28/10/2024
Vara mengirim foto sebuah ka sur yang berantakan, dengan
no da ba sah di tengahnya. Napasku memburu. Padahal Subuh itu aku baru bangun dan belum sepenuhnya tersadar.
Aku menatap layar dengan bingung. Da daku bergejolak. Sebelum aku bisa mencerna lebih jauh, pesan teks dari Vara menyusul.
[Bekas perbuatan suami kamu semalam padaku. 🤣🤣🤣]
Tanganku bergetar memegang ponsel, da rahku terasa mendidih. Amarah,
sa kit hati, dan penghinaan yang campur aduk seketika menyeruak. Aku tahu Vara sengaja mengirim ini untuk menyakitiku, untuk menunjukkan bahwa dia "memenangkan" Mas Arya.
"Ku rang ajar..." gumamku pelan, hampir tak bisa mengendalikan emosiku.
Kupandangi layar ponsel, hatiku han cur. Bagaimana bisa aku akan sampai di titik di mana aku dihi na oleh istri kedua suamiku. Dan lebih menya kitkan lagi, Mas Arya tak tahu, atau mungkin tak peduli, dengan perasaanku.
Aku menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri. Air mata mulai menggenang di mataku, tapi aku menolak untuk menangis lagi kali ini. Tidak, aku sudah cukup menangis. Kali ini, aku harus melakukan sesuatu.
Kubalas pesan Vara dengan singkat, meski dadaku sesak oleh amarah.
[Kamu pikir aku akan diam aja?]
Tak lama setelah pesanku terkirim, Vara membalas lagi.
[Mau apa? Mas Arya selalu balik ke aku. Kamu cuma pilihan kedua. Terimalah kenyataan, Rum. Kamu gak akan pernah bisa rebut dia dari aku.]
Hi naannya menem bus hati, tapi kali ini aku tak akan membiarkannya begitu saja. Tidak akan ada lagi tangisan tanpa perlawanan.
Aku memandang foto itu lagi, mencoba menahan rasa jijikku. Jika benar yang Alda katakan, bahwa Vara berhubungan dengan pria lain, maka ini jalanku untuk menghancurkan rumah tangga mereka. Aku harus tahu kebenaran yang lebih besar di balik semua ini. Dan aku harus buktikan bahwa Vara tidak sebersih yang dia tampakkan di depan Mas Arya.
Aku akan membongkar rahasianya, semua yang dia sembunyikan. Dan suatu saat nanti, aku akan tunjukkan semuanya di depan Mas Arya.
Pikiran itu memberiku kekuatan baru. Meski luka di hatiku masih berda rah, aku tahu harus melangkah. Sekarang bukan saatnya larut dalam kesedihan. Sekarang saatnya aku mulai bergerak.
Aku meraih ponsel lagi dan menghubungi Alda.
"Al," suaraku terdengar tegas, "Tolong kalau Vara kelihatan ke sana lagi, kasih tahu aku. Tulis hari apa aja dia ke sana. Jam berapa dan kapan dia keluar. Bisa minta bantuan temen kamu 'kan?"
Alda di seberang terdengar ragu. "Bisa. Tapi aku gak bisa kirim video atau foto. Itu harus kamu lakukan sendiri. Kamu yakin mau berhadapan sama dia kayak gini?"
"Yakin. Aku udah cukup disakitin. Sekarang giliran aku yang buka semuanya."
**
Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Meski matahari sudah tenggelam, cahaya di rumah terasa redup dan suram. Aku duduk di sofa, menatap layar ponsel tanpa tujuan.
Ketika pintu rumah terbuka, aku mendengar suara Mas Arya masuk. Tanpa berbalik, aku mencoba berfokus pada layar, meski hatiku berdebar mendengarnya. Dia mungkin sudah pulang, tapi semua yang terjadi sebelumnya masih menyisakan lu ka yang mendalam.
"Rum," panggil Arya lembut, tapi aku tetap diam, berpura-pura tidak mendengar.
Dia mendekat dan duduk di sampingku. "Maaf ya, aku baru pulang. Kamu kenapa? Cemberut gitu." Suaranya terdengar khawatir, dan aku bisa merasakan kesedihan di sana.
Namun, aku tak ingin menjawabnya. Selama ini, dia tidak pernah berusaha mencari tahu perasaanku. Dia lebih memilih untuk menyenangkan Vara, istri keduanya.
