14/12/2025
🔖Alm KH. Ach. Hariri Abdul Adhim
Pemangku Ma'hadul Aly PP salafiyah Syafiiyah Sukorejo
Sang Sufi dari Kota Malang
Unik dan menarik, demikianlah ungkapan sederhana untuk mengungkap perjalanan hidup kiai yang bernama lengkap KH Ach. Hariri Abdul Adhim bin Abdul Adhim tersebut. Bayangkan saja, semula ia termasuk orang yang tidak s**a mondok. Karena orang mondok identik dengan 3 K: koreng, kudis, dan kumuh. Tapi jalan hidup menentukan lain, ia rela melepas baju sekolah SMA dan berganti mondok. Bahkan akhirnya, ia menjadi wakil pengasuh bidang maaliyah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur dan sebagai mudir Ma’had Aly Situbondo.
Beliau lahir di Bulu Lawang sebuah daerah di kota Malang pada tanggal 08 Maret 1956. Sedari kecil, putra dari pasangan bapak Abdul Adhim dan Hj. Nadhiroh ini tidak dididik dan dibesarkan oleh orang tuanya sendiri. Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan orang yang pada biasanya tumbuh berkembang dalam dekapan manis kedua orang tuanya. Karena diasuh oleh orang lain sejak kecil sampai dewasa, maka jalur pendidikan yang ditempuh pun berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Ketika saudara-saudaranya dimasukkan ke madrasah dan beberapa pondok pesantren oleh sang ayahanda tersayang, kiai Hariri harus menempuh pendidikan umum di Malang mulai dari tingkat sekolah dasar (SD) sampai tingkat sekolah menengah atas (SMA).
Singkat cerita, sekitar tahun 1972-1973, riwayat pendidikannya kandas dan berubah haluan. Saat ditemui oleh kru buletin Tanwirul Afkar, Kiai Hariri menuturkan bahwa pada saat kelas dua SMA, ayahanda dari Lora Abdurrahman al-Kayyis ini bertemu dengan salah seorang Kiai dari kota Pasuruan. Kiai tersebut menyarankan agar berhenti sekolah dan lebih baik mondok. Sembari menunjukkan keheranannya, beliau bertanya: “Lho kok bisa saya harus berhenti sekolah dan harus mondok?” Lantas sang Kiai menjawab dengan penuh keyakinan, “Kalau kamu mondok lewat dari tahun ini, maka kamu akan menjadi pedagang”. “Mondok dimana Kiai?” Tanya Kiai Hariri penuh penasaran. “Kamu mondok di Kiai Musta’in Romli Jombang aja” Namun Kiai Hariri memberikan opsi yang lain, “Bagaimana kalau mondok di Nurul Jadid Kiai?” Akhirnya sang kiai memberikan izin. Mempertimbangkan saran tersebut, urun-rembuk dan sheringpun dilakukan bersama sanak family dan handai taulan.
Selama menempuh pendidikan di Nurul Jadid Paiton Probolinggo, suami dari al-Marhumah Nyai Hanik ini mempunyai cita-cita untuk sekolah ke Timur Tengah, ingin ikut seminar-seminar internasional, dan ingin jadi dosen. Syukur Alhamdulillah! asa tersebut nampaknya bakalan terwujud, tidak lama berselang, ternyata beliau ditunjuk oleh Kiai Hasyim Zaini sebagai salah seorang santri yang akan mendapatkan beasiswa dari Nurul Jadid untuk dikirim ke Timur Tengah. Guna melengkapi persyaratan secara administratif, Kiai Hariri muda diberi deadline selama sepuluh hari untuk mengurusi dan mengumpulkan itu semua. Seperti akte, keterangan tak pernah terlibat dalam narkoba, surat keterangan tidak terlibat dalam G 30 S PKI, dan transkrip nilai serta ijazah. Dengan semangat yang menggebu-gebu, akhirnya semua administrasi dapat diselesaikan dalam hitungan yang relatif singkat. Namun sangat disayangkan, ketika semua berkas-berkas tersebut hendak dikirim ke Jakarta, ternyata di luar dugaan, semua berkas tersebut hilang. Akhirnya, pupus sudah harapannya untuk melanjutkan studi ke Timur Tengah.
