31/08/2024
Siapapun yang menulisnya, Terimakasih karena telah mampu membuat saya terharu... ๐ข๐ข๐ฅ๐ฅ๐ญ๐ญ๐ญ
Mak......
Sudah dua tahun ini emak ikut tinggal di rumahku, emak yang sudah sepuh dan berusia tujuh puluh tahun lebih. Dulu emak tinggal berdua dengan bapak di desa, tapi semenjak bapak pergi mendahului emak, aku gak tega meninggalkannya sendirian, kuajak emak ke rumahku di kota.
Awalnya mas Ardi, kakak tertuaku sempat mengajak emak tinggal bersamanya tapi gak lama karena istrinya keberatan dengan emak yang makin hari makin rewel dan banyak maunya.
"Mbakmu kadang sudah nahan hati dengan kelakuan emak, Dik, cerewetnya minta ampun," keluh mas Ardi ketika mengantar emak ke rumahku.
Semakin senja tingkah emak seolah melampiaskan rasa ketika muda dulu. Emak dahulu terlalu menurut pada bapak dan gak pernah ada maunya, sekarang ketika tua rasa yang dahulu ia tahan dengan mudah ia ungkapkan.
"Nasi goreng pakai bumbu instan kayak gini gak enak."
"Pakaian jangan di-laundry, gak bersih, enak nyuci sendiri."
"Anakmu itu jajan terus, gak sehat entar batuk."
"Untuk apa beli hiasan dinding, buang-buang uang."
"Kalau hari Minggu jangan kesiangan, jangan pemalas."
Setiap hari, selalu saja omelan emak mewarnai hari-hariku. Ketiga anakku kadang kena sasaran ocehan emak, ada-ada saja yang salah di matanya.
"Dengarkan saja, Dik, gak usah diladeni, wajar orang tua," nasehat suamiku ketika aku mengeluhkan sikap emak yang kadang menjengkelkan.
"Kadang aku emosi juga, mas, kalau lama-lama kayak gini."
Suamiku tersenyum dan mencubit pipiku. "Alhamdulillah kita masih diberi nikmat merawat orang tua, jangan sampai kelak kita menyesal ketika dia sudah tiada."
Aku bergeming, benar juga.
***
Hari Senin pagi, suamiku masih dinas di luar kota, kebetulan yang bantu di rumah terlambat datang. Anak-anak rewel, mandi pun harus ribut, sarapan mesti berantem dan pakai seragam lambatnya setengah mati.
"Ayo, Nak, buruan entar mama terlambat," ucapku gusar. Jam delapan pagi ini ada rapat di kantor.
Semalam aku gak enak badan, batuk dan pilek mungkin kecapekan karena sudah tiga hari begadang mengerjakan laporan.
"Nak, cangkul kita dimana ya?" tanya emak ketika aku sedang memakaikan sepatu si bungsu.
"Gak tahu, Mak, tanya Bi Inah saja di belakang," jawabku. Ada-ada saja emak ini, dikala orang sibuk pagi-pagi dia sibuk nanyain cangkul.
"Kata Bi Inah dia gak tahu," ucap emak lagi.
"Cari di belakang, Mak," jawabku kesal. Apa mendesaknya coba mencari cangkul di jam genting seperti ini.
"Aisyah ayo nak buruan." Aku memanggil putriku yang dari tadi tak keluar kamar. Waktu semakin bergerak meninggalkan angka tujuh, aku semakin gelisah.
"Bentar, Ma, masih nyari buku PR semalam, gak ketemu," jawab Aisyah.
"Mama tunggu lima menit, adikmu sudah di mobil semua. Kalau kamu belum keluar kami tinggal."
"Nak, kamu cari dulu cangkul, toh kamu belum pergi," ucap emak gusar.
Aku bergeming, malas menanggapi emak.
"Nak, ingat dulu dimana kamu naruh cangkulnya." Emak mendesak, raut wajahnya pun terlihat kesal.
Aisyah putriku berlari keluar rumah, ia segera masuk ke mobil.
"Aku dan anak-anak berangkat ya, Mak." Aku mengambil punggung tangan emak dan menciumnya cepat.
Emak menarik lenganku, "cari dulu cangkulnya," ucap emak.
"Entar sore ya, Mak. " Aku tersenyum, berusaha sabar.
"Emak mau sekarang!" Emak membentak.
"Mak, aku ini sudah terlambat, hari ini ada rapat, kalau persentasiku gagal bisa gawat. Emak jangan buat masalah d**g, untuk apa coba nanya cangkul sekarang? Wajar saja kalau istri mas Ardi gak betah sama emak kalau rewel kayak gini." Aku beranjak meninggalkan emak, masuk mobil dan membanting pintunya. Kesal.
Sekilas kulihat emak terdiam dengan mata yang berkaca.
Jantungku berdetak cepat seolah ada yang mengejar, napasku terasa sesak dan kedua mataku memanas. Baru kali ini aku membentak emak, sebelumnya aku berhasil menahan diri dari kerewelan emak namun kesabaran ada batasnya. Meledak sudah amarah ini.
"Mama jangan kasar gitu d**g sama nenek," ucap Aisyah putriku.
Aku diam.
"Biasanya kan mama sabar," Yusuf putra keduaku menimpali.
"Nenek bilang dulu waktu kecil mama orangnya rewel, kalau nanya gak bisa stop, tapi nenek s**a. Itu artinya mama pintar kata nenek. Terus mama juga orangnya kalau ada mau gak bisa ditunda dan nenek bilang itu bagus artinya mama orangnya gigih." Aisyah berkata pelan.
Aku bergeming kehilangan kata-kata. Anakku benar, bukankah sifat emak dan aku kini sama? Kami sama-sama rewel, banyak maunya, selalu gigih bila ada keinginan tapi hanya ada satu yang membedakan. Emak menganggap sikapku ini sebagai sebuah anugrah dan dengan senang hati menerimanya, tapi aku? Dengan mudah aku menganggap emak sebagai beban.
Tak ada pembicaraan lagi di mobil hingga ketiga anakku turun dan masuk ke gerbang sekolah, ketiganya melambaikan tangan dengan mata yang juga berkaca. Emak yang bagiku rewel itu adalah kesayangan bagi putra putriku.
Aku menepuk setir mobil berkali-kali, sepuluh menit lagi pukul delapan, bila memacu kendaraan dengan cepat maka aku masih bisa