Saya Berdarah Bugis - SBB

Saya Berdarah Bugis - SBB šŸ‘‰Tradisi Suku Bugis
šŸ‘‰Sejarah Suku Bugis
šŸ‘‰Lagu Bugis
šŸ‘‰Ceramah Bugis
šŸ‘‰Komedi Bugis

Terima kasih kepada pengikut terbaru saya! Senang Anda bergabung! Ismail Asri, Monte Rammbo, Irauka, Juadil Bukon, Haria...
01/08/2024

Terima kasih kepada pengikut terbaru saya! Senang Anda bergabung! Ismail Asri, Monte Rammbo, Irauka, Juadil Bukon, Harianto Pannu, Nuar Lago

05/06/2024

Masjid Bersejarah di Kabupaten Wajo

30/05/2024

Halo semuanya! šŸŒŸ Anda bisa mendukung saya dengan mengirim Bintang, itu membantu saya mendapatkan uang untuk terus membuat konten yang Anda s**ai.

Setiap kali Anda melihat Stars, Anda bisa mengirimi saya Stars!

30/05/2024
01/01/2016

Sengeā€™ka rimula wenni
Kubali sengeā€™tokko
Rigiling tinroku
Artinya :
Kenanglah aku ketika malam mulai gelap
Niscaya akan ku kenang p**a dirimu
Ketika aku terjaga di pertengahan malam

10/07/2015

Para perantau yang mengadu nasib di kota-kota maupun di luar negeri pada hari Lebaran dapat bertemu dengan sanak saudara, keluarga, serta kerabat di tempat kelahirannya. Rasa haru mewarnai ajang tali silaturahmi, karena mereka selama satu tahun atau lebih berpisah kini dapat berkumpul, bercengkerama, bersendau gurau, serta melepas rindu antar saudara dan kerabat. Dari silaturahmi ini, timbullah rasa kebersamaan, kekeluargaan persatuan dan kesatuan, sehingga dapat merasakan kembali hidup dalam kerukunan, atau rukun dalam kehidupan. Pada saat mudik; kita bisa menjaga silaturahim dengan kerabat di kampung halaman atau lebih jauh lagi kita bakal tetap ingat kepada asal-muasal kita.

