29/12/2023
Untong Kamoe Nyoe
𝐉𝐢𝐤𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐝𝐢 𝐝𝐞𝐦𝐨 𝐔𝐍𝐇𝐂𝐑, 𝐦𝐞𝐧𝐮𝐧𝐭𝐮𝐭 𝐚𝐠𝐚𝐫 𝐬𝐞𝐠𝐞𝐫𝐚 𝐦𝐞𝐦𝐟𝐚𝐬𝐢𝐥𝐢𝐭𝐚𝐬𝐢 𝐩𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧 𝐧𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐀𝐒𝐄𝐀𝐍 𝐝𝐚𝐧 𝐊𝐨𝐧𝐟𝐞𝐫𝐞𝐧𝐬𝐢 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐚𝐫𝐚 𝐏𝐢𝐡𝐚𝐤 𝐝𝐢 𝐀𝐜𝐞𝐡 𝐦𝐚𝐤𝐚 𝐀𝐜𝐞𝐡 akan 𝐤𝐞𝐦𝐛𝐚𝐥𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐞𝐭𝐢𝐤 𝐩𝐮𝐣𝐢𝐚𝐧 𝐝𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐬𝐞𝐩𝐞𝐫𝐭𝐢 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐭𝐞𝐫𝐣𝐚𝐝𝐢 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝟐𝟎𝟏𝟓 𝐥𝐚𝐥𝐮.
***
Sembilan belas tahun yang lalu ombak setinggi 30 meter menggulung-gulung ganas dan melumatkan apa saja yang dijangkaunya.
Bahkan, satu kapal sepanjang 63 meter dengan berat 2.600 ton diseret sejauh 3 meter, dari laut Ulee Lheue ke darat di Punge Blang Cut, Banda Aceh.
Usai tsunami, kapal PLTD itu menjadi pengingat bagi siapa saja bahwa Aceh pernah diterjang gelombang tsunami yang dipicu oleh gempa dahsyat.
Sebuah bencana yang memicu kematian, kerusakan, dan pengungsian di mana-mana. Sebuah bencana yang sekaligus menjadi episentrum percepatan para pihak untuk mengakhiri bala lain yang menimpa Aceh, yaitu konflik bersenjata.
P***a kegagalan perundingan Tokyo, Mei 2003, jalan damai yang sudah coba dirintis dengan COHA pada 2000 usai sudah. GAM berkeras dengan tuntutan merdekanya, Indonesia berkeras dengan tawaran otonomi terbatasnya.
Apapun alasannya, faktanya konflik bersenjata telah membuat rakyat dikepung bala, sebagaimana tergambar dalam lagu “Untong Kamoe Nyoe” salah satu lagu dalam album Nyawong garapan Joe Projeck yang dirilis tahun 2000.
mulot cem pala ngon cicem tiong
di ateh tampong meubura-bura
kamoe pengungsi nyang kenong gulong
sion ijakrong cit na nyang geuba
Lagu yang liriknya dicipta Habi Burman/Hasyim KS itu berkisah tentang negeri yang diterpa bala (konflik) yang tiada putus-putus.
Akibat konflik yang menghadapkan para pihak itu membuat warga Aceh menjadi pengungsi. Ada yang harus pergi dari rumahnya, dari kampungnya, bahkan ada juga yang harus pergi ke negara lain, baik sebagai pengungsi maupun pencari suaka.
Untuk diketahui, album Nyawong pada masanya pernah dibredel karena dikira menjadi syair-syair propaganda GAM. Akibatnya, Joe Samalanga dan kawan-kawannya tidak lagi memproduksi lebih lanjut album Nyawong.
Entah ada hubungan dengan kapal yang dititip tsunami di Punge Blang Cut, Banda Aceh 19 tahun lalu, yang jelas saat ini kapal-kapal yang membawa pengungsi Rohingya semakin banyak, tiba di Aceh.
Apa yang pernah dialami Aceh sejak DOM (1989 - 1998), juga dialami oleh etnis Rohingya di Myanmar, yang juga memicu pengungsian besar-besaran khususnya sejak 2017. Kemunculan entitas perlawanan etnis Rohingya ARSA, yang diklaim teroris oleh rezim Myanmar, sama seperti GAM di Aceh dulu, semakin memicu brutalitas terhadap etnis Rohingya.
Jika boleh dibandingkan, sekali lagi jika boleh dibandingkan, tentu yang dialami oleh etnis Rohingya lebih parah dari apa yang terjadi di Aceh. Di Myanmar, bahkan kekerasan terhadap etnis Rohingya sampai terjadi penghilangan status kewarganegaraan.
