TV Pujon

TV Pujon Bakat & Inspirasi
(1)

17/08/2024

Cek Sound Karnaval Pujon Kidul

13/08/2024

Memasuki kampung makhluk halus penghuni alas pitrang

12/08/2024


https://youtu.be/UtLNGH5P7c8
10/08/2022

https://youtu.be/UtLNGH5P7c8

DETIK DETIK LAHIR NYA MUHAMMAD SAW - DAN BANYAK KEJADIAN GAIB DILUAR AKALtag⬇️detik detik kelahiran nabi muhammad,nabi muhammad,kelahiran nabi,kelahiran nabi...

Hilangnya Sriatun..arrrggghhhh...Aku berteriak kencang, sangat kencang hingga suaraku parau.Aku berontak, mencoba mengus...
10/08/2022

Hilangnya Sriatun
..arrrggghhhh...

Aku berteriak kencang, sangat kencang hingga suaraku parau.
Aku berontak, mencoba mengusir mahluk itu sekuat tenaga.
Aku membuka mata dan terduduk.

Astaghfirullahul azim...

Astaghfirullahul azim...

Astaghfirullahul azim...

Ternyata aku masih berada di dalam kamar. Untung saja hanya mimpi buruk. Sangat buruk hingga aku sesak nafas.

Tubuhku basah karena keringat dan tanganku gemetar. Aku merasa lega, meski nafasku belum teratur.

Kutarik nafas dalam-dalam, menenangkan diri setelah mimpi buruk barusan. Mesin genset di samping rumah masih meraung. Astaga, lupa kumatikan !

Lalu, kurasa ada hawa dingin yang berhembus di punggungku. Rupanya daun jendela terbuka. Angin malam dari luar berhembus pelan, namun cukup membuat kelambu kami bergoyang. Mungkin terbuka sendiri, atau istriku yang membukanya.

Berniat bertanya, aku menoleh ke samping. Namun, istriku tidak ada di tempat tidur kami.

Kupanggil istriku, mungkin di kamar mandi, tapi tak ada jawaban. Kupanggil lagi, tetap tak ada jawaban dari istriku.

Pikiran buruk mulai menghantuiku. Aku bergegas bangkit, menyibakan kelambu dan keluar kamar sambil terus memanggil-manggil istriku.

Begitu keluar kamar, kulihat pintu depan terbuka. Aku semakin panik. Aku segera berlari ke dapur dan kamar mandi, ternyata istriku tak ada di situ.

Aku berhamburan lari ke teras depan, memanggil-manggil istriku.

"Dik...! Dik Sri..!"

"Sayang..! Kamu dimana !?"

Tetap tak ada jawaban. Hanya ada sahutan dari burung hantu dan serangga malam.

Pikiranku semakin tak karuan. Segera kugedor pintu rumah pak Kasno.

"Pak Kasno..! Pak Kasno..!"

Aku terus menggedor pintu sambil memanggil nama pak Kasno dengan berteriak. Tak ada jawaban. Sepertinya pak Kasno tertidur pulas. Aku semakin panik. Pintu rumah Pak Kasno kugedor lebih kencang.

"Iya mas Bimo..." jawab pak Kasno pelan.

Terdengar langkah kaki menuju pintu. Pintu terbuka, pak Kasno menyambutku dengan wajah kusut dan setengah mengantuk.

"Ada apa mas ?" tanya pak Kasno setengah sadar.

"Istriku pak...istriku..."

"Kenapa istriku jenengan ?" tanya pak Kasno sambil mengucek mata.

"Istriku pak, hilang !"

"Hah !?" pak Kasno tak percaya, "sudah dicari di dapur atau kamar mandi ?"

"Sudah pak !"

"Tunggu sebentar, aku ganti pakaian."

Tumben, pak Kasno cepat tanggap kali ini. Dengan panik pak Kasno bergegas ke dalam rumah, lalu kembali lagi dengan dua buah senter di tangan. Satu senter ia serahkan padaku.

Setelah mengunci pintu, kami berdua segera turun meniti tangga teras. Mesin genset yang masih menyala tidak kami pedulikan.

Kami berdua kemudian mencari istriku di sekitar rumah dinas, namun nihil. Kami mengitari rumah dinas sebanyak tiga kali, sambil terus memanggil namanya. Tetap tak ada jawaban, jejak keberadaanya pun tak kami temukan.

Tak hanya aku, pak Kasno pun terlihat semakin cemas dan khawatir.

"Kita cari di sekitar sekolah." ujar pak Kasno tegang lalu berjalan di depan. Langkahnya semakin tegap karena luka di kakinya semakin membaik.

Kami terus berjalan hingga akhirnya tiba di gedung sekolah.
Aku merasa ngeri ketika kaki kami melangkah di selasar kelas. Ruang kelas terlihat angker saat di malam hari. Hembusan angin malam yang menusuk tulang, membuat suasana semakin mencekam.

Aku dan pak Kasno terus berteriak sambil mengitari sekolah, memanggil-manggil nama istriku.

"Sayang...!!! Kamu dimana dik?"

"Mbak Sri...! Mbak Sri...!!!"

Suara kami menggema di antara gedung sekolah, tidak ada jawaban. Hanya suara semilir angin yang bertiup menggoyanglan dedaunan.

Dua bulatan cahaya senter mengarah ke dinding kelas, halaman dan juga pepohonan di sekitar sekolah. Usaha kami tidak membuahkan hasil. Kami terus melangkah menyusuri tiap pojok sekolah, terus memanggil istriku.

