20/11/2023
CINTA TERHALANG GARIS POLISI
Bab 1. Akhir Cerita Cinta
🦅🦅🦅
“Nad, dengarkan dulu, Nad. Ini nggak akan lama. Aku cuma pergi bertugas selama setahun, Nad."
Ucapan Fathan terhenti saat Nadia menepis tangannya yang berusaha menggenggam jemari perempuan itu, untuk ke sekian kali.
“Setahun kamu bilang cuma?” Gadis berambut panjang yang berparas menawan, menatap kekasih hatinya dengan sorot tak percaya. “Ini nggak cuma masalah kamunya pergi aja, Fath, tapi lebih kepada, aku ini jadi apa buat kamu. Dari mulai kamu tes, lulus, terus sekarang pratugas, kamu nggak bilang sama aku. Kamu nggak bertanya dulu, apakah aku siap untuk menerima kondisi kita yang akan pisah selama satu tahun itu!” Nadia meradang.
Orang-orang yang ada di dalam kafe, melirik ke arah pasangan yang tampak serasi.
“Aku ingatnya kamu mendukung apa pun yang aku impikan, termasuk menjadi Kontigen Rajawali,” lirih Fathan terus menatap gadis yang mengenakan jas putih di hadapan.
Nadia bergeming mendengarkan ucapan tersebut. Ia salah, ketika itu telah pernah mengatakan hal tersebut. Seharusnya ia memikirkan dulu efek ke depan akan seperti apa, jika Fathan pergi meninggalkannya. “Kamu janji akan menikahi aku tahun ini.” Nadia tiba-tiba teringat janji Fathan yang diucapkan awal tahun ini, 2020. “Sekarang udah tanggal 4 bulan September. Tapi kamu nggak pernah mengungkit apa pun tentang rencana itu. Aku masih sabar, Fath.”
“Maafkan aku, Nad. Aku janji akan menikahi kamu setelah p**ang dari Lebanon.”
Nadia menggeleng pelan. “Dalam setahun, kamu pikir semua akan tetap baik-baik aja seperti yang kita mau?”
Pria gagah yang mengenakan seragam loreng, menatap gadisnya sembari mengernyitkan dahi. “Apa maksud dari ucapanmu ini?”
“Kamu di sana, lalu aku di sini. Siapa yang akan menjamin kamu di sana tetap menjaga hati untuk aku.”
“Astaghfirullah, Nad. Dengarkan aku.”
“Kamu yang harusnya dengarkan aku dulu!” Bola mata Nadia melebar, wajah pun tegang diiringi dengan intonasi suara yang sedikit meninggi. Jelas sekali terlihat dari raut itu, betapa saat ini Nadia memang sedang marah.
“Kamu yang udah janji. Aku nunggu kamu udah lama, tapi kamu selalu mengundur buat nikahin aku. Kenapa? Demi ini? Kamu tahu akan lulus, terus bisa pergi ninggalin aku.” Gadis itu telah berkaca-kaca. Sorot tajam yang tadi, kini sudah berganti dengan tatapan minta dikasihani; mengiba.
Kalau sudah begini, lelaki mana yang akan sanggup membiarkan. Fathan menghela napas dalam. Ia menundukkan kepala sejenak.
“Maafkan aku, Nad.” Ucapan itu belum selesai sepenuhnya. Namun, tak sanggup untuk dilanjutkan oleh Fathan. Ia lantas meraih sebuah tisu, lalu mengulurkannya untuk menghapus air mata Nadia yang sudah jatuh membasahi pipinya yang kemerah-merahan.
Lagi, gadis itu menepis. Di tangannya juga sudah ada sebuah tisu. “Aku bisa sendiri,” ucapnya datar.
Fathan kembali memundurkan tubuh, bahkan punggung itu sudah menempel pada sandaran kursi. Susah sekali memang membujuk wanita yang tengah merajuk.
“Aku pergi dulu.”
Tanpa basa-basi dan bicara apa pun lagi, Nadia langsung berdiri. Hal tersebut membuat Fathan langsung terkesiap. Refleks saja pria tampan itu berdiri. Ia mengejar Nadia dan tak menghiraukan pelayan yang baru saja datang mengantarkan makanan yang sudah mereka pesan.
“Lho, Mas. Ini gimana makanannya? Sudah dibayar belum, sih? Aduh, aduh.” Pelayan yang masih memegang nampan di tangan, mulai panik. Akan tetapi, ternyata Fathan kembali lalu meninggalkan sejumlah uang.
“Tolong, dibayarkan, ya, Mbak. Makanannya buat kamu aja. Terus kembaliannya, juga silakan diambil aja.”
