Pororo Quotes

Pororo Quotes Klik Tombol "S**A" Otomatis Kita Langsung Berteman ;)

Have you prepared cakes for Christmas?
19/11/2024

Have you prepared cakes for Christmas?

18/11/2024

Hai Cat Lovers 😍😍😍

Bayang Bayang di Rumah MertuaPart 4KonfrontasiSuatu malam, setelah Rina dibiarkan terkunci di luar rumah oleh Lusi, Rina...
04/09/2024

Bayang Bayang di Rumah Mertua
Part 4
Konfrontasi

Suatu malam, setelah Rina dibiarkan terkunci di luar rumah oleh Lusi, Rina akhirnya tidak bisa menahan lagi. Dia menangis tersedu-sedu di kamar, merasa benar-benar terjebak. Bimo yang baru p**ang, terkejut melihat istrinya dalam kondisi seperti itu.

"Rina, kenapa kamu menangis? Apa yang terjadi?" tanya Bimo dengan panik.

Rina terisak, mencoba menjelaskan, "Lusi... dia kunci aku di luar. Dan Ibu... Ibu terus bilang kalau aku nggak bisa apa-apa. Aku nggak tahu harus gimana lagi, Mas..."

Bimo mengernyit, tidak percaya. "Lusi kunci kamu di luar? Apa maksudnya?"

Rina mengangguk, air matanya terus mengalir. "Aku... aku nggak tahan, Mas. Mereka benar-benar nggak s**a sama aku."

Akhirnya, Bimo mengonfrontasi ibu dan adiknya. "Ibu, Lusi, aku nggak bisa terus kayak gini. Kenapa kalian terus-terusan memperlakukan Rina seperti ini?"

Bu Sari mendesah berat. "Bimo, Ibu cuma mau yang terbaik buat kamu. Rina itu... dia nggak cocok jadi istri kamu."

"Aku setuju, Kak," tambah Lusi dengan nada dingin. "Dia cuma bikin masalah di rumah ini."

Bimo merasa hatinya hancur. "Kalau kalian nggak bisa terima Rina, maka kita akan pergi. Kita nggak akan kembali sampai kalian bisa berubah."

Bu Sari tertegun. "Bimo, jangan buat keputusan terburu-buru. Ini kan cuma masalah kecil..."

"Tapi masalah kecil ini sudah menghancurkan kebahagiaan Rina," jawab Bimo dengan tegas.

Kebahagiaan

Rina dan Bimo akhirnya pindah ke rumah kecil yang sederhana. Meskipun kehidupan mereka lebih sulit secara materi, mereka merasa lebih tenang dan damai. Mereka perlahan-lahan membangun kehidupan baru, jauh dari bayang-bayang kelam yang pernah menghantui mereka.

Meski sesekali bayangan masa lalu masih muncul, Rina tahu bahwa selama dia memiliki Bimo

Bayang Bayang Di Rumah Mertua Part 3Teror DimulaiHari-hari berikutnya, teror halus mulai terasa semakin kuat. Pagi-pagi ...
04/09/2024

Bayang Bayang Di Rumah Mertua
Part 3

Teror Dimulai

Hari-hari berikutnya, teror halus mulai terasa semakin kuat. Pagi-pagi sekali, saat Rina sedang sendirian di dapur, Lusi datang dan melemparkan pandangan menghina.

"Kamu pikir kamu bisa jadi bagian dari keluarga ini? Jangan harap. Kak Bimo pantas dapat yang lebih baik dari kamu," ujar Lusi dingin, hampir berbisik.

Rina menelan ludah, mencoba untuk tetap tenang. "Kenapa kamu bicara seperti itu, Lus? Aku cuma ingin kita bisa akur."

Lusi tertawa kecil, namun tidak ada keceriaan dalam tawanya. "Akur? Kamu mimpi kali. Aku nggak akan pernah anggap kamu keluarga."

Percakapan itu menghantui Rina sepanjang hari. Malamnya, dia mendengar percakapan antara Bu Sari dan Lusi dari balik pintu kamar.

"Ibu, Rina itu nggak cocok sama Kak Bimo. Dia cuma pengganggu. Gimana kalau kita bikin dia nggak betah di sini?" suara Lusi terdengar jelas, penuh kebencian.

"Kamu benar, Lus. Tapi kita harus cerdas. Jangan sampai Bimo tahu. Kalau dia tahu, dia pasti akan membela Rina. Kita harus buat Rina sendiri yang merasa nggak betah di sini," jawab Bu Sari dengan suara penuh perhitungan.

Rina tercekat mendengar itu. Sekarang, dia tahu bahwa ketakutannya bukan sekadar paranoia. Mereka benar-benar menginginkan dia keluar dari rumah ini.

Bab 4: Di Bawah Tekanan

Keesokan harinya, Bu Sari terus-menerus mencari alasan untuk mengkritik Rina. "Kamu ini, masak masih juga nggak bisa. Mau sampai kapan belajar? Bimo pasti capek punya istri kayak kamu."

Rina hanya bisa menunduk, menahan air matanya yang sudah di ujung mata.

Sementara itu, Lusi semakin gencar dengan teror psikologisnya. Setiap kali Bimo tidak ada, Lusi selalu berusaha membuat Rina merasa tidak diinginkan. Suatu hari, ketika Rina sedang mencuci pakaian, Lusi datang dan menuangkan sebotol pewarna ke dalam mesin cuci, membuat semua pakaian menjadi rusak.

"Astaga, apa yang terjadi? Pakaian Bimo jadi rusak semua!" Rina berteriak, terkejut.

Lusi hanya tersenyum sinis. "Oh, sayang, kamu nggak hati-hati, ya? Pakaian itu semua penting buat Kak Bimo. Gimana dia mau pakai besok?"