Bulu kudukku merinding, saat sorotan senter mengarah pada salah satu ruang kelas. Langkahku terhenti, karena samar-samar kulihat ada anak kecil perempuan dengan seragam SD memperhatikan kami. Bocah itu hanya mematung, menatap dari balik jendela dengan wajah pucat dan mata hitam bulat sempurna.

"Jangan melamun !" pak Kasno menepuk pundakku, "ayo, terus jalan !"

Kami kembali melakukan pencarian, berteriak di tengah malam buta. Suara binatang malam menemani pencarian kami. Pohon-pohon bergoyang tertiup angin, menimbulkan suara gemerisik daun yang menciutkan nyali.

Aku tidak tenang memikirkan dimana istriku. Rasa bersalah dan sesal menghantui pikiranku.

"Dik....pulang dik !" panggilku lemah. Suaraku parau dan mulai putus asa.

20 menit berlalu, pencarian kami belum membuahkan hasil. Aku semakin khawatir akan nasib istriku.

Tanpa terasa, air mataku mengalir. Aku menangis, aku menyesal. Seharusnya kuantarkan saja ia pulang saat masih ada kesempatan. Bodoh ! Aku lelaki bodoh ! Aku lebih takut kehilangan pekerjaan dari pada kehilangan istri.

Entah dimana istriku, mungkin saja ia sembunyi ketakutan di tengah hutan. Mungkin saja ia sedang di kejar binatang buas. Bisa saja ia tengah diburu mahluk dalam mimpiku, atau mimpi ibuku.

Tidak, istriku baik-baik saja ! Ia pasti tengah menungguku di suatu tempat di sekitar sini.

Kami terus melangkah hingga pencarian kami sampai pada belukar yang membatasi halaman sekolah dan hutan rimba.
Kami menyusuri rimbun semak, berharap istriku ada di situ.

Teriakanku dan pak Kasno saling bergantian memanggil nama istriku. Pak Kasno melangkah di depan, dan jaraknya menjauh. Hanya bulatan cahaya senter yang menandakan ia berada di sekitar sini.

Aku melangkah hati-hati, takut ada ular atau semak berduri. Keadaan sangat gelap, tidak ada yang terlihat kecuali yang tersorot bulatan cahaya senter.

Aku terus berjalan menyusul pak Kasno, sambil mataku mengikuti bulatan cahaya senter. Cahaya senter kuarahkan ke kanan kiri, menyoroti rimbun semak, pepohonan, gedung sekolah dan rumput liar di depan.

Aku berhenti melangkah, ketika cahaya senter menyorot sepasang kaki mungil tanpa alas kaki, dua meter di depanku. Kaki mungil itu terlihat pucat, berwarna sangat putih, berpijak di atas rumput basah.

Perlahan kuarahkan senter ke atas, menyorot bagian atas tubuhnya. Aku tersentak, mundur dua langkah. Jantungku berdetak kencang dan bulu kudukku merinding.

"Astaghfirullahul azim...!" Suaraku bergetar ketakutan setengah mati.

Tepat di depanku, berdiri gadis kecil tadi. Gadis kecil berseragam SD, dengan wajah pucat dan mata hitam bulat sempurna.

Nalarku mengatakan ia bukanlah manusia. Tak mungkin ada gadis kecil tersesat di tengah malam seperti ini.

"A-A...Allahu laa ilaaha illaa Huwa..."

Doaku terputus. Aku tak mampu mengingatnya. Tubuhku semakin gemetaran.

"Allahu laa ilaaha illaa Huwal Hayyul Qo...Qo..."

Tak mampu lagi kulanjutkan. Pikiranku buntu karena takut.

Gadis itu hanya diam saja, tak bergerak, menatapku dengan sorot mata yang mengerikan.

Darahku berdesir deras dan jantungku rasanya mau copot.

Gadis itu mengangkat tangan kanannya, menunjuk ke arah semak yang berjarak beberapa meter dari tempatnya berdiri.

Tak ingin celaka, kuturuti kemauannya. Dengan rasa takut, kusorotkan cahaya senter ke arah yang ditunjuk gadis itu. Ternyata ada sandal istriku. Aku menoleh lagi, gadis kecil itu telah lenyap .

Dengan rasa was-was, aku segera berlari kecil ke arah sandal istriku tergeletak. Bukan hanya sandalnya yang kutemukan, tapi juga potongan kain pakaian tidurnya.

Robekan kain itu tersangkut di semak berduri. Robekan warna krem bermotif bunga.

Lalu, sebuah benda lagi kutemukan. Segera kuraih benda itu, sebuah benda yang membuat darahku mendidih.

"Pak Kasno...! Pak Kasno...!"

Aku berteriak memanggil nama pak Kasno. Dari kejauhan, cahaya senter pak Kasno mendekat.

"Sudah ketemu ? " tanya pak Kasno begitu sudah berdiri di hadapanku. Nafasnya masih tak teratur.

"Lihat ini pak !" Kuarahkan sorotan senter ke sandal istriku dan juga potongan kain yang tersangkut di belukar.

"Mungkin ibu Sri berlari ke arah situ." kata pak Kasno sambil menunjuk hutan di balik belukar.

"Bukan pak," kataku pelan," aku yakin istriku diculik."

"Diculik ? Tahu dari mana? " tanya pak Kasno bingung.

"Lihat pak !"

Kutunjukan benda yang kutemukan di dekat sandal istriku. Pak Kasno tampak terkejut melihat benda di tanganku.

"Pak sekdes !? " ujar pak Kasno ragu.

Aku mengangguk.

"Tidak salah lagi pak," kataku pelan, sambil menggenggam gelang taring beruang milik pak sekdes dengan amarah.

