16/05/2018
Biarawati Memerangi Kusta, TB, dan Stigma Sosial di Banglades,
Warga desa Muslim Monjur Sheikh mulai merasakan infeksi dari bintil-bintil merah kecil pada kulit tahun 1975, disertai dengan sakit dan demam.
Hal ini mendorongnya untuk mengunjungi dokter tetapi setiap perawatan dengan resep yang dibuat dokter hanya memperburuk kondisinya, menyebabkan dia panik dan akhirnya putus asa ketika dia menyaksikan penampilannya semakin memburuk.
“Setiap kali, saya mendapat reaksi negatif,” kenang pria 81 tahun dari distrik Bagerhat selatan. “Baru menyadari saya menderita kusta tetapi tidak tahu apa yang harus dilakukan atau ke mana saya harus pergi.”
Setelah bertahun-tahun menderita mantan pengusaha itu, yang biasa mencari nafkah dengan menjual tembakau kering dan manis, mendapat informasi tentang rumah sakit yang dikelola oleh para biarawati di Daspara, sebuah desa tetangga di distrik Khulna.
Tahun 1986, setelah bertahan selama satu dasawarsa penderitaan dan penghinaan, ia dirawat di Wisma Damian, pusat pelayanan kesehatan yang baru dibuka yang didirikan oleh Kongregasi Suster-suster Misionaris Maria Imakulata (PIME) untuk melayani pasien miskin di Banglades selatan.
“Saya ingat hari pertama saya bertemu Suster Rosa (Sozzi) dan dia mulai mengobati saya,” katanya kepada
“Saya mulai sering tinggal di sana dan terus meminum obat yang mereka berikan kepada saya. Tanpa bantuan para biarawati yang luar biasa itu, saya kira saya tidak akan hidup lebih lama.”
Mereka tidak hanya membantu dengan perawatan kulitnya, katanya, mereka juga mengajarinya untuk melawan prasangka dan stigma sosial negatif yang melekat pada seorang penderita kusta.
“Bahkan kerabat saya menghindari saya karena mereka takut mereka mungkin terinfeksi,” katanya.
“Orang-orang biasa menghina saya dan mengatakan banyak hal buruk. Tetapi, para biarawati berbeda. Mereka tidak hanya mengobati saya tetapi menumbuhkan kesadaran kepada yang lain dan membujuk orang-orang muda tidak merasa terancam dan tidak mengucilkan kami,” tambahnya.
Maria Begum, 25, juga mengunjungi Wisma Damian secara rutin mendapat perawatan yang disebabkan tuberkulosis (TB).
“Sekitar setahun lalu saya mengalami masalah batuk serius. Saya datang ke sini menemui para biarawati dan menemukan saya menderita TBC. Saya sudah meminum obat sejak itu dan sekarang saya merasa jauh lebih baik,” kata ibu rumah tangga Muslim, yang bermigrasi dari Distrik Barisal ke Khulna saat berumur sembilan tahun.
Selain menawarkan pemeriksaan kesehatan gratis dan obat-obatan, para biarawati membantunya dengan menyediakan makanan bayi, beras, kacang-kacangan, dan gula setiap bulan.
“Sebelum saya datang ke sini saya berobat ke dokter setempat dan harus mengeluarkan banyak uang, tetapi tidak ada yang berhasil.
Di sini, saya tidak pernah menghabiskan satu sen. Namun, sekarang saya menikmati kesehatan yang baik dan keluarga saya dirawat – terima kasih para biarawati,” Ujarnya.
Kusta juga dikenal sebagai penyakit Hansen setelah ilmuwan Norwegia Dr. G.H.A. Hansen pertama kali menemukan mycobacterium leprae, bakteri penyebab penyakit itu, tahun 1873.
Telah lama dianggap sebagai “kutukan” di berbagai belahan dunia karena sifatnya menular, tingkat cacat fisik ekstrim yang dialami pada pasien dan tingkat kematiannya relatif tinggi.
Namun, hari ini penyakit kusta adalah penyakit yang dapat disembuhkan jika terdeteksi pada stadium awal dengan terapi multi-obat (MDT).
Ada 216.108 kasus baru terdaftar secara global tahun 2016, demikian menurut WHO.
Badan itu mengatakan tingkat penyebarannya 0,29 per 10.000 orang rata-rata berdasarkan pada 173.358 kasus yang tercatat pada akhir 2016.
Di Banglades yang berpenduduk padat dan miskin, penyakit lepra dianggap sebagai penyakit seperti wabah selama beberapa dekade. Namun, inisiatif dari pemerintah dan organisasi kesehatan internasional membantu negara itu menjadi “bebas lepra” tahun 1998, dua tahun sebelum tahun target WHO 2020.
