atau berpura-pura menjadi pembeli untuk menyelidiki kasus ini. Dari situ didapati kurir yang membawa 25 boks yang masing-masing berisi 25 alat tes tanpa izin edar.
Polisi lalu melakukan undercover buy atau berpura-pura menjadi pembeli untuk menyelidiki kasus ini. Dari situ didapati kurir yang membawa 25 boks yang masing-masing berisi 25 alat tes tanpa izin edar.
Polisi kemudian melakukan penggeledahan dan penyitaan dari pengirim berinisial SPM di Jalan Perak, Kwaron, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.
"Sebanyak 450 pack kita amankan. Dia (pelaku) mencari keuntungan. TKP di wilayah Genuk Semarang," jelas Luthfi.
Tiga merek alat tes rapid antigen yang diduga tanpa izin edar tersebut adalah 'Clungene', 'Hightop', dan 'Speedchek'. Selain itu ada juga beberapa benda yang tidak memiliki izin edar seperti pulse oximeter, oximeter IP22, dan 59 pack masing-masing berisi 100 pcs stik swab.
"Kalau tidak punya izin edar jangan-jangan dipals**an. Palsu dan tidak perlu penyelidikan lebih dalam. Jangan-jangan kualifikasi kesehatan tidak memenuhi persyaratan," ujar Luthfi.
Luthfi menyebut penjualan rapid test ilegal ini berlangsung sejak Oktober 2020 hingga Februari 2021. Dalam waktu 1-2 minggu, pelaku bisa menjual 300-400 boks alat tes rapid antigen.
"Dia melakukan aksinya dengan keuntungan Rp 2,8 miliar. Dia lebih murah karena tidak punya izin edar," terangnya.
"Diedarkan di wilayah Jateng, di masyarakat umum biasa, klinik dan rumah sakit. Merugikan tatanan kesehatan," tegas Luthfi.
Dirkrimsus Polda Jateng Kombes Johanson Ronald Simamora menambahkan bahwa pelaku merupakan distributor dan sales wilayah Jawa Tengah. Dia memiliki rekanan di Jakarta sebagai kantor pusat yang mendistribusikan barang-barang itu ke area Jateng.
"Dia distributor, sales, mencari pasar. Ada pasar dia menghubungi Jakarta kemudian didistribusikan ke sini. Wilayah Jateng ada Pekalongan, Semarang dan luar daerah," jelas Johanson.
Johanson memastikan bakal menetapkan pimpinan perusahaan tempat pelaku bekerja sebagai tersangka dalam kasus ini. Terlebih penjualan alat kesehatan (alkes) ilegal ini dinilai merugikan masyarakat luas.
"Kemungkinan rencana dirut akan tetapkan jadi tersangka. Kita betul-betul concern pada masalah alkes," ujarnya.
Di kesempatan yang sama, tersangka SPM berdalih sedang mengajukan izin edar. Namun, dia mengaku nekat menjual produk tersebut karena tergiur keuntungannya.
Barang bukti alat rapid test ilegal yang diungkap Ditkrimsus Polda JatengBarang bukti alat rapid test ilegal yang diungkap Ditkrimsus Polda Jateng Foto: Angling Adhitya Purbaya/detikcom
Atas perbuatannya, SPM dijerat pasal 197 UU RI nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan sebagaimana diubah dalam pasal 60 angka 10 UU Cipta Kerja dengan ancaman 15 tahun penjara dan denda 1,5 miliar. Kemudian untuk UU perlindungan konsumen ia dijerat dengan pasal 62 ayat 1 dengan ancaman 5 tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.
Sumber:https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5559326/distributor-rapid-test-antigen-ilegal-beromzet-miliaran-di-jateng-dibongkar/2