Bersambung…

Wajah di Balik JendelaMatahari sudah tenggelam sempurna saat kami tiba di halaman rumah dinas. Mesin genset meraung dan ...
08/08/2022

Wajah di Balik Jendela

Matahari sudah tenggelam sempurna saat kami tiba di halaman rumah dinas. Mesin genset meraung dan lampu-lampu di teras sudah menyala.

Melihat kami, anjing pak Tingen langsung menyalak. Istriku yang takut anjing, merapatkan tubuh di belakangku, meski anjing itu terikat dengan rantai.

Pak Tingen bergegas keluar dari rumahnya dengan Mandau di tangan. Dilihatnya kami, pak Tingen langsung membentak anjingnya. Anjing itu kembali diam dan meringkuk di tempat.

Setelah mengembalikan Mandau ke dalam rumah, pak Tingen menghampiri kami yang kini sudah di depan anak tangga.

"Kenapa ? " tanya pak Tingen keheranan melihat kaki pak Kasno yang berbalut perban.

"Digigit Tapah." jawab pak Kasno menahan sakit.

"Ha...ha...ha..."

Pak Tingen terbahak dan pak Kasno merengut.

"Nanti kuobati. " ujar pak Tingen sambil menepuk-nepuk pundak pak Kasno.

"Anak-anak gak masuk sekolah. Sepertinya mereka meliburkan diri. Pak Ancah juga langsung pulang. Nanti kuhubungi orang tua anak-anak, agar mereka tak usah khawatir."

Pak Tingen kemudian menoleh ke arah istriku.

" Bu Sri gak apa-apa?"

Istriku mengangguk lalu tersenyum.

"Alhamdulillah, sehat pak." jawab istriku.

Mendengar jawaban istriku, pak Tingen tersenyum senang. Ditepuknya sekali lagi pundak pak Kasno, seakan memiliki makna tertentu. Setelah itu, pak Tingen membantu membawa barang kami ke dalam rumah.

***

Baru saja aku dan istri mengucapkan salam penutup sholat magrib, kami dikejutkan dengan suara gaduh dari rumah pak Kasno.

Suara gaduh kemudian berganti dengan suara jeritan kesakitan. Aku dan istri saling pandang.

"Pak Kasno !?" kata istriku.

Tanpa sempat berdoa dan berdzikir, aku dan istri berhamburan menuju rumah pak Kasno. Mukena yang dikenakan istriku membuatnya kesulitan berlari. Ia tiba belakangam saat aku sudah mencapai pintu rumah pak Kasno.

Di ruang tamu, terlihat pak Kasno sedang merintih sambil memegang kaki kirinya. Matanya sampai berair karena menahan sakit.

Di sebelahnya, pak Tingen tengah mengolesi jari-jari kaki pak Kasno yang terluka dan membengkak dengan minyak berwarna bening kehitaman, seperti minyak jelantah. Minyak itu disimpan dalam sebuah botol kaca kecil. Di dalam botol itu juga terdapat beberapa jarum kecil serta butir-butir emas.

Melihat kami berhamburan di depan pintu, pak Tingen langsung menyambut kami dengan senyum lebar.

"Lihat ini, kepala sekolah andalan kita. Kelamaan jauh dari bini, ha...ha..ha..." Pak Tingen terbahak sambil mengurut kaki pak Kasno.

Aku dan istri hanya geleng-geleng melihat kelakuan dua orang senior ini. Setelah memastikan pak Kasno baik-baik saja, kami kembali ke rumah.

***

Setelah sholat isya, terdengar suara obrolan pak Kasno dan pak Tingen di deras depan. Aku segera menghampiri mereka, disusul istriku kemudian.

Rupanya, pak Tingen tengah siap-siap pergi. Ia memanggul tas rotan, Mandau di pinggang, serta sumpit di tangan. Anjing pak Tingen dengan setia berdiri di sampingnya, sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan ekor.

"Mau kemana pak, malam-malam begini ?" tanyaku pada pak Tingen.

"Mau pulang." jawab pak Tingen ringan. Ia kemudian menatap wajah istriku.

"Bu Sri sebaiknya hati-hati. Ingat pesanku, jangan pernah keluar dari kelambu saat malam."

Meskipun tak paham maksud Pak Tingen, istriku hanya mengangguk.

Pak Tingen kemudian pamit. Ia segera meniti tangga teras, lalu melangkah melewati ruang guru dan menghilang di balik gedung sekolah, bersama anjing menelusuri gelap malam.

"Huuh...!" seru pak Kasno, "hanya orang bodoh yang percaya kalau dia pulang malam-malam begini "

"Maksud bapak ?" Aku tidak mengerti dengan yang dikatakan pak Kasno.

"Apa kamu gak melihat, dia itu mau berburu." jawab pak Kasno tegas.

"Biasanya, pak Tingen selalu bilang kalau mau berburu. Entah kenapa malam ini ia berbohong ? Pasti ada yang ditutupi."

Aku dan istri memandang ke arah pak Kasno. Namun beliau tidak menghiraukan kami, memandang lurus ke arah pak Tingen menghilang dengan raut wajah gelisah.

Pak Kasno kemudian menoleh ke arahku dan istri.

"Pak Bimo, nanti jenengan ya yang matikan genset. Saya mau istirahat dulu."

Aku mengangguk.

"Inggih pak." jawabku pelan.

Pak Kasno kembali ke rumahnya, berjalan pelan dengan luka yang mulai sembuh.

Aku dan istri lantas kembali ke rumah dinas kami, memasang kelambu di dalam kamar, lalu rebahan.

Kuraih handphoneku, waktu baru menunjukkan pukul 19.30. Artinya masih ada 1,5 jam lagi sebelum genset dimatikan.

