Sylvia Basri

Sylvia Basri vlog pribadi

Kenapa Kalian Membuang Ibu?Bab 4🌹🌹🌹Karena kaget, Zaydan spontan melempar botol parfum berbentuk bulat telur yang ada di ...
22/01/2024

Kenapa Kalian Membuang Ibu?

Bab 4

🌹🌹🌹

Karena kaget, Zaydan spontan melempar botol parfum berbentuk bulat telur yang ada di tangannya. Dan ....

Braaakkk ....

Botol kaca itu pecah!

Aroma parfum itu menguar memenuhi kamar. Darah Eliza mendidih. Emosinya tidak terkendali, karena melihat semuanya yang sudah berantakan. Padahal, ia hanya sebentar meninggalkannya. Itupun dalam keadaan tidur lelap. Akan tetapi, yang sebentar itu ternyata berakibat fatal baginya. Semua kosmetiknya hancur. Padahal untuk membeli semua itu, ia harus berjibaku, menghemat segala pengeluaran. Tujuannya agar ia juga bisa cantik di depan suami. Tetapi, dalam sekejap, Zaydan sudah menghancurkan.

Eliza meraih tubuh Zaydan, untuk menjauhkannya dari pecahan beling botol parfum itu. Tangannya bergerak ke arah paha Zaydan, lalu mencubitnya dengan keras.

Zaydan terpekik. Tangisnya pecah, dengan suara keras yang memenuhi rumah dengan tiga kamar itu.

---

Setiap sore, Eliza selalu memapah tubuh ibunya ke arah ruang tamu. Duduk di kursi sebelah dinding, yang ia hadapkan ke arah televisi. Eliza berpikir, ibunya itu pasti suntuk diam di kamar seharian. Jika berada di luar, banyak yang akan dilihatnya. Tingkah pola kedua cucunya, juga bisa membuatnya terhibur.

"Kalau ada apa-apa, panggil El ya Bu. El di belakang, mandiin anak-anak dulu," ujar Eliza, setelah menghidupkan televisi, sebagai hiburan untuk ibunya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Eliza harus segera memandikan anak-anaknya. Sebentar lagi, Agung akan pulang dari bekerja. Jika sudah ada di rumah, akan susah mengajak anak-anaknya mandi. Mereka akan sibuk bersama sang ayah.

Saat membuka pakaian Zaydan, Eliza melihat bekas memar kemerahan di paha kiri anaknya itu. Rasa bersalah Eliza timbul di dadanya. Ternyata cubitannya gara-gara kosmetik tadi meninggalkan bekas. Pantas saja, Zaydan terpekik hingga sehisteris itu. Pasti sakit sekali yang anak itu rasakan.

Hampir setengah jam, Eliza baru bisa membawa kedua anaknya itu keluar dari kamar mandi. Seluruh tubuhnya basah. Ia menghela napas panjang. Ritual mandi saja umpama pertempuran bagi Eliza. Banyak drama di dalamnya.

Tepat saat ia menggend**g tubuh Zaydan untuk dibawa ke kamar, suara sepeda motor terdengar di halaman. Tentu saja Agung yang pulang dari bekerja. Mendengar suara itu, Zaydan langsung berontak ingin turun dari gend**gan Eliza. Meskipun ditahan sekuat tenaga, percuma saja. Ia semakin berontak, tidak peduli ia akan jatuh karena terlepas.

"Ya ... a ...ayah ...." teriaknya, khas suara anak yang baru belajar bicara.

Eliza terpaksa menurunkannya. Tetapi, Eliza urung langsung melepaskannya. Sebagian tubuh Zaydan masih basah. Apalagi kakinya. Berlari dalam keadaan seperti itu, pasti bahaya. Jari-jari anak seusia Zaydan masih belum kokoh untuk menahan tubuh. Bisa jadi ia akan terpeleset karena licin.

"Keringkan dulu tubuhmu, Nak ...." pinta Eliza, menahan sebelah tangan Zaydan. Tetapi, anak itu tidak paham akan bahaya yang bisa saja menghadangnya.

Tepat di saat Eliza sedang fokus pada anaknya, Minah terdengar bersuara dari depan.

