NaresNaren

NaresNaren Kreator Cerita
Kreator Horor
Kreator Film

Cerita HororNamaku Rina. Aku bukan orang yang percaya banget sama hal-hal mistis, tapi setelah kejadian ini, mau nggak m...
19/02/2025

Cerita Horor
Namaku Rina. Aku bukan orang yang percaya banget sama hal-hal mistis, tapi setelah kejadian ini, mau nggak mau aku harus mengakui, ada hal-hal di dunia ini yang nggak bisa dijelaskan dengan akal sehat.

Aku lahir dan besar di Jakarta, tapi sekitar setahun lalu, aku dapat tugas dari kantor untuk ditempatkan di salah satu kota kecil di Kalimantan Timur. Awalnya aku nggak terlalu senang, jujur aja. Bayangan tentang hutan lebat, sungai-sungai besar, dan kehidupan yang serba terbatas langsung memenuhi kepala. Tapi, namanya juga kerjaan, aku harus profesional.

Rio, pacarku, awalnya juga berat melepas aku. Dia khawatir banget, apalagi setelah dengar cerita-cerita horor tentang Kalimantan dari teman-temannya. Tapi, aku yakinkan dia, ini cuma setahun, dan aku akan baik-baik aja.

Setibanya di sana, kesan pertamaku nggak seburuk yang kubayangkan. Kota itu memang kecil, jauh dari hingar bingar Jakarta, tapi udaranya segar, orang-orangnya ramah, dan pemandangan alamnya luar biasa. Rumah yang disiapkan kantor untukku juga lumayan. Bangunan kayu sederhana dengan halaman luas, khas rumah-rumah di daerah sana. Lokasinya agak di pinggir kota, dekat dengan perkebunan sawit yang membentang luas.

Rumah itu punya teras depan yang lebar, tempat aku biasanya duduk sore-sore sambil menikmati kopi dan membaca buku. Di belakang rumah, ada sungai kecil yang airnya jernih. Kadang-kadang aku melihat anak-anak kecil bermain dan berenang di sana. Suasana yang sangat berbeda dengan kehidupan hectic di Jakarta.

Awal-awal tinggal di sana, semuanya terasa normal. Aku bekerja seperti biasa, bergaul dengan teman-teman kantor, dan sesekali jalan-jalan menikmati keindahan alam Kalimantan. Aku bahkan mulai s**a dengan kehidupan yang lebih tenang dan damai ini. Rio sering datang menjengukku setiap bulan. Kami biasanya menghabiskan waktu dengan menjelajahi tempat-tempat wisata di sekitar kota, mencicipi kuliner lokal, dan sekadar bersantai di rumah.

Teman kantor ku, namanya Andre, dia sudah lama tinggal di Kalimantan. Dia orangnya ramah dan s**a membantu. Dia banyak memberiku informasi tentang kehidupan di sana, mulai dari tempat makan enak, tempat wisata yang menarik, sampai adat istiadat masyarakat setempat. Andre juga sering mengingatkanku untuk berhati-hati, terutama saat malam hari.

"Di sini masih banyak cerita-cerita mistis, Rin," kata Andre suatu sore saat kami sedang minum kopi di kantin kantor. "Jangan keluar rumah sendirian malam-malam, apalagi kalau nggak ada keperluan penting."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. "Ah, kamu ini percaya aja sama cerita-cerita begitu. Aku nggak takut, ah."

Andre menggelengkan kepalanya. "Bukan masalah takut atau nggak takut, Rin. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Di sini, hal-hal seperti itu masih sangat dipercaya."

Aku tetap pada pendirianku. Aku nggak mau terlalu memikirkan hal-hal yang belum tentu benar. Aku lebih memilih untuk menikmati hidupku di Kalimantan, tanpa harus dibayangi rasa takut yang nggak jelas.

Beberapa bulan berlalu, semuanya berjalan lancar. Aku semakin betah tinggal di sana. Aku mulai belajar bahasa daerah, mencoba masakan-masakan lokal, dan berinteraksi lebih dekat dengan masyarakat setempat. Aku merasa seperti sudah menjadi bagian dari komunitas itu.

Namun, suatu malam, semuanya berubah.