Akan tetapi dibalik kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata Allah Swt telah merencanakan sesuatu yang jauh lebih berarti untuk masa depan beliau. Hikmah yang dapat dipetik ternyata Allah Swt telah mengganti kegagalan tersebut dengan kehadiran Nyai Hanik untuk dipersunting sebagai isteri. Karena pada saat waktu yang bersamaan, pasca kegagalan studi ke Timur Tengah, ternyata almarhumah Nyai Umi Hanik gagal juga untuk dipersunting oleh putra Kiai Zaini. Sehingga Almarhumah Umi Hanik dipersunting oleh Kiai Hariri Abdul Adhim.
Sadar akan latar belakang pendidikannya adalah pendidikan umum, maka ketika mondok, beliau banyak belajar ilmu-ilmu dasar bahasa Arab secara otodidak. Metode belajar yang digunakan adalah menghafal. Jadi selama mondok, beliau sering menghafal beberapa materi mata pelajaran, wabil khusus ilmu nahwu dan sorrof. Saking semangatnya menghafal, beliau mengakui kalau jarang sekolah lantaran keasyikan menghafal pada waktu-waktu sekolah. Berkat usaha yang gigih, akhirnya pada tahun 1978 beliau dapat menyelesaikan studi di Fakultas Dakwah IAI Nurul Jadid Paiton Probolinggo.
Secara kepribadian, pengagum Syekh Abdul Qadir Jailani ini merupakan salah seorang kiai yang masyhur di masyarakat sebagai sosok kiai yang sufistik. Tidak heran jika selama mengajar di Ma’had Aly, kitab yang istiqomah dibaca untuk para santrinya adalah Kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya Syekh Hujjatul Islam, Muhammad bin Muhammad Abu Hamid al-Ghazali. Beliau mulai tertarik dengan dunia tasawuf sejak usia 20 tahun. Tertarik dengan ilmu tasawuf karena wawasan tasawuf adalah Allah Swt, pembersihan jiwa, hati, dan roh. Ilmu tasawuf itu bersifat amaliyun (perbuatan manusia) sedangkan ilmu fiqh bersifat ‘ilmiyun (pengetahuan).
Kiai Hariri secara intensif mengajar ilmu tasawuf Imam Ghazali di Ma’had Aly karena ilmu tasawuf mempunyai peran yang sentral dalam membentuk kepribadian seseorang, khususnya santri Ma’had Aly. Kajian fiqh-ushul fiqh yang menjadi konsentrasi santri Ma’had Aly harus diimbangai oleh pembelajaran tasawuf. Imam Malik mengatakan :
من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق, ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق, ومن جمع بينهما فقد تحقق
“Barang siapa yang mendalami ilmu tasawuf tanpa diimbangi oleh ilmu fiqh, maka akan zindiq, dan barang siapa yang mendalami ilmu fiqh namun tidak diimbangi dengan ilmu tasawuf, maka akan fasiq. Barang siapa yang mengumpulkan keduanya (fiqh dan tasawuf) maka sungguh akan benar”
Sosok beliau sebagai seorang sufistik sekaligus pengajar ilmu tasawuf mempunyai peran yang sangat urgen (penting) dalam membentuk pribadi kader ahli fiqh yang paripurna di Ma’had Aly karena wawasan fiqh harus diimbangi oleh wawasan tasawuf.
Secara umum, tasawuf itu adalah suatu ilmu yang membahas dan membicarakan tentang penyakit dari beberapa penyakit-penyakit jiwa. Seperti sombong, ambisi, tidak percaya kepada Allah Swt, tidak percaya pada kebenaran al-Qur’an, s**a melakukan perbuatan maksiat serta dosa, riya’, meremehkan orang lain, dan sebagainya. Ilmu tasawuf juga menjelaskan tata cara membersihkan jiwa dari sifat-sifat yang jelek tersebut dengan petunjuk al-Qur’an, dengan nasehat agama, dan dengan amar ma’ruf nahi mungkar (menyeru terhadap kebaikan dan melarang terhadap perbuatan keji) serta di dalamnya juga dibahas tata cara bagaimana seseorang itu bisa sampai kepada Allah swt. Karena tidak semua orang bisa sampai kepada Allah Swt.
