Dunia Ilmu Santri

Dunia Ilmu Santri Dunia ilmu santri dakwah online yang mengispirasi dan motivasi untuk meningkatkan Iman dan Takwa InsyaAllah

Tidak Akan Kecewa Orang yang didalam Hatinya Terdapat Cinta kepada Nabi Muhammad 😘

KH Afifuddin MuhajirRaih Gelar Doktor Honoris Causa, Berikut Profil KH Afifuddin MuhajirKH Afifuddin Muhajir akan dikuku...
17/12/2025

KH Afifuddin Muhajir

Raih Gelar Doktor Honoris Causa, Berikut Profil KH Afifuddin Muhajir
KH Afifuddin Muhajir akan dikukuhkan sebagai doktor honoris causa oleh UIN Walisongo, Semarang. (Foto: NOJ/MA)

KH Afifuddin Muhajir mendapatkan gelar doktor honoris causa dari Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang. Penganugerahan gelar kehormatan tersebut dilakukan pada Rabu (16/12/2020).


Tentu saja, banyak pertimbangan yang dilakukan sebuah kampus dalam memberikan gelar kehormatan tersebut. Dan sosok KH Afifuddin Muhajir adalah sosok yang pantas menyandangnya.


Di bincangsyariah kiai yang biasa disapa Kiai Afif atau Kiai Khofi tersebut, dikenal terutama kepakaran dalam bidang fikih-ushul fikih. Padahal, di balik itu Kiai Afif termasuk seorang berhati-hati dalam beragama (wirai), yakni orang yang bersifat menjauhi perkara yang belum jelas status hukum halal dan haramnya karena khawatir pada keharamannya. Satu potret kewiraian Kiai Afif yang dapat disebutkan di sini adalah keengganan memiliki rekening bank demi menghindarkan diri dari kesyubhatan bunga bank.


Sebagaimana dimaklumi bahwa para ulama berselisih pendapat mengenai status hukum bunga bank; ada yang keras mengharamkannya dan ada p**a yang toleran membolehkannya. Kendati kedua pendapat ini sama-sama boleh dijadikan pedoman, Kiai Afif lebih memilih mengamalkan pendapat yang mengharamkannya. Hal ini sekaligus menunjukkan sikap kehati-hatian Kiai Afifuddin Muhajir dalam menentukan preferensi pendapat ulama.

Pada prinsipnya, manakala terdapat perbedaan pendapat hukum fikih, maka secara pribadi Kiai Afif akan lebih mengamalkan pendapat yang sifatnya azimah (cenderung memberatkan), sedangkan pendapat yang sifatnya rukhshah (memberi kemudahan) akan beliau prioritaskan sebagai rekomendasi bagi masyarakat awam, tanpa harus menyalahkan orang lain yang memiliki bank dan bahkan kerja di bank.



Riwayat Kealiman

Kiai kelahiran Sampang, pada 65 tahun silam ini nyaris tidak pernah belajar ke luar Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Praktis, seluruh jenjang pendidikannya, mulai dari tingkat dasar sampai sarjana, dijalani di pesantren asuhan al-marhum al-maghfurlah KHR As’ad Syamsul Arifin itu. Kecuali untuk jenjang pendidikan sarjana strata dua, Kiai Afif menyelesaikannya di Universitas Islam Malang (Unisma), karena waktu itu di Pesantren Sukorejo belum membuka program magister.



Sementara itu, dijadwalkan pada pertengahan Desember nanti, KH Afifuddin Muhajir akan dianugerahi gelar doktor honoris causa dalam bidang fikih-ushul fikih oleh UIN Walisongo Semarang. Tentu penganugerahan doktor kehormatan tersebut sebagai sebentuk apresiasi sekaligus rekognisi atas kepakaran dan kiprah Kiai Afif dalam kajian ilmu fikih-ushul fikih selama ini.



Kepakaran di bidang ushul fikih tidak sekadar mumpuni secara teoretis, tetapi Kiai Afif pun mahir dan berani mendayagunakan perangkat-perangkat teori ushul fikih secara praksis dalam mendinamiskan fikih, entah itu untuk menjawab problematika keagamaan maupun kebangsaan yang tengah berkembang di masyarakat. Sebut saja di antaranya yang paling menyita perhatian publik, yaitu kontribusi Kiai Afif dalam merumuskan konsep Islam Nusantara dan keputusan kontroversial yang melarang panggilan kafir bagi non-muslim.



Selain itu, dengan kematangan perspektif ushul fikihnya, Kiai Afif juga piawai berbicara tentang sistem demokrasi ataupun membincangkan negara Pancasila dari sudut pandang ushul fikih. Apalagi, untuk diketahui bahwa naskah awal piagam Deklarasi tentang Hubungan Pancasila dan Islam pada Munas Alim Ulama NU di Situbondo tahun 1983, merupakan tulisan tangan Kiai Afif muda yang didiktekan langsung oleh Kiai As’ad.



Memang kealiman Kiai Afif telah tampak sejak beliau muda, sehingga tidak mengherankan tatkala Kiai As’ad memasrahkan sedari awal segala urusan keilmuan santri-santri Pesantren Sukorejo kepada beliau. Di samping itu, rekognisi Kiai As’ad atas kematangan ilmu Kiai Afif juga terlihat sewaktu Sang Mediator NU itu tidak merestui kehendak putranya al-marhum al-maghfur lahu KHR Ach Fawa’id As’ad, untuk pergi mondok. Kiai As’ad justru mengarahkan Kiai Fawaid untuk tetap tinggal di Sukorejo dan belajar secara privat kepada Kiai Afif.



Lain lagi, dalam suatu kesempatan Ketua Umum PBNU K.H. Said Aqil Siroj, pernah memproklamirkan Kiai Afif sebagai satu dari dua tokoh pakar ushul fikih yang ada di Indonesia. Kabarnya, almarhum almaghfurlah Syekh Wahbah al-Zuhaili juga mengakui kealiman Kiai Afif, sehingga setiap kali Syekh Wahbah ada acara di Indonesia dan berhalangan hadir, maka sosok kiai dengan satu putra itu yang ditunjuk oleh Syekh Wahbah untuk menggantikan dirinya.



