Da5 Sridevi

Da5 Sridevi Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Da5 Sridevi, Digital creator, Jakarta.

**Part 35:**Afan dan Devi melangkah menuju kamar mereka. Wajah Devi masih menyiratkan emosi yang campur aduk, antara keb...
03/01/2025

**Part 35:**

Afan dan Devi melangkah menuju kamar mereka. Wajah Devi masih menyiratkan emosi yang campur aduk, antara kebahagiaan karena Afan kembali dan rasa penasaran yang terus menghantuinya.

Setibanya di kamar, Devi membimbing Afan duduk di tepi ranjang.

**"Fan, aku mau ngomong sesuatu,"** ucap Devi dengan nada serius, sambil duduk di sampingnya.

Afan mengelus pucuk kepala Devi dengan lembut. **"Mau ngomong apa, sayang? Cerita aja,"** sahutnya, menatap mata Devi yang mulai berkaca-kaca.

Devi menggenggam tangan Afan erat-erat, seolah takut kehilangan lagi. **"Aku selama ini merasa ada yang salah, Fan. Aku nggak pernah benar-benar percaya kalau kamu pergi. Aku selalu yakin kamu masih hidup, meskipun semuanya bilang kamu sudah nggak ada."**

Afan tersenyum kecil, lalu meraih wajah Devi dengan kedua tangannya. **"Aku tahu, sayang. Aku bisa merasakan doa dan keyakinanmu. Itu yang bikin aku terus kuat dan nggak menyerah waktu aku terdampar di pulau itu."**

Air mata Devi mulai mengalir. **"Fan, aku takut. Aku takut kehilangan kamu lagi. Aku nggak sanggup ngebayangin harus ngelewatin semuanya sendiri, apalagi..."** ucapnya sambil memegang perutnya.

Afan memotong kalimat Devi dengan suara lembut, **"Hei, dengerin aku. Aku nggak akan kemana-mana lagi, Dev. Aku di sini buat kamu dan anak kita. Aku nggak akan ninggalin kalian, aku janji."**

Devi mengangguk, meski air matanya terus mengalir. Afan memeluk Devi erat-erat, mencoba menenangkan istrinya.

Setelah beberapa saat, Devi akhirnya mulai merasa lebih tenang. Ia melepas pelukan itu dan menatap Afan. **"Aku cuma nggak ngerti, Fan. Kalau jasad yang ditemukan itu bukan kamu, tapi Afandra... Kenapa bisa ada kebingungan kayak gini? Kok semua orang yakin itu kamu?"**

Afan terdiam sejenak, lalu menjawab, **"Aku juga nggak ngerti, sayang. Mungkin ada kesalahan waktu evakuasi. Tapi aku bersyukur, karena meskipun aku hilang, aku bisa kembali sama kamu. Itu yang penting."**

Devi mengangguk pelan. **"Iya, yang penting sekarang kamu di sini. Aku cuma harus bersyukur kita diberi kesempatan kedua."**

**"Bukan cuma kita, tapi anak kita juga,"** ucap Afan sambil meletakkan tangannya di atas perut Devi yang masih datar. **"Aku nggak sabar ketemu dia nanti, Dev."**

Devi tersenyum kecil, akhirnya merasa sedikit lebih ringan. **"Aku juga, Fan. Aku janji, aku akan lebih kuat mulai sekarang. Untuk kamu dan untuk anak kita."**

Afan memeluk Devi sekali lagi, kali ini dengan perasaan lega. Mereka berdua akhirnya membaringkan diri di ranjang, saling menggenggam tangan, menikmati momen kebersamaan yang sudah lama hilang.

Di luar kamar, Mama Fani dan Papa Hendra masih duduk di ruang tamu. Mereka saling bertukar pandang, terlihat lega tapi juga penasaran.

**"Pah, aku tetap nggak habis pikir. Kalau yang ditemukan itu Afandra, kenapa bisa semua orang, termasuk tim SAR, yakin itu Afan?"** tanya Mama Fani dengan nada ragu.

Papa Hendra menghela napas panjang. **"Entahlah, Mah. Mungkin ada sesuatu yang belum kita tahu. Tapi sekarang yang penting, Afan sudah kembali. Itu lebih dari cukup buat kita."**

Mama Fani mengangguk pelan, meski rasa penasaran itu belum sepenuhnya hilang. Di dalam hatinya, ia bertekad untuk mencari tahu kebenaran di balik semua ini.

**Part 34:**Tiga minggu telah berlalu sejak kepergian Afan. Devi masih terlihat tenggelam dalam kesedihannya, namun ia m...
03/01/2025

**Part 34:**

Tiga minggu telah berlalu sejak kepergian Afan. Devi masih terlihat tenggelam dalam kesedihannya, namun ia mencoba bertahan demi janin yang ada di kandungannya. Pagi itu, seperti biasa, Mama Fani mencoba membujuk Devi untuk melanjutkan rutinitas harian.

**"Devi, ayo nak, kita sarapan dulu,"** panggil Mama Fani dari luar kamar Devi.

**"Iya, Mah. Devi mandi dulu, habis itu baru sarapan,"** sahut Devi. Ia bangkit perlahan dari tempat tidurnya. Setelah Mama Fani keluar dari kamar, Devi mengambil bingkai foto Afan yang ada di meja samping ranjangnya.

**"Fan, aku yakin kamu masih hidup. Aku selalu percaya itu,"** ucap Devi sambil menatap foto Afan dengan mata berkaca-kaca.

**"Aku kangen, Fan... Hiks... Hiks..."** air matanya kembali mengalir. Namun kali ini ia berusaha menguatkan dirinya. **"Keep strong, Dev. Kamu harus ikhlas dan bertahan demi anakmu,"** katanya kepada dirinya sendiri, lalu mengelus perutnya yang masih datar.

