24/07/2024
Di kamar itulah Cokro terlelap sebagai m*yat yang diawetkan. Tul*ng-tul*ngnya pun sudah terlihat, bahkan kulitnya sudah mengering dan tidak berbentuk.
***
DENDAM ASWARADHANA
Part 1
Bangunan rum4h joglo yang cukup besar. Indah dan asri. Namun, tak ada senyuman di sana. Bur4m. H4mpa dan sepi.
Tubuh Suarsih semakin jompo. Dia bersantai di atas kursi goyang yang berdecit. Tepat memandang ke arah sebuah pagar kayu raksasa dengan ukiran yang sangat indah. Entah, sudah berapa lama pintu itu tidak terbuka?
Dari arah lain, terdengar suara langkah kaki seseorang. Beliau yang biasa dipanggil Mbok Emban, pelayan setia di keluarga Kaningratan Aswaradhana.
Dengan setia Mbok Emban melayani majikannya. Menyeduh kopi jahe pahit kes**aannya. Dilihatnya punggung Nyonya itu.
Suarsih, wanita 68 tahun dengan kecantikan yang tak pernah luntur. Hanya saja, suara tawa dan senyuman tak lagi menghiasi wajahnya.
“Monggo unjukanipun, Kanjeng Ibu.”
(Silahkan minumannya, Kanjeng Ibu.)
Wanita itu mengangguk pelan. Telapak tangannya yang sudah keriput mulai menggapai cangkir yang sudah di atas meja. Meminumnya perlahan. Seteguk demi seteguk. Terlihat tidak begitu menikmati.
“Sudah berapa lama?” tanyanya lirih.
“D-ua puluh tahun,” jawab Mbok Emban ragu.
Suarsih memejamkan mata. Kekecewaan selalu setia mendampingi hatinya. Dalam kesepiannya, dalam masa tuanya, dia berharap masih tersisa hari-hari bahagia.
“Siapkan keperluan Cokro, hari ini dia akan pergi bekerja.”
“Inggih, Kanjeng Ibu.”
Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi Suarsih lupa bahwa putranya telah tiada. Sudah 20 tahun silam. Rasa dukanya begitu dalam.
Suarsih kembali ke dalam sebuah kamar. Sebuah ruangan besar milik Raden Mas Cokro Aswaradhana. Namun, tak boleh ada yang masuk ke dalam kecuali dirinya.
Dengan membawa pakaian yang disiapkan oleh Mbok Emban, dengan sigap Suarsih mulai mengganti pakaian Cokro yang telah usang.
“Sudah 20 tahun, Le. An*k dan istrimu pun tak kunjung datang ke sini. Entah bagaimana keadaan mereka. Ibu sangat rindu.”
Ya, wanita rentan itu bukannya pikun. Sebab, di kamar itulah Cokro terlelap sebagai m*yat yang diawetkan. Tul*ng-tul*ngnya pun sudah terlihat, bahkan kulitnya sudah mengering dan tidak terlihat lagi bentuknya.
Suarsih tetap merawat tubuh putranya dengan penuh kasih sayang. Tak ada rasa jij*k sedikitpun.
“Harusnya mereka datang ke sini, menjengukmu. Bukankah kau juga sangat rindu kepada mereka?”
Air mata Suarsih menetes. Dia tertegun menghadap jas*d an*knya. Kemudian, teringat kisah pembunuhan tr*gis itu.
Kejadian yang bahkan, menimbulkan rasa sakit dan gejolak den d*m hingga sekarang.
“Ibu berjanji, jika an*k dan istrimu kembali. Kami bersama-sama akan menuntut balas dan barulah akan meny*may*mkanmu dengan layak.”
***
“Ma, apakah kita akan kembali ke Ind0nesia?”
“Iya! Papamu harus mendapatkan keadilan. Kita sudah lama bersembunyi dan melarikan diri ke luar negeri. Sudah saatnya melakukan pembalasan!”
Ayesha mencoba memahami hati ibunya. Gadis itu memang tak tahu persis, bagaimana kronologis peristiwa meng3rikan yang sudah bergejolak sebagai lakn*t den-d*m tak berkesudahan.
Getir rasanya. Hari ini, Ayesha Aswaradhana harus berpisah dari negara yang memberikannya ketenangan. Ia memang tak bisa memilih. Sebab, den d*m itu memang harus diteruskan hingga akhir.
