01/09/2024
Detak yang Tak Terucap
Bab 1: Awal yang Tidak Terduga
Suara bel sekolah menggaung, menandakan waktu istirahat. Dimas dan teman-temannya berkumpul di kantin, seperti biasa. Mereka adalah geng yang selalu bersama, terdiri dari Dimas, Faris, dan Winda. Hari itu, topik obrolan mereka adalah hal-hal ringan, seperti tugas-tugas PKL yang semakin menumpuk.
"Dim, udah ketemu sama Mbak Laras lagi?" goda Faris, sambil menyikut lengan Dimas. Dia tahu betul bagaimana Dimas selalu gugup setiap kali ada pembahasan tentang Laras.
Dimas menghela napas, pura-pura cuek. "Apaan sih, Ris? Ngapain juga gue ketemu-ketemu sama Mbak Laras. Lagian, kita cuma ngobrol soal laporan PKL kok."
Winda tertawa kecil, ikut-ikutan menggoda. "Iya, iya. Ngobrol soal laporan. Tapi kenapa kalau p**ang PKL mukamu selalu merah?"
Dimas tak mampu menyembunyikan senyum kecilnya. Ia memang tak bisa memungkiri, ada yang berbeda setiap kali berhadapan dengan Laras. Senyuman dan cara bicara Laras selalu bisa membuatnya merasa nyaman, namun juga berdebar.
Bab 2: Rasa yang Semakin Dalam
Waktu berlalu, dan Dimas semakin sering bertemu dengan Laras di ruang PKL. Hubungan mereka memang tetap profesional, namun di balik itu, Dimas mulai merasakan ada perhatian lebih yang diberikan Laras kepadanya. Entah itu hanya perasaannya saja, atau memang benar adanya.
Suatu siang yang cerah, Laras memutuskan untuk mengajak Dimas dan teman-temannya makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih sebuah kafe kecil di dekat sekolah yang terkenal dengan suasana hangat dan menu makanannya yang lezat.
"Kalian udah kerja keras selama ini. Sebagai ucapan terima kasih, aku traktir makan siang, ya," ucap Laras sambil tersenyum.
"Yah, Mbak. Nggak usah repot-repot," jawab Faris dengan nada bercanda. "Tapi kalau dipaksa sih, kami nggak akan nolak."
Semua tertawa. Suasana di antara mereka sangat akrab, seakan-akan tak ada jarak antara pembimbing dan siswa. Di tengah obrolan, Winda mulai membuka topik baru.
"Mbak Laras, pernah nggak sih kepikiran soal cinta saat masih sekolah dulu?" tanya Winda dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu.
Laras tertawa kecil sebelum menjawab, "Tentu pernah, Win. Siapa yang nggak pernah jatuh cinta saat sekolah? Tapi waktu itu, fokus utama Mbak tetap pada pelajaran. Cinta itu seperti pelangi, indah tapi nggak bertahan lama."
Jawaban Laras membuat Dimas terdiam. Ia memikirkan kalimat itu, mencoba mencerna apakah ada pesan tersirat untuknya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Laras sudah kembali fokus ke obrolan yang lain.
Bab 3: Kebersamaan yang Memicu
Hari-hari berlalu, dan kedekatan Dimas dengan Laras semakin terasa. Meskipun tidak pernah terucap secara langsung, Dimas tahu ada yang berbeda dalam cara Laras memperlakukannya. Setiap senyuman, setiap tatapan, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.
Di tengah-tengah proyek yang mereka kerjakan, Dimas sering kali menjadi siswa yang paling banyak berdiskusi dengan Laras. Bahkan, ketika yang lain sudah selesai dan p**ang, Dimas masih saja bertahan di ruang PKL, mengerjakan ini itu.
Suatu hari, ketika Dimas sedang tenggelam dalam pekerjaannya, Laras tiba-tiba muncul di belakangnya. "Kamu nggak pernah capek, ya? Selalu jadi yang terakhir p**ang," ucap Laras sambil memberikan sebotol air mineral.
Dimas tersenyum canggung, menerima botol itu. "Saya cuma mau pastikan semuanya selesai, Mbak."
"Atau kamu cuma mau punya alasan buat ketemu Mbak?" canda Laras dengan senyum jahil.
Dimas tertawa, meskipun dalam hatinya merasa kalimat itu bukan sekadar candaan. "Mbak bisa aja," jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Percakapan mereka berlangsung santai, hingga akhirnya Laras menatap Dimas dengan serius. "Dimas, Mbak tahu mungkin kamu merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Tapi, kita harus tetap profesional, ya."