Menyeka air mata, Devi menghela napas panjang dan melangkah menuju kamar mandi. Beberapa menit kemudian, ia selesai mandi dan turun ke ruang makan.

**"Good morning, Pah, Mah,"** sapanya ketika tiba di meja makan.

**"Morning,"** jawab Mama Fani dan Papa Hendra kompak, tersenyum melihat Devi mulai kembali ke rutinitasnya.

**"Sini duduk, sayang, sarapan dulu,"** ajak Mama Fani sambil menuangkan teh hangat untuk Devi. Devi duduk dan mulai menyantap makanannya.

**"Oh ya, Pah. Hasil otopsi Afan sudah keluar belum?"** tanya Mama Fani, memecah keheningan.

**"Kayaknya sudah, Mah. Tapi Papa belum sempat tanyakan,"** jawab Papa Hendra sambil menyeruput kopinya.

**"Nanti deh, kalau Papa pulang kerja, Papa tanyakan ke pihak rumah sakit,"** tambahnya. Mama Fani mengangguk setuju.

Saat mereka sedang sarapan, terdengar suara ketukan pintu.

**Tok tok tok.**

**"Siapa itu?"** tanya Papa Hendra sambil meletakkan sendoknya.

**"Gak tahu, Pah,"** jawab Devi dan Mama Fani hampir bersamaan.

**"Ya sudah, Pah, Mah, biar Devi aja yang bukain,"** ucap Devi. Ia bangkit dari kursinya dan berjalan menuju pintu depan.

Saat pintu terbuka...

**"AFAN!"** teriak Devi dengan suara gemetar, lalu memeluk sosok di depannya.

**"Iya, sayang. Ini aku,"** jawab suara yang tak asing itu—Afan, yang kini berdiri di depan pintu, balas memeluk Devi erat.

Papa Hendra dan Mama Fani, mendengar teriakan Devi, segera menyusul ke pintu depan.

**"Kamu kenapa, nak?"** tanya Mama Fani, belum sadar siapa yang ada di sana. Namun, ketika Afan berbalik menghadap mereka, mata Mama Fani melebar.

**"Afan? Anak Mama?!"** ucap Mama Fani dengan suara bergetar. Ia langsung memeluk Afan, air matanya mengalir deras.

**"Kamu masih hidup, Fan,"** ujar Devi yang kini menangis terharu di pelukan Afan.

**"Iya, sayang. Aku kembali,"** jawab Afan sambil mengusap kepala Devi dengan lembut.

**"Akhirnya kamu kembali, Nak,"** ucap Papa Hendra, yang kini juga memeluk putranya. Tangis bahagia pecah di tengah keheningan rumah. Mereka berempat saling berpelukan, melepas rindu yang telah tertahan selama berminggu-minggu.

Devi tak henti-hentinya memandang Afan, memastikan bahwa yang ada di hadapannya bukan sekadar bayangan. **"Aku nggak salah, kan, Fan? Aku selalu yakin kamu masih hidup,"** ucap Devi sambil terisak.

**"Iya, Dev. Aku masih hidup. Dan aku kembali untuk kamu dan anak kita,"** jawab Afan penuh kehangatan, membuat suasana haru semakin mendalam.

**Part 33:**Setelah seminggu menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Devi diperbolehkan pulang. Walaupun kondisinya...
03/01/2025

**Part 33:**

Setelah seminggu menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Devi diperbolehkan pulang. Walaupun kondisinya belum sepenuhnya pulih, dokter merasa sudah cukup aman untuk Devi kembali ke rumah asalkan dia tetap menjaga kesehatannya.

**"Akhirnya kita sampai juga,"** ucap Mama Fani saat mereka tiba di mansion keluarga Mahendra. Ia terlihat lega dan bahagia bisa membawa Devi kembali ke rumah.

**"Iya, Mah. Devi udah kangen banget sama rumah. Di rumah sakit tuh bosan banget, apalagi bau obat-obatan terus,"** sahut Devi dengan senyum tipis. Meski mencoba ceria, guratan kesedihan masih tampak di wajahnya.

**"Sayang, yang penting sekarang kamu fokus istirahat, ya,"** ucap Mama Fani lembut.

**"Ayo kita masuk, Mal. Kita semua butuh istirahat,"** ajaknya kepada Mala yang ikut membantu selama di rumah sakit.

Ketiganya memasuki mansion yang megah dan terasa lebih sunyi dari biasanya sejak kepergian Afan. Saat masuk ke kamar, Devi langsung mendesah kecil, mencoba mengusir rasa sepi yang mendadak menguasai hatinya.

**"Devi, kamu ke kamar aja, ya, nak. Istirahat dulu. Tante ada urusan sebentar,"** ucap Mama Fani sebelum pergi.

**"Mala, kawani Devi dulu, ya. Jangan biarin dia sendirian,"** tambahnya, menyerahkan tanggung jawab kepada Mala.

**"Iya, Tante. Aku jaga Devi,"** jawab Mala, lalu ia mengikuti Devi menuju kamar.

Di dalam kamar, Devi duduk di pinggir ranjangnya yang luas. Pandangannya kosong, melayang ke tempat-tempat yang pernah menjadi saksi kebersamaannya dengan Afan.

**"Mal..."** panggil Devi pelan.

**"Iya, kenapa, Dev?"** sahut Mala, menghampiri Devi yang mulai terlihat emosional.

**"Gw kangen banget sama Afan, Mal,"** ucap Devi, air mata mulai mengalir di p**inya.

**"Iya, Dev. Gw ngerti. Tapi udah d**g, jangan nangis terus,"** Mala berusaha menenangkan, menghapus air mata Devi dengan lembut.

