05/03/2024
Hikmah dan Al-Hikmah ditinjau dari segi Spiritual
Kehidupan sudah menyajikan ragam peristiwa, ada yang menimbulkan kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan. Begitupun ragam peristiwa yang menyayat perasaan, kesedihan, nestapa, kesengsaraan, dan pilu. Semua kita pernah merasakan, laki-laki maupun perempuan. Seolah kehidupan adalah roda yang terus memutar ada kalanya di atas, ada kalanya di bawah, ada saatnya cepat ada p**a ketika lambat. Masa dulu adalah kenangan, kemarin adalah pengalaman, dan esok adalah harapan. Silih berganti di setiap manusia.
Saat menghadapi masalah hidup tidak sedikit menyelesaikannya dengan cara singkat, potong kompas, dan irasional. Ada juga ketika problematika hidup diselesaikan dengan cara sadar nalar, jiwa tenang dan hati yang luas. Dari persoalan-persoalan hidup itulah kita petik maknanya atau lebih familiar kita sebut hikmahnya.
Menurut Muhammad Quraish Shihab, hikmah juga diambil dari kata hakama yang pada awalnya berarti menghalangi. Dari awal mula kata yang sama maka dibentuklah kata yang miliki makna kendali, yaitu sesuatu yang fungsinya mengantarkan kepada yang baik serta menghindarkan yang buruk. Untuk mencapai maksud tersebut maka diperlukan pengetahuan serta kemampuan untuk menerapkannya.
Hikmah adalah suatu proses yang telah dilalui seseorang dalam hal agama ataupun dalam kehidupan sehari-harinya. Ketika orang tersebut sedang dalam fase quarter life crisis, maka hikmah yang kita peroleh adalah akan dapat mengajarkan kita arti kedewasaan dalam mengambil sikap.
Ibnu Manzhur, penyusun kamus terkenal: “Lisan al-‘Arab”, mendefinisikan Hikmah sebagai “Ma’rifah Afdhal al-Asy-ya bi Afdhal al-‘Ulum” (mengenali hal-hal paling utama dengan pengetahuan paling utama). Orang kemudian mengidentikkan Hikmah sebagai filsafat atau pengetahuan filosofis.
Dalam bahasa Indonesia ia sering disebut “kebijaksanaan”. Orang yang memiliki kebijaksanaan disebut “al-Hakim” (orang yang bijaksana). Kata ini sering juga diterjemahkan sebagai “filsuf”. Dalam dunia Islam, kata al-Hakim, digunakan untuk menyebut sang sufi.
Ibnu Katsir dan Al-Thabari, Syeikh al-Mufassirin, maha guru para ahli tafsir, menyampaikan pandangan beragam mengenai tafsir atas kata ini. Ia kemudian menyimpulkan bahwa semua pendapat para ulama atas kata ini, meski dengan uraian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya sama, bahwa kata al-Hikmah adalah al-Ishabah fi al-Umuri.
Sementara, Al-Hikmah menurut Imam al-Jurjani, seperti yang tertuang dalam kitabnya al-Ta'rifat.
الحكمة هي علم يبحث فيه عن حقاءق الاشياء على ما هي عليه في الوجود بقدر الطاقة البشرية
Al-Hikmah adalah ilmu yang membahas di dalamnya tentang hakikat-hakikat sesuatu terhadap yang dialami dengan kadar kemampuan manusia.
Imam Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam masterpiecenya, al-Hikam, menyatakan:
رُبَّمَا أَعْطَاكَ فَمَنَعَكَ وَرُبَّمَا مَنَعَكَ فَأَعْطَاكَ
Artinya : Bisa jadi Allah memberimu suatu anugerah kemudian menghalangimu darinya, dan boleh jadi Allah menghalangimu dari suatu anugerah kemudian Ia memberimu anugerah yang lain.
Imam Ibnu Athaillah melanjutkan kalam hikmahnya:
مَتَى فَتَحَ لَكَ بَابُ الْفَهْمِ فِي الْمَنْعِ عَادَ الْمَنْعُ عَيْنَ الْعَطَاءِ
Artinya : Ketika Allah membukakan pintu pemahaman kepadamu tentang pecegahannya dari suatu anugerah, maka penolakan Allah itu pun berubah menjadi anugerah (hikmah) yang sebenarnya.
Kalam hikmah Imam Ibnu Athaillah di atas terkonfirmasi oleh ayat Al-Qur’an:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ، وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : boleh jadi kalian tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagi kalian dan boleh jadi kalian menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagi kalian. Allah mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui. (QS al-Baqarah:216)
Karenanya, orang-orang pilihan yang telah mencapai derajat ma’rifat billah, sering merasa takut ketika ia menerima anugerah Allah. Syaikh Ibnu Ajibah mengatakan:
اَلْعَارِفُوْنَ إِذَا بُسِطُوا أَخْوَفُ مِنْهُمْ إِذَا قُبِضُوْا
Artinya : Orang-orang ‘arif Billah lebih takut ketika diberikan kelapangan daripada diberikan kesempitan (Ibnu Ajibah, Iqodlul Himam, halaman 97).
Bagi, umat Islam di Indonesia kata hikmah lebih identik dengan kump**an ilmu yang terdiri dari asma, hizib, dzikir, dan solawatan atau wafaq. Padahal rerata kiai yang disowan tidak pernah mengaku-ngaku sebagai kiai hikmat. Meski kemampuan itu tampak.
Memang ada dalam ilmu hikmat, bermacam-macam kekuatan, kejadugan dan kedigdayaan. Kini banyak orang berlatarbelakang konservatifisme lebih memilih yang rasional. Meski harus diakui bahwa untuk hidup sekarang dan seterusnya, kebutuhan akan spritualitas masih sangat diperlukan, tentu dengan rasionalitas dan irasionalitas yang bersamaan. Namun bukan untuk meninggalkan. Sebab kecendrungan manusia post modernisme akan lebih memerlukan nilai-nilai spiritualisme di saat dunia dimaknai sebagai kehidupan bebas nilai dan kehampaan nilai.