kardinah.dinah

kardinah.dinah writing is healing
find me on novelme, goodnovel, goodwill indonesia

19/01/2024

Kamu Terpesona?

Malang tak dapat ditolak, meski Asmara masih kesal dengan kejadian tadi pagi antara dirinya dan Saka, serta tak ingin melihat bocah itu, dia harus profesional bekerja. Dia harus berusaha sebisa mungkin menjaga rahasianya rapat-rapat .
Baru saja dia keluar dari ruang guru, beberapa siswa yang dia temui menyapanya dengan hangat. Asmara berjalan ke kelas yang ditujunya. Meski enggan, dia tak punya pilihan. Sampai di depan kelas Saka, terdengar kegaduhan seperti biasanya saat jam kosong.
Asmara berhenti sejenak dan berdeham, lalu masuk, dengan langkah pelan menyapa semua anak didiknya.
“Selamat pagi semua.”
“Selamat pagi, Bu,” sahut mereka serempak.
“Pagi ini saya menggantikan Bu Mira di sini, kebetulan Bu Mira ada kepentingan sebentar dengan Ibu kepala sekolah jadi beliau hanya memberikan tugas untuk kalian. Siapa sekretarisnya? Silakan maju ke depan, tolong catat ini di white board,” perintah Asmara.
Dia menatap berkeliling, murid-murid yang tadinya ramai kini menutup mulutnya rapat, tepat saat matanya menyapu sudut kelas, dia mendapati Saka yang juga sedang menatapnya. Seolah tak mau kalah dengan bocah tengil itu, Asmara tak mau mengalihkan pandangannya.
Saka yang sudah tahu perangai Asmara tak mau ambil pusing dan memilih menyibukkan dirinya dengan tugas yang diberikan. Saat ini dia sedang berada di kelas, dia tak mau jika salah satu dari temannya menyadari bahwa mereka berdua saling menatap satu sama lain. Tak mau kalau dia jadi bahan ledekan teman satu kelasnya.
Hampir sepuluh menit Asmara menatap Saka yang tampak sibuk mengerjakan tugas. Kalau dilihat-lihat wajah Saka memang cukup tampan, pantas saja kalau dia dielu-elukan cewek-cewek di SMA Gemilang. Kulitnya yang putih bersih, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah ranum, menjadi pemandangan yang cukup indah dinikmati.
Asmara mengutuk pikirannya yang sudah lancang mengagumi suami jadi-jadiannya. Untungnya suara hak sepatu Bu Mira menyadarkannya dari kegilaan yang baru saja dia lakukan.
Sekembalinya Bu Mira ke kelas, Asmara keluar dari kelas dua belas MIPA satu. Dia berdeham meredakan kegugupannya. Ponsel di saku bajunya bergetar, Asmara mengambil ponsel dan membuka chat gelembung yang baru saja masuk. Sebuah nomor tak dikenal mengirimkan pesan untuknya. Asmara membukanya dan membaca pesan masuk.
[Saka : Sepertinya istriku terpesona dengan ketampananku.]
‘Brengsek! Jadi nomor tak dikenal itu ternyata Saka. Diam-diam bocah tengil itu tahu kalau Asmara memperhatikannya. Asmara memasukkan ponselnya kembali, melanjutkan keinginannya kembali ke ruangannya.
Baru saja dia mendudukkan tubuhnya ponselnya kembali bergetar, Saka mengirimkan pesan lagi.
[Saka : Kenapa tak membalas pesan suamimu, Istriku.]
Asmara menghela nafas kesal, baru sehari mereka menjadi suami istri, tapi sejak semalam hingga sekarang bocah tengik itu terus-terusan mengganggunya, membuatnya benar-benar ingin memberikan pelajaran padanya agar dia tahu bahwa saat mereka berada di sekolah hubungan di antara mereka hanyalah guru dan murid. Dengan sedikit emosi Asmara segera mengetikkan pesan balasan untuk Saka.
[Asmara : Hei bocah, sekali lagi kamu mengirimkan pesan padaku, maka aku akan melaporkan kamu pada wali kelasmu, dan mengatakan padanya kalau kamu sibuk bermain ponsel saat pelajaran sedang berlangsung.]
Send.
Tak perlu menunggu lama, Saka pun dengan cepat membalas pesan balasan dari Asmara.
[Saka : Silakan saja, laporkan dan kita lihat apakah kamu berani melaporkanku, aku yakin mereka pasti bertanya-tanya, bagaimana kamu bisa tahu kalau aku bermain ponsel di kelas.]