Malam itu, aku sedang membaca buku di teras depan rumah. Rio sedang tidak ada, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya di Jakarta. Suasana malam sangat sepi. Hanya suara jangkrik dan sesekali suara burung hantu yang memecah keheningan. Lampu teras menyala redup, menciptakan suasana yang nyaman dan tenang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara aneh dari arah belakang rumah. Suara itu seperti suara sesuatu yang terbang, tapi bukan suara burung atau serangga. Suaranya lebih berat dan mendengung. Aku mengernyitkan dahi, mencoba mencari tahu sumber suara itu.

Awalnya aku mengabaikannya, mengira itu hanya suara hewan malam biasa. Tapi, suara itu semakin lama semakin jelas dan semakin dekat. Aku mulai merasa nggak nyaman. Bulu kudukku mulai meremang.

Aku meletakkan buku yang sedang kubaca dan mencoba mengintip ke arah belakang rumah. Tapi, karena gelap, aku nggak bisa melihat apa-apa. Aku hanya bisa mendengar suara itu semakin mendekat.

Dengan ragu-ragu, aku bangkit dari kursi dan berjalan menuju belakang rumah. Aku mencoba memberanikan diri, meskipun jantungku berdegup kencang. Aku mengambil senter yang tergantung di dinding dan menyalakannya.

Saat aku sampai di belakang rumah, aku mengarahkan senter ke arah sumber suara. Dan saat itulah, aku melihatnya.

Sesuatu yang sangat mengerikan.

Sesuatu yang nggak pernah kubayangkan sebelumnya.

Sesuatu yang membuatku terdiam membeku, nggak bisa bergerak, nggak bisa berteriak.

Di tengah kegelapan malam, di atas sungai kecil di belakang rumahku, melayang sesosok kepala perempuan dengan rambut panjang terurai. Kepalanya terlepas dari tubuhnya, dan organ dalamnya terlihat jelas. Jantungnya berdenyut-denyut, ususnya menjuntai-juntai. Kepalanya terbang berputar-putar di atas sungai, mengeluarkan suara mendengung yang mengerikan.

Aku terpaku di tempatku berdiri, nggak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa menatap ngeri pemandangan di depanku. Aku nggak percaya dengan apa yang kulihat. Ini pasti mimpi, batinku. Ini pasti cuma halusinasi.

Tapi, ini bukan mimpi. Ini nyata.

Makhluk itu nyata.

Dan dia sedang menatapku.

Matanya yang merah menyala menatapku dengan tajam. Tatapannya penuh dengan kebencian dan kemarahan. Aku bisa merasakan hawa dingin yang menusuk tulang saat dia menatapku.

Aku mencoba untuk berteriak, tapi suaraku tercekat di tenggorokan. Aku mencoba untuk lari, tapi kakiku terasa lemas dan nggak bisa digerakkan. Aku hanya bisa berdiri terpaku di tempatku, menjadi mangsa yang nggak berdaya.

Makhluk itu semakin mendekatiku. Dia terbang semakin rendah, semakin dekat, semakin dekat. Aku bisa merasakan hembusan napasnya yang dingin dan busuk.

Aku memejamkan mataku, pasrah dengan apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, berharap ada keajaiban yang datang menyelamatkanku.

Tiba-tiba, aku mendengar suara teriakan dari arah depan rumah. Suara itu sangat keras dan nyaring, membuatku membuka mataku.

Aku melihat Andre berlari ke arahku, sambil membawa obor di tangannya. Dia berteriak-teriak sambil mengayunkan obornya ke arah makhluk itu.

Makhluk itu terkejut dengan kedatangan Andre. Dia berhenti terbang dan menatap Andre dengan tatapan marah. Kemudian, dengan cepat, dia terbang menjauh, menghilang ke dalam kegelapan malam.

Aku terduduk lemas di tanah, masih shock dengan apa yang baru saja terjadi. Andre menghampiriku dan membantuku berdiri.

"Rina, kamu nggak apa-apa?" tanya Andre dengan nada khawatir.

Aku menggelengkan kepalaku, masih nggak bisa berkata apa-apa.

"Aku dengar kamu teriak. Ada apa?" tanya Andre lagi.

Aku menunjuk ke arah sungai di belakang rumah. "Aku... aku lihat... Kuyang..."

Andre terdiam sejenak. Kemudian, dia mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku sudah menduganya."

"Kamu... kamu tahu tentang Kuyang?" tanyaku dengan nada terkejut.

Andre mengangguk. "Kuyang adalah makhluk mitos yang sangat ditakuti di Kalimantan. Dia adalah kepala perempuan yang terbang dengan organ dalamnya. Dia mencari darah bayi atau perempuan yang baru melahirkan."

