30/04/2022
Presiden Joko Widodo tiba-tiba menarik 'rem' ekspor minyak goreng dan bahan bakunya, minggu lalu. Presiden bicara to the point: guna menjamin ketersediaan minyak goreng dalam negeri melimpah dan harganya bisa dijangkau masyarakat. Mulai berlaku 28 April 2022 sampai batas waktu yang ditentukan kemudian.
Dari kalangan pengusaha, diwakili oleh Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia Sahat Sinaga, sempat 'menawar'. Selebihnya, ada yang mengamini, tapi tak sedikit yang menyayangkan sembari menebak maksud Presiden.
Di internal kabinet, kebijakan Presiden ini lalu diperjelas Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto. Menurut Ketua Umum Partai Golkar itu, 26 April 2022, larangan ekspor bahan baku minyak goreng hanya mencakup Refined, Bleached, Deodorized (RBD) Palm Olein dengan 3 kode HS: 15119036, 15119037 dan 15119039. Tak termasuk minyak sawit mentah (CPO).
Oleh sejumlah pengamat, langkah Airlangga dinilai sebagai upaya "mengoreksi" kebijakan Presiden. Nasibnya sama dengan kebijakan larangan ekspor batu bara Presiden yang "dianulir" Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Belakangan, lewat konferensi pers 27 April 2022, Airlangga memperjelas kebijakan Presiden: stop ekspor mencakup CPO dan empat produk lain.
Terus terang sulit memastikan maksud hati Presiden Jokowi kala mengumumkan kebijakan ini. Yang bisa dibaca adalah Presiden kesal pada para pembantunya yang tidak becus mengurus minyak goreng.
Sejak November 2021, 'krisis minyak goreng' belum bisa dijinakkan. Berbagai jurus, mulai wajib pasok kebutuhan domestik (domestic market obligation/DMO), wajib harga domestik (domectic price obligation/DPO) minyak sawit mentah (CPO) dan olein hingga harga eceran tertinggi (HET) plus subsidi, dicoba.
Tapi minyak goreng tetap langka dengan harga nangkring di atas HET. Antrean pembeli terus terjadi, jeritan emak-emak dan pedagang penjual makanan menggema di mana-mana.
Bisa juga, kebijakan drastis Jokowi ini untuk menangkis tudingan yang santer: pemerintah tak berdaya menghadapi pengusaha sawit. Lewat pelarangan ekspor, Presiden Jokowi menabuh genderang 'perang' bahwa negara tidak kalah dari korporasi. Negara tetap di pihak rakyat.
Ini rangkaian tak terpisah dari langkah Kejaksaan Agung menjerat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan dan tiga wakil dari korporasi sawit sebagai tersangka dugaan kongkalikong ekspor sawit ilegal.
Pertanyaannya, sampai kapan ekspor dilarang? Apa pemerintah sudah menghitung untung-rugi secara matang?
Lebih dari itu, apakah beleid terbaru ini akan bisa mencapai tujuannya: pasokan minyak goreng melimpah dengan harga terjangkau kantong rakyat?
Bisa dipastikan, tidak akan ada perubahan signifikan dalam waktu pendek. Pasokan minyak goreng kemasan akan melimpah, sementara minyak goreng curah bersubsidi masih akan tersendat.
Harga juga tidak akan serta merta turun selama harga minyak sawit mentah (CPO) sebagai bahan baku minyak goreng tak turun. Larangan ekspor membuat pasar domestik terisolasi dari pasar dunia. Ini bisa membuat harga CPO dalam negeri akan turun.
Namun, untuk sampai pada penurunan harga minyak goreng, pasti ada jeda (lag time). Padahal pasar dan konsumen sudah tak sabar.
Beban Besar Keuangan Negara
Di sisi lain, kebijakan stop ekspor ini menciptakan inefisiensi besar. Deadweight losses-nya tak tertanggungkan.
Kala ekspor distop, aneka penerimaan, baik devisa, pajak ekspor maupun pungutan ekspor (levy), terancam menurun drastis. Sebagai gambaran, pada 2021 pemerintah bisa menangguk devisa Rp510 triliun, Rp85 triliun pajak ekspor, dan Rp71 triliun dari levy di industri sawit.
Pemas**an devisa dan pajak yang seret akan mempersempit ruang fiskal. Neraca perdagangan yang biru karena devisa sawit terancam merah. Kala levy menurun drastis, program B-30 dan peremajaan sawit rakyat di bawah Badan Pengelola Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) terancam bubrah tak berlanjut.
Selama ini, pasar domestik (minyak goreng, biodiesel, margarin, dan yang lain) menyerap 35% CPO, sisanya untuk pasar ekspor. Penyetopan ekspor membuat pabrik kelapa sawit (PKS) segera menekan produksi CPO.
Tangki-tangki penyimpanan segera penuh. PKS lebih memprioritaskan menyerap tandan buah segar (TBS) dari kebun sendiri. TBS dari kebun rakyat tersingkir. Suplai TBS yang melimpah membuat harga akan jatuh, bahkan terjun bebas.
Informasi dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia, 27 April 2022, harga TBS terkoreksi hingga 75% dari sebelum ada woro-woro beleid ini. Padahal, saat ini petani sawit terbebani ongkos produksi pupuk yang naik lebih 200%.
Situasi ini membuat antar-PKS akan saling menunggu siapa yang mau duluan menurunkan harga CPO. Ini membuat pasokan CPO ke pabrik minyak goreng melambat. Bisa jadi, pabrik memilih menutup operasi berlama-lama dengan alasan libur Idulfitri sembari memantau pabrik mana yang banting harga duluan.
Pasar Gelap dan Efek Samping Lain
Spekulan dengan kapasitas tangki timbun besar dan modal tak terbatas siap-siap mencaplok CPO dan minyak goreng murah.
Karena mereka yakin larangan ekspor tidak bakal bertahan lama. Berbeda dengan batu bara yang tetap awet jika tak ditambang, TBS akan busuk jika tak dipanen. Itu pun larangan ekspor batu bara dianulir karena diprotes pengusaha dan kerugiannya bejibun.
Dengan konfigurasi seperti itu, bisa dipastikan semakin lama ekspor dilarang akan semakin besar kerugian yang ditanggung perekonomian nasional. Tak hanya menurunkan pendapatan petani dan berbagai penerimaan negara (devisa, pajak ekspor, dan pengutan ekspor), tapi juga berpotensi memperbesar pengangguran dan membuat kredit macet.
Stop ekspor juga akan menciptakan pasar gelap (black market). Karena disparitas harga CPO, olein, dan minyak goreng di pasar domestik dengan harga pasar dunia semakin melebar. Ini makin merangsang terjadinya penyelundupan berbagai bentuk dan cara.
Siapa yang diuntungkan? Ya Malaysia, kompetitor utama kita. Tanpa memeras keringat Malaysia bisa menikmati harga CPO dan berbagai produk turunan amat tinggi
sebagai free rider.
Harga minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, kanola, dan jagung juga potensial naik.
Pesan yang ingin saya sampaikan jelas: stop ekspor yang menimbulkan kerugian luar biasa besar bagi ekonomi nasional. Tak perlu Presiden bereksperimen 'menggoreng' minyak goreng untuk menunjukkan negara hadir. Karena itu, stop ekspor harus segera dikoreksi.
Kawal pemberian bantuan langsung tunai agar tersalurkan sesuai target dan sasaran. Terakhir, batalkan HET minyak goreng curah yang terbukti tak efektif. Dalam jangka menengah-panjang, industri minyak goreng perlu ditata-ulang dari hulu-hilir.