“Damn it!” umpatnya hampir tak terdengar, tak mau jika guru yang masih tinggal di ruangan itu mendengarnya. Sebagai seorang guru dia harus bisa menjaga ucapannya saat berada di lingkungan sekolah.
Jam istirahat baru saja selesai, setelah itu dia akan mengajar di kelas Saka. Asmara berusaha menata hati dan pikirannya, tak mau jika moodnya yang buruk terbawa saat dia mengajar.
Baru saja dia keluar dan hendak menuju kelas Saka, di lorong dia bertemu dengan guru olahraga yang menyapanya dengan senyum termanisnya, mereka terlihat tertawa bersama, Saka yang hendak ke kamar mandi tak sengaja melihatnya. Entah kenapa ada rasa yang tak biasa saat melihat Asmara begitu dekat dengan lelaki lain. Ada sesak merundung di dadanya, mungkinkah dia sudah jatuh hati dengan gurunya sendiri, dengan kekasih pamannya itu, tapi hatinya masih tertulis satu nama di sana.
Saka melanjutkan langkahnya ke kamar mandi, di sana dia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Asmara. Tak perlu menunggu lama Asmara segera menjawabnya.
“Apa!”
“Kenapa Anda terlihat murahan, tertawa begitu intim dengan lelaki lain.”
“Maksud kamu apa! Apa kamu tak pernah belajar sopan santun? Ingat, kamu sedang berada di mana,” bisiknya sembari menutup sebagian ponselnya dengan telapak tangannya.
Sungguh, Saka benar-benar memainkan emosinya, ingin sekali dia menghampiri bocah tengil itu dan menamparnya hingga puas, tapi itu tak mungkin terjadi. Apalagi kalau sampai orang tuanya tahu bisa-bisa Papanya terkena serangan jantung lagi.
“Pikir sendiri apa yang sudah kamu lakukan barusan!”
Panggilan berakhir, sakit hatinya mendengar kalimat yang baru saja dia dengar dari mulut Saka. Namun, Asmara tak mau larut dalam kekesalannya, dia segera masuk ke dalam kelas Saka, mengajar matematika. Diabaikannya Saka yang baru saja kembali dari kamar mandi dan duduk di bangkunya. Bocah tengil itu terus-terusan memandang Asmara yang berdiri di depan menerangkan pembelajaran hari ini. Untungnya semuanya berjalan lancar hingga jam berakhir.
Selesai membereskan buku-buku yang dia bawa, dia keluar dan langsung saja menuju parkiran, sesekali menjawab sapaan murid-murid yang bertemu dengannya, mereka menggoda Asmara, tapi dia hanya menggelengkan kepala, sadar bahwa murid-muridnya memang sedang berada di fase peralihan. Asmara segera memakai helm dan mengeluarkan sepeda motor maticnya, dia harus segera ke kampus mengurus skripsinya.
Saka yang melihat kepergian Asmara dari atas, menatap perempuan itu hingga menghilang dari pandangannya, sejujurnya dia ingin tahu ke mana Asmara pergi. Dia sedikit menyesali perkataannya pada Asmara yang menurutnya cukup kasar padahal Asmara lebih tua darinya, tak seharusnya dia mengatakan itu tadi, tapi rasa aneh yang menyeruak dalam dadanya menuntunnya untuk berbuat hal yang menyakiti hati Asmara.
Seperti yang dikatakan tadi pada mertuanya, Saka dan Papanya bertemu di rumah yang akan ditempati Saka dan Asmara. Rumah itu merupakan hadiah yang diberikan orang tua Saka. Tanpa sepengetahuan Asmara, Saka sudah memiliki usaha sendiri sejak dia kelas sepuluh, Papanya memang memperkerjakan dia, mengajarinya untuk hidup mandiri, sebab dia anak lelaki pertama yang akan menggantikan Papanya jika suatu saat Papanya tidak ada.
“Nak, kenapa tak mengajak istrimu untuk datang ke sini dan melihat rumah yang akan kalian tempati.”
“Saka tak tahu dia pergi ke mana, Pa.”
“Kenapa kamu tak bertanya padanya, kamu ini suaminya sudah sewajarnya kalau kamu tahu ke mana Asmara pergi, coba sekarang kamu telepon dia dan minta padanya untuk datang kemari kalau ada waktu.”
“Tapi, Pa.”
“Apa!”