Dimas tertegun. Kalimat Laras itu seperti menjawab kegundahannya selama ini. "Saya ngerti, Mbak. Tapi saya cuma pengen Mbak tahu... saya beneran s**a sama Mbak, bukan cuma sekadar kagum."
Laras menatap Dimas dengan penuh kelembutan, namun ada kegetiran di matanya. "Dimas, kamu anak yang luar biasa. Tapi perasaan ini nggak bisa kita teruskan. Kamu punya masa depan cerah di depan kamu. Jangan biarkan perasaan ini jadi penghalang."
Dimas terdiam, mencoba menelan kenyataan pahit itu. Ia tahu Laras benar, tapi hatinya tetap saja berontak. "Saya ngerti, Mbak. Tapi... apa nggak ada kesempatan untuk saya?"
Laras menggeleng pelan, mencoba menjaga ketegasan dalam nada suaranya. "Untuk saat ini, nggak ada, Dimas. Mungkin suatu hari nanti kamu akan mengerti kenapa Mbak harus bilang begini."
Bab 4: Ujian Perasaan
Malam itu, sep**ang dari PKL, Dimas duduk di bangku taman sekolah, memandang langit malam. Perasaannya campur aduk, antara kecewa dan lega. Di satu sisi, ia sudah menyatakan perasaannya, tapi di sisi lain, ia harus menerima kenyataan bahwa perasaan itu tidak bisa berbalas.
Keesokan harinya, di sekolah, Faris dan Winda sudah menunggu Dimas di kantin. Mereka langsung tahu ada yang berbeda dari ekspresi wajah Dimas.
"Dimas, lo kenapa? Murung banget," tanya Faris, khawatir.
Dimas hanya menggeleng pelan, mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, Ris. Cuma lagi mikirin PKL aja."
Winda, yang selama ini selalu peka, langsung bisa menebak. "Jangan-jangan, ini soal Mbak Laras?"
Dimas terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, Win. Gue udah jujur soal perasaan gue ke Mbak Laras."
Faris dan Winda saling pandang, kaget. "Wah, serius lo, Dim? Terus gimana tanggapannya?"
Dimas menghela napas panjang. "Mbak Laras bilang kalau kita nggak bisa terusin perasaan ini. Gue ngerti sih, tapi tetep aja berat."
Winda meraih tangan Dimas, memberikan dukungan. "Dimas, lo berani banget. Gue yakin suatu hari nanti lo akan ketemu orang yang tepat. Tapi untuk sekarang, mungkin lo memang harus fokus sama masa depan lo dulu."
Faris mengangguk, setuju dengan Winda. "Iya, Dim. Kita semua tahu lo s**a sama Mbak Laras, tapi kadang perasaan itu harus dikorbanin demi hal yang lebih besar."
Dimas tersenyum, merasa sedikit lega karena punya teman yang mendukungnya. "Thanks, guys. Gue cuma butuh waktu buat nerima ini semua."
Bab 5: Akhir yang Tak Terduga
Waktu terus berlalu, dan Dimas berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Meskipun masih ada rasa yang tersimpan, ia tahu bahwa keputusannya untuk fokus pada masa depannya adalah yang terbaik.
Suatu hari, setelah semua proyek PKL selesai, Laras mengumpulkan semua siswa untuk memberikan evaluasi akhir. Setelah memberikan penilaian, Laras menatap Dimas sejenak sebelum mengakhiri pertemuan.
"Dimas, bisa sebentar? Mbak mau ngomong," panggil Laras.
Dimas merasa jantungnya berdebar lagi, namun ia mencoba bersikap tenang. "Ada apa, Mbak?"
Laras tersenyum lembut. "Mbak cuma mau bilang terima kasih karena kamu udah berusaha keras selama ini. Mbak juga mau minta maaf kalau ucapan Mbak kemarin bikin kamu sedih."
Dimas menggeleng. "Nggak apa-apa, Mbak. Saya ngerti kok. Saya juga mau minta maaf kalau saya bikin Mbak nggak nyaman."
Laras menatap Dimas dengan mata penuh haru. "Nggak, Dimas. Kamu nggak bikin Mbak nggak nyaman. Kamu anak yang baik, dan Mbak yakin suatu hari nanti kamu akan menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia. Tetaplah fokus, ya."
Dimas tersenyum tipis. "Terima kasih, Mbak. Saya akan ingat pesan Mbak."
Dengan itu, mereka berdua berjalan keluar dari ruangan, menuju masa depan yang berbeda. Dimas membawa kenangan itu dalam hatinya, bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran hidup. Dan setiap kali ia melihat ke belakang, ia akan selalu ingat bagaimana perasaannya pada Laras pernah menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya, meskipun