Kiprah dan Karya

Aktivitas keseharian kiai yang amat gemar mengkaji literatur kitab kuning ini adalah mengisi pengajian kitab kuning di lingkungan Pesantren Sukorejo, dan mengampu perkuliahan di Universitas Ibrahimy yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo, Situbondo. Secara struktural pesantren, saat ini KH Afifuddin Muhajir tercatat sebagai wakil pengasuh bidang pengembangan keilmuan di pesantren yang berada di ujung timur p**au Jawa itu.



Suami dari Nyai Fatimatuz Zahro ini juga menjabat naib mudir (wakil direktur) Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah yang diinisiasi oleh Kiai As’ad pada tahun 1990. Bahkan menjadi salah satu anggota tim pendirian lembaga pendidikan tinggi khas pesantren pertama di Indonesia tersebut. Khusus di ma’had aly, Kiai Afif mengajar kitab Jam’ul Jawami’, salah satu kitab ushul fikih yang terkenal kompleks dan sangat susah dipahami.



Selain rutinitas harian tersebut, KH Afifuddin Muhajir juga kerap kali diundang sebagai narasumber dalam forum-forum ilmiah, baik di tingkat regional maupun internasional. Di antaranya sebagai pemakalah pada Konferensi Ulama dan Cendekiawan Islam Internasional (International Conference of Islamic Scholars). Sedangkan untuk forum bahtsul masail NU, mulai dari kepengurusan di tingkat cabang, wilayah, hingga Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di tingkat pusat, Kiai Afif biasanya ditahbiskan menjadi tim perumus dan tidak jarang sebagai mushahhih.



Sementara kiprahnya di PBNU pernah diamanatkan menjadi katib syuriah masa khidmah 2000 hingga 2015. Lalu, sekarang kembali diamanatkan menjadi Rais Syuriah PBNU, sedangkan posisi katib syuriah saat ini diisi oleh Kiai Afifuddin Dimyathi, seorang kiai muda asal Jombang.



Selain memiliki koleksi kitab kuning yang terpampang penuh di ruang tamu dan menjejali kamar tidur KH Afifuddin Muhajir juga memiliki sejumlah karangan kitab. Antara lain, kitab Fath al-Mujib al-Qarib, kitab syarh (anotasi) atas kitab Fath al-Qarib al-Mujib karya Imam Ibnu Qasim yang kesohor di banyak pesantren di Indonesia. Ada lagi kitab al-Luqmah al-Sha’ighah yang membahas tentang ilmu nahwu. Tesisnya yang belum dibukukan berjudul, al-Ahkam al-Syar’iyyah baina al-Tsabat wa al-Tathawwur (Hukum Syariat antara Ketegasan dan Kelenturan).



Kiai Afif yang telah dipercaya Kiai As’ad mengisi pengajian kitab kuning bagi santri-santri Pesantren Sukorejo sejak usia dua puluh tahunan ini mempunyai sejumlah karya dalam bentuk buku, yaitu Metodologi Kajian Fiqh, Fikih Anti Korupsi (dalam buku antologi Korupsi Kaum Beragama), Fikih Menggugat Pemilihan Langsung, Mashlahah sebagai Cita Pembentukan Hukum Islam, Fiqh Tata Negara, Membangun Nalar Islam Moderat, dan lain sebagainya.



Walakhir, seperti halnya epilog KH Abdul Moqsith Ghazali dalam salah satu tulisannya di laman NU Online. Bahwa ada satu hal yang masih perlu ‘ditagih’ dari sosok ulama ahli ushul fikih yang diharap-harapkan sebagai pengganti sosok al-marhum al-maghfurlah KH Sahal Mahfudz ini. Menyangkut konsistensi Kiai Afif untuk terus menulis dan berkarya sebagaimana halnya Kiai Sahal yang dikenal ahli ushul fikih dan banyak menorehkan karya tulis berupa kitab dan juga buku.

KHR. Muhammad Kholil As'adBeliau, sebatas se abdina oning, Lahir di Situbondo, putra Bungsu Almarhum KHR. As'ad Syamsul ...
17/12/2025

KHR. Muhammad Kholil As'ad

Beliau, sebatas se abdina oning, Lahir di Situbondo, putra Bungsu Almarhum KHR. As'ad Syamsul Arifin Sang Mediator Nahdlatul ulama, Nama beliau " Muhammad Kholil " Nama tersebut diberikan oleh Kiai As'ad Ayahandanya tafa'ulan kepada gurunya yakni " Syeikhona Muhammad Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan " kira kira umur 15 tahun beliau di modokkan ke Makkah ke Syeikh Ismail Alyamani Almakki yg masih teman kiai As'ad, atas saran Kiai Sarkaman, Namun sebelum itu sebenarnya Kiai Kholil muda, sudah di minta oleh Syeikh Ismail ke Kiai As'ad ketika sebelum Munas NU di Situbondo.
Sebelum mondok ke Makkah, Kiai Kholil Muda, Belajar kepada beberapa santri nya kiai As'ad, Belajar Nahwu Sharrofya yang kutahu pada Ustadz Zainal Abidin, dll, sedangkan ngaji tasawwufnya pada KH. Sufyan Miftahul Arifin terkadang juga ditemani kakaknya Yaitu Almarhum KHR. Ahmad Fawaid As'ad karna beliau Yai Fawaid juga ngaji ke kiai Sufyan. Beliau Masuk Jama'ah Dizikir thoriqoh An Naqsyabandiyah Al ahmadiyyah sekitar umur 11 tahun pada kiai Sufyan Miftah, mungkin ketika itu diantara para Jama'ah yg lain beliau yang termuda, Namanya anak muda, Lora Kholil Muda masih tidak lepas dari kenakalannya bersama teman - temannya, makanya terus di jaga oleh KH. Zubairi dan KH. Ahmad Sufyan Miftah kala itu, Diantara Guru Beliau yg saya tahu, yang banyak mempengaruhi pribadinya beliau adalah, KH. Muhammad bin Imam Pamekasan Madura, KH. Sufyan Miftahul Arifin dalam perjuangannya, dan Syeikh Ismail Alyamani Almakki dan juga Ayahandanya sendiri . Kira - kira tahun 1992 beliau p**ang ke indonesia, dan mendirikan pondok pesantren, yg diberi nama " Pondok Pesantren Walisongo " adanya pondok tersebut, jauh sebelumnya kiai As'ad Ayahandanya pernah berdawuh, ketika p**ang dari pengajian NU di Situbondo, sampai di selatan komplek pondok yg mana ketika itu masih " persawahan " Dawuhnya " ,Suatu saat nanti saya akan punya pondok disini, padahal ketika itu Lora Kholil masih belum lahir "
Memang betul " Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya " Kiai As'ad yg dikenal pawangnya bajingan dan preman, begitu juga dengan kiai Kholil As'ad, banyak juga bajingan, maling, perampok, anak jalanan takluk ditangannya atas kuasa Ilahi dan akhirnya bertaubat ini fakta, semoga taufiq selalu menyertainya.
Beliau yang saya tau juga termasuk kiai nyentrik, Bisa juga dibilang " Budayawan " beliau mengagumi sekali " pencak silat " makanya beliau termasuk salah satu" Dewan Khos Pagar Nusa Pusat " Juga pesyair, banyak sekali syair syair yg dikarang oleh beliau, bahkan mungkin sudah ribuan bait dan ratusan lagu, tentang Cinta Baginda Nabi, Waliyullah, Ulama' bahkan syair - syair kebangsaan.
Ciri khas dari disela sela ceramah beliau yang selalu ku ingat, pasti selalu ada kalimat " Allahumma Sholli 'Alaa Muhammad " Beliau juga pernah berdawuh pada kami " Apapun tanpa Kanjeng Nabi akan hambar "