19/01/2024

Dia Suamimu

Asmara menempatkan dirinya di sebelah Saka, melihat mamanya yang memberi kode padanya lewat mata, membuatnya makin kesal saja.
“Tolong, ambilkan saya makan,” bisik Saka pada Asmara sembari menaik-turunkan alisnya.
Dengan gerakan kasar dia mengambilkan nasi goreng dan menuangkan di atas piring Saka, mamanya yang melihatnya pun menegurnya.
“Mara, lembut sedikit.”
“Iya, Ma.”
“Yang lembut, Mara,” ejek Saka pada Asmara.
“Aduh, sakit!”
“Mara!!”
Asmara menatap mamanya dan menunjukan cengiran kuda, memasang wajah tak bersalah, berharap mamanya tak akan mengomelinya lagi pagi ini. Seperti dugaannya, Mamanya tahu kalau Asmara baru saja mencubit bocah nakal di sampingnya.
“Mara jangan mencubitnya, ingat Mara dia suamimu, kamu harus melayani Saka dengan baik.”
“Ma..”
Saka dengan gayanya yang tengil menatap Asmara, dia juga menampilkan smirk di sudut bibirnya, membuat Asmara makin kesal dibuatnya. Katanya menikah dengan pasangan yang lebih muda bisa membuat kita lebih awet muda, tapi sepertinya itu tidak berlaku untuknya, itu hanyalah sebuah kebohongan yang dikarang untuk denial dengan keadaan yang sebenarnya, buktinya sekarang, dia gampang emosian, membuatnya cepat naik darah, serta mudah terserang darah tinggi, bisa-bisa dia akan lebih cepat mati.
Mereka makan dengan khidmat, tak mau terlambat sampai di sekolah Saka pun pamit terlebih dahulu.
“Ma, Pa, Saka pergi dulu, mungkin pulangnya agak terlambat, sebab setelah pulang sekolah nanti, Saka dan Papa mau mengurus rumah yang akan kami tempati.”
Papa Asmara mengangguk, dia tahu meski menantunya itu masih remaja, dia memiliki tanggung jawab yang besar pada anaknya, walaupun Saka lebih muda dari Asmara Pak Jefri tidak terlalu khawatir dengannya, Saka cukup bisa diandalkan. Dia tau track record Saka dan keluarga Yuda Brata.
“Hati-hati, Nak, Papamu sudah mengantarkan mobilmu kemari, ada di garasi, biar Mara ambilkan kuncinya.”
Saka pun mengangguk dan mencium punggung tangan mertuanya. Mama Asmara menatap putrinya dengan tajam, Asmara yang tahu arti dari tatapan matanya pun berdiri dari tempat duduknya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dia berjalan mendekati nakas yang berada di dekat televisi, menarik laci dan menemukan kunci mobil milik Saka di sana.
“Nih, kuncinya,” ucapnya sembari memberikan kunci dengan kasar.
“Maraaa, yang bagus, Nak, pamit sama suamimu, cium punggung tangannya.”
‘Damn it! Apa dia tak salah dengar dengan ucapan mamanya, mana mungkin dia mencium tangan murid lelakinya. Argh sial.’
Asmara lagi-lagi merutuki dirinya, Saka yang memang jahil pun mengulurkan tangannya pada Asmara, menunggu hingga Asmara menyambut uluran tangannya.
Mamanya yang melihat interaksi mereka berdua pun gemas sendiri, lagi, dia menghardik putrinya.
“Asmara! Suamimu menunggumu Apa yang kamu pikirkan!”
“Tapi, Ma.”
“Cepatlah keburu tanganku pegal dan aku terlambat, kalau sampai ku tak bisa masuk kelas karena terlambat, aku akan mengatakan pada mereka semua kalau kamu istriku,” ancamnya nyaris tak terdengar.
Gatal telinga Asmara mendengarnya, ingin rasanya dia mengeluarkan sabuk hitam dan memberi peringatan pada bocah tengil di depannya. Mau tak mau dia pun mengalah dan mencium punggung tangan Saka.
Saka yang hendak membalas dengan mencium kening Asmara mendapati Asmara melotot ke arahnya. Saka pun mengurungkan niatnya, padahal dia ingin sekali melakukannya, seperti yang biasa dia lihat di rumahnya. Di mana mamanya yang mencium punggung tangan Papanya dan Papanya akan mencium kening mamanya.
Saka berbalik, melangkahkan kaki keluar dari rumah Asmara. Sebagai seorang istri yang takut dengan orang tuanya, dia mengantarkan suaminya hingga berangkat, bukan berangkat bekerja seperti ekspektasinya selama ini, tapi suaminya berangkat sekolah, sungguh fenomena yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