18/06/2015

Marhaban ya Ramadhan, selamat menjalankan ibadah puasa

22/05/2015

Timeline Photos

17/05/2015

Asal Usul Raja Bugis
Filed under: Sejarah Ogi

Dipercaya bahwa asal-usul raja-raja di Sulawesi Selatan berasal dari To Manurung(orang bunian) manusia yang berasal dari langit, turun ke bumi. To Manurung ini membawa segala kebesaran, kehormatan, dan kesaktiannya. Menurut riwayat kuno, daratan Sulawesi mengalami 3 kali kedatangan To Manurung. Siapa saja mereka?
PERISTIWA ā€˜pendaratanā€™ pertama:
dipercaya bahwa yang mula-mula menjejakkan kakinya di daratan Sulawesi ialah ā€œTamboro Langiā€. Lelaki perkasa ini berdiri di puncak gunung Latimojong. Ketika itu, daratan Sulawesi masih tergenang air, hanya puncak gunung Lompobattang yang mencuat di sebelah selatan, dan puncak gunung Latimojong di tengah-tengah.
Tamboro Langi lalu memproklamirkan diri sebagai utusan dari langit untuk memimpin manusia. Dengan kata lain, dia mengangkat dirinya sebagai raja dan rakyat harus tunduk padanya.
Tamboro Langi kawin dengan Tande Bilik, yaitu seorang dewi yang muncul dari busa air sungai Saddang. Puteranya yang sulung bernama Sandaboro, beranakkan La Kipadada. La Kipadada inilah yang membangun 3 buah kerajaan besar, yakni: di Rongkong asal mulanya kerajaan Toraja, di Luwu asal mulanya kerajan Bugis, dan di Gowa asal mulanya kerajaan Makassar.
Laksana garis nasib setiap peradaban, setelah keturunannya mengalami masa kejayaan, kerajaan-kerajaan tersebut mengalami kemunduran yang berakibat kekacauan.
Untuk mengatasi kekacauan ini, ā€˜pendaratanā€™ kedua terjadi. Kali ini yang diutus masih seorang laki-laki bernama Batara Guru. Batara Guru kawin dengan We Nyilitimo, puteri dari Pertiwi (Bumi bawah) dan memperoleh putera yang diberi nama Batara Lattu. Batara Lattu kawin dengan We Opu Sengngeng, puteri dari Masyrik. Dari perkawinan mereka ini maka lahirlah puteranya yang bernama Sawerigading.
Sawerigading membentuk sebuah kerajaan besar (negara) yaitu kerajan Luwu di Palopo, yang di bawahnya terdiri dari kerajaan-kerajaan yang masing-masing merdeka dan berdaulat, seperti: Kerajaan Toraja, Palu, Ternate, Bone, Gowa, dll.
Kejayaan masa Sawerigading menemui p**a kemunduran dan berakhir vakum; tujuh turunan lamanya tak ada raja si Sulawesi Selatan yang memerintah, sehingga yang memegang pemerintahan hanya penduduk isi dunia yang asli.
ā€˜Pendaratanā€™ ketiga pun akhirnya tiba. Namun pendaratan kali ini terdapat beberapa orang To Manurung sekaligus pada beberapa tempat di tanah yang berbeda-beda, seperti di Toraja, Luwu, Bugis, dan Makassar, yang menjadi pokok asal raja-raja yang memangku kerajaan hingga saat ini.
To Manurung di Luwu bernama Sempurusiang, kawin dengan Pattiajala, puteri yang muncul dari air. To manurung di Bone bernama Matasilompoe, kawin dengan To Manurung perempuan di Toro. To Manurung di Gowa adalah seorang perempuan, kawin dengan Karaeng Bayo dari Pertiwi. To Manurung di Bacukiki memperistrikan To Manurung di Lawaramparang, dan turunannya menjadi raja di tanah-tanah sebelah barat danau Tempe (Ajatapparang) dan di sepanjang lereng gunung (Massinrinpulu).
Lalu, bagaimana corak pemerintahan mereka? Era Tamboro Langiā€™ adalah era pemerintahan yang absolute monarchi, yaitu kehendak raja saja yang jadi; rakyat cuma tahu tunduk dan menerima titah raja. Sementara pada peristiwa To manurung ketiga, corak pemerintahannya sudah agak demokrasi mesti diakui belum sempurna.
Peribahasa Bugis menyebutkan: ā€œMakkeda tenribali, mette tenrisumpalang.ā€ Artinya: ā€œBerkata tak dapat dilawan, menyahut tak dapat disalahkanā€. Gambaran akan sifat Absolute monarchie; apa yang dikatakan raja, itulah yang benar.
Namun sedikit berbeda ketika kejadian To Manurung di Gowa. Ketika To manurung menjejakkan kakinya di Tamalate, Patcallaya atas nama rakyat Gowa datang ke hadapan To Manurung, dan berkata: ā€œAnaā€™mang, bainemang, iapa nakulle nipela, punna buttaya angkaeroki.ā€ Artinya: Anak kami, istri kami, hanya dapat disingkirkan kalau tanah (rakyat) yang menghendaki.
Nampak di sini sifat-sifat demokrasi yang mulai berkembang ketika itu, bahwa seorang raja tidak bisa berbuat semaunya saja tanpa persetujuan adat. Hal ini dikuatkan oleh bukti ketika Tepu Karaeng Daeng Tarabung, Karaeng Bontolangkasa, raja Gowa ke XIII (1590-1593) diterjang gelombang pemberontakan oleh rakyatnya sendiri, lantaran memerintah secara zalim. Beliau ā€˜diusirā€™ dari kerajaannya pada tahun 1593.
Share this:

19/02/2015

ADAT DAN KEBUDAYAAN SUKU BUGIS

Adat dan Kebudayaan Suku Bugis Di Sulawesi Selatan

Suku Bugis atau to Ugiā€˜ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.
Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan mata pencaharian orangā€“orang bugis umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih s**a merantau adalah berdagang dan berusaha (massompeā€˜) di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari ā€œdunia atasā€ yang ā€œturunā€ (manurung) atau dari ā€œdunia bawahā€ yang ā€œnaikā€ (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnis Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata ā€œBugisā€ berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan ā€œugiā€ merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari Weā€˜ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattuā€˜, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari Weā€˜ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Wareā€˜ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).
Peradaban awal orangā€“orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sureā€˜ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (adeā€˜) dan kebudayaanā€“kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontaraā€˜. Tokohā€“tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, Weā€˜ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), Weā€˜ Tenriabeng (Ibu Weā€˜ Cudai), Weā€˜ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan Weā€˜ Cudai).
Tokohā€“tokoh inilah yang diceritakan dalam Sureā€˜ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontaraā€˜ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunanā€“keturunannya, serta nasihatā€“nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.