Dari tulisan Ustad Ahmad Zainuri

KH. Moh. A*o Samsudin adalah seorang tokoh agama dan akademisi yang dikenal aktif di lingkungan Pondok Pesantren Salafiy...
16/12/2025

KH. Moh. A*o Samsudin
adalah seorang tokoh agama dan akademisi yang dikenal aktif di lingkungan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo, Situbondo, dan Universitas Ibrahimy. Beliau tidak dikenal sebagai pejuang kemerdekaan di masa lalu, melainkan sebagai ulama dan pendidik kontemporer.
Beberapa poin mengenai biografi dan kegiatannya meliputi:
Latar Belakang: Beliau adalah menantu dari Nyai Hj. Uswatun Hasanah dan menikah dengan putrinya bernama Ukhtul Iffah.
Peran di Pesantren: Beliau menjabat sebagai pengasuh di Asrama Nurul Qoni' Putra di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo.
Kajian Keagamaan: KH. Moh. A*o Samsudin dikenal memberikan kajian kitab, salah satunya adalah Kitab Nashoihul Ibad karya ulama nusantara.
Pendidikan dan Karier Akademik: Beliau memiliki gelar M.Pd.I. dan merupakan dosen dengan NIDN 2120037301 di Universitas Ibrahimy Situbondo. Beliau juga tercatat sebagai penulis beberapa artikel ilmiah dan jurnal, sering berfokus pada pendidikan Islam dan peran guru profesional.
Kegiatan Publik: Beliau sering mengisi acara keagamaan, seperti memimpin dzikir dan doa bersama untuk memperingati Hari Santri Nasional, di mana beliau mengulas kembali nilai-nilai perjuangan santri.
Secara singkat, KH. Moh. A*o Samsudin adalah seorang tokoh pendidik dan ulama kontemporer yang berperan aktif dalam dunia pesantren dan akademik di Situbondo,

Saya berharap, kalian bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Mengapa?Agar di dada kalian terdapat Al-Qur’an. Sebab salah sa...
15/12/2025

Saya berharap, kalian bisa membaca Al-Qur’an dengan baik. Mengapa?
Agar di dada kalian terdapat Al-Qur’an. Sebab salah satu tanda orang
yang benar-benar beriman adalah di dadanya terdapat Al-Qur’an. Lantas
bagaimana jika di dada kalian tidak terdapat Al-Qur’an? Apakah kalian
benar-benar dikatakan beriman?


K.H.R. AS’AD SYAMSUL ARIFIN (1897–1990)

15/12/2025

Alhummarhamna BilQuran Dawuh KHR AS'AD SYAMSUL ARIFIN bagaimana santri didadanya terdapat Al Quran, oleh KHR AHMAD AZAIM IBRAHIMY

Alm KH Muzakki Ridwan, pemangku Pondok Pesantren Ma'hadul Qur'an Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, sa...
15/12/2025

Alm KH Muzakki Ridwan, pemangku Pondok Pesantren Ma'hadul Qur'an Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur, salah satu menantu KHR As'ad Syamsul Arifin (pahlawan nasional). Kiai Muzakki adalah kiai tersembunyi. Bergerak di belakang layar. Membimbing dan mengedukasi santri setiap hari. Tidak sembarang santri, melainkan santri spesial; para penghafal al-Qur'an. Demikian intim hubungan Kiai Muzakki dengan para santrinya, maka hampir semua nama santri yang tinggal di Ma'hadul Qur'an beliau hafal Sehari-hari beliau mengajarkan kitab-kitab dasar yang berguna untuk diamalkan bukan kitab-kitab besar yang lazim menjadi modal perdebatan akademik intelektual. Tak muluk tapi penting, ia intens menekankan kepada para santrinya untuk selalu bertumpu pada ajaran Islam Ahlissunnah Waljamaah. Itu juga yang dikatakannya pada saya ketika tiga tahun lalu saya sowan ke beliau di rumah sederhananya di Sukorejo. Saya berpendirin, para kiai dengan tipe seperti Kiai Muzakki inilah yang sesungguhnya menjadi penyangga utama tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah di Nusantara; ajaran keislaman yang lebih mendahulukan perdamaian ketimbang kekerasan.
KH. Muzakki Ridwan adalah sosok kiai sepuh yang dikenal sebagai "kiai tersembunyi" di Pesantren Ma'hadul Qur'an Salafiyah Syafi'iyyah Sukorejo, Situbondo, bagian dari keluarga besar Pesantren Sukorejo, seorang menantu dari pahlawan nasional KHR. As'ad Syamsul Arifin, yang berdedikasi membimbing para penghafal Al-Qur'an dengan mengajarkan kitab-kitab dasar Ahlussunnah Waljamaah, menjadi pilar penting penjaga tradisi Islam di Nusantara, meskipun bergerak di belakang layar dan dikenal sederhana. Guru Al-Qur'an: Beliau fokus membimbing santri-santri spesial, para penghafal Al-Qur'an, dengan penekanan pada amaliyah dan bukan perdebatan intelektual.
Pilar Aswaja: Kiai Muzakki dianggap sebagai salah satu penyangga utama tegaknya ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah di Indonesia, yang mengedepankan kedamaian.
Keluarga Besar Sukorejo: Beliau memiliki hubungan keluarga dengan pendiri Pesantren Sukorejo, KHR. As'ad Syamsul Arifin, dan merupakan bagian dari keluarga besar pondok pesantren tersebut.
Gaya Hidup Sederhana: Dikenal karena kesederhanaan dan gerakannya yang tidak menonjol, Kiai Muzakki lebih memilih membimbing santri di rumahnya yang sederhana di Sukorejo. Beliau selalu menekankan kepada santrinya untuk bertumpu pada ajaran Islam Ahlussunnah Waljamaah, yang mendahulukan perdamaian. Kiai Muzakki Ridwan dihormati sebagai sosok kiai yang kharismatik namun low profile, yang memiliki peran fundamental dalam menjaga keberlangsungan tradisi keilmuan dan keagamaan di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) dan Indonesia secara umum
Wallahu a'lam...