“Da..dah, istriku, aku tunggu kamu di sekolah,” ejek Saka pada Asmara yang berdiri melipat tangan di dada sembari memberinya tatapan yang menghunus.
Saka yang melihat wajah Asmara hanya bisa menahan tawa, dia segera masuk ke dalam mobil dan mulai melajukan kendaraan menuju sekolahnya.
Melihat mobil Saka yang sudah menjauh dan tak nampak lagi, Asmara pun kembali masuk ke dalam rumah. Dia meneruskan sarapannya yang tadi belum dia selesaikan. Papanya yang sejak tadi diam saja kini mulai membuka suara.
“Mara, sekarang Saka suamimu, jadi hormatilah Saka layaknya seorang suami ketika dia di rumah. Saat ini pernikahan kalian memang ditutupi, tapi setelah selesai ujian kelulusan, orang tua Saka berkeinginan untuk merayakan pernikahan kalian.”
“Tapi, Pa.”
“Tidak ada tapi-tapian Mara, semua yang terjadi sudah digariskan dan menjadi takdirmu! Jadi lebih baik kamu jalani saja rumah tangga kalian dengan baik. Setidaknya Saka bertanggung jawab! Tidak seperti Bintang yang meninggalkan kamu begitu saja, dia anggap apa kita ini!” serunya sembari mengelus dadanya.
Mama Asmara yang khawatir dengan penyakit suaminya pun mendekatinya dan mulai menenangkan Pak Jefri.
“Pa, tenang, ingat jantung Papa.”
“Antarkan Papa ke balkon, Ma.”
Asmara diam, yang dikatakan Papanya membuatnya terluka, tapi apa dikata, semua kalimat yang terlontar dari mulut Papanya memang benar. Nasi sudah menjadi bubur sebaiknya dia nikmati saja bubur itu hingga habis.
Selesai sarapan, Asmara segera kembali ke kamarnya, dia harus bersiap pergi ke sekolah, setelah itu dia harus pergi ke kampus mengurus skripsinya, dia mau secepat mungkin lulus dan fokus dengan pekerjaannya.
Selesai bersiap, dia segera turun dan berpamitan pada kedua orang tuanya. Dia menghampiri Papa dan Mamanya di balkon.
“Mara berangkat dulu, Ma, Pa, mungkin nanti Mara pulang agak terlambat, Mara mau ke kampus dulu.”
“Hati-hati, kalau sekiranya kamu pulang malam sebaiknya kamu bawa mobil saja.”
“Malas, Ma, ribet kalau harus membawa mobil.”
“Bilang saja kalau kamu nggak bisa kebut-kebutan, kan? Mungkin dulu kamu mau lahir cowok, tapi, nggak jadi, untung saja sekarang kamu kembali ke kodratmu, memakai rok panjang. Mama yakin kamu tersiksa tapi tak punya pilihan.”
Asmara terkekeh mendengar perkataan mamanya, dia pun bergegas mengambil kunci motornya dan melesat dengan kencang. Mamanya yang melihat anak semata wayangnya keluar dari pagar rumahnya seperti seorang pembalap hanya bisa menggelengkan kepala, sedang Papanya menghela nafas.
Jalanan yang tidak begitu ramai membuat Asmara cepat sampai di SMA Gemilang, tempat Saka menimba ilmu. Sekolah elit itu memang menjadi sekolah favorit golongan menengah ke atas. Tak menunggu lama, dia yang selesai memarkirkan sepeda motornya berjalan ke ruangannya. Beberapa siswa yang kebetulan hendak masuk ke kelas menyapanya. Asmara Danita, guru muda yang menjadi favorit murid-muridnya di sekolah, tak terkecuali guru lelaki di sana. Wajahnya yang ayu, dan memiliki wajah baby face membuat banyak orang menyukainya, apalagi pembawaannya yang humble dan ramah membuatnya terkenal di seantero SMA Gemilang. Mungkin jika ada pemilihan Guru terfavorit dia pasti akan memenangkannya.
“Selamat Pagi, semuanya,” sapanya pada semua guru di ruangan yang sama dengannya.
“Pagi, Bu Mara, bisa bantu saya sebentar? Saya harus ke ruang kepala sekolah, bisakah Bu Mara menggantikan saya sebentar sampai saya kembali? Pagi ini Bu Mara tidak ada jam, kan?”
“Iya, Bu Mira, saya mengajar nanti setelah istirahat pertama, baiklah saya akan menggantikan Bu Mira. Di kelas berapa ya, Bu?” tanya Asmara pada guru bahasa inggris itu.
“Kelas dua belas MIPA satu,” jawabnya sembari menyerahkan lembar tugas yang akan di berikan pada anak-anak didiknya.
Deg!