"El ... El ...." teriaknya.

"Bentar, Bu!" jawab Eliza. Satu tangannya masih menahan tangan Zaydan, berusaha menyapu tubuh basah anaknya dengan handuk.

"Ibu mau kencing!" teriakan Minah terdengar lagi.

Perhatian Eliza terbagi. Fokusnya buyar. Hal itu dimanfaatkan Zaydan untuk lepas dari sang ibu. Ia merenggut tangannya dari genggaman Eliza, dan langsung berlari.

"Ya Allah, Dek!" Eliza segera berlari mengejar Zaydan yang sudah dengan cepat menghilang.

"Cepat d**g, El. Ibu mau kencing!"

Eliza membatalkan niatnya mengejar Zaydan, lalu beralih ke arah sang ibu. Toh, di depan sudah ada suaminya yang bisa menjaga Zaydan.

Eliza mulai memapah sang ibu yang terlihat sudah tidak sabar. Padahal bukan masalah jika ia kencing di tempatnya duduk. Toh, Eliza selalu memakaikannya diapers. Akan tetapi, begitulah selalu. Minah enggan sekali melakukannya.

Akan tetapi, baru saja ia bergerak. Tiba-tiba ....

Suara dentuman disertai pekik menyayat Zaydan terdengar kencang. Eliza terpekik. Ia kembali meletakkan sang ibu di tempat semula. Lalu, segera berlari menuju asal suara.

"Ya Allah, Nak!

Eliza melihat anaknya itu tertelungkup di sisi pintu. Suara dentuman itu jelas sekali, kalau kepala anaknya menghantam tepat di kusen pintu. Eliza meraih tubuh Zaydan. Tulang-tulangnya terasa lolos dari setiap sendi. Tubuhnya gemetar melihat darah yang mengucur dari dahi anaknya itu.

"Ya Allah!" Eliza hanya bisa berteriak, tanpa tahu harus melakukan apa. "Masss!!!" teriaknya lagi, memanggil sang suami yang entah kemana perginya. Padahal jelas sekali kalau ia sudah pulang.

Zaydan masih menangis kesakitan.

Agung datang dengan langkah tergopoh. Sehabis memarkirkan sepeda motornya di depan rumah, ia kembali ke luar. Pak Budi, tetangga sebelah kanan rumah mereka meminta bantuan sebentar.

Ia terkejut mendengar suara teriakan Eliza yang kencang.

"Ya Allah, Dek. Apa yang terjadi?" Agung langsung meraih tubuh Zaydan. "Kita bawa Zay ke klinik ...."

---

Ternyata kondisi Zaydan tidak begitu parah. Kulit dahinya hanya sobek sedikit, dapat dua jahitan. Selebihnya tidak ada masalah. Menurut pikiran Eliza, kepala Zaydan tadi membentur kusen pintu depan. Sehingga menyebabkan luka.

Eliza baru bisa tenang setelah luka Zaydan selesai di perban. Ia merasa menjadi ibu yang lalai. Tidak bisa menjaga anak dengan baik. Rasa bersalah juga menghinggapi sebagian ruang di dadanya. Tadi siang, anak bungsunya itu sudah mendapat cubitan, hingga meninggalkan bekas di pahanya. Dan, sekarang .... Eliza mengutuk dirinya.

Kalau saja, ibunya tidak mendesaknya tadi, semua ini tidak akan terjadi.

---

Link KBM App
πŸ‘‡πŸ‘‡πŸ‘‡

https://read.kbm.id/book/detail/e9cc41be-dbfc-3a1a-f309-d8aa7881fb14?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1

Air Mata BapakBag 1🌸🌸🌸"Jadilah anak yang baik. Turuti apa kata Bapakmu." Masih teringat jelas kalimat terakhir Ibu, sebe...
21/01/2024

Air Mata Bapak

Bag 1

🌸🌸🌸

"Jadilah anak yang baik. Turuti apa kata Bapakmu."

Masih teringat jelas kalimat terakhir Ibu, sebelum ia pergi. Pergi dengan mengoyak sebagian hati.