🔖Alm KH. Ach. Hariri Abdul AdhimPemangku Ma'hadul Aly PP salafiyah Syafiiyah Sukorejo Sang Sufi dari Kota MalangUnik dan...
14/12/2025

🔖Alm KH. Ach. Hariri Abdul Adhim
Pemangku Ma'hadul Aly PP salafiyah Syafiiyah Sukorejo
Sang Sufi dari Kota Malang

Unik dan menarik, demikianlah ungkapan sederhana untuk mengungkap perjalanan hidup kiai yang bernama lengkap KH Ach. Hariri Abdul Adhim bin Abdul Adhim tersebut. Bayangkan saja, semula ia termasuk orang yang tidak s**a mondok. Karena orang mondok identik dengan 3 K: koreng, kudis, dan kumuh. Tapi jalan hidup menentukan lain, ia rela melepas baju sekolah SMA dan berganti mondok. Bahkan akhirnya, ia menjadi wakil pengasuh bidang maaliyah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur dan sebagai mudir Ma’had Aly Situbondo.

Beliau lahir di Bulu Lawang sebuah daerah di kota Malang pada tanggal 08 Maret 1956. Sedari kecil, putra dari pasangan bapak Abdul Adhim dan Hj. Nadhiroh ini tidak dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang pada biasanya tumbuh berkembang dalam dekapan manis kedua orang tuanya. Karena diasuh oleh orang lain sejak kecil sampai dewasa, maka jalur pendidikan yang ditempuh pun berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ketika saudara-saudaranya dimasukkan ke madrasah dan beberapa pondok pesantren oleh sang ayahanda tersayang, kiai Hariri harus menempuh pendidikan umum di Malang mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai tingkat sekolah menengah atas (SMA).

Singkat cerita, sekitar tahun 1972-1973, riwayat pendidikannya kandas dan berubah haluan. Saat ditemui oleh kru buletin Tanwirul Afkar, Kiai Hariri menuturkan bahwa pada saat kelas dua SMA, ayahanda dari Lora Abdurrahman al-Kayyis ini bertemu dengan salah seorang Kiai dari kota Pasuruan. Kiai tersebut menyarankan agar berhenti sekolah dan lebih baik mondok. Sembari menunjukkan keheranannya, beliau bertanya: “Lho kok bisa saya harus berhenti sekolah dan harus mondok?” Lantas sang Kiai menjawab dengan penuh keyakinan, “Kalau kamu mondok lewat dari tahun ini, maka kamu akan menjadi pedagang”. “Mondok dimana Kiai?” Tanya Kiai Hariri penuh penasaran. “Kamu mondok di Kiai Musta’in Romli Jombang aja” Namun Kiai Hariri memberikan opsi yang lain, “Bagaimana kalau mondok di Nurul Jadid Kiai?” Akhirnya sang kiai memberikan izin. Mempertimbangkan saran tersebut, urun-rembuk dan sheringpun dilakukan bersama sanak family dan handai taulan.

Selama menempuh pendidikan di Nurul Jadid Paiton Probolinggo, suami dari al-Marhumah Nyai Hanik ini mempunyai cita-cita untuk sekolah ke Timur Tengah, ingin ikut seminar-seminar internasional, dan ingin jadi dosen. Syukur Alhamdulillah! asa tersebut nampaknya bakalan terwujud, tidak lama berselang, ternyata beliau ditunjuk oleh Kiai Hasyim Zaini sebagai salah seorang santri yang akan mendapatkan beasiswa dari Nurul Jadid untuk dikirim ke Timur Tengah. Guna melengkapi persyaratan secara administratif, Kiai Hariri muda diberi deadline selama sepuluh hari untuk mengurusi dan mengumpulkan itu semua. Seperti akte, keterangan tak pernah terlibat dalam narkoba, surat keterangan tidak terlibat dalam G 30 S PKI, dan transkrip nilai serta ijazah. Dengan semangat yang menggebu-gebu, akhirnya semua administrasi dapat diselesaikan dalam hitungan yang relatif singkat. Namun sangat disayangkan, ketika semua berkas-berkas tersebut hendak dikirim ke Jakarta, ternyata di luar dugaan, semua berkas tersebut hilang. Akhirnya, pupus sudah harapannya untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.

Akan tetapi dibalik kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata Allah Swt telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih berarti untuk masa depan beliau. Hikmah yang dapat dipetik ternyata Allah Swt telah mengganti kegagalan tersebut dengan kehadiran Nyai Hanik untuk dipersunting sebagai isteri. Karena pada saat waktu yang bersamaan, pasca kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata almarhumah Nyai Umi Hanik gagal juga untuk dipersunting oleh putra Kiai Zaini. Sehingga Almarhumah Umi Hanik dipersunting oleh Kiai Hariri Abdul Adhim.

Sadar akan latar belakang pendidikannya adalah pendidikan umum, maka ketika mondok, beliau banyak belajar ilmu-ilmu dasar bahasa Arab secara otodidak. Metode belajar yang digunakan adalah menghafal. Jadi selama mondok, beliau sering menghafal beberapa materi mata pelajaran, wabil khusus ilmu nahwu dan sorrof. Saking semangatnya menghafal, beliau mengakui kalau jarang sekolah lantaran keasyikan menghafal pada waktu-waktu sekolah. Berkat usaha yang gigih, akhirnya pada tahun 1978 beliau dapat menyelesaikan studi di Fakultas Dakwah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Secara kepribadian, pengagum Syekh Abdul Qadir Jailani ini merupakan salah seorang kiai yang masyhur di masyarakat sebagai sosok kiai yang sufistik. Tidak heran jika selama mengajar di Ma’had Aly, kitab yang istiqomah dibaca untuk para santrinya adalah Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Syekh Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali. Beliau mulai tertarik dengan dunia tasawuf sejak usia 20 tahun. Tertarik dengan ilmu tasawuf karena wawasan tasawuf adalah Allah Swt, pembersihan jiwa, hati, dan roh. Ilmu tasawuf itu bersifat amaliyun (perbuatan manusia) sedangkan ilmu fiqh bersifat ‘ilmiyun (pengetahuan).