**"Tapi, Mal... Gw nggak sanggup, Mal. Gw nggak bisa hidup tanpa dia. Gw nggak siap kehilangan Afan selamanya,"** isak Devi, menggenggam erat bantal yang ada di pangkuannya.

**"Dev, lo harus kuat. Lo nggak sendiri. Ada gue, Tante, dan semuanya di sini buat lo. Kita semua sayang sama lo,"** ucap Mala sambil merangkul sahabatnya.

Namun, Devi menggeleng dengan tegas. **"Mal, feeling gw bilang Afan masih hidup. Gw yakin itu bukan jasadnya kemarin,"** ucap Devi tiba-tiba, membuat Mala tertegun.

**"Dev, kita semua udah lihat sendiri. Itu jelas jasad Afan, Dev. Jangan terlalu berharap sama sesuatu yang nggak mungkin,"** ucap Mala pelan, mencoba membujuk Devi agar tidak tenggelam dalam ilusi.

**"Tapi gw yakin, Mal. Gw ngerasa Afan masih di luar sana, masih hidup, masih butuh gw,"** ucap Devi penuh keyakinan, meski suaranya bergetar.

Mala menarik napas panjang. Ia tahu sulit untuk mengubah pikiran Devi, apalagi ketika hati sahabatnya itu dipenuhi rasa kehilangan. **"Yaudah, Dev. Sekarang yang penting lo istirahat dulu, ya. Jangan banyak pikiran. Kata dokter, lo nggak boleh stres,"** ucapnya, mencoba mengalihkan perhatian Devi.

**"Oke, Mal. Gw rebahan dulu, ya. Lo juga kalau capek, istrirahat aja di sofa,"** jawab Devi, akhirnya mengalah. Ia merebahkan diri di ranjang king size-nya, mencoba menenangkan diri.

Mala menatap Devi yang perlahan memejamkan mata. Dalam hati, ia tahu Devi belum benar-benar tenang. Rasa rindunya pada Afan terlalu besar, dan harapan tipis bahwa Afan masih hidup menjadi sesuatu yang terus Devi pegang teguh. Namun, Mala hanya bisa berdoa, berharap waktu bisa menyembuhkan luka sahabatnya itu.

**Part 32:**Suasana di rumah sakit masih terasa tegang setelah Devi dilarikan ke UGD. Keluarga yang menunggu di luar ter...
03/01/2025

**Part 32:**

Suasana di rumah sakit masih terasa tegang setelah Devi dilarikan ke UGD. Keluarga yang menunggu di luar terus berdoa agar semuanya baik-baik saja. Sesekali Mama Fani mengusap air matanya, tak tega melihat putrinya berada di kondisi seperti itu.

Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan.

**"Dok, bagaimana keadaan Devi?"** tanya Mama Fani dengan nada cemas, air matanya masih menggantung di sudut matanya.

**"Mari kita bicara di ruangan saya,"** ucap dokter itu sambil memberi isyarat kepada Mama Fani dan Papa Hendra untuk mengikutinya. Mereka segera berjalan ke ruang dokter, jantung mereka berdegup kencang membayangkan apa yang akan disampaikan.

Di dalam ruangan, dokter menjelaskan, **"Ibu Devi sedang hamil muda, dan kondisi janinnya cukup lemah. Selain itu, ia kekurangan nutrisi akibat pola makan yang tidak teratur dan stres berlebihan. Kami menyarankan agar Devi menjalani rawat inap untuk pemantauan lebih lanjut."**

**"Baik, Dok. Tolong lakukan yang terbaik untuk Devi dan calon anaknya,"** ucap Papa Hendra dengan penuh harap.

Setelah berbicara dengan dokter, mereka kembali ke ruangan tempat Devi dirawat. Devi masih tertidur lemah di ranjang, sesekali mengigau memanggil nama Afan.

**"Afan... Fan... Afan,"** gumam Devi, membuat Mama Fani kembali menangis.

**"Pah, Mama nggak tega lihat Devi seperti ini. Dia kehilangan Afan, suaminya sekaligus calon ayah dari anaknya,"** ucap Mama Fani sambil terisak.

**"Iya, Ma. Papa juga sedih, tapi kita harus kuat. Kalau Mama terus seperti ini, nanti Mama sendiri yang sakit,"** ucap Papa Hendra sambil menggenggam tangan istrinya. **"Ayo kita pulang sebentar, Ma. Mama butuh istirahat."**

**"Tapi, Devi bagaimana, Pah?"** tanya Mama Fani, khawatir.

**"Tante, biar aku aja yang jaga Devi,"** ucap Mala yang baru tiba di rumah sakit. Dia membawa tas berisi makanan dan pakaian ganti untuk Devi.

**"Terima kasih, Mala. Tante titip Devi, ya,"** ucap Mama Fani, memeluk Mala sebelum pergi bersama Papa Hendra.

Setelah mereka pergi, Mala duduk di samping Devi, mengelus pelan tangan sahabatnya itu. Tak lama, Devi terbangun dari igauannya dan langsung menatap Mala dengan mata penuh harap.

**"Mal... Afan mana? Dia masih hidup, kan? Katakan, Mal!"** suara Devi bergetar, diiringi air mata yang mulai mengalir lagi.

**"Dev, tenang dulu, ya. Lo nggak boleh stres. Lo harus kuat, bukan cuma buat lo sendiri, tapi buat janin lo juga,"** ucap Mala sambil menggenggam tangan Devi dengan erat.

**"Apa... janin aku lemah?"** tanya Devi dengan suara pelan, wajahnya penuh kekhawatiran.

**"Iya, Dev. Kata dokter, lo harus banyak istirahat dan makan makanan yang bergizi. Lo nggak boleh terus-terusan sedih,"** ucap Mala tegas.