Aku merinding mendengar penjelasan Andre. Aku nggak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Tapi... tapi kenapa dia datang ke rumahku?" tanyaku dengan nada bingung.

Andre menghela napas. "Aku nggak tahu pasti. Tapi, mungkin dia merasakan sesuatu di rumah ini. Mungkin ada energi yang menariknya."

Aku terdiam. Aku nggak tahu harus berkata apa. Aku masih shock dan ketakutan dengan apa yang baru saja terjadi.

"Kamu harus hati-hati, Rin," kata Andre. "Kuyang bisa datang kapan saja. Dia nggak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia inginkan."

Malam itu, aku nggak bisa tidur. Aku terus memikirkan kejadian tadi. Aku nggak bisa menghilangkan bayangan kepala perempuan terbang dengan organ dalamnya dari pikiranku. Aku merasa sangat ketakutan dan nggak aman.

Sejak malam itu, hidupku berubah drastis. Aku menjadi sangat paranoid dan selalu waspada. Aku nggak berani keluar rumah sendirian, terutama saat malam hari. Aku selalu memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Aku bahkan sampai memasang jimat di setiap sudut rumah untuk melindungi diri dari gangguan makhluk halus.

Rio juga sangat khawatir dengan keadaanku. Dia menyuruhku untuk segera kembali ke Jakarta, tapi aku menolak. Aku nggak mau menyerah begitu saja. Aku ingin membuktikan pada diriku sendiri bahwa aku bisa menghadapi ketakutanku.

Andre juga terus memberikan dukungan dan bantuannya. Dia sering menemaniku di rumah, terutama saat malam hari. Dia juga mengajariku cara-cara untuk melindungi diri dari gangguan makhluk halus, seperti membaca doa-doa tertentu dan menggunakan benda-benda bertuah.

Namun, semua usahaku sepertinya sia-sia. Kuyang terus menggangguku. Dia sering muncul di mimpi-mimpiku, menerorku dengan penampilannya yang mengerikan. Aku juga sering mendengar suara-suara aneh di sekitar rumah, seperti suara tangisan bayi atau suara langkah kaki di atap.

Aku merasa semakin tertekan dan putus asa. Aku nggak tahu sampai kapan aku harus hidup dalam ketakutan seperti ini. Aku merasa seperti terjebak dalam mimpi buruk yang nggak pernah berakhir.

Suatu malam, saat aku sedang tidur, aku terbangun karena mendengar suara tangisan bayi yang sangat keras. Suara itu terdengar sangat dekat, seperti berasal dari dalam kamar.

Aku bangkit dari tempat tidur dan mencoba mencari tahu sumber suara itu. Aku menyalakan lampu kamar dan melihat sekeliling. Tapi, aku nggak melihat apa-apa.

Suara tangisan bayi itu masih terus terdengar, semakin lama semakin keras. Aku mulai merasa panik. Aku nggak tahu apa yang harus kulakukan.

Tiba-tiba, aku melihat sesuatu bergerak di sudut kamar. Aku mendekati sudut kamar dan melihat ada sosok perempuan berdiri di sana. Perempuan itu mengenakan pakaian serba hitam dan menutupi wajahnya dengan kerudung. Dia sedang menggendong seorang bayi.

Aku mencoba untuk mendekati perempuan itu, tapi dia menghilang begitu saja. Suara tangisan bayi itu juga ikut menghilang.

Aku terdiam membeku di tempatku berdiri. Aku nggak tahu apa yang baru saja kulihat. Aku merasa seperti ada sesuatu yang jahat sedang mengawasiku.

Sejak saat itu, gangguan Kuyang semakin menjadi-jadi. Dia nggak hanya muncul di mimpi-mimpiku dan suara-suara aneh di sekitar rumah. Dia mulai menampakkan diri secara langsung. Dia sering muncul di depan rumah, di belakang rumah, bahkan di dalam rumah. Dia selalu menatapku dengan tatapan marah dan penuh kebencian.

Aku merasa semakin ketakutan dan putus asa. Aku nggak tahu harus berbuat apa lagi. Aku merasa seperti sudah nggak punya harapan.

Aku menceritakan semua yang kualami kepada Andre. Dia mendengarkan ceritaku dengan seksama. Kemudian, dia berkata, "Rina, sepertinya Kuyang itu benar-benar mengincar kamu. Dia nggak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan."

"Lalu, apa yang harus kulakukan?" tanyaku dengan nada putus asa.