Kiai Hariri secara intensif mengajar ilmu tasawuf Imam Ghazali di Ma’had Aly karena ilmu tasawuf mempunyai peran yang sentral dalam membentuk kepribadian seseorang, khususnya santri Ma’had Aly. Kajian fiqh-ushul fiqh yang menjadi konsentrasi santri Ma’had Aly harus diimbangai oleh pembelajaran tasawuf. Imam Malik mengatakan :

من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق, ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق, ومن جمع بينهما فقد تحقق

“Barang siapa yang mendalami ilmu tasawuf tanpa diimbangi oleh ilmu fiqh, maka akan zindiq, dan barang siapa yang mendalami ilmu fiqh namun tidak diimbangi dengan ilmu tasawuf, maka akan fasiq. Barang siapa yang mengumpulkan keduanya (fiqh dan tasawuf) maka sungguh akan benar”
Sosok beliau sebagai seorang sufistik sekaligus pengajar ilmu tasawuf mempunyai peran yang sangat urgen (penting) dalam membentuk pribadi kader ahli fiqh yang paripurna di Ma’had Aly karena wawasan fiqh harus diimbangi oleh wawasan tasawuf.

Secara umum, tasawuf itu adalah suatu ilmu yang membahas dan membicarakan tentang penyakit dari beberapa penyakit-penyakit jiwa. Seperti sombong, ambisi, tidak percaya kepada Allah Swt, tidak percaya pada kebenaran al-Qur’an, s**a melakukan perbuatan maksiat serta dosa, riya’, meremehkan orang lain, dan sebagainya. Ilmu tasawuf juga menjelaskan tata cara membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang jelek tersebut dengan petunjuk al-Qur’an, dengan nasehat agama, dan dengan amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru terhadap kebaikan dan melarang terhadap perbuatan keji) serta di dalamnya juga dibahas tata cara bagaimana seseorang itu bisa sampai kepada Allah swt. Karena tidak semua orang bisa sampai kepada Allah Swt.
Secara khusus, tasawuf itu bisa menyampaikan seseorang dari tingkat syari’at menuju tingkat hakikat. Untuk bisa sampai ke tingkat hakikat, mulai dari level syari’at seseorang harus melewati jalan thariqat. Oleh karena itu, seseorang yang ada dalam tingkatan syari’at itu disebut thālib atau murid. Di dalam tingkatan thālib ini, seseorang harus mempelajari ilmu syari’at secara sempurna seperti bagaimana cara shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Melaksanakannya pun harus benar-benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Setelah syari’at seseorang benar-benar telah sempurna dan mapan, maka seseorang akan naik tingkatan menuju tingkatan thariqat.

Orang yang ada dalam tingkatan thariqat ini disebut sālik. Disebut Sālik karena orang yang berada dalam level thariqat ini adalah orang yang sedang menempuh jalan. Jadi, kalau dalam level syari’at, seseorang beribadah kepada Allah Swt hanya terbatas pada bagaimana cara dia beribadah kepada Allah Swt. Sedangkan orientasi ibadah dalam level thariqah adalah lebih tinggi dari syariat yakni al-qasdhu artinya menuju kepada Allah Swt. Dalam tingkatan thariqah ada perjalanan rohani menuju Allah swt dan ini dibimbing oleh seorang mursyid thariqah. Ibadahnya seorang sālik bukan semata-mata al-qasdhu tapi sudah menuju kepada Allah Swt dengan bimbingan dan pengarahan dari seorang mursyid. Kalau seseorang sudah sampai kepada Allah Swt maka dinamakan wāshil, perjalanannya dinamakan wushuldan ketika sampai kepada Allah Swt itu disebut hakikat. Ketika seseorang sudah sampai dalam tingkat hakikat ini, maka orang tersebut akan dikaruniai tiga hal, yakni muraqabah, musyahadah, dan ma’rifat.
Secara khusus, ilmu tasawuf adalah bagaimana seseorang bisa sampai kepada Allah Swt melalui ibadah yang penuh dengan taat (imtitsāl), taqarrub ilallah (mendekatkan diri dengan tuhan) dan kesemuanya itu harus mengikuti nabi Muhammad Saw. Semua ini juga harus ditempuh dengan cara mengikuti nabi. Kalau maqam al hubbub fillah (dalam posisi mencintai Allah Swt) itu harus bisa dibuktikan dengan cara mengikuti segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah Swt melalui nabi-Nya. Seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Orang yang mengatakan dirinya cinta kepada Allah Swt namun shalatnya tidak sama dengan nabi, maka itu semua adalah bohong besar karena ini merupakan implementasi dari firman Allah Swt yang berbunyi :

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ الله فاتبعوني يُحْبِبْكُمُ الله [ آل عمران : 31 ]
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [03]: 31)
Mengomentari ayat ini, menukil Ibnu Mundzir dalam tafsirnya “Tafsîr ibnu Mudzir” juz I halaman 196, ayat ini menjelaskan bahwa mengikuti Allah swt dan nabi-Nya merupakan bukti konkrit dari wujud kecintaan kepada Allah Swt. Sehingga dusta orang yang mengaku cinta kepada Allah Swt namun dia tidak mengikuti jalan-Nya.

