Fajar Mesaz Elegi

Fajar Mesaz Elegi Hidup adalah inspirasi

Mengenang Jalan TibaSatu per satukita akan pulangmenjemput waktu yang pernah kita hanyutkandi bawah rinai hujan.Tak ada ...
12/07/2022

Mengenang Jalan Tiba

Satu per satu
kita akan pulang
menjemput waktu
yang pernah
kita hanyutkan
di bawah rinai hujan.

Tak ada lagi yang tertindas
daun-daun layu
bunga-bunga menguap
meratap tanpa kata
tiada pusara.

Aku tetap lelaki perantau
berwajah gerimis
pencium pagi dan debu
menderu;
mengenang jalan tiba.

Wayserdang, 07/22

20/04/2022

Ibu...

Heart is not Blind Bab 2.
28/11/2021

Heart is not Blind
Bab 2.

1. Nusantara School....................Para pendiri sekolah itu, ketika pertama kali memutuskan untuk menjadikan cita-ci...
21/11/2021

1. Nusantara School
....................

Para pendiri sekolah itu, ketika pertama kali memutuskan untuk menjadikan cita-cita sebagai cara memelihara nalar, sesungguhnya sedang membela sebuah kota kecil dari tekanan akses pendidikan yang sulit. Oleh karenanya, harapan lain harus dicanangkan meski hal ini bukan sesuatu yang mudah di masa itu. Dengan membangun sekolah, para pendiri itu menyakini bahwa, tak ada tragedi paling menyakitkan kecuali behenti bercita-cita dan orang-orang di muka bumi harus mematahkannya dengan membenamkan diri dalam kubangan semangat yang ungkapan ini terus mereka kampanyekan sebagai tagline yang menakjubkan yang bagi sebagian orang, setelah mendengarnya berulang kali, segera akan meyakini bahwa itu adalah pesan kebenaran yang tingkat akurasinya hanya berada satu garis di bawah wahyu Tuhan.

is not Blind. Selengkapnya ada di link ini, ya, Kawan-kawan. Salam.

Laut Tak Berombak http://h5.mangatoon.mobi/contents/detail?id=169722&_language=id&_app_id=1
30/06/2021

Laut Tak Berombak http://h5.mangatoon.mobi/contents/detail?id=169722&_language=id&_app_id=1

Badai ganas menggulung Ombak dan ketakutan Mala segera terbukti; hari bahagia mereka menguap dan awan kematian segera merasuki keyakinan semua orang sampai diam-diam siswa SD Telukgedung nekat melakukan hal yang mengejutkan para nelayan melarat di ujung muara itu.

28/06/2021

Ke mana.. ke mana.. ke mana..

ESKALASI AKHIR  NOVELA "BEGUM'BEGUM berdiri di depan Juli. Sebelah telapak tangannya menempel pada kulit pohon cemara la...
20/05/2021

ESKALASI AKHIR NOVELA "BEGUM'

BEGUM berdiri di depan Juli. Sebelah telapak tangannya menempel pada kulit pohon cemara laut yang memangari tepi pantai Kuala Guelumpang dan ia melemparkan semua pandangannya hingga ke selat malaka. Rahangnya dikatupkan, kedua mata sedikit menyipit. Selain amarah tertahan yang sesekali muncul, ia sebenarnya bukan anak yang s**a mempertontonkan emosi. Sejak berada di barak, Juli hampir tak pernah melihatnya menangis kecuali sebuah kecemasn tapi ia terus menghilangkannya.

“Di Arakan, aku pasti tak akan bertahan,” katanya. “Aku tak punya makanan untuk menghadapi lapar dan aku harus pergi sebab tak ada lagi tempat untuk hidup.”
“Aceh menenangkan hatimu?” tanya Juli.

Delta kembali mondar-mandir di sekitar mereka. Memotret ini-itu dan terus mengintip momen-momen terbaik. Aisyah berdiri di samping Juli dengan kaki mengaduk-aduk pasir.

“Dalam hidupku, aku sering melihat kejaiban di hutan Arakan, Tuan Juli. Tapi di sini aku melihat sesuatu yang tak akan pernah terlupakan. Aku melihat orang-orang yang menunjukan makna cinta dan aku sudah berhutang pada semua nelayan dan rakyat Aceh. Aku berhutang pada Indonesia Raya, negerimu, Tuan Juli. Aku juga berhutang banyak cinta padamu.”
“Cinta bukan sekadar ungkapan, Nak. Bukan hanya kiasan,” Juli berkata. “Kau benar-benar tak ingin kembali ke Arakan?”
“Aku sangat ingin, Tuan Juli. Tapi mereka tak akan menerima. Ayah memintaku pergi agar dapat menemukan kematian yang benar.”
“Kematian yang seperti apa?”
“Yang tidak membawa darah dan air mata. Yang terkubur dengan layak dan bukan akibat kebiadaban dan peluru.”
“Seakan kau ingin mengatakan kalau cinta adalah sudut pandang dalam melihat dunia.”
“Di Arakan kami adalah musuh negara, Tuan Juli.”
“Kau mungkin memang musuh yang harus dimusnahkan, Nak. Dan kau seharusnya diperlakukan sebagai anak manusia tapi negaramu tak mau melakukannya. Kau tak mendapatkan perlindungan yang harus diberikan negara pada rakyatnya. Kami tak kenal siapa dirimu. Tak kenal bagaimana hidupmu. Tapi dengan apa yang sudah kau lakukan, jika kau seorang prajurit mak bagiku kau adalah perajurit yang setia. Kau menolak untuk mengutuk, menolak mengingkari prinsip hidupmu dan kau menolak untuk mengambil jalan secara pengecut, sebab seorang pengecut harus membuang martabatnya dengan kebencian dan dendam sebelum menghilang di medan perang. Kau benar-benar ingin menjadi orang Aceh?”
“Kukira begitu, Tuan Juli. Aku menyukai suara adzan yang selalu berkumandang dengan ramai di sini.”
“Dan kau bisa tinggal di sini selama yang kau s**a,” sahut Aisyah dengan suara lebih segar.