Devi terdiam, kemudian mengelus perutnya yang masih datar. **"Maaf ya, Nak. Mama janji akan kuat buat kamu. Mama nggak mau kehilangan kamu juga,"** bisiknya dengan lirih, air matanya menetes.

Mala menghela napas lega melihat Devi mulai berusaha menerima kenyataan. **"Yaudah, Dev, sekarang lo istirahat, ya. Gue akan ada di sini buat lo,"** ucap Mala lembut, membantu Devi merebahkan diri kembali.

Mata Devi perlahan terpejam, sementara Mala duduk di sampingnya, memastikan sahabatnya itu mendapatkan istirahat yang cukup. Namun di dalam hati, Mala juga merasa cemas—bukan hanya untuk Devi, tapi juga untuk perjalanan hidup mereka ke depan tanpa Afan.

**Part 31:**Mereka semua sudah berkumpul di pemakaman tersebut, di tempat yang penuh dengan kesedihan. Proses pemakaman ...
03/01/2025

**Part 31:**

Mereka semua sudah berkumpul di pemakaman tersebut, di tempat yang penuh dengan kesedihan. Proses pemakaman berjalan lancar, namun suasana hati mereka tak bisa lepas dari duka yang mendalam. Devi berdiri di depan makam Afan, tak henti-hentinya menangis.

"HIKSS, HIKSS... Afan, kamu kenapa tinggalin kita semua, Fan? Kenapa, Fan?" ucap Devi dengan isakan tangis yang pecah. Hati semua yang hadir terasa hancur melihat kesedihannya.

"Udah nak, kita harus ikhlas ya, nak. Mama juga kehilangan anak mama," ucap Mama Fani sambil memeluk Devi dengan penuh kasih sayang. Mata Mama Fani pun basah dengan air mata, tak bisa menahan rasa kehilangan yang begitu dalam.

"Devi nggak bisa, Mah. Hidup tanpa Afan. Gimana calon bayi kami nanti, Mah? Devi nggak sanggup besarin janin ini sendiri tanpa Afan," ucap Devi, suaranya tercekat, masih terisak-isak di pelukan Mama Fani.

"Udah, Devv, lo harus ikhlas ya, Devv. Kita pasti selalu ada buat lo," ucap Mala sambil menghampiri Devi dan memeluk sahabatnya itu erat. Mala pun tak kuasa menahan air mata, merasakan betapa beratnya beban yang harus ditanggung Devi.

"Fan, kenapa lo harus pergi sih, Fan? Andai aja lo nggak nganterin gue, pasti lo masih ada di dunia ini," ucap Rakha dengan suara pecah, turut menangis dan merasa bersalah. Perasaan bersalah menghantuinya, merasa bahwa jika dia tidak meminta Afan untuk mengantarnya, mungkin semuanya tidak akan berakhir seperti ini.

"Kenapa harus lo yang pergi, Fan? Kasian Devi, Fan," lanjut Rakha, suaranya semakin parau.

"Udah sayang, kamu jangan salahin diri kamu sendiri, sayang," ucap Mala, mencoba menenangkan Rakha yang begitu terpuruk. Mala mengelus punggung Rakha, memberikan kekuatan meski dia sendiri juga sangat terpukul.

"Tapi ini salah aku," ucap Rakha, sambil memeluk Mala erat untuk mencari ketenangan.

"Udah, jangan salahin diri kamu, Rak. Ini sudah takdirnya," ucap Mama Fani, berusaha mengingatkan mereka semua bahwa takdir memang tak bisa diubah.

"Fafan, kamu masih hidup, pasti itu bukan jasad kamu, Fan! HIKSS, HIKSS..." Devi terus menangis, harapannya yang tersisa hanyalah agar Afan masih ada, meskipun semua yang ada di sekitarnya tahu bahwa itu hanya sebuah kenyataan pahit yang harus diterima.

"Afan, bangun, Fan!" teriak Devi lagi, meronta-ronta, berharap keajaiban terjadi.

"Udah ya nak, Afan udah tenang di sana," ucap PP Hendra dengan suara bergetar. Air mata jatuh di p**inya, merasa begitu kehilangan anak semata wayangnya. Dia berusaha menenangkan Devi, meski hatinya ikut hancur.

"Yaudah, ayo kita pulang," ajak PP Hendra, mencoba mengajak mereka untuk kembali dan meninggalkan tempat tersebut, meski dengan hati yang berat.

Saat mereka mulai berjalan meninggalkan pemakaman, tiba-tiba sebuah suara keras terdengar.

**Brakk!**

"Devi!" Teriak mereka semua, terkejut melihat sesuatu yang tak mereka duga.

**Part 30:**Jenazah Afan dibawa ke lab untuk diotopsi. Devi duduk termenung, masih dalam keadaan terkejut dan sangat sed...
02/01/2025

**Part 30:**

Jenazah Afan dibawa ke lab untuk diotopsi. Devi duduk termenung, masih dalam keadaan terkejut dan sangat sedih. Mala duduk di sampingnya, berusaha menenangkan sahabatnya yang sedang hancur.
"Udah, Dev, jangan nangis terus. Kalau lo nangis, gue juga ikut nangis," ucap Mala, sambil menatap Devi yang terisak. Mala pun ikut menangis, merasa sangat sedih melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu.

"Gimana gue nggak nangis, Mal? Coba lo yang ada di posisi gue. Gue nggak sanggup, Mal, kalau harus kehilangan Afan," ucap Devi, isakannya semakin keras.

"Iya, gue tahu, lo harus ikhlas," jawab Mala dengan lembut, meskipun hatinya juga begitu berat.

"Gimana gue mau ikhlas?" tanya Devi, suaranya terisak. Mala mengelus rambut Devi, mencoba menenangkannya.