Untuk mematangkan ilmu tasawufnya, beliau secara khusus belajar kepada para masyaikh yang memang benar-benar pakar di bidangnya. Para masyaikh yang menjadi gurunya dalam bidang tasawuf sangat banyak sekali walaupun sebagian besar sudah wafat. Sebagian guru-guru beliau adalah KH Hasyim Zaini, Habib Abdullah bin Faqih Malang, KH Zaini Abd. Mun’im, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Faqih, KH. Abdul Hamid Pasuruan, terus pernah belajar ke Kiai Fadhal yang konon ceritanya, Kiai Fadhal ini adalah salah satu orang yang mengaji langsung kepada imam Abu Hamid al-Ghazali dengan cara birruh(ruhaniyah). Sedangkan tokoh sufi favorit beliau adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abdullah bin Alawi al-Haddad, Imam al-Ghazali, Abul Qashim al-Junaid, dan Imam al-Wisri.
Agar bisa membedakan orang yang sufi dan tidak sufi, dosen Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy ini juga memaparkan beberapa ciri seorang sufistik. Menukil perkataan as-Siri as-Saqafi, beliau mengatakan bahwa, “Akluhum aklul mardha, Wanaumuhum naumul gharga, wakalamuhum kalamul khalqa” Ungkapan ini mengisyarahkan bahwa makan dan minumnya orang sufi seperti makannya orang sakit (tidak enak makan). Kalau tidur, seperti tidurnya orang yang tenggelam dalam lautan (tidak bisa tidur) karena orang sufi itu dilarang tidur. Dari segi perkataan, perkataan orang sufi adalah perkataan yang luar biasa (keluar dari adat kebiasaan manusia). Setiap untaian kata yang terucap merupakan ilham dari Allah Swt yang tidak bisa ditiru oleh orang lain karena mereka mendapat bimbingan langsung dari Allah Swt.

Tidak hanya itu, para sufistik pada biasanya lebih mendahulukan urusan akhirat dari pada urusan dunia. Mereka menerima segala bentuk pemberian dari Allah Swt. Diberi tidak diberi harus tetap diterima dengan lapang dada. Jadi, kalau sufi itu bersyukur di kala rizki melimpah dan bersyukur p**a di kala rizkinya sedikit. Kalau dilihat dari komitmen spiritualitas, para sufi itu tidak mudah terombang ambing serta terkontaminasi oleh peradaban dan kebudayaan manusia yang berkembang dan berubah-ubah. Itu semua tidak sampai bisa merubah pola pikir, sikap, dan tingkah laku mereka. Seperti gaya rambut, model busana, budaya materialisme, dan lain-lain. Tren seperti ini sedikit pun tidak bisa merubah perilaku mereka. Mereka itu seperti ikan di lautan, sekalipun air laut itu asin tapi ikan itu tidak asin.

Mengomentari asumsi kebanyakan orang yang mengatakan bahwa seorang sufi sangat identik dengan penampilan compang–camping dan kumuh. Mudir Ma’had Aly ini secara tegas menolak asumsi tersebut seraya melandaskan argumennya dengan sebuah hadits dari Nabi. Pada suatu ketika, nabi Muhammad Saw duduk bersama para sahabat. Pada waktu itu, ada seseorang di depan nabi berpakaian dengan pakaian yang kotor, compang-camping, dan lusuh. Melihat orang tersebut, nabi bertanya : “Apakah kamu punya uang untuk membeli pakaian?”, Orang tadi menjawab : “ Iya wahai Rasulallah”. Kemudian nabi bersabda “Apabila kamu dikaruniai nikmat oleh Allah Swt, maka tampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah Swt kepadamu itu dan kedermawanan Allah Swt itu tampakkan. Kalau kamu diberikan harta oleh Allah Swt, maka belilah pakaian untuk beribadah, pakaian-Nya untuk shalat. Harta-Nya digunakan untuk bersedekah membantu fakir miskin, dan atau dipergunakan untuk haji, itu namanya menampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah dan juga menampakkan kedermawanan Allah Swt.
Orang sufi bukanlah orang yang pakaiannya compang-camping dan kotor, sementara dia mampu untuk membeli pakaian. Kecuali memang benar-benar tidak mampu untuk membeli pakaian karena termasuk orang fuqara masakin (faqir lagi miskin), maka tidak masalah seperti itu. Kalau dia mampu sementara pakaian yang digunakan adalah compang-camping kemudian mengklaim dirinya sufi, tentu itu tidak benar. Dalam al-Qur’an sudah ditegaskan :

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنْ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa p**akah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. al-A’raf [07] :32)

Terkait dengan resep menuntut ilmu di pondok, Kiai Hariri mempunyai pandangan bahwa santri akan memperoleh kemilau indah ilmu yang bermanfaat jikalau dia baik kepada Allah Swt. Taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya kemudian menjalin hubungan rohani kepada nabi yang akan memberi syafaat kepada kita, keluarga nabi, para sahabatnya, dan para wali Allah Swt. Kita hendaknya menjadikan mereka sebagai wasilah kepada Allah Swt supaya diberi ilmu yang bermanfaat dan barokah. Ini semua bisa dilakukan dengan cara mengirim fatihah dan membaca shalawat kepada para muallif(pengarang) kitab dan mengirim baca fatihah kepada pendiri pondok pesantren ini, yakni Kiai Syamsul Arifin, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Dhafir Munawwar, dan Kiai Fawaid. Seorang santri juga secara istiqomah memohon kepada Allah Swt di dalam mencari ilmu. Sebagai seorang santri, kita jangan sampai merasa lebih baik dari orang lain karena masih banyak yang lebih baik dari kita. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, ada yang dikaruniai kuat belajarnya, ada yang dikaruniai kuat melakuakan ibadah kepada Allah Swt dan lain sebagainya. Semoga kita bisa mengamalkan itu semua[d].MENGENANG KIAI HARIRI ABD. ADHIM

Di penghujung bulang Sya’ban tahun ini, saya pamit kepada guru saya, Kiai Hariri dalam rangka liburan Ramadan. Kesehatannya tampak terganggu, menurut teman-teman Tepas--Tepas adalah asrama para santri yang mengabdi kepada kiai--Kiai jika berjalanan agak jauh nafasnya terganggu.

Tanggal 15 Ramadan beredar info bahwa beliau sakit dan dirawat di rumah sakit. Seketika saya hubungi khadam yang biasa menemani beliau, ia menampik bahwa kiai dirawat. Soal sakit, ia membenarkan. “Kiai kan memang sakit”, ujarnya kepada saya. Untuk memastikan kondisi Kiai, saya langsung menuju Sukorejo dan sowan kepada beliau. Malam harinya Kiai masih berkenan membaca doa khataman Alquran di Musalla Ma’had Aly, membelikan nasi Sodu dan makan bersama teman-teman, termasuk saya.