Konsep Adeā€˜ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep adeā€˜ (adat) merupakan tema sentral dalam teksā€“teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah adeā€˜ itu hanyalah pengganti istilahā€“istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pangā€˜adeā€˜reng atau ā€œadat istiadatā€, berupa serangkaian norma yang terkait satu sama lain.
Selain konsep adeā€˜ secara umum yang terdapat di dalam konsep pangā€˜adeā€˜reng, terdapat p**a bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wariā€˜ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan saraā€˜ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, Weā€˜ Cudai, La Galigo, Weā€˜ Tenriabeng, Weā€˜ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokohā€“tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokohā€“tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewaā€“dewa di kahyangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu Weā€˜ Tenriabeng menjadi penguasa di kahyangan. Sehingga konsep adeā€˜ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.

Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahanā€“perubahan terutama pada tingkat adeā€˜ (adat) dan spiritualitas. Upacaraā€“upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orangā€“orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafiā€˜i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri. Budaya dan adat istiadat yang banyak dipengaruhi oleh budaya Islam tampak pada acara-acara pernikahan, ritual bayi yang baru lahir (aqiqah), pembacaan surat yasin dan tahlil kepada orang yang meninggal, serta menunaikan kewajiban haji bagi mereka yang berkemampuan untuk melaksanakannya.
Faktor-faktor yang menyebabkan masuknya Islam pada masyarakat Bugis kala itu juga melalui jalur perdagangan dan pertarungan kekuasaan kerajaan-kerajaan besar kala itu. Setelah kalangan bangsawan Bugis banyak yang memeluk agama Islam, maka seiring dengan waktu akhirnya agama Islam bisa diterima seluruh masyarakat Bugis. Penerapan syariat Islam ini juga dilakukan oleh raja-raja Bone, di antaranya napatauā€˜ matannaā€˜ tikkaā€˜ Sultan Alimuddin Idris Matindroeā€˜ Ri Naga UlĆ©ng, La Maā€˜daremmeng, dan Andi Mappanyukki.
Konsepā€“konsep ajaran Islam ini banyak ditemukan persamaannya dalam tulisan-tulisan Lontaraā€˜. Konsep norma dan aturan yang mengatur hubungan sesama manusia, kasih sayang, dan saling menghargai, serta saling mengingatkan juga terdapat dalam Lontaraā€˜. Hal ini juga memiliki kesamaan dalam prinsip hubungan sesama manusia pada ajaran agama Islam.
Budayaā€“budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehariā€“hari mengajarkan halā€“hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan tabeā€˜ (permisi) sambil berbungkuk setengah badan bila lewat di depan sekump**an orang-orang tua yang sedang bercerita, mengucapkan iyĆ© (dalam bahasa Jawa nggih), jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alasan, ramah, dan menghargai orang yang lebih tua serta menyayangi yang muda. Inilah di antaranya ajaranā€“ajaran suku Bugis sesungguhnya yang termuat dalam Lontaraā€˜ yang harus direalisasikan dalam kehidupan sehariā€“hari oleh masyarakat Bugis.

