01/04/2020
B**g Goenawan Mohamad ...
WABAH
Sebuah kota yang membosankan: Oran. Atau sebuah kota kecil yang bisa didefinisikan sebagai kebosanan: tanpa burung merpati, tanpa pepohonan, tanpa taman dan hijau daun. Orang bekerja, bercintaan, dan mati dengan kedataran yang sama. Tak ada drama. Tak ada pathos. Gelora perasaan minimal. Penghuni Oran menyukai βkesenangan-kesenangan sederhanaβ: pacaran, melirik lawan jenis, nonton bioskop, mandi-mandi di laut. Anak-anak muda memang bisa bergairah, tapi gairah yang cepat lewat. Orang-orang tua hanya main boules, kelereng sebesar jeruk bali yang dilemparkan ke arah depan, atau makan-makan di kelab, atau berjudi: dosa kecil merekaβ¦
Tiba-tiba, wabah berjangkit β dan dari novel Albert Camus βLa Pestβ (diterjemahkan Nh. Dini sebagai βSamparβ), wabah itu bukan hanya membawa kematian ratusan orang, tapi juga mengingatkan orang-orang apa arti mati & hidup sebelum Ajal.
Pagi itu Dr. Bernard Rieux menginjak mayat seekor tikus di tangga turun klinik bedah β-tanda pertama wabah pes yang tak lama lagi mengancam Oran. Tapi sebelum itu ia hidup dengan mengambil jarak dari kota dan manusia. Cara ia melukiskan kota tempat ia bekerja sebagai dokter menunjukkan sikapnya: tanpa simpati, bahkan agak mencemooh.
Rieux, 35 tahun, tinggi sedang, dengan warna kulit agak gelap, dan rambut hitam cepak, tak punya tampang sebagai dokter bedah yang dihormati masyarakat. Seseorang mengatakan ia lebih mirip petani Sicilia, dengan tangan yang besar, coklat dan berbulu. Tapi dokter ini bekerja sebagai seorang profesional, tak kurang tak lebih. Praktis, rasional.
Ketika sampar mulai berjangkit dan makin luas, Rieux dengan tanpa lelah melawannya: meminta pemerintah kota agar menutup Oran agar pes tak menjalar lebih luas, mendirikan klinik untuk mengobati yang terjangkit, dan mengobati yang sakit. Baginya ini bukan soal heroisme. Ini hanya kepatutan yang biasa β sikap yang mungkin dicemooh dengan senyum oleh sebagian orang.
Tapi tanpa heroisme, Rieux justru menjadi tauladan orang-orang lain di tengah ancaman kematian di kota ituβ setidaknya ancaman kelelahan. Tapi ia tetap lugas: Saya tak ingin jadi orang suci, kata Rieux, saya hanya ingin jadi manusia.
Kedengarannya rendah hati. Tapi tidakkah itu sebuah keangkuhan juga? Tarrou, yang datang berkunjung ke Oran dan terlibat dalam usaha mencegah sampar membinasakan seantero kota, berkata: ia tak punya ambisi setinggi Rieux β menjadi manusia.
Yang agaknya tak diketahui Tarrou, Rieux sadar ia belum menjadi manusia: ia bertahan di Oran dengan kerja keras mengabdi, tapi sebenarnya ia tak cukup tergerak untuk mendampingi isterinya yang dirawat di sanatorium di luar kota. Rambert, wartawan yang terdampar di tengah wabah dan tak diberi izin Rieux untuk ke luar dari Oran buat bergabung dengan kekasihnya, melihat apa yang tak ada pada dokter yang disebut βpenyembuh sejatiβ itu: Rieux tak kenal perasaan cinta. βTuan tak akan pahamβ, kata Rambert. βTuan pakai bahasa nalar, bukan hati. Tuan hidup dalam sebuah dunia abstraksiβ.
Diam-diam, Rieux segera mengakui itu.
Dengan abstraksi, dilema seorang Rambert hanya akan muncul sebagai satu kasus di antara kasus-kasus lain. Dengan abstraksi, Rambert hanya akan masuk hitungan sebagai salah satu penghuni (yang tak unik) Kota Oran. Dengan abstraksi, penderitaan orang banyak itu akan hanya dilihat sebagai salah satu contoh bencana dalam sejarah. Birokrasi, pencatat statistik, perumus ideologi dan penulis theori malapetaka, akan memandang wabah di Oran dengan detachment.
Juga dengan abstraksi, pemimpin agama β seperti Pastur Paneloux β akan melihat pes di kota itu hanya sebagai βakibatβ dari βsebabβ: kesengsaraan adalah βakibatβ dan βdosaβ adalah sebabnya. Orang-orang agama, karena lebih sering menghadap Tuhan dan melalaikan manusia, lupa bahwa hubungan sebab-dan-akibat dalam hidup tak pernah lurus jelas. Para pengkhotbah selalu menyederhanakan riwayat manusia yang kongkrit, yang banyak segi, banyak lika-liku, bahkan banyak teka-teki.
Abstraksi adalah keangkuhan akal. Sikap jumawa itu tak mengakui hal-hal yang antah berantah, yang tak terhingga aneka-ragamnya, yang bisa membuat manusia bingung, gembira, atau kesakitan.
Mungkin itu sebabnya ketika wajah wabah itu tampil kongkrit, perubahan sikap terjadi. Rieux, Paneloux dan lain-lain menyaksikan dari dekat seorang anak yang pelan-pelan mati, dengan kesakitan, karena sampar. Sejak itu Paneloux ikut terjun ke dalam perlawanan terhadap pes; ia tak bisa menjawab mengapa seorang anak tak berdosa harus mengalami akibat yang mengerikan β sementara Tuhan tak menjawab.
Rieux, seorang atheis, tak pernah merisaukan misteri itu. Tapi ia makin tahu: karena tak ada Tuhan yang menunjukkan belas dan menolong anak itu ia, seorang dokter, perlu datang menolong. Di dunia di mana Tuhan tidak bisa hadir dan adil β Tuhan dalam abstraksi - kita-lah yang menegakkan keadilan.
βTapi kemenangan-kemenanganmu tak akan pernah kekalβ, kata Tarrou.
Wajah Rieux muram sejenak. βYa, aku tahuβ, katanya. βTapi itulah sebabnya tak ada alasan berhenti memperjuangkan ini.β
Dan kemudian pes mereda. Kota kembali pulih, pelan-pelan. Mungkin di Oran tetap tak ada merpati, desau daun di taman yang memikat. Tapi sebuah pengalaman membekas. Pengalaman itu tak mudah bahkan tak mungkin disimpulkan β kecuali secara tentatif dan sementara: lihat, ada yang lebih kuat ketimbang pes.
Yang lebih kuat itu adalah kemampuan bersetia-kawan dengan mereka yang jeritnya terdengar dan lukanya nampakβ¦
Dari mana Tuan belajar ini, dokter?
Dari penderitaan. Dan mereka yang tak berdaya.
Goenawan Mohamad.