Tanggal 28 Ramadan, saya tiba-tiba merindukannya kembali. Tanpa menunggu lama dari Bondowoso saya langsung pergi ke Sukorejo. Bakda asar, saya sengaja menunggu di depan kediamannya. Setelah salat dan wirid, ia keluar dan saya berdiri menghampirinya, menjulurkan tangan kanan membantunya menuruni tangga. Dengan nada khasnya, “bhede perlo apa?, ada perlu apa?”, saya jawab "ingin sowan sama kiai". Setelah dirasa puas berada di sampingnya dan Maghrib hampir masuk, saya pamit dan mencium tangan lembutnya.

Bulan Syawal waktu liburan habis, saya kembali ke pondok. Kesehatannya tak berubah; tetap seperti saat saya sowan di penghujung ramadan itu. Seingat saya, Kiai masih ngajar ketika kesehatannya terus menurun. Puncaknya ketika di rawat di Rumah sakit Elizabet, ia bersikeras untuk p**ang untuk mengajar kami. Tak ada yang bisa menolak, akhirnya Kiai p**ang padahal kondisinya belum begitu pulih. Keinginannya untuk mengajar terus bergejolak di tengah kondisi fisiknya yang semakin rapuh. Zaenal Mustafa, salah seorang teman yang menjadi khadamnya bercerita kepada saya bahwa Kiai “ngotot” ingin ngajar, tapi ia bersedih tidak bisa mutalaah alias belajar terlebih dahulu sebelum memberikan pengajian. Kiai Hariri, begitu ia akrab disapa, merasa “berdosa” jika mengajar tanpa belajar terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita?

Satu hari sebelum pergi mengikuti Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Pesantren Krapyak Jogjakarta pada 10-12 Oktober 2018, saya pamit kepada beliau sembari menjelaskan bahwa Ma’had Aly situbondo, lembaga yang diasuhnya mendominasi dalam pelaksanaan Muktamar dengan banyaknya santri Ma’had Aly yang lolos. Tampak terlihat gurat senyum bahagia di tengah kondisi sakitnya. Setelah mendapat doa, saya memantapkan pergi. mungkin itulah perjumpaan dan pembicaraan terakhir saya dengan beliau. Hingga akhirnya kondisinya kesehatannya terus menurun hingga Allah Swt memanggil beliau untuk selamanya hari Rabu 7 November 2018 bakda Zuhur di tempat ia mengabdi, tempat yang dipilih Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk menemani kami, di kompleks santri Ma’had Aly. Inna Lillah Wa Inna Ilaihi Rajiun.

Saya dan Kiai Hariri

Kiai Hariri bagi saya dan teman-teman yang pernah berkumpul dengannya sangat istimewa. Ia tak tampak seperti Kiai yang terkesan berjarak dengan santrinya. Sosoknya egaliter, lembut, dermawan dan sabar. Soal kesabarannya, pembaca mungkin sudah banyak yang tahu. Dalam hemat saya, kesabaran Kiai Hariri sudah “ofside” alias di luar nalar. Pembaca mungkin banyak yang tak percaya bahwa Kiai Hariri hampir setiap hari dimintai uang cabisan oleh tamu-tamunya yang aneh-aneh itu. Dalam titik ini, Kiai Hariri seperti sebuah antitesa dari fakta bahwa seorang figur kiai seharusnya diberi cabisan bukan memberi cabisan. Hampir setiap hari di kediamannya hilir mudik tamu-tamu “aneh” yang dicabisi kiai. Bahkan titik ofside kesabarannya adalah tatkala ada tamu yang meminta uang. Sebagaimana biasa, kiai akan segera memberi. Tak disangka, amplop yang sudah diisi uang dibuka di depan beliau dan ia berkata bahwa nominalnya kurang. Kiai tanpa marah itu masuk kembali ke rumahnya dan menambah nominal uang yang dimaksud.

Dalam spektrum yang luas, kesabarannya diuji dengan menjadi pemangku utama di lembaga kader ahli fikih, Ma’had Aly Situbondo. Sebagai maklum lembaga ini adalah lembaga tinggi pasca Pesantren yang didirikan Kiai As’ad di penghujung usianya. Teman-teman pernah berkelakar, menjadi mudir di Ma’had Aly itu membutuhkan kekuatan ekstra. Lebih-lebih ketika awal tahun 2000-an di mana terjadi persinggungan yang intens antara Ma’had Aly dan Jaringan Islam Liberal di Jakarta. Bukan hanya itu, dalam beberapa kesempatan santri Ma’had Aly sering melontarkan ide-ide nyentrik yang cukup maju dan menggugah, soal Valentine Day, Nikah Beda Agama, Dialog Beda Agama, Pluralisme Agama, Kritik Terhadap Kitab Kuning dan lain-lain.

Suatu ketika, Majalah Tanwirul Afkar, wadah pemikiran santri Ma’had Aly pernah merilis tajuk “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Sontak tulisan itu membikin beberapa Kiai dan tokoh-tokoh agama geram, bahkan ada kiai yang mengirimkan “surat keberatan” dan menyatakan bahwa santri Ma’had Aly Situbondo sudah berlebihan dan di luar kewajaran. Bagaimana respon Kiai Hariri? Ia tak kaget. Dalam diamnya, tersimpan doa agar apa-apa yang dilakukan anak didiknya adalah “ijtihad ilmiah” yang sekalipun itu salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala.

Dalam batas-batas tertentu Kiai Hariri tentu mengawasi segenap pemikiran dan prilaku anak-anaknya dan dalam batas yang lain ia terus berfikir bagaimana ia melahirkan kader-kader kritis, komprehensif dan bertanggung jawab. Ini mungkin makna dari kelakar teman-teman bahwa menjadi mudir di Ma’had Aly Situbondo itu butuh kerja ekstra. Dia harus berdiri di tengah, kokoh sekokoh batu karang di tengah terpaan badai lautan.

Progresifitas (saya lebih s**a menggunakan term ini daripada liberalisme) santri Ma’had Aly memang bukan isapan jempol belaka. Persinggungan intens dengan aktivis Islam liberal di masa-masa itu makin membuat kedewasaan pemikiran Santri Ma’had Aly. Pada waktu itu Situbondo-Jakarta menjadi Hilir aktivis-aktivis Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Rumadi Ahmad, Marzuqi Wahid dan lain-lain. Tokoh-tokoh senior juga cukup mewarnai di lembaga ini, sekadar menyebut nama ada KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, KH. Masdar Farid Mas’udi dan lain-lain. Puncaknya adalah ketika pemikir kontroversial asal Mesir yang dideportasi ke Belanda, Nashr Hamid Abou Zayd didaulat memberikan “pengajian” kepada santri Ma’had Aly.