Manusia Bugis
Sejarah orangā€“orang Bugis memang sangat panjang, di dalam teksā€“teks sejarah seperti karya sastra La Galigo dan Lontaraā€˜ diceritakan baik awal mula peradaban orangā€“orang Bugis, masa kerajaanā€“kerajaan, budaya dan spritualitas, adat istiadat, serta silsilah keluarga bangsawan. Hal ini menunjukkan bahwa budaya dan adat istiadat ini harus selalu dipertahankan sebagai bentuk warisan dari nenek moyang orangā€“orang Bugis yang tentunya sarat nilai-nilai positif.
Namun saat ini ditemukan juga banyak pergeseran nilai yang terjadi baik dalam memahami maupun melaksanakan konsep dan prinsip-prinsip adeā€˜ (adat) dan budaya masyarakat Bugis yang sesungguhnya. Budaya siriā€˜ yang seharusnya dipegang teguh dan ditegakkan dalam nilaiā€“nilai positif, kini sudah pudar. Dalam kehidupan manusia Bugisā€“Makassar, siriā€˜ merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi selain siriā€˜.
Bagi Manusia Bugis-Makassar, siriā€˜ adalah jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siriā€˜ yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siriā€˜ dalam kehidupan mereka.(Hamid Abdullah, Manusia Bugis-Makassar .37).
Di zaman ini, siriā€˜ tidak lagi diartikan sebagai sesuatu yang berharga dan harus dipertahankan. Pada prakteknya siriā€˜ dijadikan suatu legitimasi dalam melakukan tindakanā€“tindakan yang anarkis, kekerasan, dan tidak bertanggung jawab. Padahal nilai siriā€˜ adalah nilai sakral masyarakat bugis, budaya siriā€˜ harus dipertahankan pada koridor adeā€˜ (adat) dan ajaran agama Islam dalam mengamalkannya.
Karena itulah merupakan interpretasi manusia Bugis yang sesungguhnya. Sehingga jika dilihat secara utuh, sesungguhnya seorang manusia bugis ialah manusia yang sarat akan prinsip dan nilaiā€“nilai adeā€˜ (adat) dan ajaran agama Islam di dalam menjalankan kehidupannya, serta sifat pangā€˜adeā€˜reng (adat istiadat) melekat pada pribadi mereka.
Mereka yang mampu memegang teguh prinsipā€“prinsip tersebut adalah cerminan dari seorang manusia Bugis yang turun dari dunia atas (to manurung) untuk memberikan keteladan dalam membawa norma dan aturan sosial di bumi.

11/01/2015

Mali siparappe, rebba sipatokkong malilu sipakainge

08/01/2015

Selamat pagi warga SBB, semoga hari ini kita semua diberikan kesehatan yang baik yarega adising-disingeng pole ri puang maraja'e nennia alampereng sunge natopada mettaki sipulung-pulung, Amin Ya Rabbal Alamin

07/01/2015

Sejarah Belawa Part. 10
Belawa, memasuki Awal Abad XX (bag. 1)
http://andioddang.blogspot.com/2010/10/sejarah-belawa-part-10.html

Mengetahui jika junjungan yang dihormati dan disayangnya bagai puterinya sendiri telah wafat di Negeri pengasingannya, Petta Pangulu amat berduka. Dikisahkan oleh NEnE Rukka bahwa pada suatu hari, beliau keluar dari biliknya dan langsung menuju ke sungai. Panglima tua yang semakin uzur itu mandi cukup lama lalu naik kembali ke Saoraja sambil membawa sebongkah batu sungai berwarna coklat kelabu yang berukuran agak panjang (panjang kira-kira 50cm dan berdiameter kira-kira 20 cm). Beliau meletakkannya bersandar pada dinding "jajareng" (dinding tengah) seraya berkata, : "Akko matEka' baja sangadiE, iyEna matu mEsaku.." (sekiranya esok atau lusa aku meninggal dunia, maka inilah batu nisanku..).

Maka berlakulah ketentuan Allah Azza Wajallaa. Tidak lama setelah peristiwa itu, Petta Pangulu wafat dalam tahun 1917. Menurut kesaksian sepupu ayahanda penulis bernama I BeccE' Pamuri (umur 85 th) pada tahun 2005 di TippuluE, bahwa : " Baiccu'mopa na lElE ri pammasENa Petta Pangulu. NaEkia manessa paringerrangku Ero wettuE, MONI SIBELAWA ballili'E ri wettu riulEE bare' Petta Pangulu lao ri Jara'E.." (Aku masih kecil ketika Petta Pangulu wafat. Namun masih jelas dalam ingatanku bahwa waktu itu ketika Jenazah Petta Pangulu diusung menuju pemakaman, seluruh senapan di Belawa ditembakkan keudara, gegap gempita mengiring keberangkatannya...). Sesuai wasiatnya, makam beliau ditandai dengan sebongkah batu sungai berukuran kecil diatas pusaranya. Menurut NEnE Rukka, maksud beliau tersebut agar para pengagumnya tidak mengkultuskan makamnya. Begitulah akhir seorang legendaris pada jamannya yang merupakan Panglima terakhir kerajaan Belawa.