Secara khusus, tasawuf itu bisa menyampaikan seseorang dari tingkat syari’at menuju tingkat hakikat. Untuk bisa sampai ke tingkat hakikat, mulai dari level syari’at seseorang harus melewati jalan thariqat. Oleh karena itu, seseorang yang ada dalam tingkatan syari’at itu disebut thālib atau murid. Di dalam tingkatan thālib ini, seseorang harus mempelajari ilmu syari’at secara sempurna seperti bagaimana cara shalat, puasa, haji dan lain sebagainya. Melaksanakannya pun harus benar-benar sesuai dengan tuntunan syari’at. Setelah syari’at seseorang benar-benar telah sempurna dan mapan, maka seseorang akan naik tingkatan menuju tingkatan thariqat.
Orang yang ada dalam tingkatan thariqat ini disebut sālik. Disebut Sālik karena orang yang berada dalam level thariqat ini adalah orang yang sedang menempuh jalan. Jadi, kalau dalam level syari’at, seseorang beribadah kepada Allah Swt hanya terbatas pada bagaimana cara dia beribadah kepada Allah Swt. Sedangkan orientasi ibadah dalam level thariqah adalah lebih tinggi dari syariat yakni al-qasdhu artinya menuju kepada Allah Swt. Dalam tingkatan thariqah ada perjalanan rohani menuju Allah swt dan ini dibimbing oleh seorang mursyid thariqah. Ibadahnya seorang sālik bukan semata-mata al-qasdhu tapi sudah menuju kepada Allah Swt dengan bimbingan dan pengarahan dari seorang mursyid. Kalau seseorang sudah sampai kepada Allah Swt maka dinamakan wāshil, perjalanannya dinamakan wushuldan ketika sampai kepada Allah Swt itu disebut hakikat. Ketika seseorang sudah sampai dalam tingkat hakikat ini, maka orang tersebut akan dikaruniai tiga hal, yakni muraqabah, musyahadah, dan ma’rifat.
Secara khusus, ilmu tasawuf adalah bagaimana seseorang bisa sampai kepada Allah Swt melalui ibadah yang penuh dengan taat (imtitsāl), taqarrub ilallah (mendekatkan diri dengan tuhan) dan kesemuanya itu harus mengikuti nabi Muhammad Saw. Semua ini juga harus ditempuh dengan cara mengikuti nabi. Kalau maqam al hubbub fillah (dalam posisi mencintai Allah Swt) itu harus bisa dibuktikan dengan cara mengikuti segala sesuatu yang disyari’atkan oleh Allah Swt melalui nabi-Nya. Seperti shalat, puasa, haji dan lain sebagainya.
Orang yang mengatakan dirinya cinta kepada Allah Swt namun shalatnya tidak sama dengan nabi, maka itu semua adalah bohong besar karena ini merupakan implementasi dari firman Allah Swt yang berbunyi :
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ الله فاتبعوني يُحْبِبْكُمُ الله [ آل عمران : 31 ]
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran [03]: 31)
Mengomentari ayat ini, menukil Ibnu Mundzir dalam tafsirnya “Tafsîr ibnu Mudzir” juz I halaman 196, ayat ini menjelaskan bahwa mengikuti Allah swt dan nabi-Nya merupakan bukti konkrit dari wujud kecintaan kepada Allah Swt. Sehingga dusta orang yang mengaku cinta kepada Allah Swt namun dia tidak mengikuti jalan-Nya.