Rina merasa hancur. Setiap usahanya untuk diterima seolah-olah selalu gagal. Bahkan ketika dia mencoba menjelaskan kepada Bimo, dia selalu merasa bersalah karena membicarakan keluarganya sendiri.

"Rin, coba kamu sabar sedikit, ya. Ibu dan Lusi mungkin belum terbiasa. Aku yakin mereka sebenarnya sayang sama kamu," Bimo berkata suatu malam, mencoba menenangkan Rina.

Rina menahan diri untuk tidak menangis. "Tapi Mas, mereka terus-terusan bikin aku merasa nggak diterima..."

"Kamu yang terlalu sensitif, Rin. Kamu harus lebih kuat," Bimo memotong, suaranya terdengar lelah.

Bayang Bayang Kelam di Rumah MertuaPart 2Langkah Pertama di NerakaHari-hari pertama di rumah mertuanya terasa seperti uj...
04/09/2024

Bayang Bayang Kelam di Rumah Mertua
Part 2

Langkah Pertama di Neraka

Hari-hari pertama di rumah mertuanya terasa seperti ujian bagi Rina. Dia berusaha keras untuk menyesuaikan diri, tapi sepertinya apa pun yang dia lakukan selalu salah di mata Bu Sari.

"Rina, tolong bantu Ibu di dapur, ya," pinta Bu Sari suatu pagi.

"Baik, Bu," jawab Rina sambil tersenyum. Dia langsung menuju dapur dan mulai memotong sayuran. Tapi tak lama kemudian, Bu Sari datang dan langsung mengkritik.

"Rina, potong sayurannya kok besar-besar gitu? Nggak tahu cara motong yang bener ya?" sindir Bu Sari dengan nada merendahkan.

"Oh, maaf, Bu. Saya... saya coba lagi," sahut Rina dengan suara gemetar. Dia mencoba memperbaiki potongannya, tapi tangannya gemetar, membuatnya semakin kesulitan.

Lusi masuk ke dapur tanpa suara, memperhatikan Rina yang gugup. "Masak baru potong sayur aja udah susah, gimana nanti mau ngurus rumah tangga?" Lusi berkata dengan sinis sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Rina terdiam, berusaha menahan air matanya. Dia tahu kalau dia menangis, itu hanya akan membuat mereka semakin puas.

Pada malam hari, saat Bimo baru p**ang kerja, Rina mencoba untuk membicarakan apa yang dia rasakan. "Mas, tadi Ibu... Ibu kayaknya nggak s**a sama aku. Apa aku salah ngomong atau gimana, ya?" Rina bertanya pelan.

Bimo mengernyitkan dahi. "Kok bisa gitu? Mungkin Ibu cuma capek aja. Kamu jangan terlalu dipikirin, Rin."

"Tapi, Mas... tadi Lusi juga..." Rina mencoba melanjutkan, tapi Bimo memotongnya.

"Lusi emang gitu orangnya, nggak usah diambil hati. Mereka pasti lama-lama juga bakal sayang sama kamu."

Rina hanya mengangguk, meski hatinya masih belum tenang.

Bayang-Bayang Kelam di Rumah MertuaPart 1Awal KedatanganRina duduk diam di kursi penumpang, menggigit bibir bawahnya den...
04/09/2024

Bayang-Bayang Kelam di Rumah Mertua

Part 1

Awal Kedatangan

Rina duduk diam di kursi penumpang, menggigit bibir bawahnya dengan gugup. Hari ini adalah pertama kalinya ia akan tinggal di rumah mertuanya setelah menikah dengan Bimo tiga bulan lalu. Rumah mereka sendiri masih dalam renovasi, jadi sementara mereka harus tinggal bersama orang tua Bimo.

"Kamu yakin nggak apa-apa, Rin?" tanya Bimo sambil melirik istrinya dengan penuh perhatian.

Rina menoleh dan tersenyum, meski ada sedikit keraguan di matanya. "Iya, aku nggak apa-apa. Cuma... ya, sedikit gugup aja."

"Tenang aja, Ma. Ibu sama Lusi pasti seneng kok kalau kamu tinggal di sana. Lagi p**a, ini cuma sementara," Bimo mencoba menenangkan istrinya dengan nada lembut.

Rina mengangguk, berusaha menguatkan diri. Tapi di dalam hatinya, ada rasa was-was yang tidak bisa diabaikan.

Begitu mereka tiba di rumah besar itu, Rina merasa seperti masuk ke dalam dunia yang berbeda. Halaman yang luas dan bangunan yang megah membuatnya merasa semakin kecil. Saat mereka turun dari mobil, Bu Sari, ibu mertua Rina, sudah menunggu di depan pintu dengan senyum lebar.

"Rina, Bimo, akhirnya kalian sampai juga. Selamat datang di rumah!" seru Bu Sari dengan antusias, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Rina merinding.

"Terima kasih, Bu," jawab Rina dengan sopan.

Di belakang Bu Sari, Lusi, adik perempuan Bimo, hanya berdiri diam, menatap Rina tanpa ekspresi. Rina mencoba tersenyum, tetapi Lusi hanya mengangguk kecil sebelum berbalik pergi tanpa sepatah kata pun.

Hatiku masihlah milikkuMungkin benar, aku hanya pura pura ikhlas ketika kamu pergiNyatanya, kamu masih ada diingatanRela...
02/09/2024

Hatiku masihlah milikku

Mungkin benar, aku hanya pura pura ikhlas ketika kamu pergi
Nyatanya, kamu masih ada diingatan

Rela sudah, ikhlas belum

Cerita RandomKenalin, Namaku Ryan. Saat ini aku seorang guru Honorer di salah satu sekolah di Semarang. Aku akan menceri...
02/09/2024

Cerita Random

Kenalin, Namaku Ryan.
Saat ini aku seorang guru Honorer di salah satu sekolah di Semarang.
Aku akan menceritakan masa mudaku.