Adapun halnya dengan Saoraja Bakkaa'E sepeninggal Petta Pangulu, konon Saoraja tersebut "dijual" pada seorang bangsawan yang berdiam di Bilokka (Sidenreng). Tidak ada yang tahu persis, siapa diantara anaknya yang menjual dan mengapa situs peninggalan La Paranrengi Daeng Sijerra tersebut diperjualbelikan. Bahkan bekas-bekas berdirinya komplek Saoraja itu menurut ayahanda penulis, terletak dipinggir sungai KarajaE sebelah barat, persis dimulut jembatan SappaE sekarang ini. Kira-kira 5 meter sebelah selatan jembatan tersebut, terdapatlah sebuah "Limpungeng" (kedung atau bahagian sungai yang dalam) dimana senapan, amunisi dan peluru para Lasykar Belawa dibuang (ditenggelamkan) atas perintah Arung Belawa.

Selama hidupnya, Petta Pangulu memiliki 2 orang isteri sah dan beberapa gundik yang kesemuanya itu melahirhan beberapa putera dan puteri. Kedua isteri sah beliau adalah puteri La Mude' SullEwatang Laomapada dengan I RawE (kerabat Bettempola) yang masing-masing bernama : I Tuwo dan I Bada'. Dari I Tuwo, beliau mendapatkan keturunan masing-masing bernama : I Munta Daeng Mattappa, (wafat di Jambi), I Patinrosi ArungngE Daeng Sagala dan La Massi' Daeng Pagiling. Setelah I Tuwo meninggal dunia, maka atas ininsiatif Arung Belawa (Datu Tenri Kawareng) maka beliau diperjodohkan dengan adik I Tuwo (ipasitola angkalungeng) bernama ; I Bada'. Dari isteri kedua inilah maka lahirlah : La Makkarumpa' (wafat di Jambi). Sementara dari beberapa gundiknya juga mendapatkan keturunan yang tidak dapat diuraikan pada kolom ini.

Setelah lowong beberapa tahun lamanya, maka dinobatkanlah kemenakan Arung Belawa terdahulu bernama : La Onro Arung Belawa (putera I Panangngareng Datu Madello dengan La MappangilE Addatuang Sidenreng). I Panangngareng Datu Madello adalah adik kandung I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Arung Belawa ini masih berumur remaja ketika dilantik menjadi Arung Belawa. Menurut beberapa sumber yang penulis dapatkan, antara lain : La Maccaning (Wa Caning Alm.) bahwa masa pemerintahan baginda yang berumur amat muda ini menjadikan Belawa menjadi aman tenteram. Salahsatu gebrakan awal baginda adalah dengan memprakarsai pembangunan Mesjid Raya yang kini dikenal sebagai Mesjid Darussalam yang terkenal itu. Talenta kepemimpinan Datu La Onro berkat wawasannya yang luas terhadap kondisi Sulawesi Selatan pada masa itu yang didapatkan dari didikan orang tuanya. Perlu dikemukakan disini, bahwa La MappangilE Addatuang Sidenreng (ayahanda Datu La Onro) adalah putera La ParEnrEngi KaraEng TinggimaE seorang Pangeran Tana Gowa yang dapat dikatakan sebagai "Arung Ajattappareng". KaraEng TinggimaE' pun sesungguhnya adalah Pangeran Tana Wajo karena beliau adalah putera Ishak Manggabarani KaraEng MangEppE' Petta MatinroE ri Cappa' Galung Arung Matoa Wajo ke-XLIII dari permaisurinya bernama : I Dala WEttoing KaraEng KanjEnnE'.