"Mas..."ujar istri sambil bergelayut manja di dadaku.

"Hmm..."

"Tadi aku telponan sama ibu, waktu mas sholat jumat."

"Ya...terus ?"

"Katanya, ibu mimpi buruk."

"Mimpi buruk ? Mimpi buruk gimana ?" Kubenarkan posisi rebah, lalu kutatap mata istriku yang terlihat tegang.

"Kata ibu, mimpinya sangat mengerikan, sampai ibu gak bisa bedain mana yang mimpi, mana yang nyata." jawab istriku tak tenang.

"Memangnya mimpi apa sih? " tanyaku semakin penasaran.

Masih rebah di dadaku, istriku menarik nafas panjang. Nada suaranya terdengar khawatir.

"Kata ibu, ia melihat ada dua mahluk mengerikan yang mengawasi kita. Setiap malam, dua mahluk itu mengamati kita diam-diam di antara celah pepohonan. Mengitari rumah dinas kita sembunyi-sembunyi, menunggu kita lengah."

Suara istriku terdengar semakin ketakutan, dan aku mulai takut.

"Ma-mahluk apa yang dilihat ibu ?" Aku berusaha tetap tenang, menyembunyikan rasa takut yang kini menjangkitiku

"Kata ibu tidak jelas. Ia hanya melihat cahaya bola api, namun samar-samar seperti kepala manusia. Hiiihh mas... Aku semakin takut lama-lama di sini. Tapi..."

"Tapi apa ?"

"Kita tidak boleh pergi dari desa, karena kelotok yang kita tumpangi terbalik di tengah sungai."

Tiba-tiba aku merasa ngeri dan buluk kudukku mulai merinding. Bisa saja, kecelakaan di sungai tadi pagi ada hubungannya dengan mimpi ibu.

Aku menghela nafas, menatap langit-langit kamar di balik kelambu.

"Sudahlah, jangan terlalu dipikir. Mungkin hanya bunga tidur ibu saja. Bulan depan, kamu akan kuantar ke Jawa."

Mata istriku nanar, ia kemudian mengangguk. Kubelai rambutnya yang halus, hingga hembusan angin dingin yang masuk melalui celah-celah jendela membuat kami tertidur.

Dari luar, suara burung hantu dan binatang malam terdengar bersahutan dari hutan.

***
..duaag...

Aku tersentak, ketika ada suara benturan yang membuatku kaget. Kulihat jendela bergetar, rupanya asal suara berasal dari situ.

Mungkin pak Kasno atau tambi Nyai, batinku. Kuraih handphone, sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di sebelah, istriku tertidur lelap. Tubuhnya menekuk menahan dingin.

Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku lupa mematikan genset. Aku bangkit dari tempat tidur, dan segera keluar dari kelambu. Baru saja hendak melangkah keluar kamar, kembali terdengar suara benturan di jendela.
..duuaag...

Aku kaget sampai terlompat, lalu mengelus dada. Namun, benturan kali ini lebih keras tapi teratur.
..duaag...duaag...

Dengan kesal aku melangkah ke arah jendela, lalu kubuka.

Wuussshhh...

Angin kencang segera menerpa wajahku. Aku sampai menutup mata dan agak memiringkan kepala, karena hembusannya begitu kencang.

Setelah hembusan angin berkurang, aku kembali menoleh ke arah luar jendela.

Ternyata, di depan jendela sudah ada seorang perempuan dengan wajah lebar. Kulitnya sangat putih seperti dilapisi tepung. Rambutnya terurai acak-acakan. Aku lupa dimana pernah melihatnya, namun wajahnya seperti tak asing.

Perempuan itu hanya menyeringai, sambil terus membenturkan dahinya ke teralis. Mungkin karena tubuhnya pendek, aku hanya bisa melihatnya wajahnya hingga sebatas dagu. Lalu, terdengar seperti suara tetes air di balik jendela.
..tik...tik...

Seperti suara air yang menetes dari kran. Tanpa curiga, aku segera melangkah keluar rumah, hendak mengusir wanita aneh itu.

Begitu menginjakkan kaki di teras, langkahku terhenti. Tubuhku mati rasa dan tak bisa digerakkan.
Wanita tadi terus membentur-benturkan dahinya di teralis jendela. Dan yang mengerikan, dia tak punya badan.

Nyaliku langsung ciut. Darahku berdesir deras dan jantungku berdetak kencang. Tubuhku terasa dingin bagai disiram es.

Hanya ada kepala dan organ dalam. Jantungnya berdetak mengeluarkan cahaya api kuning kemerahan. Dan suara tetes tadi, adalah tetesan darah yang berasal dari organ tubuhnya.

Lututku seketika lemas dan kaku, ketika kepala itu perlahan menoleh kearahku. Sorot matanya tajam, berwarna putih bagai tulang. Dan ia mulai tersenyum lebar. Dua taring panjang perlahan tumbuh di celah bibirnya.
.grrrrrrhhh...

Mahluk itu mengeluarkan suara seperti anjing yang marah.
..braak...

Tubuhku tersungkur di depan pintu, mahluk itu melayang mendekat, meninggalkan jejak tetes darah putus-putus.

Aku berteriak, namun suaraku tak bisa keluar. Kerongkonganku tercekat dan terasa sakit. Sangat sakit bagai tercucuk duri.

Suara burung hantu di belakang rumah semakin kencang, sahut menyahut dengan suara gemirisik daun yang tertiup angin.

Kupaksakan merangkak, berusaha meraih pintu. Pahaku terasa sakit, otot-ototnya tertarik karena kram yang menyerang tiba-tiba.

