08/08/2022
Wajah di Balik Jendela
Matahari sudah tenggelam sempurna saat kami tiba di halaman rumah dinas. Mesin genset meraung dan lampu-lampu di teras sudah menyala.
Melihat kami, anjing pak Tingen langsung menyalak. Istriku yang takut anjing, merapatkan tubuh di belakangku, meski anjing itu terikat dengan rantai.
Pak Tingen bergegas keluar dari rumahnya dengan Mandau di tangan. Dilihatnya kami, pak Tingen langsung membentak anjingnya. Anjing itu kembali diam dan meringkuk di tempat.
Setelah mengembalikan Mandau ke dalam rumah, pak Tingen menghampiri kami yang kini sudah di depan anak tangga.
"Kenapa ? " tanya pak Tingen keheranan melihat kaki pak Kasno yang berbalut perban.
"Digigit Tapah." jawab pak Kasno menahan sakit.
"Ha...ha...ha..."
Pak Tingen terbahak dan pak Kasno merengut.
"Nanti kuobati. " ujar pak Tingen sambil menepuk-nepuk pundak pak Kasno.
"Anak-anak gak masuk sekolah. Sepertinya mereka meliburkan diri. Pak Ancah juga langsung pulang. Nanti kuhubungi orang tua anak-anak, agar mereka tak usah khawatir."
Pak Tingen kemudian menoleh ke arah istriku.
" Bu Sri gak apa-apa?"
Istriku mengangguk lalu tersenyum.
"Alhamdulillah, sehat pak." jawab istriku.
Mendengar jawaban istriku, pak Tingen tersenyum senang. Ditepuknya sekali lagi pundak pak Kasno, seakan memiliki makna tertentu. Setelah itu, pak Tingen membantu membawa barang kami ke dalam rumah.
***
Baru saja aku dan istri mengucapkan salam penutup sholat magrib, kami dikejutkan dengan suara gaduh dari rumah pak Kasno.
Suara gaduh kemudian berganti dengan suara jeritan kesakitan. Aku dan istri saling pandang.
"Pak Kasno !?" kata istriku.
Tanpa sempat berdoa dan berdzikir, aku dan istri berhamburan menuju rumah pak Kasno. Mukena yang dikenakan istriku membuatnya kesulitan berlari. Ia tiba belakangam saat aku sudah mencapai pintu rumah pak Kasno.
Di ruang tamu, terlihat pak Kasno sedang merintih sambil memegang kaki kirinya. Matanya sampai berair karena menahan sakit.
Di sebelahnya, pak Tingen tengah mengolesi jari-jari kaki pak Kasno yang terluka dan membengkak dengan minyak berwarna bening kehitaman, seperti minyak jelantah. Minyak itu disimpan dalam sebuah botol kaca kecil. Di dalam botol itu juga terdapat beberapa jarum kecil serta butir-butir emas.
Melihat kami berhamburan di depan pintu, pak Tingen langsung menyambut kami dengan senyum lebar.
"Lihat ini, kepala sekolah andalan kita. Kelamaan jauh dari bini, ha...ha..ha..." Pak Tingen terbahak sambil mengurut kaki pak Kasno.
Aku dan istri hanya geleng-geleng melihat kelakuan dua orang senior ini. Setelah memastikan pak Kasno baik-baik saja, kami kembali ke rumah.
***
Setelah sholat isya, terdengar suara obrolan pak Kasno dan pak Tingen di deras depan. Aku segera menghampiri mereka, disusul istriku kemudian.
Rupanya, pak Tingen tengah siap-siap pergi. Ia memanggul tas rotan, Mandau di pinggang, serta sumpit di tangan. Anjing pak Tingen dengan setia berdiri di sampingnya, sambil menjulurkan lidah dan menggoyangkan ekor.
"Mau kemana pak, malam-malam begini ?" tanyaku pada pak Tingen.
"Mau pulang." jawab pak Tingen ringan. Ia kemudian menatap wajah istriku.
"Bu Sri sebaiknya hati-hati. Ingat pesanku, jangan pernah keluar dari kelambu saat malam."
Meskipun tak paham maksud Pak Tingen, istriku hanya mengangguk.
