19/02/2015
ADAT DAN KEBUDAYAAN SUKU BUGIS
Adat dan Kebudayaan Suku Bugis Di Sulawesi Selatan
Suku Bugis atau to Ugiā adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orangāorang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih s**a merantau adalah berdagang dan berusaha (massompeā) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari ādunia atasā yang āturunā (manurung) atau dari ādunia bawahā yang ānaikā (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata āBugisā berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan āugiā merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari Weā Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattuā, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari Weā Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Wareā (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orangāorang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sureā galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (adeā) dan kebudayaanākebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontaraā. Tokohātokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, Weā Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), Weā Tenriabeng (Ibu Weā Cudai), Weā Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan Weā Cudai).
Tokohātokoh inilah yang diceritakan dalam Sureā Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontaraā itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunanāketurunannya, serta nasihatānasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.
Konsep Adeā (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep adeā (adat) merupakan tema sentral dalam teksāteks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah adeā itu hanyalah pengganti istilahāistilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pangāadeāreng atau āadat istiadatā, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep adeā secara umum yang terdapat di dalam konsep pangāadeāreng, terdapat p**a bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wariā (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan saraā (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, Weā Cudai, La Galigo, Weā Tenriabeng, Weā Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokohātokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokohātokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewaādewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu Weā Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep adeā (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahanāperubahan terutama pada tingkat adeā (adat) dan spiritualitas. Upacaraāupacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orangāorang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafiāi, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatauā matannaā tikkaā Sultan Alimuddin Idris Matindroeā Ri Naga UlĆ©ng, La Maādaremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsepākonsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontaraā. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontaraā. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budayaābudaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehariāhari mengajarkan halāhal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabeā (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekump**an orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyĆ© (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaranāajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontaraā yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehariāhari oleh masyarakat Bugis.
Manusia Bugis
Sejarah orangāorang Bugis memang sangat panjang, di dalam teksāteks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontaraā diceritakan baik awal mula peradaban orangāorang Bugis, masa kerajaanākerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orangāorang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip adeā (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siriā yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilaiānilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia BugisāMakassar, siriā merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siriā.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siriā adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siriā yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siriā dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siriā tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siriā dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakanātindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siriā adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siriā harus dipertahankan pada koridor adeā (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilaiānilai adeā (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pangāadeāreng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsipāprinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.