"Yaudah, kita istirahat dulu. Pasti kamu capek, dan kamu belum makan kan? Kita makan dulu biar kamu ada energi-nya," ucap Mala.

"Tapi gue nggak selera makan, Mal," jawab Devi, matanya sembab karena menangis terus-menerus.

"Kalo kamu nggak makan, kasian janin yang ada di kandungan kamu, Dev. Dia juga butuh nutrisi. Kamu harus kuat menghadapi musibah ini," ucap Mala dengan penuh perhatian.

"Tapi gue nggak kuat, Mal. Gue nggak kuat menghadapi semua ini," jawab Devi, suaranya pelan, hampir tak terdengar.

"Lo harus kuat ya, meskipun lo nggak kuat, tapi kamu harus kuat buat jagain janin kamu, Dev. Kasian kalau kamu terus-terusan sedih dan nggak makan," ucap Mala, menatap Devi dengan penuh kekhawatiran.

"Dev, lo mau kehilangan calon anak lo?" tanya Mala, mencoba memberi semangat.

"Gue nggak mau kehilangan anak gue," jawab Devi dengan suara bergetar, kemudian mengusap air matanya. "Yaudah, ayo kita istirahat."

Mala dan Devi pun makan, dan setelah itu mereka tidur sebentar untuk beristirahat.

***

Sementara itu, di luar, PP Hendra bertanya pada seorang dokter yang ada di pos tersebut.
"Gimana, Pak? Hasil otopsi, kapan bisa diambil?" tanya PP Hendra, masih tertekan oleh situasi yang terjadi.

"Kira-kira tiga minggu baru bisa diambil," jawab dokter tersebut dengan nada pelan.

"Ya sudah, Pak. Kalau hasilnya sudah keluar, kabari saya," ucap PP Hendra, kemudian pergi meninggalkan dokter itu dan menyusul Mama Fani.

Mama Fani sedang duduk di sudut, menangis tersedu.
"Mah, jangan nangis terus d**g," ucap PP Hendra, menghampiri dan memeluk Mama Fani dengan penuh kasih sayang.

"Pa, Mama nggak mau Afan ninggalin kita. Kasian Devi, Pa. Dia lagi hamil. Kasian juga sama calon cucu kita. Besok kalau cucu kita lahir, dia nggak punya papa," ucap Mama Fani, tangisnya semakin keras.

"Bukan Mama aja yang kehilangan, tapi Papa juga kehilangan anak Papa, Mah," ucap PP Hendra, tak terasa buliran air mata jatuh ke p**i.

"Yaudah, Mah, Mama ganti baju. Satu jam lagi jenazah Afan akan dimakamkan," lanjut PP Hendra dengan suara pelan, mencoba menguatkan.

"Afan mau dimakamkan di sini, Pa?" tanya Mama Fani, masih terisak.

"Iya, Mah. Yaudah, Mama siap-siap, terus Papa mau nyusul Devi," jawab PP Hendra, lalu meninggalkan Mama Fani yang sedang mempersiapkan diri.

PP Hendra menyusul Devi yang sedang berbaring, dengan Mala di sampingnya.
"Dev, Mal, bangun. Nak, bentar lagi jenazah Afan mau dimakamkan," ucap PP Hendra, lembut memanggil Devi dan Mala.

Devi terbangun, wajahnya masih dipenuhi air mata.
"Pa, emang benar Afan ninggalin kita, Pa? Nggak kan, Pa?" tanya Devi, suaranya penuh dengan kebingungan dan kesedihan yang mendalam.

"Kamu yang sabar ya, Nak. Kita harus ikhlas," jawab PP Hendra, menatap Devi dengan penuh kasih.

Sementara di luar, suasana semakin hening, dan keluarga yang ditinggalkan oleh Afan harus menghadapi kenyataan yang pahit dengan segala kesedihan dan kehilangan yang mendalam.

**Part 29:**Rakha dibawa ke pos untuk diperiksa.  "Yaudah, Fan, kamu istirahat dulu," ucap Mama Diana, Mama-nya Rakha, s...
02/01/2025

**Part 29:**

Rakha dibawa ke pos untuk diperiksa.
"Yaudah, Fan, kamu istirahat dulu," ucap Mama Diana, Mama-nya Rakha, sambil membantu Rakha berbaring di brankar. Rakha tampak kelelahan, namun ia memaksakan diri untuk tidur.

Devi terlihat sangat cemas.
"Pah, kita cari Afan aja yuk, Pah. Rakha kan selamat, jadi kemungkinan Afan juga..." ucap Devi, memohon agar mereka melanjutkan pencarian Afan.

Papa Hendra mengangguk dan berkata, "Yaudah, kita lihat sekitar sini aja. Dev, kalau kamu capek, kita istirahat dulu supaya janin kamu baik-baik aja."
"Iya, Mah, kalau Devi capek, kita istirahat," jawab Devi, yang berusaha tegar meskipun hatinya cemas. Mereka semua mulai menelusuri pinggir laut, berharap menemukan petunjuk lebih lanjut.

Saat berjalan, mereka melihat beberapa tim SAR sedang membawa plastik mayat. Devi dan Mama Fani merasa semakin tertekan.
"Pah, kalau boleh saya tahu, itu korban yang bernama siapa?" tanya Papa Hendra dengan suara yang pelan, merasa ada firasat buruk.

"Korban tersebut kalau tidak salah bernama Afan," jawab salah satu tim SAR, membuat hati Devi semakin terhimpit.
Deg!
"Enggak mungkin, Pak, itu bukan suami saya!" ucap Devi dengan suara gemetar, lalu menangis histeris. Mama Fani ikut menangis, tak kuasa menahan rasa haru dan kehilangan.