Aku tidak tahu ke mana Ibu. Bapak tidak pernah mengatakan sekali pun. Yang kutahu, kata Bapak, Ibu pergi ke kota, bekerja mengumpulkan rupiah, agar hidup bisa terangkat dari kemiskinan. Berulang kali kucoba bertanya, mengapa harus Ibu? Bukankah yang bertanggung jawab soal nafkah itu, seharusnya Bapak?

Hampir setiap malam aku menangis. Bantal tempat terlelap, selalu saja basah karena air mata. Rindu pada belaian tangan Ibu, sebelum terlelap, tiada dapat tergantikan. Bapak bilang, jangan menangis. Pantang bagi seorang laki-laki bermandi air mata, meski kesedihan melebihi dari apa yang sanggup ditanggung.

Namun, bagaimana aku bisa menahan kesedihan? Bapak dan Ibu jauh berbeda. Ibu bahkan lebih terasa dekat daripada urat nadi, sementara bapak tidak sama. Kita bagai dua individu asing yang tinggal berdua satu atap. Hanya sesekali interaksi yang terjadi, karena selebihnya hanya sepi.

***

"Pak, aku rindu Ibuk. Kapan ya Ibuk pulang?" tanyaku suatu malam. Saat itu Bapak sedang duduk di teras, melamun dengan sulutan rokok tiada lepas dari mulutnya. Asapnya mengepul memenuhi udara. Biasanya senja begini, Bapak selalu keluar, duduk di warung ujung jalan, dan pulang saat malam telah larut. Tiada waktu untukku bertanya soal apapun. Namun saat ini, gerimis menghambat langkahnya.

Bapak berdeham. Sekali lagi, ia sulut rokok kreteknya yang sedikit lagi tinggal puntung, lalu membuangnya ke genangan air di depan kami.

"Sudah empat bulan Ibuk di kota. Apa Ibuk ndak kangen sama kita ya, Pak?" tanyaku lagi. "Jangankan pulang, menelpon saja Ibuk ndak pernah," keluhku. Rasanya tenggorokan tercekat. Tangis seakan tengah berusaha untuk tumpah ruah.

"Bapak juga heran, Lif. Padahal Ibukmu udah janji akan sering menelpon. Tapi sampai saat ini, tiada pernah ada kabar darinya," jawab Bapak. "Besok kita ke rumah Mbok Yum ya, minta nomer hp Yanti, teman Ibukmu yang telah membawanya ke kota."

Ucapan Bapak umpama matahari yang seketika menerangi kegelapan hariku. Ada secercah cahaya dalam gelapnya kerinduan.

***

Tepat setelah bel pulang sekolah menggema, sigap aku meraih tas, lalu berlari dengan cepat. Tidak kupedulikan sorakan Bimo dan Jaya, yang tentu saja heran akan sikapku siang ini. Padahal biasanya, selalu saja ada rencana yang akan kami lakukan sepulang sekolah, untuk mengisi waktu luang.

Namun, beda kali ini. Kegiatan seru bersama dua sahabat karib itu tidak lagi menarik hati, dibanding setetes obat kerinduan pada Ibu. Biar tubuhnya belum bisa didekap, mendengar suaranya saja sudah lebih dari cukup.

Kaki berlari dengan cepat. Tidak kupedulikan ujung celana basah karena kecipratan genangan air sisa hujan, yang tidak sengaja kuinjak. Sepatu pun kotor berlumur lumpur.

Kulihat Bapak sudah menunggu di depan rumah. Mulutnya masih tidak henti menyulut rokok, meski batuk sesekali datang menjelang.

"Ganti bajumu, habis itu makan," seru bapak melihat kedatanganku yang tergesa-gesa.

Secepat kilat, aku masuk ke dalam rumah. Mudah saja mencari sepasang baju yang akan dipakai dalam keadaan terdesak ini. Baru saja tangan terjulur ingin menyentuh tudung saji, kutarik lagi dengan cepat. Selera makan hilang lenyap dibawa rasa tidak sabar.

Melihatku muncul lagi di depan pintu, Bapak mengernyitkan keningnya.

"Sudah makannya?"

"Nanti saja, Pak. Aku ... aku sudah ndak sabar mau nelpon Ibuk," pungkasku pelan.