Badan kesehatan dunia secara resmi menyatakan negara bebas dari penyakit ketika tingkat penyebaran kasus baru turun di bawah 1 persen per 10.000 orang.
Dalam kasus Banglades, tingkat penyebaran untuk kasus-kasus baru masih setinggi 0,62 persen dari total populasi tahun 2002. Dari mereka terjangkit penyakit itu, 6,5 persen menimbulkan cacat fisik yang signifikan, berdasarkan data statistik.
Namun, tuberkulosis dianggap lebih sebagai ancaman bagi kesehatan masyarakat di negara ini. WHO kini menempati urutan keenam di antara 22 negara berisiko tinggi untuk wabah TB.
Saat ini, sekitar 225 dari setiap 100.000 orang terinfeksi penyakit ini dan 45 meninggal dunia setiap tahun.
WHO memperkenalkan terapi Perawatan Langsung (TPL) menyembuhkan TB tahun 1993 dan telah membuktikan garis hidup bagi banyak orang di Banglades.
Seorang Suster Italia Roberta Pignone PIME, 46, seorang dokter layanan kesehatan dan direktur Wisma Damian, mengatakan berbagai fasilitas itu semua adalah gagasan dari Suster Rosa Sozzi.
“Suster Rosa bekerja di sebuah proyek kusta di Banglades bagian utara dan kemudian memutuskan pindah ke selatan. Tahun 1998 dia jatuh sakit dan kembali ke Italia, di mana dia meninggal pada Oktober,” kenang Suster Roberta.
Tahun 2001 para biarawati menemukan jumlah pasien kusta di daerah itu menurun. Sayangnya, jumlah pasien TB malah terus meningkat.
Rumah sakit segera membuka bagian baru yang mengkhususkan perawatan TB. Tahun 2012 mereka membuka bangsal lain untuk mengobati pasien HIV/AIDS.
Setiap tahun mereka menyediakan perawatan di rumah hingga 375 pasien sementara jumlah total penerima layanan mereka dan tambahannya mencapai 11.000.
“Orang miskin biasanya mengabaikan gejala ketika mereka mengalami batuk yang buruk. Mereka hanya pergi ke dokter ketika mereka menyadari kondisi mereka lebih serius daripada yang mereka duga,” kata Suster Roberta.
“Kadang-kadang terapi TPL tidak berhasil, terutama jika mereka juga menderita diabetes, sehingga mereka dapat menghadapi beban yang sangat besar,” tambahnya.
Meskipun Banglades sekarang secara resmi bebas lepra, sebuah buku yang diterbitkan oleh para biarawati menunjukkan bahwa orang-orang di 12 dari 64 kabupaten di negara itu masih tetap rentan terhadap penyakit tersebut. Distrik-distrik ini biasanya terpencil dan terbelakang dan terletak di utara dan selatan negara itu.
“Kami percaya bentuk-bentuk penyakit kusta parah yang dapat menyebabkan kematian tidak akan pernah kembali ke sini, tetapi kami masih melihat pasien-pasien datang, dalam jumlah kecil,” katanya.
“Banyak orang masih menderita dalam keheningan,” tambahnya.
“Kami bekerja keras menjangkau mereka, tetapi tantangan sebenarnya adalah membantu Banglades mempertahankan apa yang telah dicapai dengan menghilangkan penyakit itu.”
Selama beberapa dekade, fasilitas ini mengandalkan donasi internasional yang murah hati termasuk sumbangan dari Italia, yang bersumber dari kongregasi PIME.
Krisis keuangan 2008-2009 di AS yang mempengaruhi Eropa dan terutama Italia membuat para biarawati khawatir ketika mereka menyaksikan sumber pendanaan mereka mengering, yang berarti orang miskin akan menderita.
Sementara situasi telah membaik, pendanaan tetap kurang.
“Anggota masyarakat Banglades yang paling tidak beruntung bergantung pada pengobatan gratis kami,” kata Suster Roberta.
“Tetapi kami melakukan pekerjaan Tuhan. Entah bagaimana, kami akan menemukan cara untuk terus membantu selama kami dibutuhkan.”
source: ucanews.com.,http://www.parokikutoarjo.org/biarawati-memerangi-kusta-tb-dan-stigma-sosial-di-banglades/
Home Berita Dunia Biarawati Memerangi Kusta, TB, dan Stigma Sosial di Banglades Berita DuniaBiarawati Memerangi Kusta, TB, dan Stigma Sosial di Banglades By Rudi - May 16, 2018 0 0 SHARE Facebook Twitter Warga desa Muslim Monjur Sheikh mulai merasakan infeksi dari bintil-bintil merah kecil pada kuli...