"Begini, bolehkah saya lihat korban tersebut?" tanya Papa Hendra dengan nada penuh harap.
"Keadaan korban sekarang sudah parah. Wajahnya tidak bisa dikenali lagi," jawab tim SAR dengan hati-hati.
"Namun, bolehkan saya melihatnya?" tanya Devi, suara lemah namun penuh tekad. Tim SAR akhirnya mengangguk, memberi izin.

Devi, dengan gemetar, perlahan membuka seleting plastik yang membungkus jasad tersebut. Begitu wajah itu terlihat, air mata Devi semakin deras mengalir.
"Hiksss, Hiksss... Afan, bangun, jangan tinggalin aku sama calon bayi kamu. Afan, bangun! Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Afan! Bangun!" ucap Devi, menangis histeris di samping jasad yang terbaring diam.
Mama Fani memeluk Devi erat, mencoba menenangkan, meskipun dirinya juga tak bisa menahan kesedihan.
"Sayang, udah, kamu jangan nangis terus. Kita harus kuat," ucap Papa Hendra, dengan suara lembut namun penuh keprihatinan.
"Afan, bangun, sayang. Jangan tinggalin mama dan nak," ucap Mama Fani, dengan air mata yang terus mengalir.

Devi hanya bisa menangis lebih keras, seolah berdoa agar keajaiban terjadi. Namun kenyataan yang harus diterima begitu pahit.
"Ya sudah, saya akan melakukan otopsi terhadap jasad ini," ucap tim SAR dengan hati-hati. Mereka kemudian membawa jasad tersebut untuk diperiksa lebih lanjut, meninggalkan keluarga yang masih terisak dalam kesedihan yang mendalam.

Devi merasa seperti dunia runtuh. Dalam satu malam, dia kehilangan segala sesuatu yang dia cintai—Afan, yang kini hanya tersisa dalam kenangan dan harapannya yang tak terwujud.

**Part 28:**Di pagi hari, Devi terbangun dari tidurnya.  "Pak, sum bangun ini dah jam berapa ini?" ucap Devi, masih sete...
02/01/2025

**Part 28:**

Di pagi hari, Devi terbangun dari tidurnya.
"Pak, sum bangun ini dah jam berapa ini?" ucap Devi, masih setengah tertidur.
"Bangun sayang," ucap Devi lagi, sambil meraba tempat tidur. Kemudian, Devi terbangun sepenuhnya dan melihat kasurnya kosong.
Devi kembali menangis, merasa cemas dan kesepian.
"Fan, kamu pulang, aku nggak bisa hidup kayak gini terus tanpa kamu," ucap Devi dengan isakan tangisnya.

Lalu, Mama Fani masuk ke kamar Devi.
"Sayang, kamu kenapa pagi-pagi gini kok udah nangis?" tanya Mama Fani, terlihat khawatir.
"Aku bangun, nggak ada Afan, Mah. Afan belum pulang, Mah," jawab Devi, masih terisak.
"Mah, ayo kita susul Papa, Mah. Aku mau ikut cari Afan, Mah," ucap Devi memohon, sambil terus menangis.
"Tapi kamu lagi hamil, sayang. Apalagi kamu masih hamil muda, kasihan janin kamu," jawab Mama Fani dengan lembut, mencoba melindungi Devi.
"Tapi Devi kuat kok, Mah. Ayo d**g, Mah, please, Mah. Ayo kita cari Afan," ucap Devi, dengan air mata yang tak bisa dihentikan.

Mama Fani menatapnya, kemudian menghela napas.
"Ya sudah, kita susul Papa, dan kamu ajak Mala sekalian. Kamu bersih-bersih dulu, habis itu kita sarapan," ucap Mama Fani, berusaha menenangkan Devi.
Devi mengangguk dan segera pergi bersih-bersih.

**_**
Devi, Mama Fani, Mala, dan orang tua Mala serta Rakha sudah tiba di bandara.
"Yaudah, ayo kita berangkat," ucap Mama Fani, mencoba memberikan semangat. Mereka semua segera menuju tempat kejadian kecelakaan.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya tiba di laut, tempat pesawat itu jatuh.
"Mah, kamu kok di sini?" ucap Papa Hendra yang baru datang, melihat Mama Fani dan Devi.
"Ini, Pah, Devi yang ngajakin kesini," jawab Mama Fani dengan lembut.
"Dev, kamu kok di sini, sayang? Kasihan loh, janin kamu kalau kamu kecapean," ucap Papa Hendra, khawatir.
"Tapi Pah, Devi mau nyari Afan, Pah," ucap Devi dengan tekad yang kuat.
"Ya sudah, kamu boleh nyari, tapi jangan kecapean ya," ucap Papa Hendra dengan penuh perhatian.
"Yaudah, ayo kita cari Afan sama Rakha," ucap Papa Hendra. Semua pun mulai berjalan di sepanjang pinggir laut, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan.

Tiba-tiba, Mama Rakha melihat sesuatu.
"Pah, lihat deh di sana, kayaknya ada korban yang selamat," ucap Mama Rakha, menunjuk ke arah yang lebih jauh.
"Iya, ya sudah coba kita lihat," jawab Papa Rakha, dengan hati-hati.

Mereka semua berjalan cepat ke arah yang ditunjukkan oleh Mama Rakha. Ketika sampai, mereka terkejut dengan apa yang mereka lihat.
"RAKHA!" ucap mereka semua kompak, tak percaya dengan apa yang mereka lihat.