Andre terdiam sejenak. Kemudian, dia berkata, "Kita harus mencari tahu kenapa Kuyang itu mengincar kamu. Kita harus mencari tahu apa yang dia inginkan. Kalau kita bisa memenuhi keinginannya, mungkin dia akan berhenti mengganggumu."

"Tapi, bagaimana caranya?" tanyaku dengan nada bingung.

Andre menghela napas. "Kita harus mencari bantuan orang yang lebih tahu tentang hal-hal seperti ini. Kita harus mencari dukun atau orang pintar yang bisa berkomunikasi dengan makhluk halus."

Aku merinding mendengar usulan Andre. Aku nggak pernah membayangkan akan melakukan hal seperti ini. Tapi, aku nggak punya pilihan lain. Aku harus melakukan apa saja untuk menyelamatkan diriku.

"Baiklah," kataku dengan nada pasrah. "Kita cari dukun atau orang pintar itu."

Andre mengangguk. "Aku kenal dengan seorang dukun yang cukup terkenal di daerah ini. Namanya Pak Usman. Dia sudah banyak membantu orang mengatasi masalah-masalah seperti ini."

"Kalau begitu, ayo kita temui Pak Usman," kataku dengan nada semangat.

Malam itu juga, aku dan Andre pergi menemui Pak Usman. Kami berharap, Pak Usman bisa membantu kami mengatasi masalah ini dan mengakhiri mimpi burukku.
***

Lalu, Andre menjelaskan rencana yang harus kami lakukan saat bertemu Pak Usman, dan ia juga meminta maaf karena baru mengungkapkan hal ini sekarang.

Oke, ini dia bagian kedua dari cerita horor tentang mitos Kuyang, dengan memenuhi semua ketentuan yang kamu berikan:

***

Malam itu terasa panjang sekali. Setiap bunyi ranting patah di luar jendela, setiap derit papan rumah, membuat jantungku berdegup kencang. Aku mencoba mengingat semua yang Andre ajarkan, mantra-mantra sederhana yang katanya bisa menjauhkan makhluk halus. Tapi bibirku kelu. Ketakutan sudah menguasai diriku sepenuhnya.

Aku terus memandangi jam dinding. Jarumnya bergerak lambat sekali, seolah mengejek kepanikanku. Andre berjanji akan menjemputku pukul lima pagi. Lima pagi! Masih ada berjam-jam lagi sampai matahari terbit dan kegelapan ini berakhir.

Akhirnya, suara mobil Andre terdengar di kejauhan. Aku langsung menyambar tas yang sudah kusiapkan semalam, berisi pakaian ganti dan beberapa barang penting. Begitu mobilnya berhenti di depan rumah, aku langsung melompat masuk.

"Kamu nggak apa-apa, Rina?" tanya Andre, wajahnya tampak khawatir.

Aku hanya mengangguk, tidak sanggup berkata apa-apa. Suaraku tercekat. Aku terlalu takut untuk menceritakan apa yang kurasakan semalaman. Perasaan terus diawasi, napas dingin di tengkuk, bayangan-bayangan aneh yang menari di sudut mata. Kalau kuceritakan, mungkin Andre akan mengira aku gila.

Perjalanan menuju tempat Pak Usman terasa seperti perjalanan tanpa akhir. Kami berkendara melewati jalanan yang semakin lama semakin sepi. Pepohonan di kanan kiri jalan menjulang tinggi, membentuk lorong gelap yang menakutkan. Kabut tipis mulai turun, membuat pemandangan semakin suram.

Kami berada di provinsi yang terkenal dengan hutan hujan tropisnya yang luas. Pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, ditutupi lumut dan tanaman rambat. Di kejauhan, tampak sungai besar yang membelah hutan, airnya berwarna cokelat keruh. Udara terasa lembap dan berat, bau tanah basah dan dedaunan membusuk menusuk hidung. Daerah ini memang menyimpan aura mistis yang kuat. Aku bisa merasakannya.

Andre hanya diam selama perjalanan. Aku tahu dia sedang berusaha menenangkanku, tapi kehadirannya saja sudah cukup membuatku sedikit lebih baik. Sesekali, dia melirik ke arahku, memastikan aku baik-baik saja.

"Kita hampir sampai," katanya akhirnya, memecah kesunyian. "Rumah Pak Usman ada di dalam hutan, sedikit terpencil."