Untuk mematangkan ilmu tasawufnya, beliau secara khusus belajar kepada para masyaikh yang memang benar-benar pakar di bidangnya. Para masyaikh yang menjadi gurunya dalam bidang tasawuf sangat banyak sekali walaupun sebagian besar sudah wafat. Sebagian guru-guru beliau adalah KH Hasyim Zaini, Habib Abdullah bin Faqih Malang, KH Zaini Abd. Mun’im, Habib Abdullah bin Abdul Qadir Faqih, KH. Abdul Hamid Pasuruan, terus pernah belajar ke Kiai Fadhal yang konon ceritanya, Kiai Fadhal ini adalah salah satu orang yang mengaji langsung kepada imam Abu Hamid al-Ghazali dengan cara birruh(ruhaniyah). Sedangkan tokoh sufi favorit beliau adalah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Abdullah bin Alawi al-Haddad, Imam al-Ghazali, Abul Qashim al-Junaid, dan Imam al-Wisri.
Agar bisa membedakan orang yang sufi dan tidak sufi, dosen Fakultas Dakwah IAI Ibrahimy ini juga memaparkan beberapa ciri seorang sufistik. Menukil perkataan as-Siri as-Saqafi, beliau mengatakan bahwa, “Akluhum aklul mardha, Wanaumuhum naumul gharga, wakalamuhum kalamul khalqa” Ungkapan ini mengisyarahkan bahwa makan dan minumnya orang sufi seperti makannya orang sakit (tidak enak makan). Kalau tidur, seperti tidurnya orang yang tenggelam dalam lautan (tidak bisa tidur) karena orang sufi itu dilarang tidur. Dari segi perkataan, perkataan orang sufi adalah perkataan yang luar biasa (keluar dari adat kebiasaan manusia). Setiap untaian kata yang terucap merupakan ilham dari Allah Swt yang tidak bisa ditiru oleh orang lain karena mereka mendapat bimbingan langsung dari Allah Swt.
Tidak hanya itu, para sufistik pada biasanya lebih mendahulukan urusan akhirat dari pada urusan dunia. Mereka menerima segala bentuk pemberian dari Allah Swt. Diberi tidak diberi harus tetap diterima dengan lapang dada. Jadi, kalau sufi itu bersyukur di kala rizki melimpah dan bersyukur p**a di kala rizkinya sedikit. Kalau dilihat dari komitmen spiritualitas, para sufi itu tidak mudah terombang ambing serta terkontaminasi oleh peradaban dan kebudayaan manusia yang berkembang dan berubah-ubah. Itu semua tidak sampai bisa merubah pola pikir, sikap, dan tingkah laku mereka. Seperti gaya rambut, model busana, budaya materialisme, dan lain-lain. Tren seperti ini sedikit pun tidak bisa merubah perilaku mereka. Mereka itu seperti ikan di lautan, sekalipun air laut itu asin tapi ikan itu tidak asin.
Mengomentari asumsi kebanyakan orang yang mengatakan bahwa seorang sufi sangat identik dengan penampilan compang–camping dan kumuh. Mudir Ma’had Aly ini secara tegas menolak asumsi tersebut seraya melandaskan argumennya dengan sebuah hadits dari Nabi. Pada suatu ketika, nabi Muhammad Saw duduk bersama para sahabat. Pada waktu itu, ada seseorang di depan nabi berpakaian dengan pakaian yang kotor, compang-camping, dan lusuh. Melihat orang tersebut, nabi bertanya : “Apakah kamu punya uang untuk membeli pakaian?”, Orang tadi menjawab : “ Iya wahai Rasulallah”. Kemudian nabi bersabda “Apabila kamu dikaruniai nikmat oleh Allah Swt, maka tampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah Swt kepadamu itu dan kedermawanan Allah Swt itu tampakkan. Kalau kamu diberikan harta oleh Allah Swt, maka belilah pakaian untuk beribadah, pakaian-Nya untuk shalat. Harta-Nya digunakan untuk bersedekah membantu fakir miskin, dan atau dipergunakan untuk haji, itu namanya menampakkan nikmat-nikmat yang diberikan oleh Allah dan juga menampakkan kedermawanan Allah Swt.