Rakha terbaring lemah di sana, namun masih hidup.
"Rakha, kamu masih hidup!" ucap Mala, lalu segera memeluk Rakha. Rakha, meski dalam keadaan lemas, membalas pelukan Mala dengan penuh rasa terima kasih.
"Rak, Afan mana?" tanya Devi, dengan cemas, mencoba mencari Afan di sekitar Rakha.
"Gue nggak tahu, Dev," jawab Rakha dengan suara yang lemah, masih terkejut dan bingung.

"Sekarang, korban ini akan dibawa ke pos untuk diperiksa," ucap salah satu tim SAR yang datang menghampiri mereka.
Rakha pun dibawa ke pos untuk mendapatkan perawatan dan pemeriksaan lebih lanjut. Semua berharap, selain Rakha, Afan juga bisa ditemukan dan selamat.

**Part 27:**Satu jam lebih mereka menunggu kabar dari tim SAR, namun belum ada tanda-tanda bahwa Afan dan Rakha ditemuka...
02/01/2025

**Part 27:**

Satu jam lebih mereka menunggu kabar dari tim SAR, namun belum ada tanda-tanda bahwa Afan dan Rakha ditemukan.
"Coba ya, Papa tanya dulu sama stafnya," ucap Papa Hendra, yang masih penuh harapan. Semua hanya mengangguk.

"Pak, gimana? Apa sudah ada kabar dari korban yang bernama Ahmad Afan Mahendra dan Rakha Digantara?" tanya Papa Hendra pada staf yang bertugas.
"Sejauh ini belum ada kabar tentang korban bernama Ahmad Afan Mahendra dan Rakha Digantara," jawab staf tersebut.
"Apa bisa, ya, Pak, kami pergi ke tempat kejadian itu?" tanya Papa Hendra lagi, berharap ada kesempatan untuk mencari lebih dekat.
"Kalo soal itu bisa, Pak," jawab staf itu dengan mengangguk.
"Ya sudah, Pak. Saya sekeluarga mau mencari korban itu," ucap Papa Hendra, lalu kembali menemui Mala, Devi, Mama Fani, dan orangtua Rakha.

"Kita bisa mencari Afan dan Rakha ke laut itu," ucap Papa Hendra, memberikan kabar kepada keluarga yang lain.
"Bisa. Kapan kita ke sana?" tanya Papa Rakha, terlihat cemas.
"Satu jam lagi kita ke sana," jawab Papa Hendra.
"Pah, Devi ikut, ya, Pah?" tanya Devi, dengan penuh harap.
"Mala juga ikut, ya, Om?" sambung Mala, tak ingin ketinggalan.

"Kalian di sini aja ya. Biar Papa Hendra, Papa Rakha, dan Papa kamu yang pergi. Kamu sama Devi, Mama Fani di sini aja, kami aja yang pergi," ucap Papa Hendra, dengan nada tegas namun lembut.
"Tapi Devi mau nyari Afan, Pah," ucap Devi, dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"Kamu di sini aja, sayang. Biar Papa yang cari Afan," ucap Mama Fani, mencoba menenangkan Devi.
"Ya sudah, ayo kita pulang saja," ujar Devi, dengan hati yang berat, akhirnya mengikuti kata-kata Mama Fani.

Papa Hendra dan Papa Rakha bersama orangtua mereka sudah berangkat ke lokasi kecelakaan. Sementara itu, Mama Fani dan Devi kembali ke rumah.

Sesampainya di rumah, Mama Fani melihat Devi yang tampak letih.
"Ya sudah sayang, kamu ke kamar aja. Kamu istirahat saja, kasihan janin kamu nanti kalau kamu kecapekan," ucap Mama Fani, dengan lembut. Devi hanya mengangguk dan berjalan menuju kamar.

Begitu tiba di kamar, Devi langsung mengambil foto pernikahannya dengan Afan yang terletak di meja samping tempat tidur.
"Fan, kamu kemana sayang? Kamu pulang ya, sayang. Lihat aku, aku lagi hamil anak kamu," ucap Devi sambil mengelus perutnya yang masih datar.
"Kamu pulang ya, sayang. Kita hidup bareng lagi, kita rawat bayi kita. Kita besarkan anak kita bersama-sama. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu, Fan. Kamu adalah orang yang paling aku cintai," ucap Devi, suaranya penuh dengan isak tangis.

Mama Fani yang lewat mendengar suara tangisan dari kamar Devi, segera menghampirinya.
"Sayang," ucap Mama Fani, sambil mendekat.
"Mama," jawab Devi, dengan suara yang terisak.
"Kamu jangan nangis terus d**g, sayang. Kamu harus banyak berdoa. Mama juga takut kehilangan Afan. Afan anak Mama satu-satunya," ucap Mama Fani, lalu memeluk Devi erat.

"Mah, Devi nggak mau kehilangan orang yang Devi sayangi. Cukup Devi kehilangan Mama dan Papa Devi. Devi nggak mau kehilangan Afan, Mah," ucap Devi, menangis sejadi-jadinya.
"Mama tahu sayang. Mama juga nggak mau kehilangan Afan. Kita harus banyak berdoa ya sayang, biar Afan sama Rakha cepat ketemu," ucap Mama Fani, sambil menenangkan Devi.

"Ya sudah sayang, kamu istirahat yang banyak ya, kasihan sama kandungan kamu," ucap Mama Fani, dengan penuh perhatian.
"Iya, Mah. Mama juga istirahat ya, Mah. Jangan banyak pikiran," jawab Devi, menyeka air matanya.

Mama Fani tersenyum dan mencium Devi di p**inya, lalu keluar dari kamar. Devi berbaring di tempat tidur, mencoba menenangkan diri.
"Kita harus kuat ya, nak. Pasti Papa kamu selamat," ucap Devi, sambil mengelus perutnya yang mulai membesar. Setelah itu, Devi tertidur dengan harapan dan doa yang mendalam.