Aku dahulu kuliah di Ibu Kota Jakarta,
Aku memiliki paras diatas rata rata, Piiss 😉

Dan pastinya aku memiliki pasangan yang bisa dibilang cantik, aku orangnya over protective, pasanganku aku jaga ketat, tapi jangan salah, aku tidak pernah menyentuhnya sama sekali. Meskipun memang pacaran itu salah, tapi aku tetap menjaga tidak menyentuhnya.
Lanjut?

Pernah saat aku masih belajar dikelas, aku tidak sengaja lihat jendela, eh ada pacarku diparkiran, dengan sigap aku izin ke dosen kalau aku ingin ke kamar mandi, padahal aku jemput pacarku, gila gak sih?
Aku aja sampai ngakak sendiri kalau ingat itu.
Bertahun tahun kami menjalin hubungan yang Allah tidak izinkan ini.
Hingga suatu ketika pacarku menghubungiku.
"Kak"

Iya dia panggil kakak, umur kami terpaut 5 Tahun

"Iya dek, kenapa?"

"Kita boleh ketemu? Aku mau bicara serius"

"Kamu mau ajak aku nikah? Kamu tau sendiri dek Mamaku belum ngizinin aku untuk berumah tangga. Belum ada penghasilan"

"Bukan, kita ketemu aja dulu yah"

"Oke dimana?"

"Di rumahku, sore ini ya"

"Oke"

Sudah sorekan ya
Aku udah mandi lamaaaa banget, udah pake parfum hampir 1 botol, udah pake minyak rambut. Yaah gaya anak muda lah.
Aku kendarai motor scoopy putih kesayanganku.
Sesampainya aku di rumahnya, aku gak di izinkan masuk lho, kita berdua ketemu didepan gerbangnya, gila gak? 😆

Aku sudah siap dengan dengar dia ingin berkata apa.

"Kak, maaf sebelumnya"

"Maaf kenapa? Kamu gak ada salah kok"

"Aku sudah malas pacaran"

"Ya udah, kita putus aja gak apa apa. Nanti kalau kakak sudah siap, kakak bakal lamar kamu"

"Aku mau nikah dua minggu lagi"

What? What?
Jantung aku yang awalnya tenang sudah tidak karuan, aku ingin teriak sekencang kencangnya, tapi aku masih tenang dihadapannya.

"Kamu mau nikah dua minggu lagi, baru kasi tau aku sekarang?"

"Maaf kak"

"Nikah sama siapa"

"Sama Kak Hendrik"

"Apa? Kamu gila Hany? Dia temanku. Apa tidak ada orang lain?"

Setelah aku mendengar jawaban yang tidak aku duga itu, aku stress. Bagaimana tidak, dia orang yang aku sayangi, menikah dengan teman sejawatku.
Bisa bayangkan bagaimana gilanya aku saat itu.
Ah sudahlah..

Ipar Benalu Part 3Setelah malam yang penuh dengan pertengkaran itu, suasana di rumah menjadi semakin dingin dan tegang. ...
02/09/2024

Ipar Benalu
Part 3

Setelah malam yang penuh dengan pertengkaran itu, suasana di rumah menjadi semakin dingin dan tegang. Rani tidak keluar dari kamarnya selama beberapa hari, dan Nadia memilih untuk diam, tidak ingin memulai konflik baru. Adi, di tengah-tengah keduanya, semakin tertekan oleh situasi yang tampaknya tak ada ujungnya.

Namun, pada suatu pagi yang kelabu, Nadia terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menemukan sepucuk surat di meja makan, dengan tulisan tangan yang dikenalnya betul—tulisan Rani. Nadia merasakan degup jantungnya semakin cepat saat dia membuka surat itu dan mulai membacanya.

"Adi, Mbak Nadia,

Aku sudah terlalu lama menjadi beban di sini. Aku sadar kalian sudah berusaha untuk sabar dan membantuku, tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tahu aku belum banyak berubah, dan aku tidak ingin terus menyakiti kalian. Jadi, aku memutuskan untuk pergi.

Aku tidak tahu akan ke mana atau bagaimana aku akan bertahan, tapi aku harus mencoba berdiri di atas kakiku sendiri. Terima kasih karena sudah memberiku tempat dan waktu selama ini. Maafkan aku untuk semua masalah yang sudah aku buat. Semoga kalian bisa kembali hidup tenang tanpa aku.

Rani."

Air mata Nadia mulai mengalir, namun kali ini bukan karena marah, melainkan karena rasa bersalah. Meski Rani telah menjadi sumber masalah, Nadia tahu dalam hatinya bahwa dia juga mungkin telah terlalu keras pada adik iparnya itu. Dia mendekati kamar Rani, mengetuk pintu, tapi tidak ada jawaban. Ketika dia membukanya, kamar itu kosong—Rani sudah pergi.

Adi menemukan Nadia menangis di depan kamar Rani, dan tanpa banyak bicara, dia segera memeluk istrinya. Mereka berdua tahu bahwa sesuatu telah hilang—bukan hanya kehadiran Rani, tapi juga kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang telah retak.

Beberapa minggu berlalu dengan sunyi. Rumah yang biasanya riuh dengan konflik kini terasa hampa. Nadia dan Adi jarang berbicara tentang Rani, tapi keduanya tahu bahwa mereka merindukannya. Di dalam kesunyian itu, Nadia mulai memahami bahwa meskipun Rani memang membawa banyak masalah, dia adalah bagian dari keluarga mereka—dan kehilangan itu meninggalkan luka yang dalam.

Suatu hari, ketika Adi p**ang kerja, dia membawa kabar. "Nadia, aku dapat telepon dari Rani. Dia sekarang sudah dapat pekerjaan dan tinggal di rumah kos yang dekat dengan tempat kerjanya."

Nadia merasa ada beban yang sedikit terangkat dari hatinya. "Apa dia baik-baik saja?"