Bapak akhirnya hanya mengendikkan bahunya. Tanpa bicara lagi, ia meraih sepeda motor butut yang sudah sedari tadi diparkir di samping rumah.

Sepeda motor berasap tebal dengan bunyi berisik itu melaju pelan, menuju sebuah harapan.

***

Setelah mendapat nomor telepon Mbak Yanti, ada sebuah kebingungan yang melanda. Di rumah kami tidak ada ponsel ataupun telepon. Pernah dulu, ada niat Bapak membeli ponsel, agar mudah baginya menerima telepon dari Ibu. Namun, keinginan itu terpaksa ditelan kembali. Tiada satu pun di antara kami yang bisa menggunakan benda itu. Bapak pun merasa malu belajar sama orang lain.

Dalam kebimbangan, berdua duduk di depan rumah, lewatlah Bang Jaka. Pemuda bergaya preman tapi sopan itu menyapa. Saat itulah aku menyikut Bapak, memberinya bahasa isyarat untuk meminjam ponsel Bang Jaka. Untung saja beliau cepat paham.

"Ka, saya mau minta tolong sesuatu sama kamu. Boleh?" tanya Bapak.

Jaka menghentikan langkahnya, lalu mendekat. "Ada apa, Pak Wahyudi? Kalau saya sanggup, pasti akan dibantu. Ngomong aja, ndak usah sungkan."

"Pinjam hpmu sebentar ya, mau nelpon Ibuknya Alif. Nanti biar saya isikan pulsa."

"Oo ... itu, Pak. Saya kira ada apa." Bang Jaka mengeluarkan ponsel dari dalam saku. "Sini nomer hpnya, biar saya hubungkan langsung. Kebetulan pulsa saya lagi banyak, Pak."

Bapak mendekatkan benda pipih persegi empat itu ke telinganya. Bunyi tut ... tut ... terdengar nyaring. Sengaja diloudspeakerkan Bang Jaka, atas permintaan Bapak, agar aku dan beliau bisa langsung bicara berdua sama Ibu.

"Halo." Terdengar suara dari seberang.

"Halo, i-ni Dik Yanti ya?"

"Iya, saya sendiri. Ini siapa?"

"Dik Yanti, ini Wahyudi, suaminya Puji. Ada Puji di sana? Saya mau bicara sama dia."

"Oo ... tunggu sebentar." Lalu tak lama, terdengar bisik-bisik. Aku dan bapak menunggu dengan sabar.

"Assalammualaikum." Terdengar suara Ibu dari seberang.

Secepat kilat, aku merebut ponsel itu dari tangan bapak. Nyaris saja benda mahal itu terjatuh, tapi aku tidak peduli. Kerinduan pada sosok pemilik suara itu telah menguasai seluruh jiwa.

Udah ending di KBM app ya

Satu 🌹🌹🌹"Mas, tolong bawa ibu ke rumahmu d**g. Aku capek kalo begini terus ...." keluh Eliza di sambungan telepon pada E...
29/08/2023

Satu
🌹🌹🌹

"Mas, tolong bawa ibu ke rumahmu d**g. Aku capek kalo begini terus ...." keluh Eliza di sambungan telepon pada Edo, Mas-nya yang tinggal beda kota dengannya.

Eliza sudah memikirkan hal ini sejak awal. Walau sebenarnya ia tidak ingin melewatkan bakti pada sang ibu, tapi ia tidak sanggup lagi menjalaninya. Tubuhnya benar-benar remuk. Lelah tidak hanya menerpa raganya, tapi juga membelit hati dengannya sangat erat.

Bagi Eliza, wajar saja jika ia meminta Edo untuk menjaga sang ibu. Sebagai anak laki-laki satu-satunya dari orang tuanya, Edo cukup sukses dengan hidupnya sekarang. Sejak menikah dengan anak tunggal bos tempatnya menjadi karyawan dulu, hidupnya nyaris berubah seratus delapan puluh derajat. Ia awalnya hanya ditugasi untuk mengurus perusahaan milik sang mertua. Akan tetapi, setelah mertuanya berpulang, otomatis perusahaan itu menjadi tanggung jawab Edo sepenuhnya.