Orang sufi bukanlah orang yang pakaiannya compang-camping dan kotor, sementara dia mampu untuk membeli pakaian. Kecuali memang benar-benar tidak mampu untuk membeli pakaian karena termasuk orang fuqara masakin (faqir lagi miskin), maka tidak masalah seperti itu. Kalau dia mampu sementara pakaian yang digunakan adalah compang-camping kemudian mengklaim dirinya sufi, tentu itu tidak benar. Dalam al-Qur’an sudah ditegaskan :
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنْ الرِّزْقِ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa p**akah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah: ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’ Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui. (QS. al-A’raf [07] :32)
Terkait dengan resep menuntut ilmu di pondok, Kiai Hariri mempunyai pandangan bahwa santri akan memperoleh kemilau indah ilmu yang bermanfaat jikalau dia baik kepada Allah Swt. Taat kepada perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya kemudian menjalin hubungan rohani kepada nabi yang akan memberi syafaat kepada kita, keluarga nabi, para sahabatnya, dan para wali Allah Swt. Kita hendaknya menjadikan mereka sebagai wasilah kepada Allah Swt supaya diberi ilmu yang bermanfaat dan barokah. Ini semua bisa dilakukan dengan cara mengirim fatihah dan membaca shalawat kepada para muallif(pengarang) kitab dan mengirim baca fatihah kepada pendiri pondok pesantren ini, yakni Kiai Syamsul Arifin, Kiai As’ad Syamsul Arifin, Kiai Dhafir Munawwar, dan Kiai Fawaid. Seorang santri juga secara istiqomah memohon kepada Allah Swt di dalam mencari ilmu. Sebagai seorang santri, kita jangan sampai merasa lebih baik dari orang lain karena masih banyak yang lebih baik dari kita. Setiap orang mempunyai kelebihan masing-masing, ada yang dikaruniai kuat belajarnya, ada yang dikaruniai kuat melakuakan ibadah kepada Allah Swt dan lain sebagainya. Semoga kita bisa mengamalkan itu semua[d].MENGENANG KIAI HARIRI ABD. ADHIM
Di penghujung bulang Sya’ban tahun ini, saya pamit kepada guru saya, Kiai Hariri dalam rangka liburan Ramadan. Kesehatannya tampak terganggu, menurut teman-teman Tepas--Tepas adalah asrama para santri yang mengabdi kepada kiai--Kiai jika berjalanan agak jauh nafasnya terganggu.
Tanggal 15 Ramadan beredar info bahwa beliau sakit dan dirawat di rumah sakit. Seketika saya hubungi khadam yang biasa menemani beliau, ia menampik bahwa kiai dirawat. Soal sakit, ia membenarkan. “Kiai kan memang sakit”, ujarnya kepada saya. Untuk memastikan kondisi Kiai, saya langsung menuju Sukorejo dan sowan kepada beliau. Malam harinya Kiai masih berkenan membaca doa khataman Alquran di Musalla Ma’had Aly, membelikan nasi Sodu dan makan bersama teman-teman, termasuk saya.
Tanggal 28 Ramadan, saya tiba-tiba merindukannya kembali. Tanpa menunggu lama dari Bondowoso saya langsung pergi ke Sukorejo. Bakda asar, saya sengaja menunggu di depan kediamannya. Setelah salat dan wirid, ia keluar dan saya berdiri menghampirinya, menjulurkan tangan kanan membantunya menuruni tangga. Dengan nada khasnya, “bhede perlo apa?, ada perlu apa?”, saya jawab "ingin sowan sama kiai". Setelah dirasa puas berada di sampingnya dan Maghrib hampir masuk, saya pamit dan mencium tangan lembutnya.
Bulan Syawal waktu liburan habis, saya kembali ke pondok. Kesehatannya tak berubah; tetap seperti saat saya sowan di penghujung ramadan itu. Seingat saya, Kiai masih ngajar ketika kesehatannya terus menurun. Puncaknya ketika di rawat di Rumah sakit Elizabet, ia bersikeras untuk p**ang untuk mengajar kami. Tak ada yang bisa menolak, akhirnya Kiai p**ang padahal kondisinya belum begitu pulih. Keinginannya untuk mengajar terus bergejolak di tengah kondisi fisiknya yang semakin rapuh. Zaenal Mustafa, salah seorang teman yang menjadi khadamnya bercerita kepada saya bahwa Kiai “ngotot” ingin ngajar, tapi ia bersedih tidak bisa mutalaah alias belajar terlebih dahulu sebelum memberikan pengajian. Kiai Hariri, begitu ia akrab disapa, merasa “berdosa” jika mengajar tanpa belajar terlebih dahulu. Bagaimana dengan kita?