Adi mengangguk. "Dia bilang dia baik-baik saja. Dia ingin kita tahu bahwa dia akan berusaha untuk menjadi lebih baik."

Nadia terdiam sejenak, mencoba menelan perasaan yang bergejolak di dalam dadanya. "Aku senang dia baik-baik saja," ucapnya lirih.

Malam itu, Nadia dan Adi duduk di ruang tamu, merasakan keheningan yang berbeda. Ada rasa lega, tapi juga ada penyesalan yang tak terucap. Mereka tahu bahwa meskipun Rani sudah pergi, bekas lukanya masih ada. Namun, dalam keheningan itu, ada harapan bahwa suatu hari nanti, mereka bisa memperbaiki hubungan yang hancur dan kembali merajut tali keluarga yang sempat putus.

Malam semakin larut, dan dalam pelukan suaminya, Nadia berdoa agar Rani bisa menemukan jalannya sendiri—dan mungkin suatu hari nanti, mereka bisa bertemu lagi dengan hati yang lebih terbuka dan penuh pengertian.

Ipar Benalu Part 2Adi berdiri dan berjalan ke arah Nadia, mencoba meraih tangannya, tetapi Nadia menepisnya dengan tegas...
02/09/2024

Ipar Benalu
Part 2

Adi berdiri dan berjalan ke arah Nadia, mencoba meraih tangannya, tetapi Nadia menepisnya dengan tegas. "Aku gak mau dengar lagi alasan, Adi. Entah kamu bicara sama Rani, atau aku yang akan bicara sama dia. Dan kamu gak akan s**a caraku bicara."

Saat itu, pintu kamar Rani terbuka perlahan. Rani keluar dengan wajah yang terlihat kelelahan namun dengan tatapan penuh kebencian. "Kamu ngomong apa di belakangku, Mbak?" suaranya rendah, tapi tajam.

Nadia terkejut sesaat, namun amarah yang sudah terpendam terlalu lama tidak bisa lagi ia tahan. "Aku gak ngomong di belakangmu, Rani. Aku ngomong di depanmu. Kamu itu sudah cukup lama tinggal di sini tanpa bantu apa-apa. Sudah saatnya kamu sadar dan bertanggung jawab!"

Rani mendengus, "Kamu kira aku gak tau? Aku denger semua omongan kalian, setiap malam! Kalian kira aku gak mau bantu? Aku lagi cari kerja, tapi susah! Dan aku capek dengan semua omongan kalian yang menganggap aku gak berguna!"

Nadia menatap Rani dengan tatapan tajam. "Cari kerja? Kamu cuma tidur seharian dan keluyuran malam-malam. Kamu kira aku gak tau? Apa kamu pernah coba bantu masak, bersih-bersih, atau paling gak, hargai barang-barang di rumah ini?"

Rani mengalihkan pandangannya, tetapi amarah Nadia terus berlanjut. "Ini rumahku, Rani. Rumahku dan Adi. Kami yang kerja keras buat jaga rumah ini. Kalau kamu gak mau berubah, kamu gak punya tempat lagi di sini."

Adi berdiri di antara keduanya, mencoba menenangkan situasi. "Nadia, Rani, tolong jangan bertengkar seperti ini. Kita bisa selesaikan ini dengan kepala dingin."

Namun, Rani malah menatap Adi dengan mata berapi-api. "Adi, kenapa kamu selalu di pihak dia? Aku ini adikmu! Seharusnya kamu lebih paham aku daripada dia!"

Adi terlihat bingung dan terpojok. "Rani, aku cuma mau yang terbaik buat kita semua. Nadia juga capek dengan situasi ini."

"Aku capek? Aku lebih dari capek, Adi!" Nadia meledak lagi. "Aku yang harus kerja, urus rumah, dan sekarang aku juga harus mengurus adikmu yang tidak tahu diri! Apa lagi yang harus aku lakukan?"

Rani menahan tangis, tapi amarahnya juga tak bisa dibendung. "Kamu pikir aku senang hidup kayak gini? Aku gak minta buat hidup di sini! Kalian yang ajak aku!"

"Karena kamu bilang butuh waktu buat bangkit! Tapi ternyata kamu malah jadi beban buat kita!" jawab Nadia tajam.

Rani akhirnya tak mampu lagi menahan air matanya. "Kalau begitu, aku pergi saja dari sini! Aku gak butuh kalian! Aku akan buktikan aku bisa tanpa kalian!"

Tanpa menunggu jawaban, Rani masuk ke kamarnya dan menutup pintu dengan keras. Nadia terduduk lemas di sofa, air matanya kembali mengalir. Adi berdiri di tempatnya, tak tahu harus berbuat apa.

"Aku gak mau kita terus seperti ini, Adi. Aku mencintaimu, tapi aku gak sanggup hidup dengan rasa sakit hati ini setiap hari," suara Nadia hampir tak terdengar.

Adi mendekat dan memeluk Nadia dengan erat, walau dia tahu pelukan itu tidak bisa menyelesaikan masalah mereka. "Aku janji, kita akan cari jalan keluarnya. Aku janji..."

Namun dalam hati, keduanya tahu, janji itu mungkin hanya akan menjadi kata-kata kosong di tengah malam yang penuh kesedihan ini.

Ipar BenaluMalam itu, angin berhembus dingin, seakan menembus dinding rumah yang sepi. Nadia duduk di ruang tamu, wajahn...
02/09/2024

Ipar Benalu

Malam itu, angin berhembus dingin, seakan menembus dinding rumah yang sepi. Nadia duduk di ruang tamu, wajahnya penuh dengan kegelisahan. Di hadapannya, Adi, suaminya, tampak tidak nyaman, memainkan kunci mobilnya tanpa henti.

"Adi, aku gak kuat lagi..." suara Nadia bergetar, menahan air mata yang sudah lama ingin tumpah. "Setiap hari, Rani cuma bikin masalah di rumah ini. Dia gak bantu apa-apa, malah nyusahin."