Benar saja, tidak lama kemudian, mobil kami berbelok ke jalan setapak yang sempit dan berbatu. Jalanan semakin buruk, membuat mobil berguncang-guncang. Pohon-pohon semakin rapat, menghalangi cahaya matahari. Suasana semakin mencekam.

Akhirnya, kami tiba di sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi pepohonan rimbun. Rumah itu tampak tua dan lapuk, tapi terawat dengan baik. Asap mengepul dari cerobong asap, menandakan ada orang di dalam.

Andre mematikan mesin mobil dan kami turun. Udara di sini terasa lebih dingin dan lembap. Suara binatang hutan terdengar bersahutan, menciptakan orkestra alam yang menakutkan.

"Ayo," kata Andre, meraih tanganku. "Kita masuk."

Kami berjalan menuju pintu rumah dan Andre mengetuknya perlahan. Suara ketukan kami menggema di tengah kesunyian hutan.

Pintu terbuka perlahan, menampakkan seorang pria tua berwajah teduh. Kulitnya keriput, rambutnya putih semua, tapi matanya masih tajam dan penuh wibawa. Dia mengenakan pakaian tradisional berwarna gelap dan kalung kayu di lehernya.

"Silakan masuk," katanya dengan suara serak. "Saya sudah menunggu kalian."

Kami mengikuti Pak Usman masuk ke dalam rumah. Rumah itu tampak sederhana, tapi bersih dan rapi. Di ruang tamu, terdapat beberapa kursi kayu dan meja kecil. Di dinding, tergantung berbagai macam benda-benda aneh, seperti tengkorak hewan, jimat-jimat, dan foto-foto kuno.

Pak Usman mempersilakan kami duduk. Dia sendiri duduk di kursi yang lebih tinggi, menghadap kami.

"Jadi, ada apa gerangan kalian datang ke sini?" tanyanya, menatap kami dengan tatapan menyelidik.

Andre menoleh ke arahku, memberi isyarat agar aku yang berbicara. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Pak Usman," kataku dengan suara bergetar. "Saya... saya diganggu oleh Kuyang."

Pak Usman mengangguk pelan, seolah sudah menduga hal ini. "Ceritakan semuanya," katanya.

Aku mulai menceritakan semua yang kualami, dari awal aku datang ke kota ini, sampai malam mengerikan ketika aku melihat Kuyang untuk pertama kalinya. Aku menceritakan tentang suara-suara aneh, bayangan-bayangan yang mengganggu, dan perasaan terus diawasi. Aku menceritakan semuanya dengan detail, berusaha sejelas mungkin.

Pak Usman mendengarkan dengan seksama, tanpa memotong pembicaraanku. Sesekali, dia mengangguk atau menggelengkan kepala, tapi tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Setelah aku selesai bercerita, Pak Usman terdiam sejenak. Dia menutup matanya dan menarik napas dalam-dalam. Kemudian, dia membuka matanya dan menatapku dengan tatapan serius.

"Kuyang itu memang ada," katanya. "Dia adalah makhluk halus yang sangat kuat dan berbahaya. Dia mencari mangsa, terutama wanita hamil dan bayi."

Aku merinding mendengar kata-kata Pak Usman. Aku merasa ketakutanku semakin menjadi-jadi.

"Kenapa dia mengganggu saya, Pak Usman?" tanyaku. "Apa yang harus saya lakukan?"

Pak Usman menghela napas. "Kuyang itu tertarik dengan energi kehidupanmu," katanya. "Kamu memiliki aura yang kuat, yang menarik perhatiannya. Untuk melindungimu, kita harus melakukan ritual khusus."

Ritual? Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku hanya ingin semua ini berakhir. Aku ingin kembali ke kehidupanku yang normal.

"Ritual apa, Pak Usman?" tanya Andre.

"Ritual ini akan membutuhkan waktu dan persiapan yang matang," kata Pak Usman. "Kita harus mencari bahan-bahan tertentu di hutan dan melakukan beberapa hal lainnya. Tapi, yang terpenting, kamu harus kuat dan percaya."

Aku mengangguk, meskipun aku tidak yakin apakah aku bisa. Aku merasa sangat lemah dan putus asa. Tapi, aku tidak punya pilihan lain. Aku harus melakukan apa pun untuk melindungi diriku sendiri.

Pak Usman kemudian menjelaskan apa saja yang harus kami lakukan. Kami harus mencari beberapa jenis tanaman herbal langka, menyiapkan sesajen, dan melakukan puasa selama beberapa hari. Ritual itu akan dilakukan di sebuah tempat keramat di dalam hutan, tempat di mana energi alam sangat kuat.