Berjuta-juta orang harus meninggalkan daerah mereka, dan Bangladesh menjadi tempat paling banyak disinggahi para pengungsi Rohingya. Akibatnya, kamp pengungsi Cox’s Bazar menjadi lokasi yang rawan kasus-kasus berat yang akhirnya memicu mereka untuk mencari negeri lain, bahkan walau harus menjadi korban penyeludupan manusia.
19 tahun lalu, tak ada yang tahu rahasia sesungguhnya kenapa kapal PLTD harus ditempatkan oleh tsunami di Punge Blang Cut, Banda Aceh. Sekarang barangkali kapal itu sebagai petunjuk ujian kekinian Aceh. Lewat kedatangan kapal-kapal yang membawa aarga Rohingya, Aceh sedang diuji kadar kemanusiaan setelah diberi nikmat damai. Barangkali.
Doeloe, warga dunia mengulurkan tangan mereka untuk membantu Aceh baik di masa konflik maupun di masa tsunami. P***a tsunami 53 negara tergerak untuk membantu Aceh yang juga harus mengungsi karena kehilangan rumah atau kampungnya rusak oleh tsunami.
Dengan adanya tragedi kemanusian akibat tsunami juga hati para pihak yang awalnya berkeras dengan sikap dan pandangan politik mereka akhirnya sepakat berdamai dengan MoU Helsinki.
Tahun 2015, ketika negara-negara cenderung menghalau pengungsi, Aceh dengan spirit keacehannya, kesadaran hukom laotnya, memilih menerima kedatangan pengungsi, hingga dunia memuji Aceh.
Bahkan, sikap Aceh memicu pertemuan menteri luar negeri di Malaysia yang memutus untuk menerima pengungsi. Di akhir tahun 2016 Presiden RI bahkan mengeluarkan Perpres 125/2016 tentang Pengungsi Luar Negeri, yang menjadi pedoman menanggani pengungsi luar negeri.
Hari ini, ketika media mewartakan ada mahasiswa menyerbu masuk ke tempat pengungsi (BMA) dan memindah paksa pengungsi ke tempat lain, dan pemandangan “keras” yang terliput kamera, seketika runtuhlah kritisisme dan nilai kemanusiaan yang menjadi ethik utama gerakan mahasiwa.
Harusnya, dengan keluasan intelektualitasnya, mahasiswa mestinya menuntut Psmerintah dan UNHCR untuk memfasilitasi pertemuan ASEAN dan pertemuan negara-negara para pihak Konvensi 1951 di Aceh agar semua negara yang hadir dapat melihat langsung para pengungsi yang ada di Aceh.
ASEAN dan negara para pihak harus didesak agae berani menggunakan pengaruh mereka mendorong Junta Militer Myanmar segera mengakhiri konflik sehingga dapat segera dilakukan repratiasi pengungsi atau pengembalian pengungsi ke negeranya.
Negara-negara para pihak juga didesak untuk membuka kembali kuota penerimaan pengungsi dan pencari suaka di negara mereka, termasuk membangun kesepakatan bantuan keuangan untuk percepatan pemrosesan pengungsi di negara yang disinggahi para pengungsi.
Jika ini yang dilakukan maka Aceh akan kembali menjadi pionir dikancah global dalam memecahkan problem-problem kemanusiaan yang saat ini terasa diabaikan oleh banyak negara. Pasalnya, negara-negara saat ini lebih peduli dengan sumber alam migas yang ada di Rakhine State ketimbang mengakhiri rezim otoriter yang jelas-jelas berpotensi menimbulkan problem kemanusiaan.
Dulu, ketika Perang Vietnam yang juga memicu pengungsi, Menteri Luar Nageri kala itu, Mocktar Kusumatatmadja sangat tegas terhadap Vietnam, termasuk tegas terhadap Amerika Serikat yang menjadi sponsor perang Vietnam sehingga pengungsi yang ditempatkan di Pulau Galang pada akhirnya dapat dipulangkan ke Vietnam.
Aceh yang sudah mendapat pujian dunia dengan aksi kemanusiaannya pada 2015 harusnya makin menjadi aktor global walau secara citizen action, dengan begitu klaim Aceh yang memandang dirinya sebagai warga donja mendapatkan kebenarannya.
Rasanya, tidak pernah ada aksi demo apalagi yang dilakukan mahasiswa, menjadikan kelompok lemah sebagai objek aksi demo. Selalu demo ditujukan ke para pihak yang memiliki wewenang, jika bukan pemerintahan, maka perusahaan atau lembaga. []