“Nenekmu pasti sangat senang bertemu denganmu. Ini pakailah kalung azimat ini. Kalungnya akan melindungi dari berbagai pandangan buruk bahkan teluh."
Mereka berangkat menggunakan penerbangan pagi. Kepulangan mereka memang sangat dinanti oleh Suarsih. Wanita jompo itu begitu sangat merindu kehadiran menantu dan cucu cantiknya. Tak lupa Mbok Emban memasakkan segala hidangan istimewa untuk menyambut mereka.
Hampir seharian melakukan perjalanan panjang, membuat badan Ayesha begitu lelah. Berkali-kali ia memij4t bahunya yang terasa nyeri.
“Ayesha … setelah sampai di rumah nenek nanti, perhatikan tingkah lakumu. Mama tidak mau jika dicap sebagai menantu yang tidak berhasil mendidik putrinya.”
Setelah mendengar perkataan tersebut. Ayesha menghela napas panjang. Ia sudah menduganya, bahwa seketika kehidupannya akan berubah menjadi sangat membosankan. Akan ada banyak peraturan dan pantangan.
Dari bandara, mereka melanjutkan perjalanan dengan naik taksi, menuju ke wilayah perdesaan kota Solo yang begitu indah dan asri. Rasa lelah yang ada, terasa terb4yar lun4s setelah melihat damainya hamparan sawah hijau yang luas.
Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Kebanyakan adalah kendaraan roda dua dan sepeda ontel. Ayesha tersenyum ke arah jendela taksi, sesekali sambil mengambil gambar pemandangan yang ia anggap sangat menarik.
Namun, perasaannya seketika berubah ketika sampai di sebuah rum4h besar yang terlihat tak terurus. Pagar besar kayu yang megah justru menambah sisi kelam rumah tersebut.
“Kita sudah sampai, bantu Mama membawa koper.”
Ayesha bergegas turun. Ia masih tak percaya bahwa selama ini neneknya tinggal di rumah yang menyer4mkan ini. Tatapan Ayesha penuh selidik. Sebenarnya apa yang sudah terjadi? Tak lama kemudian, pagar besar itu terbuka dengan sendirinya. Mengeluarkan suara berdecit yang menambah aura keseraman.
Dengan membawa koper dan beberapa tas, Ayesha melangkah ragu. Ia memperhatikan sekeliling. Banyak sampah dedaunan kering yang berserakan. Rumput liar tumbuh dengan bebas. Pohon-pohon besar di sekitarnya membuat rumah ini menjadi sejuk namun terasa lembab. Hampir tak ada cahaya matahari yang masuk. Belum lagi, lantai halamannya sudah banyak ditumbuhi lumut.
“Ma ….”
“Diam!”
Ayesha urung bertanya. Ia mengunci rapat bibirnya. Tibalah mereka di ruang tamu. Ibunya terlihat menundukkan badan, kemudian berjalan sambil berjongkok. Mau tidak mau, Ayesha harus berjalan berjongkok sama seperti ibunya.
Di sudut ruang tamu, sudah terduduk anggun seorang wanita tua yang masih tergambar jelas gurat kecantikannya. Ayesha dan ibunya duduk di lantai, sambil menundukkan kepala. Sebenarnya Ayesha muak, tetapi ia juga penasaran seperti apa neneknya itu.
“Dewi, apakah dia cucuku?”
“Inggih, Ibu ….”
“Cantik sekali. Ke marilah, berikan nenekmu pelvkan.”
Dewi mengisyaratkan Ayesha untuk maju. Ia kembali berjalan berjongk0k. Kemudian tangan berkerut itu, menggapainya dan memelvknya dengan hangat. Ayesha memberikan senyuman terbaiknya. Sang nenek meraih dan mengelus puncak kepalanya dengan penuh kasih sayang.
“Kalian pasti sangat lelah, pergi dan beristirahatlah. Emban akan menunjukkan kamar kalian.”
“Terima kasih, Nek,” sahut Ayesha.
Ayesha dan Ibunya, berjalan kembali dengan berjongkok. Sungguh melelahkan. Namun, Suarsih memanggil mereka. Ibu dan an*k itu menghentikan langkah, kemudian menoleh.