Setelah mendengar penjelasan Pak Usman, aku merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak lagi merasa tidak berdaya.

"Kapan kita bisa mulai, Pak Usman?" tanya Andre.

"Kita bisa mulai besok pagi," jawab Pak Usman. "Tapi, sebelum itu, kalian harus beristirahat dan mempersiapkan diri. Malam ini, kalian akan tidur di sini."

Aku dan Andre saling pandang. Kami tidak menyangka akan menginap di rumah Pak Usman. Tapi, aku merasa lebih aman berada di sini daripada di rumahku sendiri.

Malam itu, aku tidur di kamar kecil di belakang rumah. Kamar itu sederhana, hanya ada tempat tidur kayu dan lemari kecil. Tapi, kamar itu terasa hangat dan nyaman.

Aku mencoba untuk tidur, tapi pikiranku terus berkecamuk. Aku memikirkan tentang Kuyang, tentang ritual yang akan kami lakukan, dan tentang masa depanku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi.

Akhirnya, aku tertidur juga. Tapi, tidurku tidak nyenyak. Aku bermimpi buruk tentang Kuyang yang mengejarku di dalam hutan. Aku terbangun beberapa kali dengan jantung berdebar kencang.

Pagi harinya, aku bangun dengan perasaan lelah dan lesu. Tapi, aku tahu aku harus kuat. Aku harus menghadapi semua ini.

Setelah sarapan, kami mulai mempersiapkan diri untuk ritual. Pak Usman memberikan kami beberapa instruksi dan peralatan yang kami butuhkan. Kami juga berdoa bersama, memohon perlindungan kepada Tuhan.

Kemudian, kami berangkat menuju tempat keramat di dalam hutan. Perjalanan itu terasa sangat panjang dan melelahkan. Kami harus melewati jalanan yang terjal dan berbatu, menyeberangi sungai kecil, dan memanjat bukit-bukit yang curam.

Tapi, kami tidak menyerah. Kami terus berjalan, mengikuti Pak Usman yang memimpin di depan. Aku tahu, kami harus sampai ke tempat itu. Kami harus melakukan ritual itu. Kami harus mengalahkan Kuyang.

Saat kami semakin dalam memasuki hutan, aku merasakan aura mistis yang semakin kuat. Pohon-pohon di sekitar kami tampak seperti memiliki kehidupan sendiri. Mereka seolah mengawasi kami, memperhatikan setiap gerakan kami.

Aku merasa ketakutan, tapi aku juga merasa bersemangat. Aku tahu, kami akan segera menghadapi sesuatu yang sangat besar dan berbahaya. Tapi, aku juga tahu, kami tidak sendirian. Kami memiliki Pak Usman, kami memiliki satu sama lain, dan kami memiliki keyakinan.

Dan aku tahu, kami akan berhasil.

***

Andre lalu menjelaskan rencana yang harus dilakukan saat bertemu Pak Usman. Tapi, pikiranku sekarang kembali ke perjalanan yang baru saja kami lalui, ke aura mistis hutan ini, dan ke ritual yang akan segera kami lakukan. Aku menggenggam erat tanganku sendiri, mencoba untuk menyalurkan keberanian. Aku harus kuat. Aku harus bisa.

Oke, ini dia bagian terakhir dari cerita tentang Kuyang, dengan semua ketentuan yang kamu berikan:

**Awal Paragraf:**

Semakin dalam kami memasuki rimba Kalimantan Timur itu, hawa mistisnya semakin menusuk. Udara terasa berat, lembap, dan dipenuhi aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk. Aku menggenggam erat lengan Andre, jantungku berdebar tak karuan. Di sekeliling kami, pohon-pohon raksasa menjulang tinggi, membentuk kanopi hijau yang menghalangi sinar matahari. Sesekali, lolongan burung hutan atau suara serangga aneh memecah kesunyian, membuat bulu kudukku meremang. Aku merasa seperti masuk ke dunia lain, dunia yang jauh dari hiruk pikuk kota dan logika modern. Walaupun takut, ada juga rasa penasaran yang membuncah. Aku tahu kami akan menghadapi sesuatu yang besar, sesuatu yang berbahaya, tapi aku percaya kami tidak sendirian. Aku yakin kami akan berhasil mengalahkan Kuyang.