Satu hari sebelum pergi mengikuti Muktamar Pemikiran Santri Nusantara di Pesantren Krapyak Jogjakarta pada 10-12 Oktober 2018, saya pamit kepada beliau sembari menjelaskan bahwa Ma’had Aly situbondo, lembaga yang diasuhnya mendominasi dalam pelaksanaan Muktamar dengan banyaknya santri Ma’had Aly yang lolos. Tampak terlihat gurat senyum bahagia di tengah kondisi sakitnya. Setelah mendapat doa, saya memantapkan pergi. mungkin itulah perjumpaan dan pembicaraan terakhir saya dengan beliau. Hingga akhirnya kondisinya kesehatannya terus menurun hingga Allah Swt memanggil beliau untuk selamanya hari Rabu 7 November 2018 bakda Zuhur di tempat ia mengabdi, tempat yang dipilih Kiai As’ad Syamsul Arifin untuk menemani kami, di kompleks santri Ma’had Aly. Inna Lillah Wa Inna Ilaihi Rajiun.
Saya dan Kiai Hariri
Kiai Hariri bagi saya dan teman-teman yang pernah berkumpul dengannya sangat istimewa. Ia tak tampak seperti Kiai yang terkesan berjarak dengan santrinya. Sosoknya egaliter, lembut, dermawan dan sabar. Soal kesabarannya, pembaca mungkin sudah banyak yang tahu. Dalam hemat saya, kesabaran Kiai Hariri sudah “ofside” alias di luar nalar. Pembaca mungkin banyak yang tak percaya bahwa Kiai Hariri hampir setiap hari dimintai uang cabisan oleh tamu-tamunya yang aneh-aneh itu. Dalam titik ini, Kiai Hariri seperti sebuah antitesa dari fakta bahwa seorang figur kiai seharusnya diberi cabisan bukan memberi cabisan. Hampir setiap hari di kediamannya hilir mudik tamu-tamu “aneh” yang dicabisi kiai. Bahkan titik ofside kesabarannya adalah tatkala ada tamu yang meminta uang. Sebagaimana biasa, kiai akan segera memberi. Tak disangka, amplop yang sudah diisi uang dibuka di depan beliau dan ia berkata bahwa nominalnya kurang. Kiai tanpa marah itu masuk kembali ke rumahnya dan menambah nominal uang yang dimaksud.
Dalam spektrum yang luas, kesabarannya diuji dengan menjadi pemangku utama di lembaga kader ahli fikih, Ma’had Aly Situbondo. Sebagai maklum lembaga ini adalah lembaga tinggi pasca Pesantren yang didirikan Kiai As’ad di penghujung usianya. Teman-teman pernah berkelakar, menjadi mudir di Ma’had Aly itu membutuhkan kekuatan ekstra. Lebih-lebih ketika awal tahun 2000-an di mana terjadi persinggungan yang intens antara Ma’had Aly dan Jaringan Islam Liberal di Jakarta. Bukan hanya itu, dalam beberapa kesempatan santri Ma’had Aly sering melontarkan ide-ide nyentrik yang cukup maju dan menggugah, soal Valentine Day, Nikah Beda Agama, Dialog Beda Agama, Pluralisme Agama, Kritik Terhadap Kitab Kuning dan lain-lain.
Suatu ketika, Majalah Tanwirul Afkar, wadah pemikiran santri Ma’had Aly pernah merilis tajuk “Mendamaikan Yesus dan Muhammad”. Sontak tulisan itu membikin beberapa Kiai dan tokoh-tokoh agama geram, bahkan ada kiai yang mengirimkan “surat keberatan” dan menyatakan bahwa santri Ma’had Aly Situbondo sudah berlebihan dan di luar kewajaran. Bagaimana respon Kiai Hariri? Ia tak kaget. Dalam diamnya, tersimpan doa agar apa-apa yang dilakukan anak didiknya adalah “ijtihad ilmiah” yang sekalipun itu salah mendapat satu pahala dan jika benar mendapat dua pahala.