Eliza hanya mendengar helaan napas panjang dari Edo. Beberapa saat menunggu, ia tidak kunjung mendapat jawaban.

"Mas ...." panggil Eliza lagi.

"Mas kerja, El. Gimana bisa Mas ngurus ibu?" elak Edo.

Eliza memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja sakit. Semua itu karena jawaban Edo yang tidak masuk akal. Semua orang tahu, kalau Edo memang bekerja. Seorang pekerja kantoran yang selalu sibuk. Akan tetapi, bukankah ia mempunyai istri? Rasanya wajar saja, seorang menantu perempuan mengurus mertuanya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Kalaupun sang istri tidak sanggup melakukan semua itu, mereka adalah orang kaya. Tidak akan mengurangi hartanya sedikitpun. Jika sedikit saja disisihkan untuk menyewa seorang pembantu, untuk mengurus ibu.

"Tapi, Mas. Gak mungkin juga semua ini dibebankan sama aku seorang. Meski tidak bekerja, tapi aku punya dua balita yang supee aktif. Aku benar-benar kewalahan mengurus ibu, Mas." Lagi-lagi Eliza berusaha membujuk. Ia masih berharap, Edo memikirkan lagi semuanya.

"Kamu coba hubungi Mbak Eva deh. Mana tahu, ia mau bawa ibu ikut dengannya. Anak-anaknya udah pada besar. Pasti gak masalah baginya untuk ngurus ibu." Hening beberapa saat. "Udah ya, El. Mas lagi sibuk nih!" Sambungan telepon dimatikan begitu saja.

Eliza membanting ponselnya ke arah ranjang dengan kasar. Ia benar-benar stres dua hari ini. Ibunya, Minah, yang memang sudah nyaris lumpuh, hari ini menguras emosi Eliza. Sejak pagi, ia bolak-balik minta diantar ke kamar mandi. Alasannya sakit perut. Padahal belum beberapa detik sampai di kamar mandi, ia minta ke kamar lagi. Begitu seterusnya, sampai berulangkali.

Jika Eliza bersuara keras sedikit karena kesal, ia akan menangis tersedu-sedu lalu akan mogok makan. Apapun yang disediakan Eliza di meja kecil samping ranjangnya, tidak akan disentuh. Lalu, ujung-ujungnya, ia akan mengeluhkan sakit perut.

Kalau saja, tugas Eliza hanya mengurus ibunya, mungkin ia bisa berupaya lebih sabar. Akan tetapi, dengan mengurus dua balita super aktif, seluruh tenaga Eliza benar-benar terkuras. Rasanya ia sudah tidak memiliki kemampuan lagi. Sementara, jika dipikir-pikir, ibunya itu bukanlah tanggung jawabnya seorang. Masih ada dua saudara, yang memiliki kewajiban yang sama.

Eliza merasa keadaan ini tidak adil untuknya.

---

"Kan hanya kamu yang dapat warisan dari ibu, ya kamu lah yang ngurus ibu," ujar Eva waktu pertama kali Minah divonis stroke.

"Warisan apa maksud Mbak? Rumah ini?"

Setelah menikah dengan Agung, suaminya, Eliza memang tidak pernah pindah dari rumah Minah. Minah sendiri yang memintanya untuk tetap tinggal bersama. Saat ini, Minah masih sehat. Ia kuat, dan bahkan masih aktif berjualan sarapan pagi di depan rumahnya. Usaha yang sudah ia geluti bertahun-tahun, untuk menghidupi anak-anaknya setelah suaminya meninggal.

Eliza menurut. Lagipula, ia tidak tega meninggalkan ibunya tinggal sendiri. Beliau pasti akan kesepian.

Begitulah yang ada dalam pikiran Eliza. Akaj tetapi, bukan berarti dia enak-enak saja menerima harta satu-satunya yang dianggap warisan oleh Eva. Rumah tua milik orang tuanya itu, sudah rusak di sana ini. Eliza dan Agung pun, sudah mengeluarkan banyak uang untuk merenovasi.

"Ya, begitulah ...."