Adi menghela napas panjang. "Nadia, Rani itu adikku. Dia sedang kesulitan. Kita harus bantu dia."

"Kesulitan? Udah setahun dia di sini, Adi! Satu tahun! Apa dia pernah berusaha cari kerja? Apa dia pernah bantu urus rumah? Enggak!" Nadia mulai meninggikan suaranya. "Kamu tau gak? Setiap kali aku p**ang kerja, rumah berantakan. Makanan yang aku simpan buat makan malam habis tanpa jejak! Apa ini yang kamu sebut kesulitan?"

Adi tampak terganggu, namun dia tetap mencoba tenang. "Nadia, aku paham kamu frustrasi. Tapi Rani itu keluarga. Keluarga harus saling mendukung."

"Ini bukan soal mendukung, Adi! Ini soal rasa tanggung jawab! Kalau dia masih punya harga diri, dia gak bakal ngerepotin kita kayak gini!" Nadia tak mampu lagi menahan air mata yang akhirnya mengalir deras di pipinya. "Aku capek, Adi. Aku benar-benar capek..."

Matahari pagi itu bersinar cerah, menerobos masuk melalui jendela kelas XII IPA 2. Siswa-siswi yang duduk di bangku masi...
01/09/2024

Matahari pagi itu bersinar cerah, menerobos masuk melalui jendela kelas XII IPA 2. Siswa-siswi yang duduk di bangku masing-masing sibuk dengan buku pelajaran mereka, bersiap untuk ulangan matematika yang akan segera dimulai. Di depan kelas, Ibu Dina, guru matematika yang sudah mengajar di sekolah ini selama lebih dari sepuluh tahun, sibuk mempersiapkan soal-soal ulangan.

Rangga, seorang siswa yang duduk di baris ketiga dari belakang, tak bisa mengalihkan pandangannya dari sosok Ibu Dina. Bukan karena takut ulangan—dia sudah terbiasa dengan soal-soal sulit—melainkan karena hatinya yang tak menentu setiap kali melihat gurunya itu.

“Ibu Dina lagi, ya?” bisik Dimas, teman sebangkunya, dengan senyum penuh arti.

“Apaan sih lo!” Rangga merespon cepat, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

“Keliatan banget, Ga. Lo udah sering ketahuan ngebet Ibu Dina, hati-hati lho,” lanjut Dimas sambil mengedipkan mata. Rangga hanya bisa menghela napas. Bagaimana bisa ia menjelaskan perasaan yang semakin hari semakin sulit ditahan ini?

Hari-hari berlalu, dan perasaan Rangga terhadap Ibu Dina semakin mendalam. Bukan sekadar kekaguman pada seorang guru, tapi sesuatu yang lebih dalam. Setiap momen di kelas seolah menjadi kesempatan baginya untuk merasakan kehadiran Ibu Dina lebih dekat.

Suatu hari, setelah jam sekolah usai, Rangga memberanikan diri untuk tinggal lebih lama di kelas. Ketika teman-temannya sudah pergi, dan hanya ada beberapa siswa yang masih di dalam sekolah, Rangga mendekati meja Ibu Dina yang sedang merapikan berkas-berkas.

“Bu Dina, saya mau bicara sebentar,” ucap Rangga dengan suara yang sedikit bergetar.

Ibu Dina mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Tentu, Rangga. Ada yang ingin ditanyakan tentang pelajaran?”

Rangga menelan ludah, lalu menggeleng. “Bukan, Bu... saya cuma mau ngomong sesuatu yang... pribadi.”

Ibu Dina tampak sedikit terkejut, tapi ia tetap tenang dan menunggu Rangga melanjutkan.

“Saya tahu ini nggak seharusnya, dan mungkin ini bakal bikin Ibu marah, tapi... saya nggak bisa lagi menyimpan perasaan ini sendiri,” ujar Rangga akhirnya, dengan tatapan penuh kebingungan dan ketakutan.

Ibu Dina masih menatap Rangga dengan penuh perhatian, tapi juga dengan keheranan. “Perasaan apa, Rangga?”

“Saya... saya jatuh cinta sama Ibu,” kata Rangga akhirnya, meski suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.

Suasana tiba-tiba berubah sunyi. Waktu seolah berhenti. Ibu Dina terdiam, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Rangga, kamu pasti salah paham. Mungkin ini hanya perasaan sementara karena sering ketemu di kelas.”

“Bukan, Bu. Saya sudah merasakannya sejak lama. Setiap kali saya lihat Ibu, ada rasa yang nggak bisa dijelaskan. Saya tahu ini salah, tapi perasaan saya benar-benar tulus,” kata Rangga, matanya mulai berkaca-kaca.

Ibu Dina menarik napas panjang, mencoba tetap tenang meski hatinya bergejolak. “Rangga, saya menghargai kejujuran kamu, tapi kamu harus mengerti kalau perasaan ini nggak bisa diteruskan. Saya guru kamu, dan kamu masih muda. Perasaan kamu bisa berubah seiring waktu.”

Rangga menunduk, merasa berat di dadanya. “Saya nggak tahu gimana cara melupakan ini, Bu. Setiap hari rasanya makin kuat.”

Ibu Dina tersenyum tipis, lalu mendekati Rangga. “Cinta pertama memang sering terasa sangat kuat, Rangga. Tapi, cinta juga harus diiringi dengan pemahaman. Kamu masih punya banyak waktu untuk menemukan cinta yang tepat, dengan orang yang seusia dan sejalan dengan kamu.”