"Rum, tolong bicaralah. Aku minta maaf, ya. Aku gak bisa pulang seminggu kemarin karena kerjaan. Aku tahu kamu pasti nunggu," katanya lagi, mencoba menggenggam tanganku.
Aku menarik tanganku menjauh. "Gak ada yang perlu dibicarakan, Arya."
Dia menghela napas panjang. "Tapi, aku...," katanya terbata-bata, seolah kata-kata tersang k*t di tenggorokannya.
Ketika aku masih terdiam, Mas Arya beranjak berdiri dan pergi ke arah pintu keluar. Aku tidak berani menoleh. Ketika dia kembali, dia membawa sebuah buket bunga besar yang cantik. Buket itu penuh dengan bunga mawar merah yang segar, melambangkan cinta dan perhatian. Tapi saat melihatnya, hatiku justru terasa semakin sakit.
"Ini buat kamu, Rum. Aku tahu seminggu ini berat buatmu, makanya aku mau minta maaf," ujarnya, menyodorkan bunga itu padaku.
"Terima kasih," jawabku pelan, tanpa merasa bahagia. "Tapi bunga gak akan mengubah apa yang terjadi."
Arya tampak bingung. "Aku tahu kamu merasa ditinggalkan. Tapi kamu harus ngerti, aku harus kerja. Seminggu ini aku di luar kota, dan malam ini aku gantiin waktu itu sama Vara."
Mendengar kalimat itu, hatiku nyeri. "Gantiin waktu? Jadi, kamu menganggap itu semua seperti mainan? Sekali-sekali main sama istri yang lain? Seakan itu hal yang biasa?"
Arya terdiam sejenak. "Bukan gitu, Rum. Aku hanya... mencoba menjaga hubungan dengan semua orang. Dan aku janji, seminggu ke depan aku bakalan ada di rumah bersamamu."
"Janji? Seberapa banyak janji yang sudah kamu buat dan ingkari?" tanyaku, nada suaraku mulai meninggi.
Arya terdiam, seolah kata-kataku membuatnya tertegun. "Rum, aku...," dia mencoba menjelaskan, tapi aku sudah tak ingin mendengar lagi.
"Rum," katanya pelan, "Aku minta maaf tentang kemarin. Aku tahu kamu merasa terabaikan." Dia berusaha memelukku.
Aku menatapnya dan mengangguk. "Iya, aku merasa seperti itu. Tapi, aku sudah memikirkan semuanya. Aku maafin kamu, Mas."
Wajah Arya bersinar dengan harapan. "Terima kasih, Rum. Itu berarti banyak buatku."
"Tapi, Mas, bisa gak, besok bawa Mika ke sini. Udah lama aku gak main sama dia," ucapku, berusaha terdengar tenang.
Mas Arya terdiam sejenak, lalu berkata, "Apa gak bisa kita berduaan dulu, Rum? Aku merindukan waktu kita berdua. Kita bisa bicarakan semuanya."
Aku mengerutkan dahi. "Berduaan? Tapi Mika..."
"Iya, aku tahu. Tapi lusa baru aku bisa bawa Mika ke sini. Aku janji. Hari ini, aku ingin kita fokus satu sama lain. Kita bisa menjernihkan semua ini."
Kata-katanya membuatku bingung. Di satu sisi, aku rindu Mika, tapi di sisi lain, aku juga merindukan kedekatan dengan Mas Arya. Aku ingin memperbaiki hubungan kami, tapi menunggu hingga lusa terasa berat.
"Baiklah," ujarku akhirnya. "Tapi janji Mika nanti ke sini."
Mas Arya tersenyum lebar, seolah beban yang berat di pundaknya terangkat. "Tentu, Rum. Aku janji. Lusa kita bawa Mika. Sekarang, mari kita habiskan waktu kita. Makasih udah mau sayang sama anakku."
"Dia juga anakku, Mas."
Kami menghabiskan hari itu berdua, berbincang ringan, mengenang masa-masa indah sebelum semua ini terjadi. Meski hatiku masih berdebar, dan rasa sa kit itu masih ada, perlahan aku mulai merasakan harapan baru.
Namun, di sudut pikiranku, bayangan Vara dan kebohongannya masih membayangi. Meskipun aku berusaha untuk fokus pada Mas Arya, rasa ingin tahuku tentang apa yang sebenarnya terjadi antara mereka tidak pernah hilang.
**
Judul : Bukan Milik Bersama
Penulis : elaramurako
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.
https://read.kbm.id/book/detail/b4fb7b7f-b58b-ca1f-92c4-95bf16387d31