Pak Tingen kemudian pamit. Ia segera meniti tangga teras, lalu melangkah melewati ruang guru dan menghilang di balik gedung sekolah, bersama anjing menelusuri gelap malam.
"Huuh...!" seru pak Kasno, "hanya orang bodoh yang percaya kalau dia pulang malam-malam begini "
"Maksud bapak ?" Aku tidak mengerti dengan yang dikatakan pak Kasno.
"Apa kamu gak melihat, dia itu mau berburu." jawab pak Kasno tegas.
"Biasanya, pak Tingen selalu bilang kalau mau berburu. Entah kenapa malam ini ia berbohong ? Pasti ada yang ditutupi."
Aku dan istri memandang ke arah pak Kasno. Namun beliau tidak menghiraukan kami, memandang lurus ke arah pak Tingen menghilang dengan raut wajah gelisah.
Pak Kasno kemudian menoleh ke arahku dan istri.
"Pak Bimo, nanti jenengan ya yang matikan genset. Saya mau istirahat dulu."
Aku mengangguk.
"Inggih pak." jawabku pelan.
Pak Kasno kembali ke rumahnya, berjalan pelan dengan luka yang mulai sembuh.
Aku dan istri lantas kembali ke rumah dinas kami, memasang kelambu di dalam kamar, lalu rebahan.
Kuraih handphoneku, waktu baru menunjukkan pukul 19.30. Artinya masih ada 1,5 jam lagi sebelum genset dimatikan.
"Mas..."ujar istri sambil bergelayut manja di dadaku.
"Hmm..."
"Tadi aku telponan sama ibu, waktu mas sholat jumat."
"Ya...terus ?"
"Katanya, ibu mimpi buruk."
"Mimpi buruk ? Mimpi buruk gimana ?" Kubenarkan posisi rebah, lalu kutatap mata istriku yang terlihat tegang.
"Kata ibu, mimpinya sangat mengerikan, sampai ibu gak bisa bedain mana yang mimpi, mana yang nyata." jawab istriku tak tenang.
"Memangnya mimpi apa sih? " tanyaku semakin penasaran.
Masih rebah di dadaku, istriku menarik nafas panjang. Nada suaranya terdengar khawatir.
"Kata ibu, ia melihat ada dua mahluk mengerikan yang mengawasi kita. Setiap malam, dua mahluk itu mengamati kita diam-diam di antara celah pepohonan. Mengitari rumah dinas kita sembunyi-sembunyi, menunggu kita lengah."
Suara istriku terdengar semakin ketakutan, dan aku mulai takut.
"Ma-mahluk apa yang dilihat ibu ?" Aku berusaha tetap tenang, menyembunyikan rasa takut yang kini menjangkitiku
"Kata ibu tidak jelas. Ia hanya melihat cahaya bola api, namun samar-samar seperti kepala manusia. Hiiihh mas... Aku semakin takut lama-lama di sini. Tapi..."
"Tapi apa ?"
"Kita tidak boleh pergi dari desa, karena kelotok yang kita tumpangi terbalik di tengah sungai."
Tiba-tiba aku merasa ngeri dan buluk kudukku mulai merinding. Bisa saja, kecelakaan di sungai tadi pagi ada hubungannya dengan mimpi ibu.
Aku menghela nafas, menatap langit-langit kamar di balik kelambu.
"Sudahlah, jangan terlalu dipikir. Mungkin hanya bunga tidur ibu saja. Bulan depan, kamu akan kuantar ke Jawa."
Mata istriku nanar, ia kemudian mengangguk. Kubelai rambutnya yang halus, hingga hembusan angin dingin yang masuk melalui celah-celah jendela membuat kami tertidur.
Dari luar, suara burung hantu dan binatang malam terdengar bersahutan dari hutan.
***
..duaag...
Aku tersentak, ketika ada suara benturan yang membuatku kaget. Kulihat jendela bergetar, rupanya asal suara berasal dari situ.
Mungkin pak Kasno atau tambi Nyai, batinku. Kuraih handphone, sudah menunjukkan pukul 10 malam. Di sebelah, istriku tertidur lelap. Tubuhnya menekuk menahan dingin.
Astaghfirullah, ucapku dalam hati. Aku lupa mematikan genset. Aku bangkit dari tempat tidur, dan segera keluar dari kelambu. Baru saja hendak melangkah keluar kamar, kembali terdengar suara benturan di jendela.