Baru separo badan melewati pintu, semua terlambat. Mahluk itu sudah melayang tepat di atas kepalaku. Tetesan darahnya mengotori bajuku.

Aku tak berkutik, tak berdaya. Kubalikkan badan, aku dan mahluk itu kembali bertartap mata.Mahluk itu membuka mulutnya sangat lebar, memperlihatkan taringnya yang tajam.

Lidahnya menjulur bagai lidah anjing, meneteskan lendir bercampur darah kental.

Darah yang keluar dari mulut dan organ tubuhnya menetes di wajahku, bagai tetes air hujan. Aku terkulai tak berdaya, nafasku terasa sesak dan tubuhku semakin dingin.

Kepala itu kemudian melayang tinggi hingga menyentuh langit-langit rumah. Matanya yang mengerikan tak pernah lepas menatapku. Organ dalamnya bergoyang ke kiri dan ke kanan, dengan jantung yang terus berdetak.

Lalu, kurasakan angin kencang menerpa wajahku. Rupanya, mahluk itu bersiap menyerang. Kusilangkan tangan menutup wajah, angin yang menerpa semakin kencang.
..wusshh....

Aku menutup mata. Dengan cepat, mahluk itu menerjang leherku. Aku menjerit sejadinya di tengah gelap malam, diiringi suara burung hantu dan binatang malam.

bersambung...

https://youtu.be/CLFMMf1KM7M
01/08/2022

https://youtu.be/CLFMMf1KM7M

Surat Al- khafi ayat 1 - 10 || penerjemahannya || merdu dan enak didengartag ⬇️bacaan alquran pengantar tidur,alquran pengantar tidur,surat pengantar tidur,a...

https://youtu.be/Pgk5YV9n3yk
31/07/2022

https://youtu.be/Pgk5YV9n3yk

Ayat suci Al Quran membuat hati tenang dan mengusir jin dalam tubuhtag⬇️quran recitation,baby sleep quran,calm quran recitation for babies,baby sleep alquran...

Bocah Bergelang Kaki HitamMalam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangun...
23/07/2022

Bocah Bergelang Kaki Hitam

Malam berganti pagi. Suara burung dan monyet saling bersahutan dari arah hutan untuk membangunkan para penghuni desa.

Aku dan istri telah siap dengan pakaian putih hitam, seperti pakaian mahasiswa calon guru saat PPL di sekolah. Hari ini pak Kasno akan mengenalkan kami pada guru lainnys dan juga murid-murid. Dan kami telah melupakan perihal perilaku aneh tambi Nyai tadi malam. Lebih tepatnya, pura-pura melupakan.

Matahari belum tinggi, dan embun berlapis kabut membasahi dedaunan dan rerumputan.

Kami bertiga menuju sekolah yang hanya beberapa langkah dari rumah dinas kami.
Aku mengedarkan pandang menatap bangunan sekolah ini. Sebagian kelas tampak kosong dan terkunci. Sarang laba-laba dan debu menghiasi tiap sudutnya. Plafon banyak yang terkelupas dan menjuntai di langit-langit. Bekas rembesan hujan bagaikan peta benua yang tersebar dimana-mana. Dindingnya juga banyak yang berlubang termakan usia.

Di ruang guru, ternyata sudah ada pak Ancah dan seorang lelaki paruh baya tengah mengobrol. Kopi panas yang masih mengepul tersaji di meja di depan mereka. Masing-masing jari tangan mereka mengapit sebatang rokok, sedangkan piring kaca kecil mereja jadikan a***k. Dan sesekali mereka tertawa.

Melihat kami bertiga datang, mereka lantas berhenti mengobrol.

Pak Kasno kemudian segera memperkenalkan kami pada mereka berdua. Mengetahui ada guru baru, wajah pak Ancah langsung berbinar bahagia.

Aku dan istri lalu menyalami mereka berdua dan menyebut nama masing-masing.

"Bimo Santoso pak. Guru Olahraga"

"Sriatunisa pak. Guru Bahasa Inggris."

"Mantap, mantap. Semoga betah. Sekolah kita memang butuh guru baru." ujar pak Ancah sambil menyambut tangan kami. Senyum di bibirnya begitu lebar, memamerkan barisan giginya yang putih.

Sedangkan lelaki di sampingnya, namanya pak Sahen. Dia bertugas sehari-hari untuk merawat serta menjaga sekolah ini. Ternyata, pak Sahen adalah laki-laki yang kami temui kemarin saat pertama kali tiba di sini.

Pak Sahen meminta maaf atas prilakunya kemarin, tapi kami sudah melupakan dan menganggap hal biasa.

Ada satu orang guru lagi yang belum kami jumpai, yaitu pak Tingen. Jadwalnya untuk mengajar tiap hari jumat, artinya esok hari.

Sementara itu, anak-anak tanpa sepatu dan berseragam putih merah kumal sudah berdatangan ke sekolah. Baju-baju mereka sudah menguning dan tidak bersetrika.

Diantara mereka, hanya beberapa orang saja yang memakai tas. Sedangkan lainnya menggunakan kantong kresek untuk wadah menyimpan buku, pensil dan polpen.

Anak-anak polos itu berlarian di halaman, saling kejar.
Sebagian lagi asyik bermain dengan kelompoknya.

Tepat pukul tujuh, pak Kasno meminta pak Sahen untuk memukul lonceng panjang.
..teng..teng..teng...

Murid yang hanya 7 orang itu segera berkumpul di depan ruang guru. Mereka berbaris berjejer. Anak-anak itu masih bercanda dan tertawa. Beberapa masih saling dorong dan bertengkar.

