
04/05/2025
Sebahagian kita, yang masih sibuk mencari jawaban: bagaimana seharusnya iman diterjemahkan dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya dan Pendidikan ? Apakah cukup berhenti pada ritual? Atau ia harus termanifestasi menjadi tindakan nyata?.
di tengah pencaharian tersebut, dalam waktu bersamaan, dunia kita hari ini semakin dikontrol oleh segelintir orang. Negara-negara dipimpin oleh oligarki, hukum sering menjadi alat pembungkam, dan agama kerap dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Ketika kebijakan makin menindas, harga-harga melambung, tanah-tanah rakyat dirampas, buruh diperas, PHK terus Terjadi, rakyat di pajaki dan para elitnya bersekongkol demi kepentingan sendiri, bahkan mereka secara terangan - terangan Mengkorupsi Uang Kita.
Di saat itulah, iman harus berbicara dalam bentuknya yang lebih nyata.
Ekspresi "kepatuhan" hanya bisa dipandang sebagai satu bentuk yang lumrah, bukan satu-satunya yang sah. Mengira agama sebagai metode menundukkan akal di hadapan otoritas, seperti teks dan tokoh, mungkin telah mengerdilkan visi dan potensi agama yang jauh lebih besar (Fenomena Taklid).
Beragama tidak terbatas pada taklidnya manusia kepada norma dan dogma. Kepatuhan pada otoritas agama hanya satu bentuk ekspresi yang alami dari aktivitas beragama. Alamiah, tentu saja. namun tidak selalu membawa berkah.
Sependek Pengetahuanku, Kalimat Tauhid tidak hanya dianggap sebagai Doktrin Teologis tentang Supremasi Tuhan (Hamba dan Khaliq). tetapi, Juga sebagai prinsip revolusioner ; bahwa tidak ada satu Manusia pun yang berhak mengklaim dirinya lebih superior diantara sesamanya. Sebab, superioritas adalah Cikal bakal dari sikap Eksploitatif.
Orientasi Hidup berTuhan itu berbanding terbalik dengan mempercayai Thogut. Siapa Thogut itu?. Thogut adalah orang yang memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Rosulullah SAW saja pernah di ingatkan perihal ini, kamu jangan Tirani : "Innama anta Muzakkir, lasta alaihim bi mushaitir - Hai Muhammad, kamu ini cuman memperingatkan, tidak untuk mengancam - memaksa orang".
Artinya, Nilai kehidupan apapun, selalu memiliki prospek ketuhanan - Iman. Baik di ranah sosial, politik, ekonomi serta ranah kehidupan lainnya. Nilai-nilai ketuhanan (Iman) dimaksud, senantiasa menitikberatkan pada relasi Tuhan, manusia dan alam.
Selain Teologi Islam Pembabasan dan sejenisnya. Muncullah sebuah gagasan yang berani, menampar, sekaligus menggelitik, yaitu Anarkiyah Minal Iman - anarki adalah bahagian dari iman. Sekilas, menyandingkan anarki dengan iman terasa seperti menabrakkan dua kutub yang bertentangan.
Bukankah anarki itu tentang kekacauan, pemberontakan, dan penolakan terhadap otoritas?. Sementara iman sering dimaknai sebagai ketaatan, kepasrahan dan ketundukan?.
Di sinilah masalahnya, Diksi ‘anarki’ kerap kali diasosiasikan secara serampangan. Padahal, Anarki bukan sekadar ‘tidak ada aturan,’ tetapi sebuah tatanan yang menolak segala bentuk otoritarianisme yang menindas. Sementara iman, jika ditilik dari akar perjuangannya, sesungguhnya adalah alat pembebasan.
Anarkisme merupakan Paham yang menentang terhadap berdirinya sebuah lembaga yang mengatur masyarakat (negara). Menurut para penganutnya, negara dengan kekuasaanya adalah penindas, yang membatasi masyarakat. Oleh sebab itu, harus di hapuskan.
Menurut Peletak Teori Anarki, "Bakunin", para penyiksa yang menghisap manusia. Namun, dari semua itu dua lembaga yang paling menyiksa dan menghisap manusia adalah Negara dan Agama.
Dalam Islam, problemnya ketika kita bicara Teologi atau Iman. coraknya kebanyakan Statis. Tidak mendorong orang untuk berpikir kreatif. Bahkan jika kita menggunakan Kemampuan Rasionalitas, kita di tuding Bid'ah. Padahal, agama meniscayakan penggunaan akal untuk menangkap Visi dan Misnya.
Keimanan yang Statis, hasilnya akan melahirkan status qou kekuasaan (Politik dan agama). Siapa yang mayoritas, maka itulah yang menjadi rujukan.
Selain itu, persoalan Teologi atau Iman kita. Temanya selalu Metafisis. Yang di bicarakan terus menerus adalah sesuatu yang tidak kelihatan - Surga, Neraka, Pahala, Dosa. Sesuatu yang metafisis, di diskusikan bagaimanapun, hasilnya adalah spekulasi.
Sementara dalam waktu bersamaan, ada rakyat yang tertindas, ada rakyat yang kelaparan, ada rakyat yang melarat. Hal itu dianggap dunia yang lain. Agama seolah tidak mengurusi hal itu. Akibatnya, Ummat islam tidak memiliki kecerdasaan membaca realitas.