Detak yang Tak TerucapBab 1: Awal yang Tidak TerdugaSuara bel sekolah menggaung, menandakan waktu istirahat. Dimas dan t...
01/09/2024

Detak yang Tak Terucap

Bab 1: Awal yang Tidak Terduga
Suara bel sekolah menggaung, menandakan waktu istirahat. Dimas dan teman-temannya berkumpul di kantin, seperti biasa. Mereka adalah geng yang selalu bersama, terdiri dari Dimas, Faris, dan Winda. Hari itu, topik obrolan mereka adalah hal-hal ringan, seperti tugas-tugas PKL yang semakin menumpuk.

"Dim, udah ketemu sama Mbak Laras lagi?" goda Faris, sambil menyikut lengan Dimas. Dia tahu betul bagaimana Dimas selalu gugup setiap kali ada pembahasan tentang Laras.

Dimas menghela napas, pura-pura cuek. "Apaan sih, Ris? Ngapain juga gue ketemu-ketemu sama Mbak Laras. Lagian, kita cuma ngobrol soal laporan PKL kok."

Winda tertawa kecil, ikut-ikutan menggoda. "Iya, iya. Ngobrol soal laporan. Tapi kenapa kalau p**ang PKL mukamu selalu merah?"

Dimas tak mampu menyembunyikan senyum kecilnya. Ia memang tak bisa memungkiri, ada yang berbeda setiap kali berhadapan dengan Laras. Senyuman dan cara bicara Laras selalu bisa membuatnya merasa nyaman, namun juga berdebar.

Bab 2: Rasa yang Semakin Dalam
Waktu berlalu, dan Dimas semakin sering bertemu dengan Laras di ruang PKL. Hubungan mereka memang tetap profesional, namun di balik itu, Dimas mulai merasakan ada perhatian lebih yang diberikan Laras kepadanya. Entah itu hanya perasaannya saja, atau memang benar adanya.

Suatu siang yang cerah, Laras memutuskan untuk mengajak Dimas dan teman-temannya makan siang bersama di luar kantor. Mereka memilih sebuah kafe kecil di dekat sekolah yang terkenal dengan suasana hangat dan menu makanannya yang lezat.

"Kalian udah kerja keras selama ini. Sebagai ucapan terima kasih, aku traktir makan siang, ya," ucap Laras sambil tersenyum.

"Yah, Mbak. Nggak usah repot-repot," jawab Faris dengan nada bercanda. "Tapi kalau dipaksa sih, kami nggak akan nolak."

Semua tertawa. Suasana di antara mereka sangat akrab, seakan-akan tak ada jarak antara pembimbing dan siswa. Di tengah obrolan, Winda mulai membuka topik baru.

"Mbak Laras, pernah nggak sih kepikiran soal cinta saat masih sekolah dulu?" tanya Winda dengan mata berbinar, penuh rasa ingin tahu.

Laras tertawa kecil sebelum menjawab, "Tentu pernah, Win. Siapa yang nggak pernah jatuh cinta saat sekolah? Tapi waktu itu, fokus utama Mbak tetap pada pelajaran. Cinta itu seperti pelangi, indah tapi nggak bertahan lama."

Jawaban Laras membuat Dimas terdiam. Ia memikirkan kalimat itu, mencoba mencerna apakah ada pesan tersirat untuknya. Namun, sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Laras sudah kembali fokus ke obrolan yang lain.

Bab 3: Kebersamaan yang Memicu
Hari-hari berlalu, dan kedekatan Dimas dengan Laras semakin terasa. Meskipun tidak pernah terucap secara langsung, Dimas tahu ada yang berbeda dalam cara Laras memperlakukannya. Setiap senyuman, setiap tatapan, seolah berbicara dalam bahasa yang hanya mereka berdua yang mengerti.

Di tengah-tengah proyek yang mereka kerjakan, Dimas sering kali menjadi siswa yang paling banyak berdiskusi dengan Laras. Bahkan, ketika yang lain sudah selesai dan p**ang, Dimas masih saja bertahan di ruang PKL, mengerjakan ini itu.

Suatu hari, ketika Dimas sedang tenggelam dalam pekerjaannya, Laras tiba-tiba muncul di belakangnya. "Kamu nggak pernah capek, ya? Selalu jadi yang terakhir p**ang," ucap Laras sambil memberikan sebotol air mineral.

Dimas tersenyum canggung, menerima botol itu. "Saya cuma mau pastikan semuanya selesai, Mbak."

"Atau kamu cuma mau punya alasan buat ketemu Mbak?" canda Laras dengan senyum jahil.

Dimas tertawa, meskipun dalam hatinya merasa kalimat itu bukan sekadar candaan. "Mbak bisa aja," jawabnya singkat, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Percakapan mereka berlangsung santai, hingga akhirnya Laras menatap Dimas dengan serius. "Dimas, Mbak tahu mungkin kamu merasa ada sesuatu yang berbeda di antara kita. Tapi, kita harus tetap profesional, ya."

Dimas tertegun. Kalimat Laras itu seperti menjawab kegundahannya selama ini. "Saya ngerti, Mbak. Tapi saya cuma pengen Mbak tahu... saya beneran s**a sama Mbak, bukan cuma sekadar kagum."

Laras menatap Dimas dengan penuh kelembutan, namun ada kegetiran di matanya. "Dimas, kamu anak yang luar biasa. Tapi perasaan ini nggak bisa kita teruskan. Kamu punya masa depan cerah di depan kamu. Jangan biarkan perasaan ini jadi penghalang."

Dimas terdiam, mencoba menelan kenyataan pahit itu. Ia tahu Laras benar, tapi hatinya tetap saja berontak. "Saya ngerti, Mbak. Tapi... apa nggak ada kesempatan untuk saya?"

Laras menggeleng pelan, mencoba menjaga ketegasan dalam nada suaranya. "Untuk saat ini, nggak ada, Dimas. Mungkin suatu hari nanti kamu akan mengerti kenapa Mbak harus bilang begini."