14/01/2024

Malam Pertama

"Jadi, kamu mau membuktikan aku laki-laki atau bukan! Ayo, biar aku buktikan!”
“Modus! Keluar dari kamarku!”
Sejak mereka berdua masuk ke dalam kamar, perang dunia ketiga mulai terjadi, untungnya kamar milik Asmara dilengkapi dengan kedap suara, sehingga adu mulut antara dia dan Saka sejak tadi, tak terdengar dari luar.
“Baiklah aku akan keluar, tapi, jangan salahkan aku kalau jantung Papamu kumat lagi gara-gara kamu!”
Baru saja Saka memutar tubuhnya hendak melangkah mendekati pintu, Asmara buru -buru menarik lengan tangannya, dia panik, tak mau terjadi sesuatu dengan papanya. Saka pun merasa di atas angin, dia tersenyum penuh kemenangan.
“Tidur di bawah!” seru Asmara pada Saka.
Hanya perihal tidur saja mereka bertengkar.
Asmara kemudian melemparkan blanket ke wajah Saka yang menatapnya dengan tatapan mengiba, selama ini, dia selalu hidup dengan nyaman dan tak pernah tidur selain di ranjangnya yang empuk.
“Aku mau tidur di atas!”
“Enggak! Ini kamarku, aku yang berhak menentukan kamu tidur di mana.”
“Tapi aku suamimu!”
“Tapi aku lebih tua darimu, dan kamu harus menurut denganku! Atau aku bisa memberimu nilai yang bisa membuatmu tidak lulus tahun ini! Jadi lebih baik kamu menurut padaku!”
“Argh, aku bisa gila, ini malam pertama kita dan kamu membuatnya seperti di neraka, dasar wanita tua!”
Asmara mengepalkan kedua tangannya di samping tubuhnya, sungguh amarahnya sudah berada pada puncaknya, apalagi mendengar perkataan Saka yang mengatai dirinya tua. Ingin rasanya Asmara merobek mulut bocah laki-laki yang baru saja menjadi suaminya. Dia benci dengan takdir yang mempermainkan hidupnya, kenapa dia harus menikah dengan laki-laki yang hampir berumur sembilan belas tahun dengan kelabilan di atas rata-rata.
Dengan percaya diri, Saka naik ke atas ranjang milik Asmara. Karena sudah cukup lelah dengan prosesi pernikahan hari ini, Asmara yang sudah tak memiliki tenaga pun memilih diam, dia tak mau berdebat lagi dengan Saka. Asmara membaringkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Matanya melayang pada kejadian yang membuatnya berpikir tentang nasibnya, seharusnya malam ini adalah malam pertama untuknya dan kekasihnya, tapi malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Paman Saka yang kebetulan kekasih Asmara memilih untuk tak datang di acara pernikahannya. Sehingga membuat Saka yang masih bau kencur itu dengan s**arela menggantikan pamannya. Saka sendiri tak tahu kenapa dia melakukannya, mungkin karena merasa kasihan dengan keluarganya atau memang kasihan dengan Asmara.
“Kenapa membantuku, masa depanmu masih panjang. Tak seharusnya kamu menggantikan Bintang untuk menikahiku, bagaimana kalau teman-teman mu tahu kamu menikahi gurumu?”
“Tidak ada yang tahu kalau Bu Mara tutup mulut,” jawabnya acuh tak acuh.
Asmara yang kesal dengan jawaban yang diberikan Saka pun mendorong tubuh lelaki itu menggunakan kakinya hingga dia terjatuh dari tempat tidur.
“Aw, sakit!” serunya kesal. Dia bangun dan berpindah ke sofa panjang membawa blanket yang diberikan Asmara untuknya.
Saka merutuki dirinya sendiri, kenapa dia dengan bodohnya mau menggantikan pamannya menikahi guru yang saat ini baru saja selesai KKN di sekolahnya, dan diminta menjadi guru honorer di sana.
Saka yang terbiasa tidur dalam remang kamarnya pun bangkit dari sofa dan mematikan lampu kamar. Sebaliknya dengan Asmara, dia yang takut gelap pun berdiri dan menghidupkan lampu kembali.
“Aku nggak bisa tidur kalau lampu mati!”
“Ribet banget sih, hidup kamu!”