Keributan anak-anak langsung hilang ketika pak Kasno berdiri di depan.

"Anak anak...hari ini kita ada guru baru."

"Horeee....!!!" Anak-anak yang masih polos itu terlihat gembira. Tangan mereka menari-nari udara, ada juga yang melompat-lompat kegirangan.

Melihat tingkah anak-anak tersebut, aku dan istri langsung tersenyum simpul. Di tengah pelosok belantara seperti ini, ada anak-anak negeri yang berjuang meraih cita-cita dengan kondisi serba terbatas.

Pak Kasno meminta kami maju kedepan untuk memperkenalkan diri. Anak-anak menyambut antusias saat kami menyebut nama masing-masing. Istriku disebut ibu cantik oleh anak-anak tersebut. Istriku tersipu malu karena godaan anak-anak itu.

Bocah-bocah itu segera memberondongi kami dengan berbagai pertanyaan lugu khas anak-anak.

Usai perkenalan, anak-anak kemudian bubar menuju kelas masing-masing.
Pak Kasno langsung meminta kami untuk mengajar. Istriku mengajar kelas 3, sedangkan aku mengajar kelas 5.

"Udah gak apa-apa. Di sini di desa, gak kayak di kota. Yang penting anak-anak ada gurunya. Nanti kubuatkan jadwal ngajar yang baru."ucap pak Kasno.

Beberapa menit berlalu, kini aku sudah di lapangan sekolah. Tanpa baju olahraga, anak-anak segera kubariskan berjejer. Mereka adalah 2 perempuan dan 2 laki-laki.
Rencananya aku akan mengajak anak-anak melakukan beberapa permainan tanpa alat.

Saat memperkenalkan diri masing-masing, ada satu kesamaan pada anak-anak itu. Di kaki kanan mereka melingkar gelang hitam dari jalinan akar kayu, dirajut
rapi dengan benang hitam yang seperti rambut.

"Itu gelang apa? " tanyaku pada salah seorang anak laki-laki yang bernama Diwak.

"Ini basal pak. Jimat dari akar ulin. Supaya kami gak diganggu roh jahat. Dulu...anak-anak di kampung ini banyak yang mati. Soalnya ada..."

"Diwak, jangan diomongin. Nanti dia dengar " seorang gadis kecil di sebelahnya setengah berbisik.

Diwak terdiam, lalu menundukan kepala seolah menyadari kesalahanya. Mukanya merengut dan matanya berkaca-kaca. Cengeng juga bocah ini, batinku.

Aku segera mendekat dan memegang pundaknya dalam posisi jongkok.

"Sudah gak apa-apa." ucapku sambil mengusap kepala Diwak.

"Jimatnya dapat dari mana? "

"Dikasih ibu. Katanya dikasih pak Tingen."

"Iya, saya juga dapat." Jawab bocah lelaki lainnya.

"Pak.." gadis kecil tadi bicara terbata. Ia merapatkan tubuhnya dan berlindung di belakangku. Anak-anak yang lain juga segera mengikuti.

"Itu, disana" lanjut gadis kecil tadi. Ia menunjuk arah dengan dongakan kepala.

Aku berdiri lalu mengikuti arah pandangannya. Tapi tidak ada siapa-siapa di sudut lapangan.

" Dimana?"

" Itu di sana pak. Di atas pohon."

Setelah mencari kesana kemari, akhirnya pandanganku fokus pada salah satu pohon di dekat perpus dan wc siswa.

Benar juga, ada wajah nenek-nenek muncul di antara rimbun dedaunan. Wajahnya hanya cengengesan. Karena jarak yang cukup jauh, aku tidak bisa memastikan wajah siapa itu.

Apakah tambi Nyai? Tapi sepertinya tidak mungkin. Dia berjalan saja harus ditopang tongkat, apalagi memanjat pohon.

Nenek itu hanya diam mengawasi, lalu kembali terkekeh tanpa suara.

Tapi, dimana badannya? Apa yang dilakukannya di atas pohon?

Setelah beberapa saat, wajah itu kemudian masuk kedalam dedaunan. Ranting pohon tempatnya bersembunyi tampak bergoyang-goyang.

"Benarkan pak. Dia mendengar omongan kita." ujar gadis kecil tadi ketakutan.

Aku memandang wajah mereka. Mereka menunduk dengan tubuh gemetaran. Mereka hanya diam tanpa suara sambil terus merapatkan badan di kakiku.

Guna menghilangkan rasa penasaran, aku melangkahkan kaki menuju pohon itu. Anak-anak kusuruh diam menunggu.

Namun, baru beberapa langkah,...
...arrrggghhh....

Terdengar suara jeritan dari dalam kelas istriku. Dua orang anak berhamburan dari kelas sambil menangis ketakutan. Mereka lari terbiri ke ruang guru. Tidak lama, istriku menyusul mereka di belakang.

Aku segera berlari menghampiri istriku. Empat orang anak yang tadi bersamaku juga terlari terbirit-birit ke ruang guru.

"Ada apa? Dimana Mayang? "tanya Pak Kasno.
Belum sempat istriku menjawab, terdengar suara cekikikan dari ruang kelas.

Suara cekikikan itu melengking, terasa menyayat hati yang mendengar.

"Pak Sahen, jaga anak-anak dan bu Sri. Yang lain ikut aku !"

Kami bertiga bergegas menuju ruang kelas tiga. Begitu sampai pintu, suara cekikikan tadi langsung hilang. Murid yang bernama Mayang juga tidak terlihat.

