22/01/2024
Kenapa Kalian Membuang Ibu?
Bab 4
πΉπΉπΉ
Karena kaget, Zaydan spontan melempar botol parfum berbentuk bulat telur yang ada di tangannya. Dan ....
Braaakkk ....
Botol kaca itu pecah!
Aroma parfum itu menguar memenuhi kamar. Darah Eliza mendidih. Emosinya tidak terkendali, karena melihat semuanya yang sudah berantakan. Padahal, ia hanya sebentar meninggalkannya. Itupun dalam keadaan tidur lelap. Akan tetapi, yang sebentar itu ternyata berakibat fatal baginya. Semua kosmetiknya hancur. Padahal untuk membeli semua itu, ia harus berjibaku, menghemat segala pengeluaran. Tujuannya agar ia juga bisa cantik di depan suami. Tetapi, dalam sekejap, Zaydan sudah menghancurkan.
Eliza meraih tubuh Zaydan, untuk menjauhkannya dari pecahan beling botol parfum itu. Tangannya bergerak ke arah paha Zaydan, lalu mencubitnya dengan keras.
Zaydan terpekik. Tangisnya pecah, dengan suara keras yang memenuhi rumah dengan tiga kamar itu.
---
Setiap sore, Eliza selalu memapah tubuh ibunya ke arah ruang tamu. Duduk di kursi sebelah dinding, yang ia hadapkan ke arah televisi. Eliza berpikir, ibunya itu pasti suntuk diam di kamar seharian. Jika berada di luar, banyak yang akan dilihatnya. Tingkah pola kedua cucunya, juga bisa membuatnya terhibur.
"Kalau ada apa-apa, panggil El ya Bu. El di belakang, mandiin anak-anak dulu," ujar Eliza, setelah menghidupkan televisi, sebagai hiburan untuk ibunya.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul lima. Eliza harus segera memandikan anak-anaknya. Sebentar lagi, Agung akan pulang dari bekerja. Jika sudah ada di rumah, akan susah mengajak anak-anaknya mandi. Mereka akan sibuk bersama sang ayah.
Saat membuka pakaian Zaydan, Eliza melihat bekas memar kemerahan di paha kiri anaknya itu. Rasa bersalah Eliza timbul di dadanya. Ternyata cubitannya gara-gara kosmetik tadi meninggalkan bekas. Pantas saja, Zaydan terpekik hingga sehisteris itu. Pasti sakit sekali yang anak itu rasakan.
Hampir setengah jam, Eliza baru bisa membawa kedua anaknya itu keluar dari kamar mandi. Seluruh tubuhnya basah. Ia menghela napas panjang. Ritual mandi saja umpama pertempuran bagi Eliza. Banyak drama di dalamnya.
Tepat saat ia menggend**g tubuh Zaydan untuk dibawa ke kamar, suara sepeda motor terdengar di halaman. Tentu saja Agung yang pulang dari bekerja. Mendengar suara itu, Zaydan langsung berontak ingin turun dari gend**gan Eliza. Meskipun ditahan sekuat tenaga, percuma saja. Ia semakin berontak, tidak peduli ia akan jatuh karena terlepas.
"Ya ... a ...ayah ...." teriaknya, khas suara anak yang baru belajar bicara.
Eliza terpaksa menurunkannya. Tetapi, Eliza urung langsung melepaskannya. Sebagian tubuh Zaydan masih basah. Apalagi kakinya. Berlari dalam keadaan seperti itu, pasti bahaya. Jari-jari anak seusia Zaydan masih belum kokoh untuk menahan tubuh. Bisa jadi ia akan terpeleset karena licin.
"Keringkan dulu tubuhmu, Nak ...." pinta Eliza, menahan sebelah tangan Zaydan. Tetapi, anak itu tidak paham akan bahaya yang bisa saja menghadangnya.
Tepat di saat Eliza sedang fokus pada anaknya, Minah terdengar bersuara dari depan.
"El ... El ...." teriaknya.
"Bentar, Bu!" jawab Eliza. Satu tangannya masih menahan tangan Zaydan, berusaha menyapu tubuh basah anaknya dengan handuk.
"Ibu mau kencing!" teriakan Minah terdengar lagi.
Perhatian Eliza terbagi. Fokusnya buyar. Hal itu dimanfaatkan Zaydan untuk lepas dari sang ibu. Ia merenggut tangannya dari genggaman Eliza, dan langsung berlari.
"Ya Allah, Dek!" Eliza segera berlari mengejar Zaydan yang sudah dengan cepat menghilang.
"Cepat d**g, El. Ibu mau kencing!"
Eliza membatalkan niatnya mengejar Zaydan, lalu beralih ke arah sang ibu. Toh, di depan sudah ada suaminya yang bisa menjaga Zaydan.
Eliza mulai memapah sang ibu yang terlihat sudah tidak sabar. Padahal bukan masalah jika ia kencing di tempatnya duduk. Toh, Eliza selalu memakaikannya diapers. Akan tetapi, begitulah selalu. Minah enggan sekali melakukannya.
Akan tetapi, baru saja ia bergerak. Tiba-tiba ....
Suara dentuman disertai pekik menyayat Zaydan terdengar kencang. Eliza terpekik. Ia kembali meletakkan sang ibu di tempat semula. Lalu, segera berlari menuju asal suara.
"Ya Allah, Nak!
Eliza melihat anaknya itu tertelungkup di sisi pintu. Suara dentuman itu jelas sekali, kalau kepala anaknya menghantam tepat di kusen pintu. Eliza meraih tubuh Zaydan. Tulang-tulangnya terasa lolos dari setiap sendi. Tubuhnya gemetar melihat darah yang mengucur dari dahi anaknya itu.
"Ya Allah!" Eliza hanya bisa berteriak, tanpa tahu harus melakukan apa. "Masss!!!" teriaknya lagi, memanggil sang suami yang entah kemana perginya. Padahal jelas sekali kalau ia sudah pulang.
Zaydan masih menangis kesakitan.
Agung datang dengan langkah tergopoh. Sehabis memarkirkan sepeda motornya di depan rumah, ia kembali ke luar. Pak Budi, tetangga sebelah kanan rumah mereka meminta bantuan sebentar.
Ia terkejut mendengar suara teriakan Eliza yang kencang.
"Ya Allah, Dek. Apa yang terjadi?" Agung langsung meraih tubuh Zaydan. "Kita bawa Zay ke klinik ...."
---
Ternyata kondisi Zaydan tidak begitu parah. Kulit dahinya hanya sobek sedikit, dapat dua jahitan. Selebihnya tidak ada masalah. Menurut pikiran Eliza, kepala Zaydan tadi membentur kusen pintu depan. Sehingga menyebabkan luka.
Eliza baru bisa tenang setelah luka Zaydan selesai di perban. Ia merasa menjadi ibu yang lalai. Tidak bisa menjaga anak dengan baik. Rasa bersalah juga menghinggapi sebagian ruang di dadanya. Tadi siang, anak bungsunya itu sudah mendapat cubitan, hingga meninggalkan bekas di pahanya. Dan, sekarang .... Eliza mengutuk dirinya.
Kalau saja, ibunya tidak mendesaknya tadi, semua ini tidak akan terjadi.
---
Link KBM App
πππ
https://read.kbm.id/book/detail/e9cc41be-dbfc-3a1a-f309-d8aa7881fb14?af=ca825cf3-c6f1-cfc1-236e-e0c086c481d1