"Jika memang begitu yang kalian inginkan, baiklah," jawab Eliza, sembari menatap dua saudara yang ada di hadapannya. Keduanya sama saja. Hanya menampilkan wajah yang datar, tanpa ekspresi rasa bersalah sedikitpun.

---

Sudah tiga tahun berlalu, sejak peristiwa itu. Hanya Eliza yang selalu sabar mengurus Minah. Kedua kakaknya, tidak pernah berinisiatif untuk menggantikan tugas Eliza. Semua beban yang berat itu, hanya terbeban di pundak Eliza seorang. Bahkan, ketika anak keduanya lahir, tidak sedikitpun mengubah keadaan. Edo dan Eva tetap bertahan pada keadaan yang membuat mereka nyaman. Tanpa sedikitpun memikirkan bagaimana Eliza menjalani beratnya hidup.

Yang mereka berikan hanyalah berbentuk uang, untuk keperluan sang ibu. Membeli diapers, susu, hingga vitamin dan obat-obatan. Itupun tidak rutin. Terkadang, jika tidak diingatkan, Edo dan Eva akan lalai.

Sebagai istri dari seorang karyawan perusahaan kecil, Eliza jelas tidak sanggup untuk membiayai kebutuhan ibunya sendiri. Oleh sebab itu, ia terpaksa harus menebalkan muka untuk mengingatkan kedua kakaknya pada kewajibannya.

Dan, saat ini, Eliza telah sampai pada titik jenuh. Ia terlalu lelah. Bayi kecil yang ia lahirkan dua tahun yang lalu, benar-benar super aktif, hingga menguras energi Eliza setiap hari. Jika ditambah dengan urusan ibunya, Eliza nyaris ambruk, tidak bertenaga. Ia terlalu lelah. Tidak hanya tubuhnya yang lelah, tapi juga pikiran. Jika stres yang ia rasakan sangat berlebihan, maka dua balitanya yang akan jadi sasaran amuk. Amarahnya bisa membuncah dengan cepat.

Maka dari itu, malam ini, Eliza sengaja menghubungi Edo. Ia hanya butuh ketenangan beberapa saat saja. Untuk memberikan ruang pada otaknya agar bisa berpikir normal. Jika kondisi lebih memungkin, ia akan dengan senang hati mengurus ibunya kembali. Bukanlah ada ladang pahala, dari kondisi ibunya sekarang?

Akan tetapi, pada Edo, lelah itu tidak bisa ia adukan. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, Edo melalaikan tanggung jawabnya. Ia mengelak untuk mengurus ibu, sejenak saja. Eliza tidak habis pikir pada pikiran mas-nya itu. Tidakkah ia ingat pada masa kecilnya dulu, ketika masih ada dalam rengkuhan kedua lengan ibunya?

Sekarang harta dan kesibukan, membuat Edo lupa pada segalanya. Padahal dulu, ia adalah anak kebanggaan ibunya. Tidak ada kata tidak, untuk segala keinginannya. Eliza saja sebagai anak bungsu, tidak jarang merasakan cemburu pada Edo.

"Gimana, Dek?"

Munculnya Agung dari balik pintu, mengagetkan Eliza. Ia segera menyapu sudut matanya yang entah sejak kapan basah. Perlahan, ia menggeleng. Hati Eliza nelangsa. Pada siapa lagi, akan ia adukan semua ini? Pada Eva pun, ia juga tidak yakin mendapatkan penawar pada problema dalam dadanya. Sikap Eva selama ini, bahkan lebih parah dari Edo. Anak sulung Minah itu, jangankan untuk pulang untuk melihat kondisi sang ibu, sekadar bertanya saja dalam telepon, bisa dihitung dengan jari sepanjang tahun.

"Aku akan hubungin Mbak Eva ...." lirihnya.

Agung hanya menatap Eliza dalam diam. Ia tidak bisa membantu apa-apa, atas permasalahan istrinya. Awalnya, ia menyarankan Eliza untuk bersabar. Merawat orang tua di masa sepuhnya adalah pekerjaan mulia. Akan berbalas surga, jika ia bisa ikhlas. Akan tetapi, kondisi Eliza terlihat sangat tidak memungkinkan belakangan ini. Dia terlihat stres mengurus segalanya sendiri. Hampir setiap Agung pulang dari bekerja, Eliza mengeluhkan banyak hal. Lelah fisik dan juga batin membuat emosi Eliza tidak terkendali.

