19/01/2024
Kamu Terpesona?
Malang tak dapat ditolak, meski Asmara masih kesal dengan kejadian tadi pagi antara dirinya dan Saka, serta tak ingin melihat bocah itu, dia harus profesional bekerja. Dia harus berusaha sebisa mungkin menjaga rahasianya rapat-rapat .
Baru saja dia keluar dari ruang guru, beberapa siswa yang dia temui menyapanya dengan hangat. Asmara berjalan ke kelas yang ditujunya. Meski enggan, dia tak punya pilihan. Sampai di depan kelas Saka, terdengar kegaduhan seperti biasanya saat jam kosong.
Asmara berhenti sejenak dan berdeham, lalu masuk, dengan langkah pelan menyapa semua anak didiknya.
“Selamat pagi semua.”
“Selamat pagi, Bu,” sahut mereka serempak.
“Pagi ini saya menggantikan Bu Mira di sini, kebetulan Bu Mira ada kepentingan sebentar dengan Ibu kepala sekolah jadi beliau hanya memberikan tugas untuk kalian. Siapa sekretarisnya? Silakan maju ke depan, tolong catat ini di white board,” perintah Asmara.
Dia menatap berkeliling, murid-murid yang tadinya ramai kini menutup mulutnya rapat, tepat saat matanya menyapu sudut kelas, dia mendapati Saka yang juga sedang menatapnya. Seolah tak mau kalah dengan bocah tengil itu, Asmara tak mau mengalihkan pandangannya.
Saka yang sudah tahu perangai Asmara tak mau ambil pusing dan memilih menyibukkan dirinya dengan tugas yang diberikan. Saat ini dia sedang berada di kelas, dia tak mau jika salah satu dari temannya menyadari bahwa mereka berdua saling menatap satu sama lain. Tak mau kalau dia jadi bahan ledekan teman satu kelasnya.
Hampir sepuluh menit Asmara menatap Saka yang tampak sibuk mengerjakan tugas. Kalau dilihat-lihat wajah Saka memang cukup tampan, pantas saja kalau dia dielu-elukan cewek-cewek di SMA Gemilang. Kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah ranum, menjadi pemandangan yang cukup indah dinikmati.
Asmara mengutuk pikirannya yang sudah lancang mengagumi suami jadi-jadiannya. Untungnya suara hak sepatu Bu Mira menyadarkannya dari kegilaan yang baru saja dia lakukan.
Sekembalinya Bu Mira ke kelas, Asmara keluar dari kelas dua belas MIPA satu. Dia berdeham meredakan kegugupannya. Ponsel di saku bajunya bergetar, Asmara mengambil ponsel dan membuka chat gelembung yang baru saja masuk. Sebuah nomor tak dikenal mengirimkan pesan untuknya. Asmara membukanya dan membaca pesan masuk.
[Saka : Sepertinya istriku terpesona dengan ketampananku.]
‘Brengsek! Jadi nomor tak dikenal itu ternyata Saka. Diam-diam bocah tengil itu tahu kalau Asmara memperhatikannya. Asmara memasukkan ponselnya kembali, melanjutkan keinginannya kembali ke ruangannya.
Baru saja dia mendudukkan tubuhnya ponselnya kembali bergetar, Saka mengirimkan pesan lagi.
[Saka : Kenapa tak membalas pesan suamimu, Istriku.]
Asmara menghela nafas kesal, baru sehari mereka menjadi suami istri, tapi sejak semalam hingga sekarang bocah tengik itu terus-terusan mengganggunya, membuatnya benar-benar ingin memberikan pelajaran padanya agar dia tahu bahwa saat mereka berada di sekolah hubungan di antara mereka hanyalah guru dan murid. Dengan sedikit emosi Asmara segera mengetikkan pesan balasan untuk Saka.
[Asmara : Hei bocah, sekali lagi kamu mengirimkan pesan padaku, maka aku akan melaporkan kamu pada wali kelasmu, dan mengatakan padanya kalau kamu sibuk bermain ponsel saat pelajaran sedang berlangsung.]
Send.
Tak perlu menunggu lama, Saka pun dengan cepat membalas pesan balasan dari Asmara.
[Saka : Silakan saja, laporkan dan kita lihat apakah kamu berani melaporkanku, aku yakin mereka pasti bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bermain ponsel di kelas.]