Setelahnya, lelaki itu pergi lagi. Ia buru-buru karena takut kehilangan jejak Nadia.
“Lho, Mas. Ini cukup apa enggak, ya?” Pelayan wanita tersebut mengambil dua lembar uang seratus ribuan yang diletakkan Fathan di nampan, lalu menatapnya sembari berpikir. Otaknya yang kerdil, menghitung nominal harga pesanan Fathan dengan uang yang ditinggalkan. Tak lama, ia tersenyum. “Oalah, lumayan ini. Udahlah dapat makanan gratis, terus dapat sisa duit lagi. Sering-sering aja, deh, aku ngintai orang pacaran ke sini. Sapa tahu, ketiban durian runtuh lagi.” Perempuan dengan kisaran usia dua puluh satu tahun itu kian melebarkan senyum puasnya.
Sementara di parkiran sana, Fathan berhasil mencegat Nadia yang hampir saja masuk ke dalam mobil.
“Tolong, kita harus bicara, Nad.”
“Apa lagi, Fathan? Semua udah jelas. Kamu tetap akan pergi, dan aku sendiri di sini menanti kabar yang nggak pasti. Kita udah sama-sama dewasa. Bukankah kamu bilang nggak ingin lama-lama pacaran. Bulan ini tanggal tiga puluh kamu resmi bilang cinta sama aku, tepat satu tahun yang lalu. Kamu bilang, akan melamar aku awal tahun itu.”
“Iya, aku salah. Aku minta maaf, Nadia. Aku hanya butuh waktu satu tahun lagi untuk menyelesaikan tugas penting ini.”
Nadia yang berdiri di sisi pintu mobilnya, menatap Fathan dengan tajam. Ia bahkan melipat tangan di depan dada. “Kamu milih aku, atau Kontingen Rajawali?” tanyanya kemudian.
“Ini bukan pilihan. Dua hal ini sama-sama penting buatku, Nad.”
“Pilih aja, aku atau Koja?”
“Nadia, tolonglah. Dewasa sedikit.”
“Kurang dewasa bagaimana lagi aku buat kamu? Aku harus ngertiin semuanya! Aku bahkan menerima ibu dan asal-usul kamu yang nggak jelas. Aku udah mengarang cerita ke Mama sama Papa, hanya agar bisa diizinkan menikah sama kamu. Kurang apa lagi aku, Fath?”
Fathan terhenyak. Ia tidak s**a ada orang lain mengatakan hal apa pun tentang ibunya. Lelaki itu mulai melangkah mundur sembari menggelengkan kepala. Ia tak percaya Nadia akan mengatakan sesuatu yang sensitif itu kepadanya.
“Fath.”
Kondisinya langsung berubah, giliran Nadia yang mengejar Fathan yang berjalan cepat menuju sepeda motor sport-nya.
“Fath. Kenapa malah kamu yang marah?” tanya Nadia panik, sesaat setelah ia berhasil memegang stang sepeda motor Fathan yang sedang memasang helm full face.
“Kamu tahu letak kesalahanmu di mana!” Ucapan Fathan membuat Nadia tersadar.
Saat Fathan menggeser jemarinya dari stang, Nadia hanya diam. Ia terus memperhatikan pria yang dicintai, pergi meninggalkannya di tempat itu. Apakah ini akhir dari cerita cintanya? Perasaan Nadia bergejolak di dalam dada, hingga mendorong air mata meluruh dengan sendirinya. Ia tak siap kehilangan Fathan. Gadis yang berprofesi sebagai Dokter Gigi di salah satu rumah sakit swasta itu, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia bahkan berjongkok karena tidak sanggup menahan lara yang menghadang jiwa raga.
Nadia menyesal. Seharusnya ia tak pernah mengungkit masalah Neyna—ibu Fathan—yang mengalami gangguan kejiwaan, dalam pandangan matanya.
“Fathan, maafkan aku, Fath. Aku udah salah sama kamu. Aku salah.”
Dokter cantik itu tak peduli bagaimana orang di sekitar sana akan menatap kepada dirinya. Ia tak ingin mengambil pusing tentang apa yang ada di dalam benak orang-orang saat melihat kondisinya sekarang. Sebab, yang terkenang saat ini hanyalah Fathan, kekasih hati yang dicintai telah pergi meninggalkannya dalam kondisi tidak baik-baik saja.
Langit yang tadinya cerah, dalam sekejap berubah kelam, seolah dapat menggambarkan bagaimana perasaan Nadia yang kini dirundung kelabu. Ia takut kehilangan Fathan.
***Bersambung>>>