Bab 4: Ujian Perasaan
Malam itu, sep**ang dari PKL, Dimas duduk di bangku taman sekolah, memandang langit malam. Perasaannya campur aduk, antara kecewa dan lega. Di satu sisi, ia sudah menyatakan perasaannya, tapi di sisi lain, ia harus menerima kenyataan bahwa perasaan itu tidak bisa berbalas.

Keesokan harinya, di sekolah, Faris dan Winda sudah menunggu Dimas di kantin. Mereka langsung tahu ada yang berbeda dari ekspresi wajah Dimas.

"Dimas, lo kenapa? Murung banget," tanya Faris, khawatir.

Dimas hanya menggeleng pelan, mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa, Ris. Cuma lagi mikirin PKL aja."

Winda, yang selama ini selalu peka, langsung bisa menebak. "Jangan-jangan, ini soal Mbak Laras?"

Dimas terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan. "Iya, Win. Gue udah jujur soal perasaan gue ke Mbak Laras."

Faris dan Winda saling pandang, kaget. "Wah, serius lo, Dim? Terus gimana tanggapannya?"

Dimas menghela napas panjang. "Mbak Laras bilang kalau kita nggak bisa terusin perasaan ini. Gue ngerti sih, tapi tetep aja berat."

Winda meraih tangan Dimas, memberikan dukungan. "Dimas, lo berani banget. Gue yakin suatu hari nanti lo akan ketemu orang yang tepat. Tapi untuk sekarang, mungkin lo memang harus fokus sama masa depan lo dulu."

Faris mengangguk, setuju dengan Winda. "Iya, Dim. Kita semua tahu lo s**a sama Mbak Laras, tapi kadang perasaan itu harus dikorbanin demi hal yang lebih besar."

Dimas tersenyum, merasa sedikit lega karena punya teman yang mendukungnya. "Thanks, guys. Gue cuma butuh waktu buat nerima ini semua."

Bab 5: Akhir yang Tak Terduga
Waktu terus berlalu, dan Dimas berusaha menjalani hari-harinya seperti biasa. Meskipun masih ada rasa yang tersimpan, ia tahu bahwa keputusannya untuk fokus pada masa depannya adalah yang terbaik.

Suatu hari, setelah semua proyek PKL selesai, Laras mengumpulkan semua siswa untuk memberikan evaluasi akhir. Setelah memberikan penilaian, Laras menatap Dimas sejenak sebelum mengakhiri pertemuan.

"Dimas, bisa sebentar? Mbak mau ngomong," panggil Laras.

Dimas merasa jantungnya berdebar lagi, namun ia mencoba bersikap tenang. "Ada apa, Mbak?"

Laras tersenyum lembut. "Mbak cuma mau bilang terima kasih karena kamu udah berusaha keras selama ini. Mbak juga mau minta maaf kalau ucapan Mbak kemarin bikin kamu sedih."

Dimas menggeleng. "Nggak apa-apa, Mbak. Saya ngerti kok. Saya juga mau minta maaf kalau saya bikin Mbak nggak nyaman."

Laras menatap Dimas dengan mata penuh haru. "Nggak, Dimas. Kamu nggak bikin Mbak nggak nyaman. Kamu anak yang baik, dan Mbak yakin suatu hari nanti kamu akan menemukan seseorang yang bisa membuatmu bahagia. Tetaplah fokus, ya."

Dimas tersenyum tipis. "Terima kasih, Mbak. Saya akan ingat pesan Mbak."

Dengan itu, mereka berdua berjalan keluar dari ruangan, menuju masa depan yang berbeda. Dimas membawa kenangan itu dalam hatinya, bukan sebagai luka, tapi sebagai pelajaran hidup. Dan setiap kali ia melihat ke belakang, ia akan selalu ingat bagaimana perasaannya pada Laras pernah menjadi bagian penting dari perjalanan hidupnya, meskipun

Kutukan Raka Ketika Mencintai Lawan Jenis....Di sebuah sekolah menengah atas di kota kecil, ada seorang siswa bernama Ra...
01/09/2024

Kutukan Raka Ketika Mencintai Lawan Jenis
....

Di sebuah sekolah menengah atas di kota kecil, ada seorang siswa bernama Raka. Dia adalah siswa yang pendiam dan selalu duduk di bangku paling belakang, menjauh dari keramaian. Meski wajahnya tampan dan selalu mendapatkan nilai sempurna dalam setiap ujian, ada sesuatu yang aneh pada Raka. Sesuatu yang membuat orang-orang di sekitarnya merasa tak nyaman.

Suatu hari, seorang siswi baru bernama Arini pindah ke sekolah tersebut. Arini adalah gadis ceria dan penuh semangat, berbeda jauh dengan Raka yang selalu murung. Dalam waktu singkat, Arini sudah memiliki banyak teman. Namun, satu hal yang membuatnya penasaran adalah Raka. Di tengah keramaian kelas, dia selalu melihat Raka sendirian, seolah terasing dari dunia sekitarnya.

Ketertarikan Arini terhadap Raka semakin tumbuh ketika dia menyadari bahwa Raka selalu menghindar setiap kali ada orang yang mendekatinya. Meski begitu, Arini tidak takut. Dia merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui tentang Raka.

Suatu hari, saat jam istirahat, Arini memberanikan diri mendekati Raka yang sedang duduk di bangku taman sekolah, membaca buku.

"Hai, Raka," sapa Arini dengan senyuman yang cerah. "Kamu sendirian terus. Boleh aku duduk di sini?"

Raka menatapnya sejenak dengan mata yang dingin, tetapi tak mengatakan apa-apa. Dia hanya mengangguk pelan.

Arini duduk di sampingnya dan mencoba mengobrol, "Kamu sering baca buku, ya? Apa yang kamu baca?"

"Buku biasa," jawab Raka singkat, suaranya datar tanpa emosi.

Arini tidak menyerah, "Kamu tidak tertarik untuk gabung sama yang lain? Kita bisa makan siang bersama di kantin."