“Dewi … jangan berjalan seperti itu. Kau dan anakmu bukan tamu di sini, kalian adalah keluarga. Kalian juga pemilik rum4h ini.”
“Akhirnya …,” gumam Ayesha pelan. Sejurus kemudian, Dewi menatapnya tajam. Pertanda bahwa ia tak s**a dengan kelakukan putrinya. Ayesha nyengir. Sementara, Suarsih yang melihatnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
“Sini, Raden Ayu. Saya bantu!”
Ayesha hampir saja melompat, karena begitu terkejut dengan sosok yang tiba-tiba ada di depannya. Kemudian, ia masih memegang dad*nya yang masih kembang kempis, sambil mengatur irama napas.
“Maafkan saya, jika mengejutkan, Panjenengan.”
“Oke … tidak apa-apa.”
“Mari, saya antarkan ke kamar.”
Ayesha pergi bersama Mbok Emban. Sementara Dewi entah ke mana? Mereka menuju ke sebuah kamar besar dengan jendela yang menghadap sebuah taman yang tidak terurus. Ayesha menutup kembali tirai kamar, karena memang tidak nyaman dengan pemandangan yang ia lihat.
“Sebentar lagi, akan ada tukang kebun yang bekerja rumah ini. Dia akan merapikan semuanya.”
Mbok Emban seolah mengerti dengan apa yang diinginkan oleh Ayesha. Gadis itu, memang begitu menyukai keindahan dan kerapian.
“Silahkan beristirahat, saya permisi.”
Ayesha mengangguk. Sekarang ia sendirian di kamarnya. Ia terasa lapar dan haus, bahkan neneknya belum memberikannya apapun. Ayesha keluar kamar, mencoba mencari letak dapur. Rumah neneknya sangat besar, sehingga untuk mencari dapur saja, rasanya kesulitan. Ia terses*t.
Sudah banyak lorong yang dilewati. Ada banyak sekali pintu. Satu per satu dibukanya, berharap salah satunya adalah dapur. Sama sekali tidak ada orang. Ayesha hanya berkeliling tanpa arah. Bahkan ia lupa, arah menuju kamarnya.
“Sebenarnya, ini rumah atau lawang sewu?” Ayesha bergumam kesal.
Gadis itu kembali berjalan. Samar-samar terlihat bayangan orang berjalan di belakangnya. Ia menoleh ke belakang. Tetapi tidak ada siapa pun. Lalu, kembali berjalan lagi. Kali ini, terdengar jelas suara langkah kaki yang mengikutinya.
“Siapa itu?”
Tak ada jawaban. Ayesha mulai menyelidiki, melangkah kembali. Memang tidak ada siapa pun. Kemudian, langkahnya terhenti, ketika melihat neneknya duduk menunduk di depan sebuah pintu yang tergembok.
“Nenek?”
Suarsih sama sekali tidak menyahut. Ayesha berusaha menggoyangkan bahu neneknya, karena merasa khawatir. Tak ada respon. Kemudian, Ayesha memberanikan diri untuk menyentuh p**i neneknya. Namun, ia begitu terkejut. Tiba-tiba kepala Suarsih mendongak ke arah Ayesha dengan mulut yang terbuka. Dari mulutnya keluar banyak sekali kelelawar merah dan bercak d*rah.
Refleks Ayesha beringsut mundur. Wajahnya memucat ketakutan. Ia berlari sekuat tenaga, hingga tak sadar menabrak seseorang.
“Kamu kenapa?”
“Nenek!” Ayesha berseru sambil menatap tak percaya.
“Iya? Ada apa?”
“I-tu, ta-di, ada ….”
“Sudahlah. Kami dari tadi menunggu di meja makan. Ayo cepatlah, sayang.”
Dengan hati yang masih bertanya-tanya, Ayesha mengikuti langkah neneknya. Ternyata benar, Dewi dan Mbok Emban telah menunggunya. Entah mengapa rasa laparnya hilang. Tidak berselera. Ada banyak kejanggalan.
Sebenarnya letak dapur, hanya selisih dua ruangan dari kamarnya. Begitu aneh. Padahal, sedari tadi Ayesha berjalan jauh, tapi tak menemukan dapur. Terlebih lagi, setelah kejadian tersebut, hati Ayesha selalu diselimuti dengan perasaan tidak enak.
Judul : DEN-D4M ASWARADHANA