Tersebutlah pada masa yang sama, bertahtalah La Patongai (bergelar Datu Bolong) di Doping. Daerah yang merupakan kawasan Tana Wajo yang dulunya bernama PEnrang. Tahta itu adalah merupakan warisan Baginda dari Nenekdanya yang bernama : Sompa ri Timo MajjampaE Petta PabbatE PEnrang. Baginda tinggal di Doping bersama isterinya bernama : I Bossa setelah isteri Baginda yang terdahulu bernama : Bau' Mapparimeng Datu Madello wafat beberapa tahun sebelumnya. Selain itu, baginda ditemani oleh kakandanya dari lain ibu bernama : I Batari Petta Lonra (juga puteri La TEngko Petta Manciji'E ri Wajo dengan I REwo Ana'na Arung Batu). Namun setelah beberapa tahun menetap dan memerintah di Doping, terjadilah "perselisihan" dengan Dewan Petta EnnengngE disebabkan sesuatu hal yang tidak dapat diuraikan pada tulisan ini. Akibatnya, Baginda meninggalkan Doping bersama isteri, anak, kakak dan segenap sahayanya menuju ke Belawa dimana kemenakannya (Datu La Onro) sedang bertahta di Belawa.

Sebagaimana yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa Datu La Onro Arung Belawa adalah putera I Panangngareng Datu Madello, saudara kandung Datu Bolong. Mengetahui pamandanya tinggal menetap di Belawa dan sedang membangun Saoraja di JampuE, Datu La Onro Arung Belawa melantik (napasalEppangi) "bibinya" yakni : I Bossa selaku SullEwatang Belawa Orai'. Namun tidak beberapa lama kemudian disebabkan suatu hal, Datu La Onro Arung Belawa pergi meninggalkan Belawa dan menetap di Sidenreng, negeri kekuasaan ayahandanya.

Setelah kepergian Datu La Onro, maka dinobatkanlah La Patongai Datu Doping menjadi Arung Belawa. yang merupakan Arung Belawa terakhir karena setelahnya, tidak ada lagi Arung Belawa yang dilantik (IpakkalEjja' ri Tuppu Batu Tana Bangkala'na Belawa). Berselang beberapa waktu setelah penobatannya, Baginda menempatkan Kakandanya ( I Batari) menjadi Petta Lonra. I Batari Petta Lonra menikah dengan sepupu sekalinya (juga sepupu satu kali Datu Bolong) bernama Petta Landeng, putera Sitti Hawang Datu MakkunraiyyE (saudara kandung La TEngko Petta Manciji'E).

Baginda Datu Bolong merupakan seorang Raja yang kharismatik dan banyak kisah menarik seputar masa hidupnya. Semasa kecil, penulis pernah mendengar cerita tentang Baginda Datu Bolong dari seorang Makassar bernama Bilala' Nongci (Bilal mesjid Lonra). " Iya', Mangkasa ka', ana'. Maddarupang-rupangni Arung Maraja pura utuju pakkita. NaEkia, dE'pa gaga pada karame'na Datu Bolong..." (saya adalah orang Makassar. Sudah banyak raja-raja yang pernah kulihat, namun belum ada yang menyamai keramatnya/kharismanya paras Datu Bolong).

Tersebutlah sebuah kisah yang dituturkan oleh Andi Patau' (adik kandung ayahanda penulis), pada suatu ketika Datu Bolong mendapat undangan dari Andi Mappanyukki' Sultan Ibrahim Datu Suppa' Petta Mangkau' ri Bone. Baginda diundang ke Watampone untuk menghadiri rapat (Tudang Ade') yang dihadiri kalangan Raja-Raja Se-Sulawesi Selatan untuk membicarakan perihal dukungan terhadap Proklamasi Kemerdekaan RI....

Sebagaimana dituturkan Pamanda yang waktu itu membawa "Saleppa" (Kotak Sirih) baginda Datu Bolong, bahwa Arung Belawa Andi Patongai datang agak terlambat pada majelis itu. Oleh Pattumaling (Petugas Protokoler Istana), baginda ditempatkan agak jauh dari posisi "Ulu Tudangeng" yang ditempati Baginda ArumponE (Andi Mappanyukki'). Tiba-tiba ArumponE menyeru pada Pattumaling, : "TaniajE' akkoro monro tudangenna Andi Patongai. Akko maiyyE tudangenna..." (Bukan disitu tempatnya Andi Patongai. Mestinya disini...), kata Petta Mangkau'E tersebut sambil menunjuk tempat kosong disampingnya. Sejak itu, termahsyurlah Baginda Datu Bolong sebagai seorang raja dari sebuah negeri kecil, namun sangat diutamakan sebagai seorang Datu Maddara Matase' (Maddara Takkuu), adinda I Tenri Kawareng Arung Belawa MallinrungngE ri Pompanua. Sejak itu p**alah, Baginda diberi gelar "Andi" sebagaimana ArumponE sendiri yang menyebutnya demikian.