**Part 26:**Tiba-tiba, pesawat itu hilang kendali dan terjun bebas ke laut.  "AFAN!" teriak Devi, kaget dan cemas.  "Lo ...
02/01/2025

**Part 26:**

Tiba-tiba, pesawat itu hilang kendali dan terjun bebas ke laut.
"AFAN!" teriak Devi, kaget dan cemas.

"Lo kenapa, Devi? Kok bangun tidur langsung teriak?" tanya Mala, bingung.
"Mal, gue kepikiran Afan terus," jawab Devi, matanya penuh kecemasan.
"Yaudah, ini udah jam 04:54. Kita sholat subuh aja yuk," ucap Mala, mencoba menenangkan Devi.
Lalu, Devi dan Mala berwudhu dan melaksanakan sholat subuh, berdoa dengan sepenuh hati.

Setelah selesai sholat, mereka mandi dan kemudian turun ke lantai bawah untuk sarapan.
"Good morning sayang," ucap Mama Fani.
"Morning, Mah-Tan," jawab Mala dan Devi bersama-sama.
"Yaudah, ayo kita sarapan," ajak Mama Fani.

Saat sedang sarapan, Devi tampak termenung, tidak menyentuh makanannya.
"Sayang, kamu kenapa? Makanan kamu gak dimakan. Kamu mikirin apa sih?" tanya Mama Fani dengan khawatir.
"Aku kepikiran Afan terus, Mah, dari tadi malam," jawab Devi, matanya mulai berkaca-kaca.
"Sama, Nak. Mama juga kepikiran Afan terus," ucap Mama Fani, mencoba mengerti perasaan Devi.
"Yaudah, kita lanjut sarapan aja," sambung Mama Fani, mencoba mengalihkan perhatian mereka.

Namun, tiba-tiba terdengar suara dari televisi yang menyita perhatian mereka.
"Pesawat Lion Air, yang menuju London, Inggris, mengalami kecelakaan. Pesawatnya terjun bebas ke laut," ujar host yang ada di TV.

"Tunggu, itu nggak pesawat yang Afan dan Rakha naikin kan?" tanya Devi, air bening mulai menetes dari p**inya.
"Tapi itu pesawat yang dinaikin Afan dan Rakha, Dev," jawab Mala, juga menangis.
"Gak mungkin, gak mungkin, Mal. Gak mungkin Afan kecelakaan, Mal. Gue nggak mau kehilangan Afan," ucap Devi dengan suara yang terisak, wajahnya penuh dengan kecemasan dan kesedihan.
"Kamu yang sabar ya, sayang. Mungkin itu bukan pesawat Afan," ucap Mama Fani sambil menangis, dan segera memeluk Devi erat.
"Mah, Devi gak mau kehilangan Afan, Mah. Aku lagi hamil anaknya Afan, Mah," ucap Devi, menangis sejadi-jadinya.

"Mah," ucap Papa Hendra yang baru datang.
"Pah, apa itu pesawat yang Afan kendarain?" tanya Mama Fani, dengan suara yang tercekat.
"Iya, Mah. Itu pesawat yang Afan dan Rakha naikin," jawab Papa Hendra, matanya berkaca-kaca.
"Ayo, Pah, kita ke bandara. Kita cari informasi lebih lanjut," ucap Devi, mengajak Papa Hendra dengan suara yang penuh harap.

(Setelah mendengar kabar kecelakaan itu, Mala langsung pulang lebih dulu, mendengar berita tragis itu.)

Dalam perjalanan menuju bandara, Devi dan Mama Fani terus menangis, merasa cemas dan tak tahu apa yang harus dilakukan.

**Di Bandara:**

Sesampainya di bandara, suasana sangat ramai dengan keluarga dan teman-teman korban.
"Pak, saya mau tanya, seseorang yang bernama Ahmad Afan Mahendra. Sudah ditemukan belum?" tanya Papa Hendra dengan penuh harap.
"Sampai sekarang belum juga, Pak. Tim SAR sedang mencari mereka," jawab seseorang yang bertugas di situ.

"Devi, gimana, Afan sama Rakha udah ditemukan belum?" tanya Mala yang baru saja tiba bersama orangtuanya, serta orangtua Rakha.
"Belum, Mal," jawab Devi dengan suara yang terisak.
"Pah, ayo kita cari Afan, Pah. Ayo kita ke laut tempat Afan sama Rakha kecelakaan," ucap Devi dengan isakan tangis.
"Sayang, kamu gak bisa ke sana, kamu lagi hamil. Kamu gak boleh kecapean," ucap Papa Hendra, menahan Devi agar tidak terlalu terburu-buru.
"Tapi Devi mau nyari Afan, Pah. Devi gak mau kehilangan Afan," ucap Devi, menangis semakin keras.
"Kita tunggu kabar aja dulu, Dev," ucap Mala, mencoba menenangkan Devi yang sangat gelisah.

"Sabar ya, sayang. Bukan hanya kamu yang takut kehilangan Afan, tapi Mama juga takut kehilangan Afan," ucap Mama Fani, sambil mengelus punggung Devi untuk menenangkan.

"Pah, gimana Rakha, Pah? Mala sama Rakha mau menikah, tapi Rakha malah kecelakaan, Pah," ucap Mala, menangis di pelukan papanya.
"Kamu yang sabar ya, sayang. Pasti Afan sama Rakha akan ditemukan. Kita semua berdoa," ucap Papa Mala, berusaha memberi semangat pada Mala.

---

Keadaan semakin mencekam, dan harapan untuk menemukan Afan dan Rakha semakin tipis. Semua yang terlibat merasa cemas, tetapi mereka tetap berusaha untuk tetap kuat dan menunggu kabar baik.

Address

Jakarta

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Da5 Sridevi posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share