Agung tidak habis pikir. Ternyata Edo tidak bisa memberikan solusi atas kondisi adik bungsunya itu. Sebagai laki-laki, seharusnya ia bisa mencarikan jalan keluar untuk semua ini. Tetapi, ia memilih untuk lepas tangan.

Eliza mendengkus dengan kasar. Panggilan teleponnya pada Eva, sudah dua kali tidak mendapatkan jawaban. Entah ada dimana kakaknya itu? Jelas sekali, kalau ia belum tidur. Masih terlalu senja. Jam dinding baru menunjuk ke pukul delapan. Apa jangan-jangan Eva sengaja tidak mengangkat telepon darinya? Benar-benar keterlaluan kakaknya itu! Gumam Eliza kesal.

"Gak diangkat?" Lagi, Agung bersuara.

Eliza mengangguk lemah.

"Coba lagi ...."

Eliza menuruti saran suaminya. Mencoba untuk menghubungi Eva kembali.

"Ada apa, El?" Nada ketus Eva terdengar dari seberang sana.

"Mbak, aku mau bicara ...." Mendengar nada tidak bersahabat dari Eva, Eliza jadi ragu untuk mengungkapkan semuanya. Rasanya ia sudah dapat membaca penolakan yang akan diterimanya.

"Katakanlah, ada apa?"

Eliza mengusap dadanya, berusaha agar emosinya tidak terpancing oleh nada bicara Eva.

"Mbak, kita gantian ngurus ibu ...."

"Apa?" Kalimat Eliza belum usai, tapi Eva sudah terdengar menyela.

"Iya. Kondisi aku lagi gak memungkinkan Mbak. Zaydan lagi aktif-aktifnya. Belum lagi si kakak. Sementara aku hanya sendiri tanpa ART. Aku benar-benar drop." Eliza menghela napasnya. "Mbak bawa dulu ibu ke sana. Beberapa bulan aja. Nanti, kalau kondisi memungkinkan, kami akan jemput ibu kembali ...."

"Gak bisa, El!" tandasnya seketika. Eliza cukup yakin, penolakan itu spontan, tanpa melalui pertimbangan sedikitpun. Benar sekali tebakan Eliza. Pasti lagi-lagi penolakan yang ia terima.

"Tapi, Mbak. Tolonglah .... Aku benar-benar gak sanggup, Mbak. Tubuhku remuk mengurus segalanya sendiri. Mencari ART, keuangan kami gak memungkinkan, Mbak. Kalau Mbak, kedua anak Mbak sudah besar. Mengurus ibu saja, jelas gak akan begitu merepotkan. Lagipula, sementara saja, Mbak. Gak akan selamanya ...." bujuk Eliza, dengan harapan kakaknya itu luluh, dan mengubah keputusan.

"Gak bisa, El. Mbak sibuk. Lagipula Shella dan Gilang gak akan betah tinggal bareng ibu yang sakit-sakitan," tambahnya lagi.

"Astaghfirullahal adziim, Mbak. Tega Mbak ngomong kayak gitu tentang ibu?" Setetes butiran bening dari mata Eliza mengalir begitu saja. Hatinya sakit mendengar penolakan yang tidak masuk akal dari Eva.

"Udah dulu ya, El. Mbak lagi sibuk. Assalamualaikum ...." Ia menutup telepon begitu saja. Tanpa menunggu Eliza menjawab salam yang ia ucapkan.

Tubuh Eliza luruh. Air matanya mengalir begitu saja. Ia tidak habis pikir sama isi kepala kedua kakaknya. Kehidupan duniawi telah menarik dan menenggelamkan mereka terlalu jauh. Hingga melupakan apa yang seharusnya menjadi kewajiban dan sebuah bakti di atas dunia ini.

---

25/05/2023

Address

Jalan Engku Raja Lela Putra
Pelalawan
28381

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Sylvia Basri posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share


Other Digital creator in Pelalawan

Show All