Dalam batas-batas tertentu Kiai Hariri tentu mengawasi segenap pemikiran dan prilaku anak-anaknya dan dalam batas yang lain ia terus berfikir bagaimana ia melahirkan kader-kader kritis, komprehensif dan bertanggung jawab. Ini mungkin makna dari kelakar teman-teman bahwa menjadi mudir di Ma’had Aly Situbondo itu butuh kerja ekstra. Dia harus berdiri di tengah, kokoh sekokoh batu karang di tengah terpaan badai lautan.
Progresifitas (saya lebih s**a menggunakan term ini daripada liberalisme) santri Ma’had Aly memang bukan isapan jempol belaka. Persinggungan intens dengan aktivis Islam liberal di masa-masa itu makin membuat kedewasaan pemikiran Santri Ma’had Aly. Pada waktu itu Situbondo-Jakarta menjadi Hilir aktivis-aktivis Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla, Zuhairi Misrawi, Rumadi Ahmad, Marzuqi Wahid dan lain-lain. Tokoh-tokoh senior juga cukup mewarnai di lembaga ini, sekadar menyebut nama ada KH. Abdurrahman Wahid, Nurcholis Majid, KH. Masdar Farid Mas’udi dan lain-lain. Puncaknya adalah ketika pemikir kontroversial asal Mesir yang dideportasi ke Belanda, Nashr Hamid Abou Zayd didaulat memberikan “pengajian” kepada santri Ma’had Aly.
Bayangkan saja, Nasr Hamid yang baru saja divonis sesat oleh pengadilan tinggi agama di Mesir dan dipisah dengan istrinya diterima dengan baik dan dijamu di Ma’had Aly Situbondo di bawah asuhan Kiai Hariri Abdul Adhim. Kiai Hariri, menerima tamu-tamu itu, menyediakan tempat penginapan dan memberikan kesan yang nyaman. Dan ini juga berlaku bagi seluruh anak-anak muda NU yang “itu”.
Dan “alhamdulillah” tempaan Kiai Hariri dan tentunya kiai-kiai yang lain telah mengasilkan hasil yang luar biasa. Dari Ma’had Aly Situbondo lahir tokoh-tokoh mumpuni, semisal Prof. Abu Yasid, MA. LLM, Dr. Wawan Djuandi, M. Ag, Dr. Abdul Jalal, Kiai Ahmad Muzammil, Dr. Abdul Jalil, M. Ag. Imam Nakha’i, khusus nama terakhir, ia menempati posisi strategis tentang isu-isu Gender dan Perempuan, tepatnya di Komnas perempuan. Dan masih banyak tokoh alumni yang belum saya sebut di sini, dengan tanpa mengurangi rasa takzim, beliau-beliau adalah kebanggaan banyak orang minimal saya yang bodoh ini. [Keterangan ini tidak menafikan alumni-alumni yang lain yang bergerak di bidangnya masing-masing. Qul Kullun Nya’malu Ala Syakilatih.]
Hal lain yang begitu menginspirasi dari Kiai Hariri adalah ketekunannya dalam belajar. Menurut penuturan Kiai Zainul Muin Husni, teman beliau ketika masih belajar di Pesantren Nurul Jadid, Kiai Hariri itu bacground pendidikannya adalah pendidikan umum, tepatnya jurusan Matematika. Namun apalah daya, setamat SMA sang ayahanda memerintahkan beliau mondok di Nurul Jadid dan akhirnya beliau “banting setir”, belajar di pondok Pesantren. Sadar dengan bacground umum, Hariri muda belajar otodidak. Dan daya tangkapnya luar biasa. Hingga akhirnya ia adalah salah satu santri yang akan dikirim ke Timur Tengah oleh Kiai Hasyim Zaini namun akhirnya tidak jadi dan akhirnya ia tetap “dikirim” ke ujung timur p**au Jawa untuk dinikahkan dengan Nyai Hj. Ummi Hani’, cucu Kiai As’ad putri dari Nyai. Hj. Zainiyah As’ad dengan Syaikh Dhofir Munawwar.