“Damn it!” umpatnya hampir tak terdengar, tak mau jika guru yang masih tinggal di ruangan itu mendengarnya. Sebagai seorang guru dia harus bisa menjaga ucapannya saat berada di lingkungan sekolah.
Jam istirahat baru saja selesai, setelah itu dia akan mengajar di kelas Saka. Asmara berusaha menata hati dan pikirannya, tak mau jika moodnya yang buruk terbawa saat dia mengajar.
Baru saja dia keluar dan hendak menuju kelas Saka, di lorong dia bertemu dengan guru olahraga yang menyapanya dengan senyum termanisnya, mereka terlihat tertawa bersama, Saka yang hendak ke kamar mandi tak sengaja melihatnya. Entah kenapa ada rasa yang tak biasa saat melihat Asmara begitu dekat dengan lelaki lain. Ada sesak merundung di dadanya, mungkinkah dia sudah jatuh hati dengan gurunya sendiri, dengan kekasih pamannya itu, tapi hatinya masih tertulis satu nama di sana.
Saka melanjutkan langkahnya ke kamar mandi, di sana dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Asmara. Tak perlu menunggu lama Asmara segera menjawabnya.
“Apa!”
“Kenapa Anda terlihat murahan, tertawa begitu intim dengan lelaki lain.”
“Maksud kamu apa! Apa kamu tak pernah belajar sopan santun? Ingat, kamu sedang berada di mana,” bisiknya sembari menutup sebagian ponselnya dengan telapak tangannya.
Sungguh, Saka benar-benar memainkan emosinya, ingin sekali dia menghampiri bocah tengil itu dan menamparnya hingga puas, tapi itu tak mungkin terjadi. Apalagi kalau sampai orang tuanya tahu bisa-bisa Papanya terkena serangan jantung lagi.
“Pikir sendiri apa yang sudah kamu lakukan barusan!”
Panggilan berakhir, sakit hatinya mendengar kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Saka. Namun, Asmara tak mau larut dalam kekesalannya, dia segera masuk ke dalam kelas Saka, mengajar matematika. Diabaikannya Saka yang baru saja kembali dari kamar mandi dan duduk di bangkunya. Bocah tengil itu terus-terusan memandang Asmara yang berdiri di depan menerangkan pembelajaran hari ini. Untungnya semuanya berjalan lancar hingga jam berakhir.
Selesai membereskan buku-buku yang dia bawa, dia keluar dan langsung saja menuju parkiran, sesekali menjawab sapaan murid-murid yang bertemu dengannya, mereka menggoda Asmara, tapi dia hanya menggelengkan kepala, sadar bahwa murid-muridnya memang sedang berada di fase peralihan. Asmara segera memakai helm dan mengeluarkan sepeda motor maticnya, dia harus segera ke kampus mengurus skripsinya.
Saka yang melihat kepergian Asmara dari atas, menatap perempuan itu hingga menghilang dari pandangannya, sejujurnya dia ingin tahu ke mana Asmara pergi. Dia sedikit menyesali perkataannya pada Asmara yang menurutnya cukup kasar padahal Asmara lebih tua darinya, tak seharusnya dia mengatakan itu tadi, tapi rasa aneh yang menyeruak dalam dadanya menuntunnya untuk berbuat hal yang menyakiti hati Asmara.
Seperti yang dikatakan tadi pada mertuanya, Saka dan Papanya bertemu di rumah yang akan ditempati Saka dan Asmara. Rumah itu merupakan hadiah yang diberikan orang tua Saka. Tanpa sepengetahuan Asmara, Saka sudah memiliki usaha sendiri sejak dia kelas sepuluh, Papanya memang memperkerjakan dia, mengajarinya untuk hidup mandiri, sebab dia anak lelaki pertama yang akan menggantikan Papanya jika suatu saat Papanya tidak ada.
“Nak, kenapa tak mengajak istrimu untuk datang ke sini dan melihat rumah yang akan kalian tempati.”
“Saka tak tahu dia pergi ke mana, Pa.”
“Kenapa kamu tak bertanya padanya, kamu ini suaminya sudah sewajarnya kalau kamu tahu ke mana Asmara pergi, coba sekarang kamu telepon dia dan minta padanya untuk datang kemari kalau ada waktu.”
“Tapi, Pa.”
“Apa!”