Beberapa murid laki-laki juga ternyata mengikuti kami. Namanya anak kecil, pasti susah diatur. Pak Sahen terlihat kewalahan mengejar mereka, meninggalkan istriku dan murid lainnya di ruang guru.

Masih di depan pintu, kami mengedarkan pandangan ke dalam kelas, namun tidak ada siapa-siapa di situ. Hanya ada tumpukan kursi dan meja yang berhamburan.

Beberapa saat kemudian, terdengar suara cekikikan.

"Di situ!" tunjuk pak Ancah.

Di salah satu sudut ruangan, ada sepasang kaki yang menjuntai dari atas plafon. Kaki itu bergoyang-goyang dengan tenang bagaikan ranting yang ditiup angin.
..bersambung...

Ancaman di SekolahEntah bagaimana caranya Mayang bisa di situ. Kaki mungilnya menjuntai-juntai dari plafon, sedangkan se...
23/07/2022

Ancaman di Sekolah

Entah bagaimana caranya Mayang bisa di situ. Kaki mungilnya menjuntai-juntai dari plafon, sedangkan separuh badannya berada di dalam dan tidak terlihat.

Kaki itu terus bergoyang diiringi suara cekikikan. Buluk kudukku merinding seperti ada orang yang memegang bagian tengkuk.

"Pak Sahen, ambil tangga !" perintah pak Kasno.

Pak Sahen bergegas pergi ke salah satu ruang di samping ruang guru. Kami segera masuk ke dalam kelas secara perlahan. Pak Ancah menyuruh anak-anak kecil itu pergi ke ruang guru, tapi mereka tidak menurut. Pak Ancah menyerah dan membiarkan saja bocah-bocah itu mengikuti kami. Sepertinya anak-anak ini tidak memiliki rasa takut.

"Mayang...ngapain di atas nak? Ayo turun ." Pak Kasno membujuk gadis malang itu agar segera turun dari plafon.

Bukannya menurut, Mayang justru menarik kedua kakinya hingga masuk sempurna ke dalam plafon. Tertawanya tidak juga berhenti.

Kami bertiga dan anak-anak lantas menuju ke bawah plafon tempat menghilangnya Mayang. Sebuah lubang seukuran anak kecil menganga lebar di plafon tersebut, dengan bentuk tidak beraturan.

Di dalam lubang itu, hanya ada gelap tanpa cahaya. Suara cekikikan terdengar seperti gema dari dalam lubang plafon.
Kami memanggil-manggil nama Mayang, berharap ia segera keluar dari persembunyian. Mayang tetap tidak merespon panggilan kami.

Kemudian, suara tawa Mayang berhenti. Sesaat berlalu, terdengar suara ribut di pojok plafon lainnya.
..dug..dug..dug...

Kami bergegas ke bawah plafon itu. Kami memanggil-manggil namanya, namun Mayang tidak peduli. Suara ribut masih saja terjadi dan selalu berpindah-pindah. Seperti suara kucing mengejar tikus.

Bagaimana mungkin plafon tipis itu mampu menopang tubuh Mayang ? tanyaku dalam hati.

Hingga pada salah satu sudut, suara ribut itu kemudian menghilang dan berganti hening. 15 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda Mayang di atas plafon. Kami terus memanggil-manggil namanya tapi tidak ada sahutan.

Pak Kasno mulai cemas, pak Sahen belum juga kembali membawa tangga.
..aaarrrggghhhh...

Tiba-tiba seorang anak menjerit histeris. Teriakannya membuat kami semua kaget. Tubuhku hampir saja bertubrukan dengan pak Ancah.
Anak itu kemudian berlari terbirit ke ruang guru sambil menangis. Kawannya yang lain juga menyusul. Melihat anak-anak pada ketakutan, pak Ancah segera berlari mengejar mereka.

"Dasar bandel, dibilangin gak usah ikut." gerutu Pak Kasno.

"Itu di sana." lanjut pak Kasno menunjuk dengan gerakan kepala.

"Astagfirullahul azim.." ucap ku kaget. Jantungku rasanya hampir copot. Pantas saja anak-anak pada lari ketakutan. Di lubang yang tadi, Mayang menjulurkan kepalanya dari dalam plafon. Rambutnya yang panjang terurai ke bawah.
Kedua matanya menjadi hitam sempurna, kontras dengan kulitnya yang putih pucat.

Wajahnya penuh darah segar belepotan, darah itu menetes ke lantai. Dan di mulutnya, ia menggigit seekor tikus sebesar pergelangan orang dewasa.

Dalam posisi terbalik, Mayang mengunyah mahluk kecil itu hingga ususnya keluar. Usus itu ia seruput hingga kepala dan ekornya masuk semua ke dalam mulutnya.

Demi melihat itu, perutku rasanya seperti dikocok-kocok dan asam lambungku tiba-tiba naik.

Tidak sanggup menahan mual, aku lari ke luar kelas. Sambil berpegangan pada salah satu tiang, aku mengambil posisi jongkok dan mengeluarkan apa saja dari dalam perut.

Aku tidak peduli baju putihku kotor kena cipratan muntah. Aku sungguh tidak kuat.

Tidak berapa lama, pak Sahen datang membawa tangga lipat dan langsung masuk ke dalam kelas. Nafasnya terengah-engah karena tangga itu lumayan berat.

Setelah merasa agak nyaman, aku kembali menyusul ke dalam kelas. Rupanya, pak Kasno dan pak Sahen sedang berdiskusi,siapa kira-kira yang akan menjemput Mayang.

Di plafon itu, Mayang menggoyangkan kepalanya ke kiri dan ke kanan seperti bandulan jam. Mayang tertawa terkekeh seolah mengejek kami yang tidak berani mendekat. Suaranya cekikikan melengking tanpa henti.
Bulu kudukku merinding dan nafasku tidak teratur.