Secara Psikologis, ummat yang tertindas akan cenderung Frustasi, Pesimis, s**a jalan pintas dan lemah keyakinan. Kita ini secara kalkulatif kalah di semua segmen peradaban.
Ihwal itulah, apa yang di katakan Marx dan Bakunin, menjadi benar, bahwa agama adalah candu bagi ummat. Membuat kita Fly, enak dan nyaman. Membuat kita lupa terhadap realitas. Membuat kita menggunakan perasaan pada dunia yang tidak menggunakan perasaan.
Padahal, salah satu Esensi dari ajaran Islam, ia menawarkan kita untuk peduli terhadap realitas. Kritis terhadap status Qou - anti kemapanan. Menjadi inspirasi kelompok pinggiran. Mengakomodasi semua Aliran Teologi.
Di titik itulah, Iman tidak boleh berhenti sebagai doa-doa yang tak berujung aksi. Ada perintah ‘iqra’, yang semestinya tak hanya diterjemahkan sebagai membaca Teks To Teks dari kitab suci. tetapi, membaca Teks To Konteks, yaitu realitas sosial, hukum, ekonomi, budaya, politik, dsb.
jika ada yang menyatakan anarki bertentangan dengan iman, bisa jadi ia abai bahwa iman yang hanya dijadikan alat untuk pasrah pada keadaan sebenarnya bukan iman, melainkan penjinakan massal.
Menurut Hemat saya, Spirit Anarkiyah Minal Iman, punya kemiripan dengan Islam Teologi Pembebasan, yakni menciptakan Persaudaraan yang Universal, Kesetaraan manusia dan lingkungan, serta Keadilan sosial dan ekonomi.
Keyakinan semacan ini, harus diatasi dengan munculnya keyakinan teologis atau keimanan yang kuat, agar mendorong kita untuk giat mengubah nasib sendiri. Ihwal itulah teologi Pembebasan dan Anarkiyah minal Iman sangat menekankan dimensi Praksis, yaitu Refleksi dan aksi atau Iman dan amal. Artinya, narasi ini berupaya untuk menjadikan yang lemah dan papah menjadi mahluk yang independen dan aktif.
Untuk Menwujudkan Tujuannya, niscaya Menggunakan agama?. Hanya saja agama punya dua wajah ; Pertama, agama adalah tempat pelarian atau keluhan kaum tertindas. Kedua, agama bisa menjadi senjata untuk melakukan revolusi terhadap kekuasaan yang dzolim.
Tetapi, kita kerap kali memposisikan agama pada posisi pertama. Jika kita buntu, melarat, di tindas dan miskin, maka ingatlah ini adalah Unian dan Takdir Allah. Agamanya hanya sekedar pelarian.
kita perlu Belajar kembali mengenai semangat profetik dan liberatif Kenabian Muhammad Di Makkah. Revolusi Tauhid Nabi, ketika membela kelompok Pinggiran - tertindas. Setelah Nabi menekankan pentingnya membaca dan menulis (Iqro). Bukan Revolusi Mental yang Bim sala Bim.
Sebagaimana Teologi Pembebasan adalah keimanan yang mencoba untuk di pahami. beriman, tapi tidak diam saja atau pasif. Anarkiyah Minal Iman menegaskan bahwa iman yang sejati bukanlah iman yang membelenggu, melainkan Iman yang membebaskan. Bukan iman yang tunduk pada status quo, tetapi yang berani menentangnya.
Bayangkan sebuah sistem di mana agama justru digunakan untuk menundukkan manusia, membuat mereka takut melawan penindasan dengan dalih ‘sudah takdir,’ ‘sabar saja,’ atau ‘kelak mereka akan dapat balasan di akhirat.’ Ini bukan iman, ini candu yang diberikan oleh mereka yang berkepentingan.
Seorang mukmin yang sejati tidak hanya beribadah secara vertikal, tetapi juga horizontal - menolak segala bentuk penindasan, menyuarakan kebenaran, dan merawat solidaritas. Kalau tidak, apa bedanya iman dengan kepasrahan buta?.
Demikianlah sedikit gambaran bahwa di samping ekspresi kepatuhan, taklid, dan otoritas, agama di dunia juga mempunyai sisi, bentuk, dan ekspresi yang lain. Bahkan, Di masyarakat majemuk kita ini, nyatanya agama dapat bergerak dan menari secara amat kreatif.
Di tangan sarjana dan pemikir yang tepat, agama menjadi begitu produktif. Agama terbangun dari kondisi pasifnya, terdorong untuk mampu memberi respons terhadap setiap masalah genting kemanusiaan.
Bukti bahwa agama kita bukan sebuah ajaran hidup yang pengecut. Ia tidak berhenti di surau atau di sajadah. Ketundukan ritual hanya satu aspek dari agama dalam kebudayaan kita.
Di atas ritualisme dan taklidisme, terdapat gagasan-gagasan yang berani, yaitu Perlawanan, perjuangan terhadap Keadilan Sosial, Nasionalisme, Institusionalisasi, Sekularisasi, dan Pluralisme - yang semuanya itu berbasis juga pada agama.
- ANARKIYAH MINAL IMAN (1)-
Sorotan