Perlu dikemukakan dari beberapa sumber yang salahsatunya dari Opu Tuan Abd. Halid (Almarhum) dari Bira, Bulukumba. Beliau menuturkan kepada penulis pada tahun 1999, bahwa : Asal muasal gelar "Andi" pada bangsawan Bugis dan Makassar berawal pada " I Mappanyukki Sultan Ibrahim " semasa baginda menjadi ArumponE. Pada suatu waktu, seorang berkebangsaan Perancis datang berkunjung pada Istana Beliau di Watampone. Pada perbincangan tentang seputar keadaan Sulawesi Selatan pada masa itu, orang Perancis tersebut senantiasa menyebut nama baginda ArumponE sebagai : "AndiEr Mappanyukki". Menurut juru bahasa yang menyertainya, itu berarti : "Paduka Yang Mulia Mappanyukki" atau dalam bahasa Inggris kira-kira disamakan dengan : You Are Majesty Mappanyukki". Maka setelah peristiwa itu, baginda ArumponE disebut namanya sebagai : Andi Mappanyukki, menyesuaikan dalam lidah bahasa Bugis.

Menurut keterangan dari ayahanda, bahwa sejak beberapa lama sekembalinya dari WatamponE, Baginda Datu Bolong mulailah tertulis namanya sebagai "Andi Patongai". Pada masa itu tidak seorangpun di Belawa yang memakai gelar "Andi" selain Baginda. Namun sebagaimana halnya sesuatu yang lagi "Trend", maka mulailah beberapa gelintir bangsawan mencoba-coba menggunakan gelar tersebut. Hingga pada suatu waktu, seorang putera bangsawan bernama La MappangilE disebut namanya oleh La Kube' (salah seorang abdi Datu Bolong) disebut sebagai " Andi MappangilE " dihadapan Baginda. Seketika Baginda Datu Bolong marah besar seraya berkata : " Andi MappangilE nigajE'tu ?!. SEddimi iya' uwisseng riyaseng ANDI MAPPANGILE, iyya monroE ri Sidenreng (maksudnya :Andi MappangilE Addatuang Sidenreng)" (Andi MappangilE yang mana lagi ?! Cuma satu Andi MappangilE yang saya tahu, yaitu yang tinggal di Sidenreng..). Sungguh, baginda MallinrungngE tersebut begitu ketatnya menjaga tatanan agar tidak terjadi ketimpangan sejarah dibelakang hari.

Andi Patongai Datu Doping Arung Belawa memiliki 3 (tiga) isteri sah selama hidupnya. Isteri Pertama bernama : Andi Patinrosi ArungngE Daeng Sagala (puteri La Muhamma' Tang Daeng Paliweng Petta Pangulu dengan I Tuwo ana'na La Mude SullEwatang Laomapada) mendapatkan seorang putera yang meninggal semasa bayi, bernama : Andi Bau Monri. Mereka bercerai dengan baik-baik karena Daeng Sagala tidak mau dimadu. Isteri Kedua bernama : Andi Bau' Mapparimeng Datu Madello ( Puteri Petta MorEwE, cucu DatuE La Pajung, Soppeng. Menurut Lontara' Panguruseng susunan Andi Nurdjaya Hamzah La Sumange'rukka) yang melahirkan : 1. Andi Bau' Patiroi, 2. H. Andi Bau' Singke' 3. Andi Bau Isa. Setelah Datu Madello wafat, maka Baginda menikah lagi dengan Isteri Ketiga adalah : Andi Bossa (puteri Opu CakElE, menurut Alm. Andi BallohE') yang juga akrab dipanggil Petta Indo oleh anak-anaknya. Dari isteri terakhir inilah, maka lahirlah : 1. Andi Bau' Sulolipu Petta KaraEngngE Camat Belawa I , 2. Andi Bau Mintang.