Sesekali Mayang menarik kepalanya, lalu menjulurkan lagi dengan suara cekikikan yang mengerikan.

Pak Kasno dan pak Sahen kemudian menoleh ke arahku. Celaka ! mereka pasti menyuruhku untuk menjemput Mayang.

"Mas Bimo, jenengan aja yang jemput Mayang. Jenengan masih muda, tenaganya masih kuat." bujuk pak Kasno.

Sialan ! Batinku. Harusnya tadi aku kabur saja ke ruang guru. Tapi sekarang aku tidak bisa membantah. Bagaimanapun juga, pak Kasno adalah pimpinanku.

Dengan berat hati, aku mengiyakan permintaan pak Kasno.

Walaupun sama-sama takut, kami bertiga nekat menggeser tangga ke posisi tepat dimana Mayang berada.

Belum sampai ke tempatnya, Mayang sudah kembali menghilang di balik plafon. Suara tawanya masih terdengar, kemudian,...
..breeeng....

Terdengar suara atap seng hancur. Kami bertiga lansung kaget. Pak Sahen melompat dan tangannya reflek mengeluarkan gerakan silat. Di luar, istriku menjerit histeris. Kami segera berhambur ke luar kelas. Dari ruang guru, istriku menunjuk keatas atap salah satu kelas dengan wajah penuh ketakutan.

Rupanya Mayang sudah di atas atap dengan posisi merangkak. Mayang terus merangkak perlahan. Wajahnya menyeringai dan lidahnya menjulur seperti anjing.

Sambil mengikuti, kami terus memanggil-mangil Mayang agar segera turun.

Di depan ruang guru, Pak Ancah dan istriku yang gelisah it terus mengawasi gerak-gerik Mayang di atas atap. Di belakang mereka, bergerombol anak-anak yang mulai menangis. Meskipun dicekam rasa takut, rupanya anak-anak itu tetap ingin tahu apa yang terjadi.

Mayang terus merangkak di bawah terik matahari sambil cekikikan. Seng yang panas tersengat terik seakan tidak terasa di tangan dan kakinya yang telanjang. Gerakannya semakin lama semakin cepat hingga sampai ke tepi gedung.
Tanpa berhenti, tiba- tiba Mayang melompat ke atap ruang guru. Dalam sekali gerakan, tubuhnya sudah berpindah.

"Kejar..!"

Kami mengikuti perintah pak Kasno, rupanya Mayang mengincar istriku. Dari atas atap ruang guru, Mayang merangkak ke tepi atap dan kembali melompat. Dalam beberapa detik, tangan dan kakinya mendarat sempurna di atas tanah.

Anak-anak menjerit histeris dan berhamburan ke ruang guru. Pak Ancah dan istriku pontang-panting menyusul mereka dan mengunci pintu dari dalam.

Namun percuma, Mayang menerjang pintu. Pintu itu hancur dan Mayang melesat ke dalam ruang guru.

Takut anak-anak celaka, kami bertiga berlari kencang ke ruang guru melewati pintu yang telah rusak.

Aku langsung mencari istriku, rupanya ia telah berdiri di pojok ruangan sambil ketakutan.
Anak-anak bergerombol di belakangnya, memegang tangan dan kaki istriku sambil terisak.

Sedangkan pak Ancah bergerak perlahan mendekati Mayang. Sepertinya ragu atau takut.

Di pojok ruangan, istriku hanya berdiri mematung dengan wajah pucat. 6 orang anak mencoba berlindung di balik punggungnya. Mereka gemetaran dan suara tangis pecah di mulut mereka.

Aku segera mendekati istriku dan ia langsung memelukku. Badannya terasa hangat dan tangannya bergetar. Wajahnya pucat dan ada air mata di pipinya.

"Aku takut mas." kata istriku menahan tangis. Dadanya kembang kempis dan nafasnya sengal-sengal.

"Mayang, kamu kenapa nak?" tanya pak Kasno.

Rupanya Mayang tengah duduk di salah satu meja guru. Dia hanya duduk mematung dan pandangannya kosong. Pak Kasno mendekati Mayang pelan-pelan, ditemani pak Ancah dan Pak Sahen.

Mayang kembali tertawa, namun suaranya berubah menjadi berat. Karena kaget, pak Ancah terjatuh dan menabrak pak Sahen. Mereka berdua segera terhempas ke lantai, untung pak Kasno sempat menghindar.

Anak-anak menjerit histeris hingga membuat istriku semakin ketakutan. Aku berusaha menenangkan mereka namun sia-sia. Anak-anak itu terus berteriak histeris dan menangis.

Pak Ancah dan Pak Sahen susah payah berdiri, dengan berpegangan pada meja dan kursi.

Mereka bertiga kembali mendekati Mayang yang masih saja tertawa.

Tiba-tiba badan Mayang melayang dan mendarat di atas meja dalam posisi berdiri. Anak-anak kembali menjerit, membuat suasana ruang guru semakin mencekam.

Perlahan, Mayang memalingkan muka kearahku dan istri.

Istriku bergeser ke belakang, wajahnya ia sembunyikan di pundakku. Tengkukku terasa hangat karena hembusan nafasnya.

Mayang menunjuk ke arah istriku dengan pandangan penuh amarah. Giginya gemeretak dan matanya hitam cekung.

"Bersiaplah, kau akan jadi tumbal." ujar Mayang dengan suara berat.
..bersambung...

Address

Malang
Pujon

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when TV Pujon posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share


Other Pujon media companies

Show All

You may also like