05/02/2023
KISAH UNIK K.H. ANNAJMUTS TSAQIB MENJADI LURAH
Oleh eko sam
SEKIRA akhir 2012 hingga awal-awal bulan 2013, saya begitu menggebu setelah mendengar gaung harapan K.H. M.A. Sahal Mahfudh kepada para alumni Perguruan Islam Mathali’ul (PIM) agar di setiap wilayah alumni PIM mendirikan organisasi nirlaba alumni KMF (Keluarga Mathali’ul Falah). Beriringan dengan itu p**a mencuat kasus Pilkades guru saya, Gus Tsaqib, K.H. Annajmuts Tsaqib, A.H., hingga naik ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Semarang.
Kala itu, di tangga teras pendapa balai desa Pahesan Godong Grobogan, setelah melewati rentetan ketegangan kasus Pilkades dan sesaat setelah pengumuman kemenangan pemilihan ulang mengudara dari speaker panitia, beliau Gus Lurah Tsaqib/Aqib (panggilan akrab beliau) diminta memberikan sepatah dua patah kata sambutan kemenangan seperti pada umumnya seorang kepala desa merayakan kemenangan. Namun, betapa tercengangnya saya saat mendengar sambutan lantang beliau tersebut. Beliau Gus Lurah berkata;
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.”
“Innalillahi wa inna ilaihi rajiuun.”
Kalimat tarji’ di atas beliau ulang hingga tiga kali, setelah melakukan salam.
Waktu berselang menuju beberapa malam berikutnya. Di suatu acara tasyakuran kemenangan Pilkades beliau yang bertempat di ruang aula tamu rumahnya, setelah makan-makan, ngopi-ngopi dan santai, saya bertanya kepada beliau tentang alasan kenapa mengucapkan kalimat tarji’ dan justru bukan hamdalah.
“Menurut saya, jabatan menjadi lurah adalah suatu musibah. Dan wajar saja jika saya berucap demikian. Karena, setiap musibah itu datang dari Allah dan saya mencoba berserah kepada-Nya dengan belajar mengembalikan segala sesuatunya kepada-Nya,” timpal beliau lugas dan tandas.
“Lebih lagi, jejak langkah di kehidupan saya ini merupakan perihal yang tidak lazim di keluarga besar saya, Bani Abdussalam.* Sehingga menimbulkan gejolak perdebatan para anggota keluarga. Meski demikian, Lik Nafi’ (K.H. Ahmad Nafi’ Abdillah) mendukung dan membela langkah kehidupan saya ini dari mayoritas pertentangan keluarga besar.”
“Kata Lik Nafi’,” lanjut Gus Tsaqib, “Tidak hanya menjadi lurah saja yang berpotensi besar menjadi orang yang ingkar. Justru, jika bisa menjadi pemimpin yang baik malah lebih baik.”
Saya semakin khidmat menyimak apa yang disampaikan beliau.
“Bahkan, saat ini tidak jarang seorang kiai atau kepala sekolah yang memiliki budi pekerti tidak baik. Misalnya, dengan iming-iming seragam atau ini dan itu gratis hanya demi memperoleh banyak santri/murid,” imbuh Gus Tsaqib menirukan nasihat dari pamannya, Kiai Nafi’.
Setelah bertahun-tahun kemudian dari pertemuan dan percakapan santai saya dengan beliau, di saat saya hendak menuliskan kisah unik dan istimewa ini kepada khalayak ramai, saya mencoba mencurahkan semampu tenaga dan pikiran saya untuk mencari imbuhan referensi pembenaran dari tindak laku beliau ini—berkenaan dengan mengemban amanat tugas menjadi seorang lurah.
Alhamdulillah, gayung kemudahan bersambut. Ternyata niatan sederhana saya dimaksud di atas bisa ditemukan dalam satu kisah di Kitab Kasyful Mahjub, karya Imam Al-Hujwiri, sebagaimana yang dikisahkan saat Khalifah Harun Ar-Rasyid berkunjung ke rumah Fudhail bin Iyadh dan meminta suatu nasihat kekhalifahan.