**Isi Paragraf:**

Pak Usman berjalan di depan kami, dengan langkah tegap dan tatapan mata yang tajam. Dia memegang tongkat kayu yang diukir dengan simbol-simbol aneh, dan sesekali mengucapkan mantra dalam bahasa yang tidak aku mengerti. Andre menjelaskan bahwa kami menuju ke sebuah tempat keramat di tengah hutan, tempat di mana energi spiritual sangat kuat. Tempat itu berada di dekat sungai yang airnya berwarna cokelat kemerahan, khas sungai-sungai di provinsi ini. Pepohonan di sekitarnya berlumut tebal, dan akar-akar mereka menjalar seperti ular raksasa.

Setelah berjalan selama hampir dua jam, akhirnya kami tiba di tempat tujuan. Sebuah area terbuka di tepi sungai, dikelilingi oleh batu-batu besar yang ditutupi lumut dan tanaman merambat. Di tengah area itu, terdapat sebuah pohon beringin tua yang sangat besar, dengan akar-akar yang menjulang ke atas dan membentuk semacam altar alami.

"Di sinilah kita akan melakukan ritual," kata Pak Usman, dengan suara berat. "Tempat ini memiliki energi yang kuat, energi yang bisa kita gunakan untuk melawan Kuyang."

Pak Usman kemudian mulai menyiapkan sesaji, yang terdiri dari buah-buahan, bunga-bunga, dan kemenyan. Dia juga mengeluarkan beberapa benda aneh dari dalam tasnya, seperti tulang-tulang binatang, bulu-bulu burung, dan ramuan-ramuan herbal yang baunya sangat menyengat. Aku dan Andre hanya bisa memperhatikan dengan seksama, mencoba untuk memahami apa yang sedang terjadi.

Setelah sesaji siap, Pak Usman menyuruhku untuk duduk di depan pohon beringin. Dia kemudian mulai membacakan mantra-mantra dengan suara keras dan bersemangat. Asap kemenyan mengepul di sekelilingku, memenuhi udara dengan aroma yang memabukkan. Aku merasa tubuhku mulai bergetar, dan kepalaku terasa pusing.

Tiba-tiba, aku merasakan kehadiran yang sangat kuat di sekitarku. Udara terasa dingin, dan aku bisa mendengar suara bisikan-bisikan aneh di telingaku. Aku membuka mataku, dan melihat sosok Kuyang berdiri di depan pohon beringin. Sosok itu tampak lebih mengerikan dari yang pernah aku lihat sebelumnya. Wajahnya pucat pasi, matanya merah menyala, dan ususnya menjuntai-juntai di dadanya.

Aku menjerit ketakutan, tapi suaraku tertahan di tenggorokan. Aku ingin lari, tapi kakiku terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Aku hanya bisa pasrah, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Kuyang itu mendekatiku dengan perlahan. Aku bisa merasakan napasnya yang busuk menyentuh wajahku. Aku menutup mataku, dan berdoa dalam hati.

Tiba-tiba, aku mendengar suara gemuruh yang sangat keras. Aku membuka mataku, dan melihat Pak Usman melompat ke depan dan menyerang Kuyang dengan tongkat kayunya. Terjadi pertempuran yang sengit antara Pak Usman dan Kuyang. Mereka saling menyerang dengan kekuatan magis mereka. Aku dan Andre hanya bisa menyaksikan dengan ngeri, tidak tahu apa yang harus kami lakukan.

Setelah beberapa saat, Pak Usman berhasil memukul Kuyang dengan tongkatnya. Kuyang itu menjerit kesakitan, dan tubuhnya mulai mengecil dan menghilang. Aku merasa lega yang luar biasa, seolah-olah beban berat telah diangkat dari pundakku.

Pak Usman kemudian menghampiriku dan Andre. Dia terlihat lelah dan berkeringat, tapi matanya masih bersinar dengan semangat.

"Kuyang itu sudah pergi," katanya, dengan suara terengah-engah. "Tapi dia mungkin akan kembali lagi suatu saat nanti. Kita harus selalu waspada."

Pak Usman menjelaskan bahwa Kuyang adalah makhluk yang sangat kuat dan sulit dikalahkan. Dia mengatakan bahwa Kuyang tertarik pada energi kehidupanku, dan dia akan terus mencoba untuk mendapatkannya. Dia menyarankan agar aku selalu menjaga diri dan tidak keluar malam sendirian. Dia juga memberiku beberapa jimat pelindung yang harus selalu aku bawa bersamaku.