Raka menutup bukunya dan menatap Arini dengan tatapan tajam. "Kamu sebaiknya tidak dekat-dekat denganku."

Arini terkejut mendengar kata-kata itu. "Kenapa? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"

Raka menggeleng, kemudian berdiri. "Ini bukan soal kamu, tapi soal aku. Orang yang terlalu dekat denganku... mereka selalu berakhir buruk."

Arini merasa ada sesuatu yang lebih dalam di balik kata-kata Raka. Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih lanjut, Raka sudah pergi, meninggalkannya dengan seribu tanya di kepala.

Hari-hari berlalu, dan meskipun Raka terus menghindar, Arini tetap mencoba mendekatinya. Hingga suatu malam, Arini bermimpi aneh. Dalam mimpinya, dia berada di dalam sebuah ruang kelas yang gelap dan sunyi. Di hadapannya, Raka berdiri dengan wajah pucat dan dingin. Di tangannya, dia memegang sebuah buku hitam tebal.

"Raka... apa ini?" tanya Arini dalam mimpinya, suaranya bergetar.

Raka membuka buku itu, dan di setiap halamannya, Arini melihat nama-nama yang dikenalnya. Nama-nama siswa yang pernah dekat dengan Raka, namun kemudian mengalami kecelakaan atau jatuh sakit secara misterius. Halaman terakhir memuat nama Arini, tertulis dengan tinta merah yang menetes seperti darah.

"Kau adalah Maut?" tanya Arini, setengah tak percaya.

Raka menatapnya dengan sedih. "Aku tak pernah meminta ini, Arini. Aku hanyalah seorang anak yang terkutuk. Setiap kali seseorang mencoba mendekat, mereka akan kehilangan nyawa mereka. Itulah sebabnya aku menjauh. Untuk melindungi mereka... dan sekarang, kamu juga harus menjauh."

Arini terbangun dengan keringat dingin di sekujur tubuhnya. Mimpi itu terasa sangat nyata, dan dia tidak bisa mengabaikan firasat buruk yang menyertainya. Keesokan harinya, Arini mencoba menghindari Raka, tetapi hatinya berkata lain. Dia tahu ada lebih banyak yang tersembunyi di balik sosok Raka yang pendiam dan misterius.

Pada suatu sore, saat Arini sedang p**ang sekolah, Raka tiba-tiba muncul di hadapannya.

"Kita perlu bicara," kata Raka dengan nada tegas.

Arini merasa takut, tetapi dia tetap menatap Raka. "Aku tahu kamu mencoba melindungiku, Raka. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu sendirian menghadapi ini."

Raka menatap Arini dengan mata yang penuh kesedihan. "Arini, kamu tidak mengerti. Setiap orang yang aku sayangi selalu berakhir dengan kematian. Aku tidak bisa membiarkan hal itu terjadi padamu."

Arini menggenggam tangan Raka, meski dia merasakan ketegangan di antara mereka. "Aku percaya, Raka. Ada cara untuk menghentikan kutukan ini. Aku akan membantumu."

Raka ingin menarik tangannya, tetapi dia tidak bisa. Ada sesuatu dalam tatapan Arini yang membuatnya merasa sedikit tenang. "Jika kau tetap di sini, kau bisa mati, Arini."

"Aku tahu risikonya. Tapi aku tidak akan meninggalkanmu sendirian."

Raka terdiam, merasakan hatinya yang selama ini beku mulai mencair sedikit. Namun, dia tahu betapa berbahayanya keadaan ini. Maut selalu mengikuti setiap langkahnya, dan sekarang Arini telah melibatkan dirinya.

Hari demi hari berlalu, Arini terus berada di sisi Raka, mencoba menemukan cara untuk menghapus kutukan yang mengikatnya. Meskipun berbagai hal aneh dan berbahaya terjadi di sekitar mereka, Arini tetap bertahan, membuktikan bahwa kekuatan cinta dan persahabatan lebih besar daripada kutukan apa pun.

Pada akhirnya, setelah melalui banyak rintangan, Arini menemukan bahwa kutukan Raka berasal dari sebuah perjanjian kuno yang dibuat oleh nenek moyangnya. Hanya dengan mengorbankan cinta sejatinya, kutukan itu bisa dipatahkan. Arini dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan Raka, atau menerima nasib bahwa kutukan itu akan terus berlanjut.

Dalam momen terakhir, Raka menyadari bahwa dia tidak bisa membiarkan Arini mengorbankan dirinya. Dengan keberanian yang belum pernah dia tunjukkan sebelumnya, Raka memutuskan untuk menghadapi kutukan itu sendiri. Dia tahu bahwa jika dia menghilang dari kehidupan Arini, kutukan itu tidak akan pernah bisa melukainya.

"Arini, aku tidak bisa membiarkanmu melakukan ini," kata Raka dengan suara gemetar. "Aku yang harus pergi."

Arini menangis, memeluk Raka erat-erat. "Aku tidak mau kehilanganmu, Raka. Aku mencintaimu."

Raka membalas pelukan itu dengan lembut. "Aku juga mencintaimu, Arini. Itulah sebabnya aku harus melakukannya. Agar kamu bisa hidup dengan bahagia."

Dengan hati yang hancur, Raka melepaskan Arini dan pergi menjauh. Dia memilih untuk menghilang dari kehidupan Arini, agar kutukan itu tidak lagi mempengaruhinya. Arini hanya bisa menangis, menyadari bahwa cinta mereka adalah sesuatu yang tidak bisa mereka miliki, karena maut selalu mengintai di balik bayang-bayang.

Namun, Arini tahu bahwa Raka tidak pernah benar-benar pergi. Dia masih ada di suatu tempat, melindunginya dari kejauhan, dan cinta mereka akan selalu hidup di hatinya, meski mereka tidak bisa bersama.

Address

Kruengmane

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Pororo Quotes posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Pororo Quotes:

Videos

Share