Fudhail bin Iyadh berkata;
“Ketika Umar bin Abdul Aziz diangkat menjadi Khalifah, dia memanggil Salim bin Abdallah dan Raja bin Hayat, serta Muhammad bin Ka’ab Al-Qurazhi, dan berkata kepada mereka:
‘Apa yang harus kulakukan dalam kesulitan ini? Karena aku memandang kekhalifahan sebagai kesulitan, meskipun pada umumnya orang-orang mengatakannya sebagai keberuntungan.’
Salah satu di antara mereka menjawab, ‘Jika engkau hendak diselamatkan kelak dari hukuman Tuhan, pandanglah orang-orang muslim yang lebih tua darimu sebagai ayahmu, dan pemuda-pemudanya sebagai saudaramu, serta anak-anaknya sebagai anakmu juga. Seluruh kawasan Islam adalah rumahmu dan penduduknya adalah keluargamu. Kunjungilah bapakmu dan hormatilah saudaramu serta sayangilah anak-anakmu itu.’”
***
HINGGA saat ini, setelah dua periode beliau Gus Tsaqib menjabat sebagai lurah, yang saya rasakan saat setiap selapan sekali saya Ngaji Ngopi di kediaman beliau adalah wilayah desa yang beliau naungi saat ini semakin maju dan asri. Tidak seperti awal-awal saya sowan dahulu: jalan desanya remuk dan sangat payah untuk diakses moda transportasi.
Tindak korupsi dan sebangsanya pun tidak terdengar gaungnya. Namun, ini pengakuan beliau kepada saya, “Ternyata menjadi lurah itu biasa-biasa saja. Tidak lantas membuat taraf hidup seorang lurah menjadi kaya raya. Justru orang seperti sampean ini (pebisnis) malah punya penghasilan yang lebih daripada saya.”
Di dalam hati saya mesem dan seolah menemukan secercah cahaya ketulusan yang memancar dari ucapan demi ucapan yang beliau sampaikan. Dalam hati p**a saya membatin, “Masalahnya panjenengan menjadi lurah yang baik kok, Gus. Coba menjadi lurah yang tidak baik-baik.” (*)
***
* Bani Abdussalam merupakan keturunan-keturunan Simbah Kiai Abdussalam. Jika dirunut secara menurun, akan sampai kepada sosok Kiai Muda guru saya, Gus Tsaqib, dengan kharisma yang menawan ini: ganteng, gagah dan lembah manah.
Namun jika dirunut secara naik akan bermuara kepada wali Allah Kajen, Syekh Ahmad Mutamakkin. Berikut urutan nasabnya secara lengkap; K.H. Annajmuts Tsaqib bin Nyai Hj. Munawaroh (anak tertua dari Mbah Dullah) binti K.H. Abdullah Zain Salam bin K.H. Abdussalam bin K.H. Abdullah bin Kiai Ismail bin Kiai Bunyamin bin Kiai Muh. Hendro (Gambiran, Pati) bin Syekh Ahmad Mutamakkin.
Silsilah di atas versi K.H. Hambali, Waturoyo Pati, K.H. Shofwan Duri, Kudus dan K.H. R. Hambali (A. Kamal), Kudus, dalam buku Kiai Sahal & Nyai Nafisah, Ning Tutik Nurul Jannah, 2022.
Kisah Unik K.H. Annajmuts Tsaqib menjadi Lurah Oleh Eko Sam BECIK.ID—SEKIRA akhir 2012 hingga awal-awal bulan 2013, saya begitu menggebu setelah mendengar gaung harapan K.H. M.A. Sahal Mahfudh kepada para alumni Perguruan Islam Mathali’ul (PIM) agar di setiap wilayah alumni PIM mendirikan organi...