25/12/2024
Pacarku h4mil padahal dia masih kelas 3 SMa. Aku memintanya menggugvrkan kandungan, tapi dia malah memilih ....
"Ka, gimana ini?"
Aku masih ingat ekspresi wajahnya yang pucat saat menunjukkan benda p**ih yang ukurannya kecil itu. Gadis yang biasa terlihat ceria dengan satu lesung p**i yang akan menjorok ke dalam jika tersenyum itu kini terlihat murung. Kutebak dua garis merah pada alat tes kehamilan yang dipegangnya yang menjadi alasan untuk kesedihannya.
Dua garis merah ... aku tahu artinya. Dia hamil.
"Kok, bisa, Lam? Aku enggak pernah keluarin di dalam."
Dan, itu adalah jawaban bo doh yang kulontarkan dulu. Ya. Pengetahuanku saat itu memang minim. Nilam langsung menunduk saat genangan dalam matanya sudah menetes satu satu.
"Kamu nuduh aku hamil anak orang lain?" lirihnya.
"Bu--bukan gitu, Lam." Aku menenangkan gadis yang sudah kupacari selama empat tahun itu. "Aku cuma belum siap."
Ya. Siapa yang siap untuk menjadi ayah saat aku baru lulus SMA. Sementara, Nilam sendiri baru akan duduk di bangku kelas XII. Dia tidak boleh hamil atau akan dikeluarkan dari sekolah.
"Ya, terus gimana, Ka?" Nilam mendongak. "Aku juga takut ini. Kalau orang tuaku tahu, aku bisa dibu nuh."
Aku membingkai wajah basah Nilam karena air mata yang terus merebak. "Siapa yang tahu soal kehamilan kamu?"
"Cuma aku sama kamu."
"Sayang, cuma ada satu jalan. Kita enggak punya pilihan lain," ucapku.
"Apa?" Kening Nilam berkerut.
"Gugurkan anak itu. Aku enggak mau kamu dikeluarin dari sekolah. Aku juga mau kuliah dan kerja dulu, Lam," jelasku.
Nilam langsung menepis tanganku. "Kamu mau lepas tanggung jawab? Setelah aku gugurin, kamu pasti akan ninggalin aku, kan, Ka?"
"Enggak akan, Lam. Aku tetap akan menikahi kamu nantinya. Kamu selesaikan sekolah kamu dulu. Aku juga akan kuliah sambil bekerja," janjiku.
Nilam bergeming. Sepertinya gadis berkulit putih itu tidak memiliki pilihan lain.
"Nilam."
Nilam diam saja saat aku memanggilnya. Bahunya kembali bergetar saat aku merengkuh dan memeluknya. Kuusap rambut sepunggungnya, mencoba menenangkannya. Hubungan kami akan berakhir di pelaminan. Itu janjiku padanya. Setelah dia sedikit tenang, aku mengecup kening, p**i, juga bibirnya. "Aku mencintaimu, Nilam."
Nilam menepati janjinya. Sebelum aku kuliah di kota lain--kota yang sama dengan kediaman paman bibiku--dia sudah menggugurkan janinnya. Gadis itu mengantarkanku sampai ke halte. Di balik senyum yang melepasku mengejar impian, aku tahu ada kesedihan yang disembunyikannya. Dia pasti merasa berat karena kami harus berpisah sementara waktu.
Aku masih ingat bagaimana dia tersenyum dan menangis dalam satu waktu saat melambaikan tangannya padaku. Bis melaju, Nilam tetap berdiri di halte dengan tangan yang terus melambai. Sampai wajahnya menghilang seiring bis yang melaju jauh meninggalkan halte, aku pun meraih ponsel. Kuhubungi Nilam, lalu memintanya untuk segera pulang.
"Kalau udah sampai di sana, kabarin, ya, Ka?" pesan Nilam.
"Iya, Nilam. Kalau aku udah sampai, aku pasti hubungin kamu."
"Jangan telat makan."
"Iya, Sayang."
"Jangan begadang."
"Iya."
"Jangan nakal."
"Iya. Ada lagi?" tanyaku.
Nilam tak menyahut.
Ponselku lemah, aku mengakhiri percakapan. Sejenak kupejamkan mata, lalu semua kenangan itu berakhir.
*
Sepuluh tahun telah berlalu. Aku telah berkeluarga. Tidak. Bukan dengan Nilam, tetapi dengan wanita yang kukenal saat sama-sama kuliah. Meski telah mengenal lama, kami menikah empat tahun yang lalu. Sampai saat ini, kami belum dikaruniai keturunan. Mungkin karena kami sama-sama sibuk bekerja.
Ayah dan ibuku sudah lama pindah ke sini. Mungkin sekitaran delapan tahun. Maka, tak ada alasan aku kembali ke kota yang lama.
"Raka, kayaknya aku enggak bisa pulang cepat hari ini," lapor Wulan saat kami tengah menikmati sarapan.
Rasanya selera makanku langsung lesap. Selama umur pernikahan, aku dan Wulan seperti dua manusia yang hanya terikat status sah di mata hukum. Sehari-hari kami seperti dua manusia yang memiliki dunia masing-masing. Padahal dulu saat pacaran, kami bisa menghabiskan waktu bersama-sama.
"Hari ini? Kemarin kamu enggak bisa pulang cepat. Kemarinnya juga. Kayaknya tiap hari kamu enggak bisa pulang lebih awal dariku," sahutku. Wulan keberatan jika aku memintanya untuk resign.
Wulan meringis. "Ya, abis gimana lagi, Ka?"
Aku tak mau berdebat. Apalagi Wulan menganggap ini hal biasa. Dia tidak terlihat merasa bersalah karena menghabiskan lebih banyak waktunya di kantor. Sedikit sekali momen berdua berkualitas yang kami miliki setelah menikah.