“Jangan kurang ajar kamu! Kamu itu laki-laki, sebaiknya kamu yang mengalah dengan perempuan, bukannya sebaliknya.”
“Cerewet,” ucap Saka kembali mematikan lampu kamar.
Asmara yang tak mau kalah dengan Saka pun menghidupkannya kembali, begitu terus sampai malam kian larut.
Saka yang sudah dibatas kesabarannya pun berkata, “Pantas saja Om Bintang tak mau menikahimu, kamu ini keras kepala dan kasar, berbeda saat kamu mengajar di kelas, pencitraan!”
Deg!
Mendadak sesak merundung dadanya, apa karena alasan itukah Bintang tidak datang di pernikahan mereka. Hatinya yang rapuh membuatnya memilih untuk keluar dari kamar, niatnya mencari udara segar agar pikirannya tidak semakin kalut.
Saat Asmara baru saja turun dari kamarnya, mamanya yang kebetulan masih duduk di ruang makan menyapanya.
“Nggak bisa tidur, Ra? Atau kamu butuh sesuatu?”
Asmara menghela nafas berat, seolah ingin melepas semua beban yang mengimpit dirinya. Dia duduk berhadapan dengan mamanya.
“Ma..”
“Hem, apa? Mama tahu perasaan kamu.”
“Ma, Mara mau kembali ke kamar.”
Mama Asmara mengangguk. Tadinya dia keluar kamar ingin menjernihkan pikirannya, tapi yang terjadi malah hatinya semakin tak karuan saat melihat Mamanya termenung sendirian. Dia meyakini bahwa Mamanya juga sedih melihat keadaannya.
Asmara membuka pintu kamarnya dan masuk ke dalam, dilihatnya Saka tertidur di atas ranjangnya. Asmara pun menghela nafas kesal, bagaimana dia tidur kalau ada Saka di sana. Asmara membaringkan tubuhnya di sofa, dia menatap langit-langit kamarnya, berulang kali dia mengutuk dirinya karena sudah keluar dari kamarnya demi meredam emosinya. Kini dia harus menanggung akibatnya, muridnya itu kini menguasai tempat tidur miliknya.
Rasa lelah yang mendera membuat Asmara mulai larut dalam kantuk yang kini menyerangnya. Dia pun mulai hanyut dalam mimpinya hingga pagi menjelang.
Ketukan di pintu kamarnya membuat dia terbangun dan betapa terkejutnya asmara saat membuka matanya dia sudah berada di atas tempat tidurnya. Matanya menatap berkeliling ke setiap sudut kamarnya, dia sama sekali tak melihat Saka, entah ke mana bocah itu pergi.
Ketukan di pintu kamarnya semakin keras, Asmara menyibak selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari atas ranjangnya. Dia membuka pintu kamar dan melihat sosok mamanya tersenyum ke arahnya.
“Bangun, Mara, suamimu sudah di meja makan dan bersiap hendak pergi sekolah, tapi, kamu masih tertidur di atas ranjangmu, temani dia sarapan.”
“Apa? Mama nggak salah bicara, kan? Mama menyuruh Mara menemani dia? Ma, mana mungkin....”
“Mara! Meski dia muridmu di sekolah, tapi, saat dia di rumah, dia suamimu! Lebih baik sekarang cepat kamu turun dan temani dia sarapan!”
Melihat amarah Mamanya yang membara, Asmara tak membantah, dia segera mencuci muka dan turun ke ruang makan. Tampak di sana terlihat mama dan papanya, juga Saka yang sudah siap dengan seragam sekolahnya. Melihat Saka mengenakan pakaian seperti itu membuatnya ingin mencekik dirinya sendiri.
Semalam dia berharap bahwa semua yang terjadi adalah sebuah mimpi, tapi, pagi ini kenyataan menamparnya dengan kejam. Ya, dia menikahi anak SMA.
“Good damn,” desisnya pelan, tak ingin orang lain mendengar dia mengumpat.

16/10/2023

"Aku lebih s**a diam, sebab aku tahu satu kata yang terucap dari bibirku bisa menjadi satu paragraf di telinga orang lain."

Address

Pati
Pati
59118

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when kardinah.dinah posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to kardinah.dinah:

Videos

Share


Other Digital creator in Pati

Show All