Bayangkan saja, Nasr Hamid yang baru saja divonis sesat oleh pengadilan tinggi agama di Mesir dan dipisah dengan istrinya diterima dengan baik dan dijamu di Ma’had Aly Situbondo di bawah asuhan Kiai Hariri Abdul Adhim. Kiai Hariri, menerima tamu-tamu itu, menyediakan tempat penginapan dan memberikan kesan yang nyaman. Dan ini juga berlaku bagi seluruh anak-anak muda NU yang “itu”.

Dan “alhamdulillah” tempaan Kiai Hariri dan tentunya kiai-kiai yang lain telah mengasilkan hasil yang luar biasa. Dari Ma’had Aly Situbondo lahir tokoh-tokoh mumpuni, semisal Prof. Abu Yasid, MA. LLM, Dr. Wawan Djuandi, M. Ag, Dr. Abdul Jalal, Kiai Ahmad Muzammil, Dr. Abdul Jalil, M. Ag. Imam Nakha’i, khusus nama terakhir, ia menempati posisi strategis tentang isu-isu Gender dan Perempuan, tepatnya di Komnas perempuan. Dan masih banyak tokoh alumni yang belum saya sebut di sini, dengan tanpa mengurangi rasa takzim, beliau-beliau adalah kebanggaan banyak orang minimal saya yang bodoh ini. [Keterangan ini tidak menafikan alumni-alumni yang lain yang bergerak di bidangnya masing-masing. Qul Kullun Nya’malu Ala Syakilatih.]

Hal lain yang begitu menginspirasi dari Kiai Hariri adalah ketekunannya dalam belajar. Menurut penuturan Kiai Zainul Muin Husni, teman beliau ketika masih belajar di Pesantren Nurul Jadid, Kiai Hariri itu bacground pendidikannya adalah pendidikan umum, tepatnya jurusan Matematika. Namun apalah daya, setamat SMA sang ayahanda memerintahkan beliau mondok di Nurul Jadid dan akhirnya beliau “banting setir”, belajar di pondok Pesantren. Sadar dengan bacground umum, Hariri muda belajar otodidak. Dan daya tangkapnya luar biasa. Hingga akhirnya ia adalah salah satu santri yang akan dikirim ke Timur Tengah oleh Kiai Hasyim Zaini namun akhirnya tidak jadi dan akhirnya ia tetap “dikirim” ke ujung timur p**au Jawa untuk dinikahkan dengan Nyai Hj. Ummi Hani’, cucu Kiai As’ad putri dari Nyai. Hj. Zainiyah As’ad dengan Syaikh Dhofir Munawwar.

Kepada beliau, saya mengaji kitab tasawwuf Ihya Ulumiddin karya Abu Hamid al-Ghazali dan Ibanah al-Ahkam yang merupakan syarah atas kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani tepatnya bakda Subuh. Modelnya teman-teman yang membaca kemudian disimak oleh kiai dan santri yang lain. Dalam memberi makna, arti dan terjemah kata, beliau cukup ketat. Bagi Kiai Hariri, frasa Ialah, adalah atau itu untuk menerjemahkan khabar memiliki tempat yang beda-beda. Jadi tak bisa dibabat rata bahwa khabar itu bisa dimaknai ialah. Bagi Kiai Hariri juga, cara menerjemahkan huruf "in", "lau", dan "idza" tidak bisa diseregamkan dengan makna "jika" ada tempat dan penempatan tersendiri. Jadi sudah dipastikan kami kewalahan di situ. Salah saja menempatkan makna, spontan Kiai Hariri dawuh dengan suara khas “keliru” bahkan nyuruh berdiri dan diiringi suara tawa teman-teman. [jujur logat khas beliau masih terekam kuat dalam memori terdalam saya ketika menegur saat salah penempatan makna, Allah yarhamuka Sidi]

Ketika kesalahan teman-teman dalam penempatan makna ini cukup banyak kemudian beliau merekomendasikan untuk membuka kitab Mughni Labib karya Ibn Hisyam, Alfiyah Ibn Malik, Kamus Lisan al-Arab, Kamus al-Muhith, al-Munjid dan lain-lain. Tak lupa beliau juga berkelakar agar Hafalan Alfiyah jangan dibiarkan hilang. Ini menjadi bukti kuat bahwa ilmu gramatikal arab beliau sangat kuat dan kukuh. padahal ia baru "mengenal" nahwu sejak lulus SMA.

Dari Kiai Hariri saya juga belajar tentang ketulusan. Sejauh dalam pandangan saya, beliau tak pernah mengeluarkan kata-kata laknat dan marah kepada para santrinya. Senakal apapun itu. Saya konfirmasi lagi kepada orang-orang yang sangat lama bergumul dengan beliau dan merekapun sepakat bahwa kiai tak pernah mengeluarkan kata laknat, marah atau bahkan kutukan kepada siapapun lebih-lebih kepada santrinya.

Bagi Kiai Hariri, seluruh santri adalah anaknya sendiri. Ia tak pernah “mengkapitalisasi” doa-doa yang dipanjatkan dengan “Doa-doa ancaman dan kutukan”. Tak jarang saya mendengar doa-doa kutukan yang keluar dari ekspresi kemarahan. Dan saya tak melihat hal itu dari Kiai Hariri Ibn. Kiai Abul Adhim. bagi saya kiai sudah selesai dengan kepentingan dirinya, dengan dunianya dengan pangkat kekiaiannya. Ia begitu tulus dalam doa tanpa harus mencela.

Maka, Rabu bakda Zuhur, kabar itu begitu menghentak jantung hati. Saya tak habis fikir, saya yang sudah cukup lama tak menangis dan lebih sering tertawa tak kuasa menahan buliran air mata. Dari prosesi memandikan hingga mengantarkan beliau ke peristirahatan. Tangan saya kram, darah saya memanas dan air mata terus mengalir deras. Yang ada dalam benak saya, siapa lagi yang akan mengajarkan tentang ketulusan jika ia yang sangat tulus itu lebih dulu pergi?.[]

laka al-Fatihah Kiai Hariri Abd. Adhim.

Tulisan Ustadz Ahmad Husain Fahasbu, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur.

Reepost Tanwirul Afkar

Address

Jalan KHR. Syamsul Arifin, Sumberejo, Kabupaten Situbondo
Situbondo
68374

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Dunia Ilmu Santri posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Dunia Ilmu Santri:

Share