..duuaag...
Aku kaget sampai terlompat, lalu mengelus dada. Namun, benturan kali ini lebih keras tapi teratur.
..duaag...duaag...
Dengan kesal aku melangkah ke arah jendela, lalu kubuka.
Wuussshhh...
Angin kencang segera menerpa wajahku. Aku sampai menutup mata dan agak memiringkan kepala, karena hembusannya begitu kencang.
Setelah hembusan angin berkurang, aku kembali menoleh ke arah luar jendela.
Ternyata, di depan jendela sudah ada seorang perempuan dengan wajah lebar. Kulitnya sangat putih seperti dilapisi tepung. Rambutnya terurai acak-acakan. Aku lupa dimana pernah melihatnya, namun wajahnya seperti tak asing.
Perempuan itu hanya menyeringai, sambil terus membenturkan dahinya ke teralis. Mungkin karena tubuhnya pendek, aku hanya bisa melihatnya wajahnya hingga sebatas dagu. Lalu, terdengar seperti suara tetes air di balik jendela.
..tik...tik...
Seperti suara air yang menetes dari kran. Tanpa curiga, aku segera melangkah keluar rumah, hendak mengusir wanita aneh itu.
Begitu menginjakkan kaki di teras, langkahku terhenti. Tubuhku mati rasa dan tak bisa digerakkan.
Wanita tadi terus membentur-benturkan dahinya di teralis jendela. Dan yang mengerikan, dia tak punya badan.
Nyaliku langsung ciut. Darahku berdesir deras dan jantungku berdetak kencang. Tubuhku terasa dingin bagai disiram es.
Hanya ada kepala dan organ dalam. Jantungnya berdetak mengeluarkan cahaya api kuning kemerahan. Dan suara tetes tadi, adalah tetesan darah yang berasal dari organ tubuhnya.
Lututku seketika lemas dan kaku, ketika kepala itu perlahan menoleh kearahku. Sorot matanya tajam, berwarna putih bagai tulang. Dan ia mulai tersenyum lebar. Dua taring panjang perlahan tumbuh di celah bibirnya.
.grrrrrrhhh...
Mahluk itu mengeluarkan suara seperti anjing yang marah.
..braak...
Tubuhku tersungkur di depan pintu, mahluk itu melayang mendekat, meninggalkan jejak tetes darah putus-putus.
Aku berteriak, namun suaraku tak bisa keluar. Kerongkonganku tercekat dan terasa sakit. Sangat sakit bagai tercucuk duri.
Suara burung hantu di belakang rumah semakin kencang, sahut menyahut dengan suara gemirisik daun yang tertiup angin.
Kupaksakan merangkak, berusaha meraih pintu. Pahaku terasa sakit, otot-ototnya tertarik karena kram yang menyerang tiba-tiba.
Baru separo badan melewati pintu, semua terlambat. Mahluk itu sudah melayang tepat di atas kepalaku. Tetesan darahnya mengotori bajuku.
Aku tak berkutik, tak berdaya. Kubalikkan badan, aku dan mahluk itu kembali bertartap mata.Mahluk itu membuka mulutnya sangat lebar, memperlihatkan taringnya yang tajam.
Lidahnya menjulur bagai lidah anjing, meneteskan lendir bercampur darah kental.
Darah yang keluar dari mulut dan organ tubuhnya menetes di wajahku, bagai tetes air hujan. Aku terkulai tak berdaya, nafasku terasa sesak dan tubuhku semakin dingin.
Kepala itu kemudian melayang tinggi hingga menyentuh langit-langit rumah. Matanya yang mengerikan tak pernah lepas menatapku. Organ dalamnya bergoyang ke kiri dan ke kanan, dengan jantung yang terus berdetak.
Lalu, kurasakan angin kencang menerpa wajahku. Rupanya, mahluk itu bersiap menyerang. Kusilangkan tangan menutup wajah, angin yang menerpa semakin kencang.
..wusshh....
Aku menutup mata. Dengan cepat, mahluk itu menerjang leherku. Aku menjerit sejadinya di tengah gelap malam, diiringi suara burung hantu dan binatang malam.
bersambung...