Menjelang pertengahan Abad XX, hubungan Belawa dan Sidenreng terkadang masih terjadi percikan-percikan api yang memicu bentrokan di daerah perbatasan sebelah utara (Soppa'E dan Lonra YasE'). Atas prakarsa Andi Batari Petta Lonra (saudara seayah Arung Belawa Datu Bolong) diikatlah jalinan kekerabatan dengan beberapa Raja-raja lokal yang berada di wilayah Sidenreng, melalui pernikahan putera puteri mereka. Tujuan politik perkawinan ini tiada lain agar tercipta perdamaian yang meredam segala bentuk pertikaian dalam jalinan kekerabatan. Maka oleh Arung Belawa, pada suatu hari diutuslah Andi Batari Petta Lonra untuk menyampaikan lamaran bagi Andi Bau Sulolipu Petta KaraEngngE ke La Pannyiwi Arung Utting untuk mendapatkan puteri beliau bernama : Andi Bua. Maka pernikahan putera puteri Belawa dan Utting terlaksana dengan meriah yang mempersatukan kembali perhubungan kedua kerajaan yang bersaudara dimasa lalu. Wallahualam Bissawwab

07/01/2015

La Paulangi atau La Raunglangi To Sadapotto DaEng Lebbi Paddanreng BEttEmpola XII adalah putera WE Jai Arumpugi Petta Paddanreng Tuwa (puteri La Tenrotajang To Sengngeng dengan WE Tenritiro Ida Nyilliā€™ Petta Padddanreng Tuwa) dengan La Sikati To PalettEi MallangkanaE Paddanreng BEttEmpola XI (putera La Patampari Totenriwaleā€™ dengan WE TEnriakkoreng MattojangngE Paddanreng BEttEmpola X). Maka La Paulangi adalah saudara se-ibu dengan WE Sitti Hadijah Ida SalEng Arumpugi Petta Paddanreng Tuwa (ayahnya adalah La Pakallongi To Allinrungi Arung Matoa Wajo XVII alias To Ali). Kemudian dari pernikahan WE Sitti Hadijah Ida SalEng dengan La Maddaremmeng Arung Palakka Petta MatinroE ri Bukaka, melahirkan : La PakkokoE To AngkonE MaccomengngE To TadampaliE Arung Timurung Petta Paddanreng Tuwa (Ayahanda La Patauā€™ Matanna Tikka). Maka sesungguhnya La PakkokoE yang merupakan Pangeran Utama Bone adalah kemenakan La Paulangi yang adalah Pangeran Wajo.
La Paulangi dinikahkan dengan We Tenri Ampa Arung Singkang (puteri La TenrisEmpeā€™ To Patiroi dengan WE Temmangedda Dala Teppura), melahirkan :

1. La Maddukelleng Arung Singkang Sultan Pasir Arungngi ri PEnEki Petta Arung Matoa PamaradEkangngi TanaE Wajo,
2. La SampennEā€™ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo,
3. We Maddanaca Ida TalEmpeng Arung WaE Tuo Arungngi ri Bila,
4. La Mallawa Dg. Mattemmu Paddanreng BEttEmpola XVI (La Malibureng),
5. La Coboā€™ To Sai Puanna Boko Dg. Situju Paddanreng BEttEmpola XIII (La Combong ?),
6. La MassEllEang Paddanreng BEttEmpola XIV,
7. La TEnradatu Paddanreng BEttEmpola XV,
8. La Batoā€™ Dg. Pagala (La Bangko).

La SampennEā€™ Petta Labattoa Arung Liu Petta Cakkuridi ri Wajo dinikahkan dengan We Barigauā€™ (puteri La Mappapenning To Appawareā€™ Ponggawa BonE MatinroE ri Tasiā€™na dengan I Mida Arung La Panning binti La Temmasongeā€™ ArumponE MatinroE ri Mallimongeng), melahirkan : 1). La Olling Arung Liu Ranreng Tuwa Petta MaddanrengngE ri BonE, 2). WE Saweā€™ Arung Liu dan 3) WE Sikati I KambeccEā€™ Arung Palippu Petta Patola Wajo.

Address

Kendari

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Saya Berdarah Bugis - SBB posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Videos

Share


Other Digital creator in Kendari

Show All