Jika sudah begini, aku akan protes pada Rahmat, kakak Wulan yang kemudian menjadi sahabatku. Sama seperti Wulan, Rahmat pun workahollic. Dia belum menikah meski sekarang umurnya hampir genap empat puluh tahun. Aku sudah lama tidak menemuinya. Jadi, sepulang bekerja sore ini, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumahnya.
"Aku kira kamu sudah lupa denganku." Sambutan Rahmat saat aku datang ke rumahnya. "Apa adikku bikin masalah?" tanyanya setengah bercanda.
Aku meringis seraya menggeleng. "Masalah kami sampai sekarang cuma satu dan masih sama. Dia menduakanku dengan pekerjaannya."
Rahmat tertawa. Lelaki berkulit sawo matang dengan alis tebal itu selalu mentertawakan keluhanku.
"Sekarang kamu bisa tertawa, Mat. Tapi, nanti kalau kamu sudah menikah, pasti tahu rasanya kalau istri lebih fokus sama pekerjaaannya."
Tawa Rahmat berubah jadi senyuman. Aku mengernyit. Aneh sekali ekspresinya. Apa dia sedang melamunkan seseorang?
"Kamu sudah punya calon, Mat?" tanyaku.
Senyum Rahmat kian melebar. "Aku baru kenal belum lama ini, Ka. Sekitar tiga bulanan. Tapi, kok kebayang terus, ya?"
"Gas, Mat. Pepet terus sampai dia mau kalau kamu memang sudh yakin," saranku.
"Susah, Ka. Aku harus deketin dulu anaknya."
"Janda?"
"Yoi. Gimana menurut kamu?"
"Ya, enggak apa-apa kalau kamu memang sudah yakin."
Rahmat mengangguk. "Nantilah, aku pe let dia dulu," jawabnya seraya tertawa. Sialnya, aku pun ikut tertawa. Entah wanita mana yang berhasil menaklukkan hati Rahmat.
Bertemu dengan Rahmat, bisa mengusir kejenuhanku. Saat aku kembali ke rumah, semuanya terasa sepi lagi.
Hal yang menghiasi hari-hariku hanya pekerjaan dan sepi. Saat ada acara keluarga, salah satu saudaranya akan menikah, Wulan akhirnya bisa mengambil libur walau beberapa hari. Anggota keluarga yang jarang kujumpai, akhirnya bisa berkumpul.
"Raka sama Wulan kapan nih mau ngasih ponakan?" tanya seorang saudara.
"Minta doanya saja, Tante," jawabku.
Sementara, Wulan memiliki jawaban lain. "Ntar ah, Tante. Aku masih terikat kontrak kerja."
Entah kapan Wulan siap untuk menjadi seorang ibu. Padahal, aku sudah merindukan tangis seorang bayi di rumah. Bayi yang akan menjadi penyemangat saat aku berangkat bekerja nanti.
"Oh, ya, Bang Rahmat ke mana?" Wulan celingukan mencari kakaknya.
Ah, iya. Ke mana Rahmat? Kenapa belum terlihat?
"Katanya mau ngundang calon kakak iparmu," jawab tante Wulan seraya tersenyum.
Wulan ikut tersenyum. "Akhirnya ada yang bisa menarik hatinya. Kirain dia bakalan enggak s**a sama cewek," seloroh Wulan.
"Hush!" Tante Wulan bersiut.
Tak lama lelaki yang dibicarakan oleh Wulan muncul. Dia terlihat semringah. Ekspresinya berbeda sekali dengan wanita yang dibawanya. Wanita itu tersenyum sesekali jika Rahmat mengenalkannya pada keluarga besarnya. Tiba Rahmat mengenalkan wanita incarannya padaku, senyum wanita lesap.
"Ini wanita yang kumaksud tempo lalu, Ka. Namanya Nilam."
Untuk beberapa saat lamanya pandanganku terkunci pada Nilam: wanita idaman Rahmat yang ternyata kekasihku di masa lalu. Tak banyak perubahan pada sosok Nilam. Bahkan bagiku, dia masih sama seperti dulu.
"Mas." Wulan menyiku lenganku, membuatku tergagap mengulurkan tangan pada Nilam.
"Raka." Aku menyebut namaku.
Nilam terlihat murung sebelum akhirnya mencoba tersenyum saat membalas jabatan tanganku. Setitik lesung p**i yang dulu membuatku selalu tergila-gila itu pun terlihat. "Nilam," ucapnya.
"Ini Wulan, istri Raka."
Nilam mengangguk, lalu sempat memalingkan pandangan sebelum sepasang matanya terlihat membasah.
Di antara sekian banyak wanita, mengapa harus Nilam yang dicintai Rahmat? Takdir seperti sedang menguliti kesalahanku padanya. Kukira tidak akan pernah bertemu lagi dengan Nilam, tetapi Tuhan kembali mempertemukan kami.
"Nah, yang ini ... Maira. Putrinya Nilam." Sekarang Rahmat memperkenalkan anak perempuan yang sedari tadi ternyata bersembunyi di balik punggung Nilam. Anak itu sangat cantik ... seperti ibunya.
Maira?
Nilam ternyata sudah memiliki anak. Setidaknya perasaan bersalahku karena meninggalkannya kini bisa kulepas. Aku tahu Nilam tidak akan kesulitan mencari penggantiku dulu.
Maira mengulurkan tangan, tentu saja aku akan menyambutnya. Namun, sebelum kami bersalaman, Nilam segera menggandeng putrinya.
"Maaf, Mas Rahmat. Aku dan Maira harus pulang."
Judul: Wanita yang Mengandung Anakku
penulis: Senja_Senja