Kepada beliau, saya mengaji kitab tasawwuf Ihya Ulumiddin karya Abu Hamid al-Ghazali dan Ibanah al-Ahkam yang merupakan syarah atas kitab Bulugh al-Maram karya Ibnu Hajar al-Asqalani tepatnya bakda Subuh. Modelnya teman-teman yang membaca kemudian disimak oleh kiai dan santri yang lain. Dalam memberi makna, arti dan terjemah kata, beliau cukup ketat. Bagi Kiai Hariri, frasa Ialah, adalah atau itu untuk menerjemahkan khabar memiliki tempat yang beda-beda. Jadi tak bisa dibabat rata bahwa khabar itu bisa dimaknai ialah. Bagi Kiai Hariri juga, cara menerjemahkan huruf "in", "lau", dan "idza" tidak bisa diseregamkan dengan makna "jika" ada tempat dan penempatan tersendiri. Jadi sudah dipastikan kami kewalahan di situ. Salah saja menempatkan makna, spontan Kiai Hariri dawuh dengan suara khas “keliru” bahkan nyuruh berdiri dan diiringi suara tawa teman-teman. [jujur logat khas beliau masih terekam kuat dalam memori terdalam saya ketika menegur saat salah penempatan makna, Allah yarhamuka Sidi]
Ketika kesalahan teman-teman dalam penempatan makna ini cukup banyak kemudian beliau merekomendasikan untuk membuka kitab Mughni Labib karya Ibn Hisyam, Alfiyah Ibn Malik, Kamus Lisan al-Arab, Kamus al-Muhith, al-Munjid dan lain-lain. Tak lupa beliau juga berkelakar agar Hafalan Alfiyah jangan dibiarkan hilang. Ini menjadi bukti kuat bahwa ilmu gramatikal arab beliau sangat kuat dan kukuh. padahal ia baru "mengenal" nahwu sejak lulus SMA.
Dari Kiai Hariri saya juga belajar tentang ketulusan. Sejauh dalam pandangan saya, beliau tak pernah mengeluarkan kata-kata laknat dan marah kepada para santrinya. Senakal apapun itu. Saya konfirmasi lagi kepada orang-orang yang sangat lama bergumul dengan beliau dan merekapun sepakat bahwa kiai tak pernah mengeluarkan kata laknat, marah atau bahkan kutukan kepada siapapun lebih-lebih kepada santrinya.
Bagi Kiai Hariri, seluruh santri adalah anaknya sendiri. Ia tak pernah “mengkapitalisasi” doa-doa yang dipanjatkan dengan “Doa-doa ancaman dan kutukan”. Tak jarang saya mendengar doa-doa kutukan yang keluar dari ekspresi kemarahan. Dan saya tak melihat hal itu dari Kiai Hariri Ibn. Kiai Abul Adhim. bagi saya kiai sudah selesai dengan kepentingan dirinya, dengan dunianya dengan pangkat kekiaiannya. Ia begitu tulus dalam doa tanpa harus mencela.
Maka, Rabu bakda Zuhur, kabar itu begitu menghentak jantung hati. Saya tak habis fikir, saya yang sudah cukup lama tak menangis dan lebih sering tertawa tak kuasa menahan buliran air mata. Dari prosesi memandikan hingga mengantarkan beliau ke peristirahatan. Tangan saya kram, darah saya memanas dan air mata terus mengalir deras. Yang ada dalam benak saya, siapa lagi yang akan mengajarkan tentang ketulusan jika ia yang sangat tulus itu lebih dulu pergi?.[]
laka al-Fatihah Kiai Hariri Abd. Adhim.
Tulisan Ustadz Ahmad Husain Fahasbu, Santri Ma’had Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo Jawa Timur.
Reepost Tanwirul Afkar