Kaki mereka yang telanjang mengayun sangat pelan di hamparan pasir putih pantai Kuala Guelumpang. Matahari menyelinap di balik awan dan angin pantai yang lembut menyapa semua wajah yang memandangi selat. Pohon-pohon cemara laut bergerak-gerak bagian ujungnya namun hanya sesekali saja.

“Andai kau benar-benar tinggal di sini, apa yang akan kau lakukan?” tanya Juli.
Anak itu sama sekali tak menjawab. Tapi di dalam hati, ia mulai meyakini ingin menjadi nelayan dan bersahabat dengan laut.

* * *

Juli membuka laptop dan mulai menuliskan laporan tentang tragedi kemanusiaan yang orang-orangnya tak lagi memiliki pelindung kecuali oleh waktu, di sebuah bumi merdeka di negara bagian Arakan. Dia sudah menyiapkan segelas kopi dan sepiring kecil roti mentega, namun hingga beberapa puluh menit berlalu dan waktu menjadi sunyi, mata dan jari tangannya tak turun-turun dari cliboard dan layar laptop. Kopi itu menjadi dingin dan dia seolah-olah sedang menjadi seorang pecandu alkohol kelas berat yang akan mengucapkan kata ‘tidak’ meski tubuhnya sempoyongan karena mabuk. Di kapalanya yang penuh kejutan kini bersebaran huruf-huruf dari nama dua negara: Indonesia dan Myanmar, serta huruf-huruf lain untuk sebuah bangsa yang luka: Rohingya.

Juli menulis:
Indonesia, mestinya ikut turun tangan atas tragedi kemanusiaan yang menimpa muslim Rohingya, kelompok minoitas yang terusir dari negara bagian Arakan di Myanmar, terutama perempuan dan anak-anak, juga orang-orang tua tiada daya. Turun tangan bukan karena Rohingya adalah etnis muslim dan indonesia negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Tapi lebih kerena persoalan kemanusiaan yang sudah menjadi masalah bersama yang penanganannya menembus batas-batas geografis administrasi negara.

Orang-orang Rohingya tidak memiliki tanah asal, dan secara politik tidak diakui kewarganegaraannya oleh negara yang sudah mereka mukimi secara turun temurun. PBB menyebutkan bangsa ini adalah kelompok paling teraniaya di muka bumi dan jauh lebih buruk dari yang dialami warga kulit hitam masa Apartheid di Afrika Selatan.

Kekerasan juga mengarah pada upaya memusnahkan kelompok minoritas melalui pembersihan etnis dan isu SARA. Dan orang-orang Rohingya telah menghadapi diskriminasi, penindasan, permusuhan, dan pengusiran selama bertahun-tahun.

Anak-anak Rohingya berlarian ke segala penjuru saat orang-orang bersenjata memburu dengan selongsong peluru. Dan anak-anak itu terus bertanya ke mana air mata harus ditumpahkan ketika dusun mereka menjadi asap di sebuah hari yang penuh kecemasan, juga saat ibu dan bapak mereka tewas dalam pembantaian keji.
Indonesia, sebagai negara yang cinta damai tentu tidak mungkin berpangku tangan untuk memelopori penyelesaian secara menyeluruh dengan mendorong pemerintah Myanmar mengakui bangsa Rohinya sebagai bagian dari bangsanya. Indonesia bisa mengerahkan seluruh kemampuan diplomasi di level Asean ataupun internasional untuk meyakinkan Myanmar agar menerima demokrasi secara utuh, sebagai solusi penyelesaian beradab atas semua persoalan entnis Rohingya, dengan tanpa pelanggaran terhadap Hak Azasi Manusia.

Dengan demokrasi, minoritas Rohingya di Myanmar semestinya bisa hidup berdampingan dengan etnis mayoritas seperti yang terjadi pada berbagai negara di belahan dunia. Dengan demokrasi minoritas Rohingya tak perlu terkatung-katung secara menyedihkan di tengah lautan ganas selama perjalanan melarikan diri, atau akibat ditolak oleh negara-negara yang disinggahi. Dengan demokrasi minoritas Rohingya tak layak mati tenggelam atau tewas mengenaskan akibat kepalaran yang mencekik, atau ditelan badai pusara di hampar bentangan laut.

Tragedi Rohingya adalah tragedi seluruh umat manusia. Bencana Rohingya adalah bencana kemanusiaan menyedihkan di abad penuh peradaban. Dan pelajaran terpenting yang terjadi dalam tragedi ini; negara, sekali-kali, sungguh tak boleh membiarkan sekelompok orang memonopoli kebenaran atas dasar apa pun kecuali dengan cara beradab! (*)

04/11/2020

Puisi Kance di Jejak Lama. Jeme Semende besak di kebon.

04/10/2020

cover terjemahan bahasa Indonesia

Address

Menggala

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Fajar Mesaz Elegi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Fajar Mesaz Elegi:

Videos

Share