Kami kemudian memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Usman. Aku merasa sangat lelah dan ketakutan, tapi aku juga merasa bersyukur karena telah selamat dari serangan Kuyang.

Malam itu, aku tidur di rumah Pak Usman. Aku masih merasa takut, tapi aku merasa lebih aman karena ada Pak Usman di dekatku. Aku bermimpi buruk tentang Kuyang, tapi aku berhasil terbangun sebelum mimpi itu menjadi terlalu mengerikan.

Keesokan paginya, aku dan Andre berpamitan kepada Pak Usman. Kami mengucapkan terima kasih atas bantuannya, dan berjanji untuk selalu mengingat nasihatnya. Pak Usman tersenyum dan memberkati kami.

"Hati-hati di jalan," katanya. "Dan jangan pernah lupakan kekuatan yang ada di dalam diri kalian."

Kami kemudian kembali ke kota, dengan perasaan yang campur aduk. Aku merasa lega karena telah selamat dari bahaya, tapi aku juga merasa takut karena tahu bahwa Kuyang mungkin akan kembali lagi suatu saat nanti.

**Akhir Paragraf:**

Beberapa minggu kemudian, aku kembali ke kehidupanku yang normal. Aku tetap bekerja di kantor, dan aku tetap tinggal di rumah kontrakan itu. Aku tidak pernah lagi melihat atau mendengar tentang Kuyang, tapi aku tidak pernah bisa melupakan pengalaman mengerikan itu. Aku selalu merasa diawasi, dan aku selalu merasa takut saat berjalan sendirian di malam hari.

Aku mencoba untuk menceritakan pengalamanku kepada teman-temanku di kota, tapi mereka tidak percaya padaku. Mereka menganggapku gila, atau hanya berhalusinasi. Aku akhirnya berhenti bercerita, dan aku menyimpan semua ketakutanku sendirian.

Namun, ada satu hal yang berubah dalam diriku. Aku menjadi lebih percaya pada hal-hal mistis dan gaib. Aku menyadari bahwa ada banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dijelaskan dengan logika dan sains. Aku belajar untuk menghormati kekuatan alam, dan aku belajar untuk menjaga diri dari energi-energi negatif.

Aku tidak tahu apakah Kuyang akan kembali lagi suatu saat nanti. Aku hanya bisa berharap bahwa aku akan siap menghadapinya jika itu terjadi. Aku tahu bahwa aku tidak sendirian. Aku memiliki Andre, Pak Usman, dan kekuatan yang ada di dalam diriku. Aku yakin, bersama-sama, kami bisa mengalahkan Kuyang.

Hingga kini, aku masih tinggal di provinsi itu. Aku belajar mencintai alamnya yang indah, budayanya yang kaya, dan masyarakatnya yang ramah. Tapi aku juga selalu ingat akan sisi gelapnya, sisi mistisnya, sisi yang bisa membuat bulu kudukmu meremang. Aku tak pernah tahu, mungkin saja Kuyang masih mengintai di kegelapan, menunggu kesempatan untuk kembali. Atau mungkin, dia hanyalah bagian dari imajinasiku, sebuah simbol ketakutan yang selalu menghantuiku. Entahlah. Yang jelas, pengalaman itu telah mengubah hidupku selamanya. Dan kadang, saat malam sepi, aku masih bisa merasakan hawa dingin di tengkukku, seolah-olah Kuyang sedang mengawasiku dari kejauhan. Apakah ini nyata, atau hanya perasaanku saja? Aku tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak akan pernah melupakan malam-malam mencekam di Kalimantan Timur itu. Sebuah pengalaman yang terlalu nyata untuk disebut mimpi, dan terlalu mengerikan untuk dilupakan. Sebuah pelajaran tentang dunia yang tak terlihat, dan kekuatan yang tersembunyi di dalam diri kita.
cerita ini hanya fiktif belaka,nama dan tempat cuma kebetulan

Dinding punya telinga.Pintu punya mata.Pohon memiliki suara.Binatang s**a berbohong.Waspadalah terhadap hujan.Waspadalah...
19/02/2025

Dinding punya telinga.

Pintu punya mata.

Pohon memiliki suara.

Binatang s**a berbohong.

Waspadalah terhadap hujan.

Waspadalah terhadap salju.

Waspadalah terhadap pria itu

Kamu pikir kamu tahu.

Address

Palangkaraya

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when NaresNaren posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share